Setelah satu hari kemarin Thera mengambil libur dan menolak semua pekerjaan yang sebenarnya telah terjadwal, hari ini lelaki itu kembali memenuhi semua panggilan. Melengkapi jadwal yang kemarin sempat terbengkalai dan hanya menurut saat Kaira mengintstruksikan satu per satu hal yang harus ia lakukan.
Tadi pagi, ia meninggalkan rumah bahkan sebelum matahari menampakkan diri. Meninggalkan sepiring omelet di meja makan untuk Arion yang saat itu masih tidur di kamar. Sampai sekarang, saat waktu menunjukkan pukul satu siang, sudah ada dua pekerjaan yang Thera selesaikan. Pertama, meeting dengan brand parfum yang kemarin sempat tertunda. Lalu yang kedua, melakukan pemotretan untuk majalah fashion ternama.
Sekarang, lelaki itu sedang mengambil jeda untuk makan siang, sembari menunggu untuk pemotretan sesi kedua yang akan dimulai satu setengah jam lagi.
"Aku sebenarnya ngerasa perlu bicara sama Mama sekali lagi tentang masalah kemarin. Terlepas dari alasan dia datang ke rumah karena katanya sakit hati sama omongan aku, apa yang udah dia lakuin ke Arion itu keterlaluan. Kalau dia marah sama aku, harusnya dia ngomong ke aku, dong. Bukan malah nyamperin Arion ke rumah terus marah-marah nggak jelas." Setelah menu yang ia pesan tiba, lelaki itu mencoba kembali membuka topik berbeda. Sudut kafe itu cukup nyaman untuk ia dapat bicara lebih banyak sembari menghabiskan makanan di piring mereka.
Sementara di hadapannya, Kaira mengangguk pelan. Alih-alih menatapnya, perempuan itu justru sibuk membelah potongan daging di piringnya menjadi dua.
"Terus?"
Tetapi saat perempuan itu akhirnya membuka suara, Thera juga berusaha menganggap semua biasa dan melanjutkan kalimatnya.
"Cuman aku tau banget Mamaku kayak gimana. Semakin ditentang, semakin aku nyudutin dia atas tindakannya, semakin dia nggak terima dan akhirnya nyerang balik anak-anaknya. Aku nggak masalah kalau dia maki-maki aku, marahin aku, tapi kalau dia lampiasin semuanya ke Arion, jelas aku nggak terima. Aku selama ini susah payah besarin anak itu dan setengah mati nahan diri buat nggak neriakin dia, semarah apa pun aku. Tapi Mama yang seenaknya pergi dan bahkan ngebuang kita berdua, seenaknya dateng lagi setelah sekian lama terus maki-maki dia gitu aja."
"Hm. Terus gimana?"
"Aku mungkin bakal bikin janji ketemu satu kali lagi buat jelasin semuanya ke Mama. Satu kali, habis itu nggak akan lagi. Kecuali nanti Arion minta ditemenin ketemu dia, sih. Aku udah janji mau nganter soalnya."
"Oh, gitu. Ya udah, bagus."
Namun, lama-lama Thera mulai menyadari letak perubahan sikap Kaira. Perempuan itu tampak tidak peduli dan bahkan bicara tanpa menatap matanya. Detik itu Thera masih berusaha tidak mempermasalahkan. Ia menghela napas panjang setelah membiarkan tetes dingin air membasahi kerongkongannya yang kerontang.
"Oh, iya, kemarin aku sempat terima chat dari Miss Sandra. Katanya mereka ada project baru dan akan hubungi kita secepatnya. Kamu udah terima kabar dari mereka?" tanya Thera, mencoba mengubah pembicaraan. Mungkin kehidupan pribadinya tentang Arion dan Mama sudah cukup membosankan untuk dibagikan kepada Kaira, maka dari itu ia mengalihkannya ke pekerjaan.
Sejauh yang ia tahu, Kaira tidak pernah menolak yang satu ini. Urusan pekerjaan adalah hal yang tidak bisa perempuan itu hindari. Namun, ternyata kali ini berbeda. Respons Kaira masih tidak sehangat biasanya.
"Udah," jawabnya singkat. Tatapan Thera mulai menelisik lebih dalam, berusaha membaca apa yang tidak benar. Tetapi ia masih mencoba melanjutkan.
"Kali ini konsepnya apa?"
"Nanti aku kirim surat kontrak dan proposal kerja samanya ke kamu. Kamu bisa lihat sendiri."
"Oke. Terus, jadwal hari ini, ada tambahan lagi nggak?"
"Kamu udah full schedule sampai nanti malam."
"Ah, setelah pemotretan ini, ada jeda satu jam 'kan sampai jam 6 sore sebelum ke next schedule? Ada yang perlu aku lakuin?"
Perempuan itu akhirnya mendongak setelah dari tadi fokus dengan makanan, menatap Thera cukup lama hanya untuk berpaling dan kemudian menjawab datar. "Nggak ada."
Di detik itu juga Thera mengempaskan garpunya ke piring, menimbulkan deting yang cukup nyaring. Ia sudah merasakan kejanggalan sikap Kaira sejak pagi tadi mereka berjumpa. Perempuan itu menjadi lebih banyak diam dan menghindar setiap kali Thera memulai bicara. Ia benar-benar sudah berusaha menahan semua, mencoba mendekat pelan-pelan untuk membuat perempuan itu mengatakan apa yang sebenarnya ia rasa. Namun, lama-lama Thera tak tahan juga.
Ada helaan napas panjang yang lelaki itu buang pelan-pelan, sebelum akhirnya ia membuka suara.
"Ada apa? Kamu kalau ada masalah sama aku, bilang. Aku nggak selalu bisa mecahin kode yang dikasih sama perempuan. Lagian kamu bukan tipe orang yang suka bertele-tele gini, Kaira."
"Kenapa kamu tanya ke aku, Thera? Kamu nggak ngerasa udah ngelakuin kesalahan?"
"Kesalahan apa, sih, maksudnya? Aku ngapain emang?"
"Thera, sadar nggak, sih, kamu udah hancurin reputasi baik kita yang aku jaga mati-matian selama ini? Kamu nggak ngitung seharian kemarin berapa kali kamu nolak aku? Dan setiap kali kamu nolak schedule yang aku kasih, sebanyak itu juga aku harus merendahkan diriku habis-habisan di hadapan client cuma demi belain kamu, dan jaga nama baik kamu! Aku harus nerima komentar-komentar nggak enak dari mereka yang bilang kita nggak profesional, nggak tau sopan santun, nggak paham etika bisnis. Dan setelah itu aku masih harus mohon-mohon ke mereka untuk minta kelonggaran waktu. Bahkan habis itu aku masih harus negosiasi lagi supaya kamu nggak kehilangan project. Kamu ngerti nggak, sih, gimana perasaan aku?"
Thera tidak pernah mengira akan menerima semua ini. Tetapi saat suara Kaira meninggi, lelaki itu diam, tidak menanggapi. Sejauh mereka saling mengenal, ia tidak pernah mendengar perempuan itu mengeluh tentang apa pun. Tidak tentang pekerjaan, tidak pula tentang kehidupan pribadinya yang mungkin juga melelahkan. Namun, hari ini, di hadapannya, perempuan itu menumpahkan amarahnya dengan mata berkaca-kaca. Membuat Thera memikirkan kembali semua tindakannya.
"Aku nggak peduli kalau ini cuma menyangkut reputasiku sendiri. Aku bahkan nggak keberatan kehilangan pekerjaanku kalau orang-orang itu memang nganggap aku nggak cukup kompeten untuk jadi manajer kamu. Tapi yang mereka raguin kali ini tuh kamu, Thera. Aku tau gimana sulitnya kamu buat sampai di titik ini, gimana kerja kerasnya kamu buat pertahanin profesi ini, tapi sekarang kamu yang pelan-pelan hancurin nama kamu sendiri. Apa kamu nggak kasihan sama dirimu?"
Thera masih diam, membiarkan Kaira menumpahkan semua yang ingin dia sampaikan. Hingga saat perempuan itu mulai tenang setelah menghela napas panjang dan mengalihkan pandangan ke luar, barulah ia bicara pelan-pelan.
"Maaf. Aku nggak tau kalau keputusanku kemarin ternyata malah bawa masalah buat kamu. Maaf, udah nyusahin kamu."
Ada jeda cukup lama yang mengisi meja mereka setelahnya. Kaira diam dan sepertinya Thera tidak berniat menyela. Hingga akhirnya api yang membakar meja itu padam dengan sendirinya dan Kaira kembali membawa pandangannya pada Thera. Berusaha mengurai satu per satu canggung di antara mereka, sebelum kemudian ia menghela napas panjang, mencoba bicara lagi pelan-pelan.
"Maaf juga kalau aku jadi marah-marah ke kamu barusan. Aku kebawa emosi sampai nggak bisa jaga sikap. Tapi, aku ngomong kayak gini bukan buat bikin kamu minta maaf, Thera. Aku cuma mau kamu tau kalau pekerjaan kamu selalu melibatkan banyak orang. Jadi, tolong lain kali jangan ambil keputusan seenaknya. Pikirin juga aku dan client-client kita yang bisa aja rugi besar cuma karena kamu lebih mementingkan urusan pribadi daripada pekerjaan."
"Tapi kehidupan pribadiku juga bukan sesuatu yang nggak penting, Kaira."
"Aku nggak bilang kalau Arion itu nggak penting. Aku tau dia satu-satunya keluarga kamu sekarang. Sama kayak kamu, aku juga peduli sama dia. Aku juga khawatir kalau dia sakit. Aku juga sayang dia kayak adik aku sendiri. Tapi seenggaknya aku tahu kapan waktu untuk mengkhawatirkan seseorang dan kapan harus profesional sama pekerjaan."
"Jadi, maksudnya, kamu mau bilang kalau kekhawatiranku ke Arion kemarin itu berlebihan?"
"Thera, kamu tau aku nggak pernah sekalipun berusaha jatuhin Arion di hadapan kamu, kan? Selama ini aku cuma selalu bicara hal-hal baik tentang dia. Dia maki-maki aku di belakang kamu pun, aku diem aja. Aku nggak pernah cerita apalagi ngadu ke kamu. Tapi, kali ini aku harus bilang kalau kemarin, anak itu bahkan udah bisa ngancam aku buat nggak ganggu-ganggu kamu. Udah bisa bersikap nggak sopan sama aku pas aku bahkan baru aja dateng. Jadi alasan kamu tinggal di rumah seharian dan nolak semua pekerjaan cuma demi orang yang bahkan udah sehat seratus persen, itu yang bikin aku kecewa, Thera."
Sejenak Thera memejam dan menarik napas dalam. Berusaha tidak memperpanjang perdebatan di tempat terbuka seperti ini yang bahkan semua orang dapat mendengar. Lagipula, setelah mendengar penjelasan Kaira dan melihat bagaimana mata itu menatapnya terluka, Thera mulai memikirkan semua. Kemarin, ia sudah cukup banyak merepotkan Kaira. Menyerahkan seluruh tanggung jawab di tangannya tanpa pernah tahu kesulitan apa saja yang perempuan itu terima setelahnya.
Untuk itu ia maju, berusaha menjangkau tangan Kaira di meja.
"Aku minta maaf. Kamu pasti kesulitan banget gara-gara aku kemarin."
Namun, gadis itu hanya diam. Tidak membalas tatapan Thera, tidak pula genggamannya.
"Kai...."
"Aku cuma nggak mau karier kamu hancur, Thera."
"Iya, aku tau. Kamu satu-satunya yang peduli sama pekerjaanku dan dukung aku. Maaf kalau sebagai manajer, kamu sering banget aku repotin. Aku bener-bener minta maaf."
Butuh jeda cukup lama sampai akhirnya Kaira menatap Thera, lalu pelan-pelan menarik tangannya dari genggaman lelaki itu.
"Aku nggak pernah ngekang kamu dalam hal apa pun, Thera. Aku juga nggak pernah keberatan kamu repotin. Tapi, lain kali, tolong ya, kalau enggak darurat banget, jangan tinggalin tanggung jawab kamu. Aku cuma nggak mau kamu dapat masalah, Thera. Itu aja."
Perlahan, Thera menarik senyuman, tetapi tidak ada yang ia katakan. Lelaki itu hanya menatap Kaira, berusaha menyampaikan terima kasih atas semua yang telah perempuan itu lakukan untuknya. Sembari diam-diam berjanji untuk tidak lagi mengecewakan perempuan sebaik dan setulus Kaira.
Tidak ada yang tahu, bahwa di balik senyumnya, diam-diam lelaki itu juga menyimpan kecewa. Bahwa ia tidak benar-benar menerima seluruh perkataan Kaira.
"Tapi ... tanggung jawab terbesarku sejauh ini, itu Arion, Kaira. Dia juga alasan kenapa aku mati-matian mempertahankan kerjaanku sekarang."
Setelahnya meja itu kembali tenang. Tidak ada bincang. Dan sisa waktu siang itu hanya mereka habiskan untuk saling diam dengan jeda panjang yang terasa begitu rumpang.
🍂🍂🍂
Arion membanting pintu dengan kasar kemudian melempar tasnya asal-asalan. Sofa ruang tamu yang sejak pagi tadi ia tinggalkan kini menjadi pelarian. Anak itu membanting dirinya ke sana setelah sebelumnya mengumpat pelan.
"Sabar, Ar. Jaman sekarang emang dunia isinya kebanyakan setan. Lo jangan sampai ikut-ikutan," ucapnya, berusaha memadamkan api yang sempat bergejolak hebat di dada. Mencoba tidak peduli pada mulut-mulut sampah yang tadi kembali mengusiknya di tempat kerja.
Namun, tidak bisa. Suara jelek mereka tadi masih membekas begitu kuat di kepala dan sekarang justru kembali menggema. Memenuhi sudut-sudut sepi rumahnya. Arion tidak bisa lupa bagaimana tadi salah satu kompetitornya di ekspedisi yang mulutnya tidak pernah diajari etika itu menyudutkannya menggunakan nama Thera. Ia masih ingat bagaimana lelaki sialan itu menghina Thera juga pekerjaannya.
"Masih mending juga gue, Ar. Walaupun cuma jadi kurir, kerjaan gue halal, berkah. Enggak jadi maksiat. Mau dipamerin ke orang-orang juga gue pede aja. Toh, emang gue kerjanya bener. Beda tuh sama abang lo. Sekali take foto emang honornya gede, tapi kalau caranya ngejual badan gitu ya mau dibilang kerjaan halal juga nggak bisa."
Saat itu, Arion mencoba diam dan fokus memeriksa barang yang harus ia antarkan. Memastikan alamatnya sesuai dengan yang tercatat di ponselnya, kemudian memilah barang sesuai alamat yang akan ia datangi pertama. Namun, alih-alih diam, mulut kurang kerjaan itu justru bertingkah lebih dari sebelumnya. Saat itu telinga Arion menangkap suara yang berbeda.
"Ngomong-ngomong, itu 'kan abang lo saben hari pamer-pamer badan ke orang, ya. Kira-kira udah berapa cewek yang liat dia telanjang tuh? Ada yang udah ditidurin belum sama dia?"
Ketika tawa di belakang menggema, detik itu juga amarah Arion tersulut. Dengan cepat ia berbalik dan menarik kerah baju orang yang terakhir bicara. Tatapannya menyala, mengisyaratkan tanda bahaya. Tangan kanan anak itu sudah mengepal dan terangkat di udara, tetapi alih-alih memberi pukulan, ia justru menurunkannya dan beralih menepuk-nepuk dada lelaki itu.
"Cewek yang minggu lalu nyamperin lo ke sini itu pacar lo, kan? Gue cuma mau bilang, dia lumayan cantik. Kalau lo nggak keberatan, gue bisa suruh Thera buat jadiin pacar lo itu sebagai cewek pertama yang dia tidurin."
Setelah mengatakan itu Arion melepas cengkeramannya kemudian pergi begitu saja. Meninggalkan mereka yang entah mengatainya dengan sumpah serapah macam apa. Karena Arion sudah tidak peduli dan memilih pergi secepat yang ia bisa sebelum ia kelepasan menghajar mereka.
Sekarang, amarah yang sepanjang perjalanan tadi berusaha ia tahan pun akhirnya menuntut pelampiasan. Merendahkan Thera adalah hal yang selalu ia lakukan, tetapi ia juga akan menjadi yang paling marah ketika orang lain bertindak demikian.
"Cuma gue yang boleh ngatain Thera pelacur. Orang lain jangan," gumamnya pelan.
Butuh beberapa menit sampai akhirnya ia merasa cukup tenang dan tak lagi mendengar suara-suara yang dari tadi mengusiknya. Anak itu menghela napas panjang, kemudian melirik jam di layar ponselnya. Sudah hampir sore, mungkin sebentar lagi Thera pulang kerja. Seketika Arion ingat bahwa tadi siang gaji bulanannya telah ia terima.
"Daripada gue emosi mulu sama manusia-manusia nggak ada akhlak itu, mending gue pesen makan. Mumpung duit gue lagi banyak, nggak ada salahnya juga jajanin Thera. Sekalian mau nunjukkin kalau tanpa dia pun, gue juga bisa cari duit sendiri."
Detik berikutnya, fokus anak itu sudah terkunci di layar ponsel yang menyala. Dengan senyuman, ia menenggelamkan diri di antara menu makanan yang menggiurkan. Memilih apa pun yang ia suka, dan membeli tanpa pikir panjang.
Anggap saja Arion sedang mempersiapkan pesta perayaan membaiknya hubungan ia dengan Thera. Yang semoga tidak hanya bertahan sementara, melainkan selamanya.
🍂🍂🍂
Semua yang telah Arion persiapkan sejak sore tadi akhirnya berantakan. Pukul setengah tujuh malam, ia menerima pesan dari Thera yang mengatakan bahwa malam ini lelaki itu kembali tidak bisa pulang. Katanya, ada pekerjaan yang baru akan selesai menjelang tengah malam, sehingga mengharuskannya bermalam di luar.
Seketika itu juga Arion menghubungi nomor Thera. Setidaknya ia harus meminta penjelasan. Atau jika bisa, ia akan tetap berusaha menyuruh lelaki itu pulang barang sebentar. Tidak mungkin ia membiarkan makan malam yang telah ia pesan ini membeku begitu saja di atas meja makan.
"Halo."
Begitu panggilannya dijawab, Arion buru-buru bicara. Berusaha setengah mati menekan amarah yang membuncah di dada, yang melebur bersama kecewa.
"Lo kenapa, sih, mulai gila kerja lagi? Sebanyak apa kerjaan lo sampe pulang aja nggak bisa? Presiden lo? Pak Jokowi aja masih bisa nemenin anak istrinya tiap malem di rumah."
Arion bisa mendengar helaan napas lelah Thera dari seberang. Sebelum akhirnya lelaki itu bicara dengan suara rendah yang teramat pelan.
"Kan kemarin gue udah ambil libur, akhirnya jadwal yang harusnya gue selesein kemarin, digeser ke hari ini. Ini juga gue lagi di lokasi, belum kelar pemotretan. Lo kalau butuh makan, pesen aja. Kalau nggak ada duit, ambil duit cash gue di kamar. Jangan lupa kunci pintu kalau mau tidur ntar. Gue balik besok pagi."
"Mampir rumah dulu sebentar enggak bisa? Bentar doang. Habis itu balik lagi ke sana atau ngapain terserah lo, gue nggak peduli." Arion masih mencoba bernegosiasi. Masalahnya, kalau Thera tidak pulang malam ini, anak itu tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan semua makanan ini.
"Kenapa, sih? Lo jangan manja, deh. Kalau lo laper, mau makan, pesen. Gue kasih duit. Nggak usah nyeret-nyeret gue pulang di saat gue lagi ada kerjaan."
"Bukan itu masalahnya."
"Ya terus apa?"
Tatapan Arion kembali ke meja di hadapannya. Meneliti satu per satu makanan yang baru saja ia buka. Anak itu rasanya ingin berteriak kepada Thera, mengatakan bahwa ia telah membeli semua ini untuknya. Namun, tidak bisa. Seluruh kalimat penjelasan yang ia miliki tertahan di tenggorokan, menyakiti seperti belati yang digoreskan. Sementara yang keluar dari mulut anak itu justru kata-kata makian.
"Lo pasti lagi sama Kaira 'kan sekarang? Pasti cewek uler itu yang nahan-nahan lo supaya malam ini lo nggak pulang. Emang dasar cewek busuk, ya. Dari dulu nggak pernah berubah kelakuannya."
"Ar!"
Tetapi sepertinya kalimat Arion justru menyulut amarah Thera. Tanpa sadar lelaki itu membentak, memenggal kalimat Arion beserta deru napasnya yang berantakan. Tetapi setelahnya Arion bisa mendengar bagaimana lelaki itu menghela napas panjang, kemudian menurunkan suaranya pelan-pelan.
"Gue cuma mau kasih tau kalau semua ini nggak ada hubungannya sama Kaira. Lo jangan dikit-dikit nyalahin dia, dong! Kemarin gue udah break seharian di rumah dan ngebiarin Kaira ngurus semuanya sendiri. Dia tuh udah kerja keras banget buat gue, asal lo tau. Sekarang gue harus balik ke tanggung jawab gue. Gue ini kerja, Ar. Nggak bisa sebentar-sebentar pergi, sebentar-sebentar pulang. Lagian lo nggak puas apa gue temenin di rumah kemarin seharian?"
"Gue nggak pernah nyuruh lo ninggalin kerjaan buat gue. Gue juga nggak pernah minta lo temenin. Kalau kerjaan lo emang lebih penting, ya udah, prioritasin aja kerjaan lo sana. Nggak usah sok-sokan jadi abang yang baik, yang sok peduli sama adeknya. Gue bisa ngurus diri gue sendiri."
"Kok lo malah nyolot? Gue berusaha kasih pengertian baik-baik ke lo supaya lo nggak salah paham. Supaya lo nggak mikir aneh-aneh tentang Kaira dan ngata-ngatain dia yang enggak bener. Tapi respon lo malah kayak gini."
"Dan sekarang lo justru bikin gue mikir lebih macem-macem lagi tentang cewek itu. Dia pasti udah ngomong sesuatu sama lo 'kan tadi? Udah jelek-jelekin gue kayak gimana aja dia?"
"Bisa nggak lo stop nyudutin Kaira? Ada juga lo yang selalu jelek-jelekin dia, Ar! Capek gue ngasih tau lo dari dulu tapi nggak ada satu pun yang lo dengerin bener-bener. Udah ya, gue lagi ada kerjaan dan sekarang gue harus balik kerja. Lo jangan egois jadi orang. Jangan cuma mikirin diri lo sendiri. Lo bisa hancurin kerjaan gue kalau kayak gini caranya, ngerti nggak?"
Selama ini, Arion selau benci bagaimana nama Kaira keluar dari mulut Thera seolah perempuan itu adalah semestanya. Dan hari ini, ia benci bagaimana lelaki itu membawa nama Kaira untuk menyudutkannya. Untuk membuat dirinya terlihat begitu tidak berharga. Ia benci bagaimana Thera menyakitinya demi perempuan yang bahkan bukan siapa-siapa.
"Ya udah," ucap Arion kemudian. Setelahnya ia menutup panggilan, membiarkan suara Thera terpenggal bahkan sebelum sempat usai.
Anak itu melempar ponselnya begitu saja ke meja dan menatap lagi satu per satu menu di sana. Semua sia-sia. Usaha yang ia lakukan hari ini pun tidak lagi ada artinya. Thera telah mematahkannya.
"Harusnya dari awal gue tau kalau semua bakal kayak gini. Harusnya gue tanya dulu dia bisa pulang apa enggak malem ini. Harusnya juga gue tau, kalau udah sama Kaira, dia nggak akan bisa balik dengan gampang."
Tidak lama, ponsel yang sempat Arion campakkan kembali menyala. Menampilkan pop up notifikasi yang datang beruntun. Arion pikir itu Thera, tetapi ternyata nama Kaira yang muncul di sana.
Seperti yang kamu minta kemarin. Aku lagi usaha untuk bikin Thera nggak kehilangan pekerjaannya. Maaf ya, Arion. Kakakmu jadi nggak bisa pulang malam ini. Kamu baik-baik aja kan sendiri? Kalau butuh apa-apa, kabarin aku aja, ya.
Ah iya, kemungkinan Hp Thera dari jam 8 sampai jam 10 nanti aku yang pegang. Itulah kenapa aku minta kamu hubungi aku aja kalau butuh sesuatu.
Satu lagi, Arion. Aku lagi lakuin usahaku. Jadi, aku harap, kamu juga bisa lakuin hal yang sama, ya. Demi Thera.
Setelahnya, Arion membiarkan layar ponselnya kembali menghitam. Kemudian menggenggamnya kencang, berusaha meredam amarah yang bahkan tidak dapat ia luapkan.
Kaira. Nama itu bergema begitu lantang, memenuhi isi kepalanya yang berantakan. Perempuan itu sudah memiliki hati Thera sejak laman sekarang dia seperti sengaja mengajak Arion berperang. Tentang siapa yang paling berharga untuk Thera, dan siapa yang akan lelaki itu perjuangkan.
Dan sejauh ini, Kaira ... benar-benar tidak bisa Arion remehkan.
🍂🍂🍂
Menjelang pukul tiga pagi, Thera akhirnya memilih kembali ke rumah. Meninggalkan apartemen Kaira setelah memastikan perempuan itu terlelap dengan nyaman. Lelaki itu tidak bisa menghabiskan paginya di sana. Entah mengapa, sejak panggilannya dengan Arion berakhir semalam, ia tidak bisa tenang. Ada perasaan bersalah setelah perdebatan kecil mereka berujung dengan saling menyakiti dan mendiamkan.
Thera terlampau tahu bagaimana Arion bila mereka berdebat. Anak itu akan menyimpan gengsinya hanya untuk menghubungi Thera sekali pun dia perlu. Jadi, sebelum semua ketakutannya kemarin terulang, kali ini Thera coba menekan kembali emosinya dan mengalah. Lagipula, perdebatan semalam itu, murni dirinya yang salah. Arion memang menjadi yang memulai, tetapi ialah yang pertama terbakar amarah.
Thera seharusnya ingat, belakangan ini kondisi mental Arion sedang tidak baik. Untuk itu ia memutuskan pulang, berbekalkan kunci cadangan yang sekarang tidak pernah lagi ia tinggal. Namun, ketika ia menyalakan lampu ruangan yang semula padam dan menapak dingin lantai rumah pelan-pelan, langkah Thera tertahan. Pandangannya tertuju pada hidangan yang berjajar memenuhi meja makan. Yang sebagian telah disajikan, dan sebagian lagi masih terbungkus rapi di tempatnya.
Pesta apa yang telah ia lewatkan? Apa semua ini ada hubungannya dengan Arion yang memaksanya pulang sore tadi?
Lalu tatapan Thera berhenti pada piring yang terbuka dengan sendok di atasnya juga nasi dan lauk yang masih utuh, tanda bahwa Arion juga belum menyentuh makanannya. Seketika lelaki itu menghela napas panjang. Sembari menatap pintu kamar Arion yang sekarang kembali terasa begitu jauh, dan tak terjangkau.
Sepertinya ... ia kembali melakukan kesalahan. Semua usaha yang ia lakukan untuk membuat hubungan mereka lebih dekat nyatanya kini ia sendiri yang patahkan. Jarak tak kasatmata itu kembali membentang. Menyisakan hampa yang perlahan merayap dan menanam penyesalan.
Thera tak pernah ingin menyakiti siapa-siapa, baik Arion maupun Kaira. Tapi kini keduanya seakan menjadi pilihan yang menempatkan Thera di antara keraguan. Yang pasti akan tersakiti bila Thera memilih salah satu dan meninggalkan yang lainnya.
"Sori, Ar. Kali ini lo emang berhak kecewa dan nggak percaya sama gue," ucap Thera. Lalu membawa langkahnya mendekat ke meja makan. Segera membereskan makanan yang Arion tinggalkan begitu saja, dan menyimpannya di lemari pendingin. Mungkin dia bisa memperbaiki semua kesalahannya pagi nanti.
🍂🍂🍂
Tulis yuk, pesan kalian buat Kaira di sini. Menurut kamu, Kaira itu kayak apa sih? Kita mau tau, apa pandangan kamu tentang Kaira sama kayak cara Arion mandang dia, atau justru kayak Thera mandang dia 🤭
Semoga enjoy sama part ini. Sampai jumpa kembali minggu depan sama Kak Bella, ya.
Dan ini foto-foto untuk menyegarkan mata 🙂
02.04.2021