Chakra bukan hanya baik, tapi ia juga orang yang sangat lembut dan hangat. Ia memang tak terlihat seperti lelaki gemulai, tapi entah kenapa ia sedikit terkesan feminin dengan kebiasaannya tersenyum dan bertutur kata lembut. Dan, mungkin karena sifatnya itu, kami semua menyukainya dan mempercayainya. Dua hari tinggal bersamanya benar-benar terasa menyenangkan. Kami tidak perlu cemas akan keselamatan kami.
Selama dua hari kami tinggal bersamanya, ia melatihku secara khusus dengan membawaku ke bagian goa yang lebih dalam, tempat yang sunyi, tenang, sejuk, dan nyaman. Tempat yang sepertinya sangat cocok untuk bertapa orang-orang zaman dulu yang meminta alam untuk membantu mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Meski awalnya Kak Galaksi khawatir Chakra melakukan sesuatu padaku, tapi aku berhasil meyakinksnnya untuk tidak khawatir berlebihan.
Saat itu, Chakra tidak menyuruhku untuk bertapa agar menyatu dengan alam. Tapi, yang kami lakukan saat itu hanyalah percakapan ringan, sesekali tertawa, membicarakan hal yang tidak penting, namun pada akhirnya kami akan kembali ke tujuan awal. Ia bahkan tak melakukan apa-apa. Tapi, semua ucapannya saat itu benar-benar membuat pikiranku terbuka.
"Kekuatanmu bukan untuk harapanmu, tapi untuk mengabulkan harapan orang lain. Jadi, bermainlah dengan kata. Jangan berpikir 'untuk kamu', tapi 'untuk mereka' yang mengharapkan hal positif 'untukmu'."
Jujur, aku tidak begitu pandai bermain kata dan bahasa. Aku rasa, aku di masa lalu memang selemah itu dengan pelajaran bahasa. Tapi, setidaknya, aku sudah mendapatkan sedikit pencerahan. Intinya, asalkan itu harapan orang lain, meski itu aku yang menggunakannya, kekuatanku akan mewujudkannya.
"Mereka yang aku maksud, bukan hanya manusia dan hewan, loh. Alam itu juga makhluk hidup."
Dan, pesannya yang terakhir itulah yang paling sulit aku pahami. Aku sampai tidak bisa tidur malam itu karena terus memikirkan apa yang dia ucapkan. Rasanya seperti berbicara dengan seorang profesor ber-IQ tinggi, sementara IQ-ku jongkok. Benar-benar sulit dipahami.
"Jadi, aku harus apa?" tanyaku, keesokannya. Mau berpikir semalaman pun tetap tak menemukan keinginannya.
Chakra mentertawakanku. Tawanya keras dan lepas sekali, dan saat itu aku merasa seperti dipermalukan olehnya. Aku benar-benar terlihat seperti orang bodoh di depannya. Yah, setidaknya, kepolosan dan kebodohanku itu membuatnya mau mengatakan yang sebenarnya ingin dia katakan.
"Coba ikuti kata-kataku," ujarnya, setelah ia puas tertawa. Aku pun mengangguk menurutinya. "Aku harap, harapan Chakra agar aku bisa memiliki dan mengendalikan kekuatan seperti miliknya dapat terkabulkan."
Awalnya aku tak sadar akan apa yang akan ia ucapkan. Tapi, semakin banyak kata yang aku ucapkan seperti yang ia katakan, semakin aku sadar dan paham. Ini seperti membohongi Tuhan - entah kenapa aku malah berpikir demikian. Benar-benar 'harapan orang lain untukku'. Jadi, dia tidak memberikan sebuah petunjuk, tapi dia sudah memberikan jawabannya. Ah, aku berpikir terlalu keras.
Dan, saat aku selesai mengucapkan semua kalimat itu, aku hilang kesadaran. Kata Chakra, itu karena luapan kekuatan yang besar memasuki tubuhku. Benar-benar kekuatan harapan yang mengerikan.
Ah, bagaimana kalau ternyata aku malah menyalahgunakan kekuatanku dengan membuat-buat harapanku terdengar seakan harapan orang lain? Bukankah itu curang sekali? Yah, tapi, harapan Chakra saja sudah sangat besar untuk tubuhku.
☣
Sedih rasanya harus meninggalkan Rumah Chakra. Ya, kami sepakat menyebut Sendang Gong itu sebagai rumah miliknya dan kawanan monsternya. Tempat itu nyaman dan tentram, begitu harmonis keseimbangan alam yang Chakra ciptakan. Ia sudah seperti malaikat di tengah wabah mengerikan ini.
Begitu matahari terbit dan kami telah menghabiskan sarapan kami, kami pun meninggalkan Sendang Gong dengan langkah yang sedikit berat. Meski Chakra bilang ia akan baik-baik saja, aku yakin ia kesepian selama ini. Hanya berkumpul dengan monster dan alam selama ini. Tapi, saat ia bertemu manusia, ia malah harus ditinggalkan kembali. Well, kami berjanji padanya untuk kembali saat semua sudah terkendali.
"Jadi, harapan kalian, harapanku juga," ujarku, setelah aku menceritakan semua yang terjadi saat aku bersama Chakra. Aku tak pernah berkesempatan untuk bercerita pada mereka, karena aku kembali dalam keadaan tidak sadarkan diri. "Menurut Chakra, kelemahan kekuatanku adalah kalau nggak ada yang berharap. Tapi,... Ah, nggak jadi." Aku menggantungkan ucapanku.
"Heh, mau ngomong apa? Jangan disimpen kalau itu penting," tukas Kak Galaksi sambil memukul pelan puncak kepalaku.
"Nggak, nggak jadi," tanggapku. "Jelasnya, sekarang aku udah bisa mengendalikan monster. Chakra juga udah ngajarin cara pakainya kemarin." Aku menyengir lebar, berusaha memperlihatkan agar mereka teralihkan dari ucapanku yang menggantung sebelumnya.
"Hei, 'tapi' apa?" tanya Jay mencoba lembut, tapi di telingaku seperti titah.
Aku menggeleng sambil tersenyum. "Aku butuh harapan yang lain, yang bisa membuatku menghentikan Luciel. Tapi, jangan sembarang harapan, karena kita masih belum tahu kekuatan Luciel yang sebenarnya," ujarku lagi.
"Harapan kalau Kakak sembuh, bisa, nggak, Kak? Soalnya, ngelihat Kak Al pas kambuh, tuh, kayaknya sakit banget," ujar Rei.
"Itu harapan bagus," sahut Tante Nat. "Bukan cuma Rei, tapi aku, Jay, dan Galaksi juga berharap sama. Iya, 'kan?"
Kak Galaksi mengangguk, begitu pun dengan Jay.
Aku menyengir. "Makasih. Harapan kalian jadi doa untukku. Tapi, itu nggak berhasil. Aku udah nyoba sama Chakra," tanggapku ringan. Tapi, ternyata jawabanku malah membuat mereka terlihat terpukul sekali. Bukankah, seharusnya aku yang terpukul? Itu artinya, aku harus hidup seperti ini terus.
"Kenapa?" tanya Kak Galaksi.
Aku menggeleng dan tak menjawab dengan kata-kata. Aku dan Chakra juga tidak bisa menemukan jawabannya. Padahal, Chakra punya begitu banyak pengetahuan, tapi jawaban atas kegagalan harapan itu tak bisa ia temukan. Tapi, bagiku ini mungkin sebuah karma di masa lalu, entah apa.
"Apa itu yang mau kamu bilang tadi?" tanya Kak Galaksi.
Aku menatapnya dan tersenyum. Yah, itu bukan jawaban, sih. Masih ada satu hal lagi yang tidak bisa aku katakan. Kalau aku mengatakannya, mereka pasti akan melarangku menggunakan kekuatan mengabulkan harapan ini. Gimana pun juga, sesuatu yang besar harus dibayar besar juga, bukan?
Perjalanan kami sudah semakin mendekati Surabaya. Tapi, sayang, kami harus berhenti di Kota Lamongan. Hujan yang tiba-tiba mengguyur di tengah jalan membuat kami harus berhenti untui berteduh. Kami tak pernah berjalan menerabas hujan. Hal itu hanya akan menghambat perjalanan lebih lama. Kondisiku pasti memburuk jika terkena demam.
Perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh 17 jam saja untuk sampai di Surabaya, sepertinya harus ditunda. Aku harap, besok kami bisa tiba di Surabaya. Dan, harapan terbesarku adalah agar kami tidak bertemu dengan Luciel dan aku tak perlu menghadapinya. Tapi, itu mustahil. Sebab, Luciel pasti akan melakukan segala cara untuk menemukan dan mendapatkanku, satu-satunya X-Gen perempuan.
Kami berteduh dan beristirahat di Kantor SAMSAT yang sepertinya sudah sebulan lebih ditinggalkan. Kaca jendelanya kusam lengket oleh debu. Lantai terasnya pun berwarna cokelat, campuran debu, tanah, dan air hujan. Tapi, untunglah, kami bisa masuk ke dalam bangunan tersebut untuk menghangatkan diri dan berteduh. Sepertinya, karena wabah ini, efek rumah kaca ditekan jauh sekali, indeks polusi juga berkurang jauh, sehingga cuaca di Jawa Timur yang kata Tante Nat harusnya hangat menjadi dingin.
Kami mengumpulkan beberapa buku dan kertas yang sudah usang dan termakan rayap, menaruhnya di tengah-tengah kami, lalu kami membakarnya untuk menghangatkan kami.
"Al, kamu pucet. Dingin, ya?" Tante Nat mendekat, lalu duduk di sebelahku dan memelukku. "Kayaknya, kamu makin kurus, deh. Apa perasaanku aja?"
Aku terkekeh-kekeh. "Aku, sih, ngerasanya biasa aja, ya."
"Al, aku mau tanya," kata Kak Galaksi, mendadak serius sekali ekspresinya. "Mengabulkan harapan, apa itu membebankanmu?"
Aku menggeleng secepatnya, meski aku harus berbohong. "Nggak tahu, deh. Kayak biasa aja, gitu."
"Tapi, kamu pingsan setiap setelah latihan sama Chakra," sahut Kak Galaksi.
"Katanya, itu karena luapan energi. Gimana pun juga, aku kayak menciptakan kekuatan di dalam tubuhku. Semacam itu," jelasku. "Apa ada yang Kakak harapkan?" tanyaku, seraya menegakkan badan dan menatapnya penasaran.
"Harapan yang kamu sebutkan waktu itu, tentang agar kami nggak terlibat sama Luciel. Aku mau kamu batalin itu, lalu buat kami berguna."
Aku menatapnya lama, lalu aku menggeleng sambil kembali menyandarkan kepalaku pada Tante Nat. "Aku nggak mau mengabulkan itu. Soalnya, aku punya harapan lain untuk kalian, sementara aku berhadapan dengan Luciel."
"Apa?" tanya Kak Galaksi.
"Bawa darahku ke ayahku," jawabku.
"Eh? Gimana cara kami bisa ketemu ayahmu? Kami pasti bakal ditolak mentah-mentah di depan," sahut Jay.
Aku tersenyum. "Aku udah inget semuanya -"
"Hah?!" seru mereka.
Aku terkekeh-kekeh, terkejut dengan respon mereka. "Pokoknya, kalian harus ketemu sama ayahku. Namanya Irfandi Lazuardi Atmadjaja."