***
Reez menatap Aizreen yang terus melamun di meja kerjanya. Dia tak mengatakan sepatah kata pun lagi setelah pulang makan siang. Biasanya sedingin apapun sikap Reez, Aizreen akan selalu mencoba berbicara dengannya.
Jam kerja berakhir. Aizreen membereskan mejanya lalu bergegas pergi. Dia sudah tak pernah pulang dengan Reez lagi karena Reez selalu lembur. Biasanya dia akan bertanya apa hari ini bisa pulang bersama. Tapi sekarang Aizreen rasa tak perlu menanyakan hal itu lagi. Jawaban Reez selalu sama, 'Tidak'.
Di perjalanan pulang Aizreen mampir ke toko kue. Makan kue cokelat kacang selalu membuat moodnya naik.
"Aizreen?" sapa seseorang setelah selesai membayar di kasir.
"Pak Wira!" Aizreen membungkuk sopan. Dia sudah mengepalkan tangan ingin segera pergi. Malas melihat pria tua bangka itu. "Saya permisi duluan!"
"Tunggu!" dia menarik lengan Aizreen membuat Aizreen terkejut dan langsung merentap kasar.
"Apa yang anda lakukan?" marah Aizreen.
"Pindah ke perusahaan saya. Saya akan menggaji kamu lebih besar daripada yang Reez beri."
"Tidak tertarik!"
"Masa depanmu akan lebih terjamin kalau bersama saya."
"Saya nyaman dengan pekerjaan saya sekarang."
"Baiklah. Saya hargai loyalitas kamu. Meski kamu tak mau bekerja dengan saya, kita masih bisa berteman kan? Boleh saya minta kontak kamu?"
"Tidak!" jawab Aizreen lalu pergi.
Tapi tangannya ditarik lagi.
"Kenapa jual mahal sekali?" kata pria itu marah.
"Lepaskan!" marah Aizreen.
"Galak sekali. Tapi saya suka!"
Aizreen menendang pria itu lalu pergi. Menyebalkan.
***
Sudah beberapa kali Aizreen melihat jendela menunggu Reez pulang. Dia ingin menceritakan tentang kliennya yang sudah bersikap kurang ajar padanya hari ini.
Namun, hampa!
Sampai tengah malam Reez tak juga pulang. Aizreen akhirnya tertidur.
Keesokan harinya seperti biasanya Reez sudah berangkat ke kantor duluan. Benarbenar susah sekali ditemui suaminya itu. Aizreen kesal sendiri.
Bu Maryam sebenarnya sering menyuruh Reez lebih meluangkan waktu dengan Aizreen karena mereka sudah menikah. Tapi Reez seolah tak ambil berat tentang itu dan mengabaikan nasihat ibunya.
***
Tak tahan lagi dengan sikap Reez, sesampainya di kantor Aizreen langsung masuk ke ruangan Reez. Namun di sana dia melihat Bella sedang berbicara dengan Reez.
Dan Reez tampak tertawa. Sudah lama Aizreen tak melihat Reez seperti itu.
"Reez, sepertinya ada yang mau istrimu bicarakan. Kita lanjut nanti, aku keluar dulu!" ucap Bella.
"Tak usah, kau di sini saja!" ucap Reez. "Ada apa?" kali ini Reez bertanya pada Aizreen.
"Saya mau mengambil dokumen yang kemarin, Boss!" jawab Aizreen ngasal.
"Ada di meja!"
Aizreen mengambil dokumen di meja lalu minta izin pergi.
Wajah Aizreen merah karena marah.
Bella bisa dengan bebas memanggil nama Reez kenapa dirinya tak boleh? Aizreen membanting dokumen. Kenapa Reez memperlakukannya seperti itu?
***
"Aku dengar Bu Bella akan balik bekerja di sini lagi ya?"
"Katanya sih begitu. Proyek di sana juga sudah selesai."
"Lagipula dari dulu Boss kita itu kan kemanamana selalu dengan Bu Bella. Mungkin dia tak tahan berpisah lama jadi menyuruh Bu Bella kembali."
"Tapi kasian juga si Aizreen. Sepertinya dia juga menyukai boss kita. Kalian lihat kan dia sering sekali melirik ke ruangan Boss kita."
"Iya tapi aku gak terlalu suka dia. Pas awal bekerja dia sangat lengket sekali dengam Boss. Aku justru malah kasian pasa Bu Bella. Syukurlah sekarang Bu Bella kembali."
Mendengar ucapan orangorang di belakangnya membuat Aizreen tersenyum miria untuk dirinya sendiri. Niat hatinya untuk pergi ke kantin dia batalkan.
Aizreen duduk di tempatnya selama makan siang tanpa makan apapun. Dia hanya bolak balik menghidupkan dan mematikan layar hp.
"Antarkan dokumen ini ke kantor Pak Wira!"
Tibatiba sebuah dokumen jatuh di depan Aizreen. "Aku ada meeting dengan orang lain jadi kau saja yang wakili aku," sambung Reez.
"Aku tak mau pergi!" ucap Aizreen dingin.
"Alasan?"
"Aku hanya tak mau pergi."
"Ez, kau tak bisa bersikap sesuka hati begitu! Ini sudah pekerjaanmu. Bella saja yang sudah berpengalaman tak pernah keberatan aku suruh ini itu. Kenapa kau banyak tingkah sekali?"
"Kalau begitu suruh dia saja yang pergi!"
"Ez!
"What?" Aizreen sudah memandang Reez. Matanya merah membuat Reez sedikit terkejut tapi kembali dia kawal ekspresinya. "Sebenarnya apa salahku Reez? Kenapa kau bersikap dingin lagi padaku?"
"Karena itu kau tak ingin pergi?"
"Aku tak enak badan!"
"Jangan buat alasan, Ez!"
Aizreen tak mau membalas Reez lagi. Saat itu beberapa karyawan mulai kembali dari makan siang, Reez pun kembali ke ruangannya.
"Kak Zahra, minta tolong bilang pada Boss aku izin pulang. Aku tak enak badan!" ucap Aizreen pada salah satu rekannya lalu pergi.
***
Aizreen tak mengada. Dia memang sakit. Sampai rumah dia langsung berbaring di sofa.
Sore hari Bu Maryam pulang dia langsung mendekati Aizreen yang tidur dengan masih berpakaian kerja dan di sofa pula. Saat disentuh, badan Aizreen sangat panas.
"Ez, bangun Nak!" Bu Maryam mencoba membangunkan Aizreen.
Dengan kepala pusing Aizreen pun membuka mata.
"Kita ke rumah sakit okay? Sepertinya kau demam! Ayo bangun. Mama papah kamu ke mobil okay?"
Bu Maryam susah payah membawa Aizreen ke mobil.
***
"Ma, Ez kenapa?" tanya Reez begitu sampai di rumah sakit.
"Ez demam. Fisiknya pun lemah, kata dokter makannya tak teratur. Makanya Mama bilang ke kamu untuk lebih memperhatikan Aizreen. Jangan gila kerja. Sekarang lihat kan dia sakit begini? Sudah beberapa kali dia masuk rumah sakit. Mama mengizinkannya kerja denganmu agar kau bisa menjaganya, tapi tetap saja kau tak bisa menjaga Ez dengan benar. Kalau memang sibuk dan tak bisa memberinya sedikit perhatian, kembalikan dia bekerja dengan Mama. Setidaknya Mama bisa mengawasinya. Mama mau pulang dulu, mau masak sup untuk Ez. Kau temani dia!" ucap Bu Maryam.
Reez duduk di samping ranjang Aizreen. Dia memandangi Aizreen yang sedang tidur dengan infus terpasang di tangan.
Setelah berapa lama, Aizreen pun bangun dan melihat Reez menatapnya. Aizreen langsung memalingkan muka. Dia memandang jam di dinding.
"Tumben sudah pulang kerja. Biasanya sebelum tengah malam kau belum pulang. Apa karena aku di rumah sakit? Sebaiknya kau kembali saja ke kantor. Jangan siasiakan waktumu di sini."
"Ez, ayo kita bicara!"
"Kemarinkemarin saat aku sehat kau tak mau bicara padaku. Sekarang saat aku sudah lelah untuk bicara kau mengajakku bicara? Aku capek Reez. Sebenarnya apa yang membuatmu kembali bersikap sangat tak acuh padaku? Bukannya kau sendiri yang bilang bahwa kita akan mulai dari awal lagi. Tapi kenapa sikapmu malah sebaliknya? Apa kau sengaja ingin membalasku? Sikap manis yang kau tunjukkan waktu itu hanya purapura kah? Sebenarnya tujuanmu dari awal adalah membuatku berharap lagi padamu lalu kau hempaskan begitu saja. Iya?"
"Aku serius sangat mengatakan ingin memulai lagi denganmu. Tapi, aku masih tak bisa menerima halhal di masa lalu," ungkap Reez akhirnya.
Aizreen tersenyum sinis, "kau tak bahagia bersamaku? Sebaiknya kau pikirkan kembali pernikahan kita. Mau lanjut atau tidak. Jujur saja aku mengajakmu menikah karena aku tak mau sendirian. Aku tak memiliki siapapun selain kau dan Mama. Aku takut, dan dengan egois ingin kembali masuk ke dalam hidupmu. Bergantung lagi padamu. Tapi sepertinya pernikahan ini benarbenar tak baik untukmu. Kau akan selalu terluka jika bersamaku. Aku minta maaf. Harusnya aku tak kembali. Harusnya aku tak memintamu menikah dari awal. Maaf menyeretmu lagi ke dalam hidupku. Saat pertama kita menikah kau bilang padaku untuk jangan menyesal. Tapi sekarang aku merasa benarbenar menyesal, Reez. Aku tak mau ada di pernikahan ini. Aku serius menyesal." Aizreen mengesat air mata. Setelah cukup tenang dia kembali memandang Reez lalu tersenyum, "aku hanya demam, kembali saja ke kantor. Aku tak mau melihat wajah dinginmu di sini." Senyuman Aizreen masih lebar, seolah dia becanda dan tidak terluka.
Tapi justru senyum seperti itulah yang membuatnya terlihat sangat terluka.
***
Reez masih tak pergi, masih setia menunggui Aizreen. Meski mereka hanya saling diam.
"Assalaamu'laikum!" Bu Maryam masuk membawakan makanan untuk Aizreen.
"Wa'alaikumussalaam!" Aizreen tersenyum saat Bu Maryam datang.
"Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?"
Aizreen mengangguk.
"Alhamdulillah. Sekarang kau makan dulu ya. Mama yang suapi!"
Bu Maryam menyiapkan makanan Aizreen lalu duduk di sampingnya dan mula menyuapi.
"Ma, Ez kembali bekerja dengan Mama boleh?" tanya Aizreen tibatiba.
Bu Maryam sontak memandang Ree lalu tak lama berbalik pada Aizreen lagi.
"Apa Reez memperlakukanmu dengan buruk? Ayo cerita pada Mama!"
Aizreen menggeleng, "Reez memperlakukanku dengan sangat baik. Dia sangat profesional. Tapi, aku merasa aku tak cocok dengan pekerjaan di sana. Aku lebih nyaman bekerja di butik."
Awalnya dia berharap jika bekerja bersama akan membuat hubungan mereka menjadi lebih dekat, tapi ternyata salah. Berada di tempat yang sama dengan Reez justru membuat Aizreen merasa ada jarak di antara mereka.
"Yasudah! Mama terserah padamu saja, yang penting kau nyaman."
"Makasih, Ma!"
.
.
.
Dokter melarang Aizreen pulang. Jadi dia terpaksa menginap. Bu Maryam sudah pulang duluan, sengaja ingin membiarkan Reez menjaga Aizreen.
"Bukankah kau harus meminta izinku dulu sebelum memutuskan pindah pekerjaan?" ucap Reez.
"Meminta izinmu sebagai apa? Suami atau atasan? Kau secara alami sudah mengizinkanku tetap bekerja dari awal kan. Sebagai istri aku sudah mendapat persetujuan suamiku untuk pergi bekerja. Besok setelah keluar dari sini aku akan datang ke perusahaanmu dan secara resmi mengirimkan surat pengunduran diri. Sekarang aku sudah sadar, Reez. Yang kita butuhkan saat ini adalah ruang untuk berpikir. Sebelum kau memutuskan akan dibawa kemana pernikahan ini, aku akan sebisa mungkin meminimalisir rasa keberadaanku di depanmu."
Aizreen yang awalnya duduk mulai berbaring, "sudah larut. Aku ngantuk. Selamat malam!"
Aizreen tidur memunggungi Reez yang duduk di sofa.
***
Bersambung.