Katakan Asa [Open PO]

By kataksaraa_

45.6K 2.9K 1.1K

-β€’| kalem bruuhhh |β€’- . "Kalau Asa capek, Asa bisa ngadu sama Tuhan. Tapi, kalau seumpama tembok yang sering... More

#Ramadanseriesmoccachinopublisher
Sekata
1. Sua Tanpa Suara
2. Berbeda Itu Indah
4. Semisal Aku Serta Waktu
5. Kata Takdir
6. Pada Kerinduan Jatuh Kenangan
7. Silsilah Keluarga
8. Peran Mentari di Sore Hari
9. Ingin
10. Ruang Lain
11. Mencoba Mendekat
12. Mengapa Harus Aku
13. Satu Hari Sebelum Hancur
14. Mimpi Damai
15. Pembelaan Ardi
16. Sederhananya Cerita Bersama
17. Lagi
18. Bersaing

3. Rumah

1.2K 176 146
By kataksaraa_

Lelah yang kentara dari wajah Asa sirna setelah melalui perjalanan panjang bersama kedua sahabatnya. Tidak perlu menunggu lama, Asa pun membuka pintu rumah. Sepi yang ia dapati membuat pemuda itu mengehela napas. Singkat peristiwa yang terjadi di sekolah tadi, membuat senyum Asa enggan luntur.

Ketika banyak orang menyudutkan dirinya dengan mengatakan bahwa yang dilakukannya sebuah kesalahan, maka mereka tidak. Hampir semua orang di madrasah tempatnya belajar tidak pernah ada yang berkata demikian. Berbeda dengan orang-orang di luar sana. Kata demi kata yang hanya Asa balas dengan senyuman, seakan menjadi momok kehancuran paling kelam. Maka dari itu kini kata-kata buruk mereka berperang dengan banyak sorakan hebat dari teman se-madrasah.

Dihempas tubuhnya di atas kasur, Asa memejamkan mata sebentar. Melepas almamater yang sedari pagi membuat anak itu gerah. Tidak lama kemudian tangannya melepas dasi yang mencekik leher, lalu menarik guling ke dalam pelukan.

"Mumpung pada belum pulang, tidur bentar enggak apa-apa kali, ya? Capek banget juga," gumam Asa lirih. Tak berapa lama kemudian, pejamnya sudah erat. Melupakan sejenak lelah yang mendera.

Di balik senyum yang Asa berikan kepada dunia, justru anak itu sedang memikul beban begitu besar. Tiada pernah orang tahu selain keluarganya sendiri apa yang terjadi. Bahkan kedua sahabatnya—Asun juga Saddam—tidak pernah tahu apa yang terjadi di kehidupan seorang Antara Klausa Rahardjuna. Bagaimana terjalnya jalan Asa ketika ia berlari justru orang-orang di sekitarnya memaksanya berhenti. Memaki dengan sepenuh hati sedangkan hatinya tidak berhenti menangis sendiri.

Belum ada sepuluh menit terpejam, pintu kamar Asa dibuka secara kasar. Membuat sang empu yang baru saja menyelami mimpi terlonjak kaget. Reflek tangan Asa mengelus dadanya, merasakan debaran jantung bertambah cepat.

"A-abang, udah pulang?" tanya Asa gugup.

"Hm. Laper, masak cepet!"

Brak!

Belum sempat menjawab, pintu kamar Asa kembali ditutup tak kalah kasar. Si empu pemilik kamar, kembali mengelus dada yang berdenyut nyeri. "Sabar, ya. Jangan nakal dulu. Asa masih punya banyak rencana dan akan ngalahin kamu," ucap Asa sembari meremat dadanya.

Alih-alih mengganti pakaian, pemuda itu langsung bangun dan merapikan kamarnya sebentar. Lantas berjalan menuju dapur dengan cepat. Tidak butuh waktu lama untuk berpikir keras. Bahan makanan yang berada dalam almari penyimpanan masih cukup untuk menyiapkan makan malam sekaligus.

Jika ditanya apakah keluarga Asa tidak menyewa asisten rumah tangga, jawabannya iya. Mereka menyewa seorang ART wanita yang akan berkerja untuk setengah hari. Karena separuhnya akan diberikan kepada Asa secara paksa.

Asisten rumah tangga yang bekerja aslinya tidak enak hati. Berulang kali Asa mengingatkan untuk tidak melebihi batasannya, sebab ART yang dipekerjakan mereka pun terlampau baik kepada Asa. Bahkan Asa sampai memanggilnya dengan sebutan 'Ibu' secara khusus untuk wanita yang berkerja itu.

Tidak lama juga Asa memasak, hanya butuh waktu kurang lebih empat puluh lima menit untuk membuat lauk pauk seperti tahu tempe goreng dan juga sayur bayam kesukaan sang kakak serta kedua orang tuanya. Selesai memasak, Asa membawa nampan berisi makanannya perlahan menuju ruang makan. Di sana sudah ada wanita paruh baya yang sedang menatap layar ponselnya lekat.

"Mama, udah pulang?" tanya Asa. Tangannya sibuk menata makanan di atas meja. Sedangkan Mama hanya berdehem singkat sebagai jawabannya. Mau tidak mau Asa menelan kembali bulat-bulat pertanyaan yang akan kembali ia lontarkan.

"Panggil Satria cepat! Sebentar lagi Mas Dharma juga pulang. Kamu cepat bersih-bersih sana! Saya tidak mau keadaan akan semakin kacau gara-gara anak pembawa sial seperti kamu," tukas Mama cepat.

Di tempatnya berdiri, Asa meremat apron yang ia gunakan untuk menutupi seragam putih abu-abu yang masih melekat. Air mata yang hendak turun begitu saja ia tahan lagi.

"Tunggu apa lagi? Cepat pergi dari sini!" Pekikan Mama membuat Asa sadar, lantas berjalan menuju dapur dengan cepat.

Tangan mungil Asa dengan cekatan membersihkan dapur. Mencuci peralatan memasaknya dan meletakkan kembali pada tempat semula. Apron yang masih melekat pun ia tanggalkan di tempatnya, lalu melipir ke kamar sang kakak.

Tok tok tok

"Abang, makanannya udah siap. Ditungguin Mama di bawah. Bentar lagi Ayah juga pulang," ucap Asa.

Pintu terbuka menampilkan wajah datar Satria—kakak keduanya, yang terlihat baru saja mandi. Kentara bahwa rambutnya setengah basah kemudian handuk yang masih disampirkan di bahu.

"Berisik."

Hendak menjawab, Satria sudah membungkam mulut Asa dengan sorotan tajam. Lalu pergi tanpa pamit. Raut wajah Asa berganti sendu. Matanya masih tertuju pada sang kakak yang pergi menjauh dari hadapannya.

"It's okay, Sa. Jangan galau kayak orang diputusin sama gebetan, deh. Mending mandi habis itu salat. Semangat aku!"

Kata-kata kecil itu yang selalu Asa agungkan ketika ia hampir saja menyerah. Kalau bukan diri sendiri siapa lagi?

***

Malam tiba. Udara dingin masuk melewati celah lubang yang ada di setiap rumah. Baik dari ventilasi udara maupun jendela yang terbuka. Dari sore hari, Asa hanya berdiam diri di kamarnya. Membaca buku juga menilik pekerjaan OSIS-nya yang baru saja diberitahukan di grup online.

Bibir Asa tidak berhenti mengikuti alunan murottal Al-Quran yang ia putar dari laptopnya. Menjadi pengiring ketenangan dalam jiwa yang sudah lama menahan lara.

Getar ponsel yang ada di samping laptop membuat atensinya beralih. Dengan cepat Asa buka dan membaca sederet pesan yang masuk.

Bang Satria
|| Mau begadang, ada latihan OSN. Beliin martabak di perempatan komplek. Laper.

Sudah banyak helaan napas yang keluar dari bibir mungil Asa. Perlahan pun anak itu mengirim balasan untuk sang kakak.

Asa
|| Iya, Bang. Kayak biasanya, 'kan?

Bang Satria
|| Y
|| GPL

Dirapikannya kembali peralatan sekolah yang berserakan di meja belajar. Kemudian menarik jaket yang Asa tanggalkan di dalam almari, sembari merogoh kotak berisi beberapa uang  tunjangan kehidupannya.

Angin malam tidak pernah baik untuk tubuh Asa yang rentan terhadap penyakit. Namun, bukan Asa yang tidak pernah melawan perintah jika orang memberikan titah. Dengan cepat Asa berjalan menuju perempatan komplek yang tidak jauh dari rumahnya. Cukup memakan waktu sepuluh menit untuk mendapati sebuah kedai kecil yang menjual jajanan martabak dengan khasnya.

Kedua bola mata Asa melebar kala mendapati begitu banyak pengunjung yang sedang menunggu. Persis seperti antrean sembako. Kalau seperti ini pasti akan memakan waktu cukup lama.

"Pak, Asa martabak kayak biasanya buat Bang Satria," teriak Asa ketika sampai di depan penjual martabak.

"Siap, Dek Asa. Tunggu antrian nomor dua belas, ya!"

Ingin sekali rasanya Asa menyerobot dan mendahui para anak muda sampai kalangan orang tua yang berjajar rapi di tempat duduk yang tersedia. Bahkan Asa ingin sekali menggunakan hak istimewanya sebab ia tak bisa berlama-lama di luar dengan kondisi malam yang kian menggelap.

Memang bebal anak satu itu. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima menit, dan kedai martabak yang Satria inginkan akan bertambah ramai jika tengah malam menjelang.

Dengan banyak rapalan doa, Asa terus menggumam kalimat zikir. Dan, hampir satu jam lamanya Asa hanya duduk di kursi tunggu sembari merapatkan jaket ketika dingin semakin menusuk kulit.

"Ini, Pak, uangnya. Kembaliannya buat Bapak aja. Makasih, Pak." Segera mungkin Asa pergi dari keramaian yang kian menjadi.

"Sehat-sehat terus, Le."

Hanya kata itu yang Asa dengar samar setelah beranjak dari kedai martabak. Ia berlari kecil untuk segera sampai di rumahnya. Mengingat ini sudah pukul sebelas malam. Apabila ketahuan keluar malam, pasti akan runyam suasananya.

Tak fokus ketika ada karet yang menjadi pengganti polisi tidur, Asa pun terjatuh dan menimbulkan suara debumam yang cukup keras. Tubuh ringkih tersebut bertemu dengan tanah yang sudah terpoles aspal.

"Aw ...." ringis Asa kala merasakan tangannya tergores oleh aspal jalan. Perlahan, tetapi rasa sakit mulai menyebar ke seluruh tubuh.

"Asa!" Pekikan dari kejauhan membuat atensi Asa beralih. Merapikan bajunya lantas berdiri dengan cepat.

"Ngapain keluyuran malam-malam gini? Kamu itu bebal banget, ya? Pantesan Pak Dharma sama keluarganya anti banget sama kamu."

Deg

Ucapan tetangga komplek yang kebetulan mendapati jaga malam demi keamanan komplek mengenai tepat dalam hatinya. Memperparah luka yang sudah ia samarkan rapi-rapi.

"Bener banget. Dasar anak enggak guna. Mau jadi berandal malam kamu? Pak Dharma pasti enggak tahu anaknya keluar hampir tengah malam gini," timpal lelaki satunya yang sedang membenahi sarung. "Semoga anak kita enggak kayak Asa, ya, Pak Ali."

"Iya, Pak Syam. Semoga anak-anak kita jadi anak baik-baik. Enggak kayak Asa. Aamiinn."

Senyum tipis Asa berikan. "Maaf, Pak, kalau seandainya Asa mengganggu kenyamanan ronda Bapak. Asa pamit, As-salamu'alaikum."

"Cih, sok manis. Lain kali kalau keluar malam sekalian aja sampai pagi, jangan tanggung-tanggung sampai tengah malam doang."

"Nah, itu juga yang ada di paper bag apa? Jangan-jangan kamu habis minum atau ngobat ya, Sa?"

Dengan cepat Asa menggeleng cepat dan melepas cekalan Pak Syam. Sedangkan Pak Ali menggelengkan kepala di tempat.

"Weslah, Pak Syam. Ngaleh wae. Lek awak e rusak lagek nyesel buri," ucap Pak Ali dengan nada kesal.

"Sa, kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang. Ojo dirusakne. Sakne wong tuwamu wes mati-matian nguripne awakmu. Awakmu malah koyok ngene," imbuh Pak Syam.

Nada khawatir tersirat samar dari Pak Syam. Tiada bisa Asa jawab selain dengan anggukan kecil dan beberapa kata maaf. Sesekali ia juga menarik senyum tipis untuk membalas ucapan keduanya. Lantas berpamit dengan cepat untuk menghindari sakit yang semakin menjadi dalam hatinya.

Kepalan tangan kian menguat. Sampai Asa tidak sadar kalau sudah sampai di depan rumahnya. Buru-buru ia mengusap sudut matanya yang akan mengalirkan pertahanan bulir mutiaranya.

Perkataan orang di sini selalu seperti itu. Tidak pernah beranggapan baik dengan dirinya yang sedang mati-matian menahan sesak dalam dada. Langkah kaki Asa kembali dipercepat. Membuka pintu utama dan menuju kamar Satria. Belum sampai lima langkah, dari dapur terdengar interupsi berat yang membuatnya mematung di tempat.

"Udah keluyurannya?"

"A-ayah," kata Asa terbata-bata.

"Hm. Lupa?"

Nada yang Ayah keluarkan terdengar sangat dingin. Bola matanya menahan amarah, sedangkan tangannya mencengkram gelas berisi kopi panas yang terlihat mengepul uapnya. Kaki Asa tiba-tiba bergetar. Tak berani menatap ayahnya dan memundurkan langkah kecil.

"Maaf." Ucapan Asa membuat amarah Dharma kian memuncak.

"Dasar anak tidak berguna. Besok keluar malam lagi, ya? Habis itu jadi bahan gunjingan tetangga."

Pyarr

Brukk

***

[TBC]

Oke, jan lupa vote and komennya!!!

*Nb :
- Le : Panggilan dalam bahasa Jawa untuk anak laki-laki
- Weslah, Pak Syam. Ngaleh wae. Lek awak e rusak lagek nyesel buri : Sudahlah, Pak Syam. Mengalah saja. Kalau tubuhnya sudah rusak baru menyesal belakangan.
- Ojo dirusakne. Sakne wong tuwamu wes mati-matian nguripne awakmu. Awakmu malah koyok ngene : Jangan dirusak. Kasihan orang tuamu yang mati-matian menghidupi kamu. Kamu malah kayak gini

Imaji, 14:29 WIB
15.04.21

Salam manisss dari Pidaaa^^

Continue Reading

You'll Also Like

374K 30.2K 45
ERLAN PANDU WINATA , anak kedua dari ZIDAN WINATA. Terlahir dari keluarga berada, hidup penuh dengan kemewahan ia tak pernah kekurangan dalam segala...
1.8K 66 4
Argantara Brahmana harus mengalami kenyataan pahit setelah ayah kandungnya meninggalkannya untuk selama-lamanya. Tidak ada satupun keluarga yang meny...
3.5K 397 43
"Jika datangmu hanya untuk bercanda, mengapa pergimu meninggalkan luka?" Asmita. Rasanya masih seperti kemarin, saat pertama kali aku menyapamu, "Ha...
2.3M 68.6K 65
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...