DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]

By RestiatulFitriah

27.4K 1K 53

"Maaf, saya harus menuruti keinginan ibu saya, Ayu," lirih Dokter Amar. Apa jadinya setelah melewati semua ri... More

Bab 1. Ayu Ratnasari
Bab 2. Dikecewakan Lelaki Lagi
Bab 3. Niat Baik Bukan Menutupi Aib
Bab 4. Dikecewakan Mantan
Bab 5. Kecolok Eyeliner
Bab 6. Sabar Masih Pagi
Bab 7. Mereka Kembali
Bab 8. Kikuk Setengah Mati
Bab 9. Cek Kehamilan
Bab 10. Dokter Amar Bramasta
Bab 11. Akuntansi yang Kucinta
Bab 12. Tiba-Tiba Genit
Bab 13. Tercipta Rasa Terlarang
Bab 14. Mulai Pendekatan
Bab 15. Gara-gara AC
Bab 16. Tenggelamkan Saja
Bab 17. Emoji Cinta
Bab 18. Jangan Begadang
Bab 19. Malam Mingguan
Bab 20. Kekasih Amar?
Bab 21. Jaga Jarak
Bab 22. Saingan Dengan Model
Bab 23. Gadis Bak Gembel
Bab 24. Pilihan yang Berat
Bab 25. Melepas Pasrah Segalanya
Bab 26. Hilang Dalam Genggaman
Bab 27. Dilabrak Calon Mertua
Bab 29. Berjuang Bersama
Bab 30. Demi Istriku
INFO! TERBARU

Bab 28. Kabar Duka

1K 36 10
By RestiatulFitriah

Sesampainya di depan rumah, sebuah mobil yang sangat Ayu hafal terparkir. Ia dengan cepat berlari masuk, menemukan Amar sedang berbicara dengan bapak dan ibunya. Ningsih duduk gelisah di samping Asih, wajahnya ditekuk masam, sedangkan anaknya tertidur di pangkuan. Kedatangan Ayu sangat tak diharapkan, tadinya Amar ingin menjemputnya, tapi mengapa sudah pulang di waktu yang tak seharusnya?

"Tadi gua telpon gak diangkat!" ketus Ayu.

Amar tertawa. "Kenapa? Kok udah pulang? Bukannya sore, ya?"

Ayu tidak bisa duduk, semua kursi di sana sudah terisi penuh. Jadi, ia tetap berdiri. Tadinya, ia ingin menceritakan kedatangan Asinta, tapi setelah Amar menjelaskan kedatangannya ke rumah untuk menentukan tanggal pernikahan. Tiba-tiba rasa takut kehilangan dan gangguan dari Asinta seketika hilang. Amar memutuskan, bulan nanti mereka akan menikah. Rumahnya sudah bisa ditempati, tidak jauh dari rumah sakit tempat kerjanya.

Setelah Asih dan Haryanto menyetujui niatnya, Amar mengajak Ayu pergi. Katanya siap memilih pernak-pernik pernikahan. Jadi, ada kesempatan pula bagi Ayu untuk menceritakan kedatangan Asinta. Hanya ingin bertanya, mengapa bisa mengetahui bahwa mereka akan menikah?

"Padahal, saya enggak cerita sama ibu. Serius tadi datang nemuin kamu? Kamu gak papa, kan?" Amar terlihat khawatir.

Ayu menggeleng lemah. "Malu, sih, ditonton temen SMA!"

Amar menoleh, tidak percaya lalu kembali menatap ke depan fokus mengemudikan mobilnya. "Saya, cerita ke Tia sama Bidan Desi kemarin."

"Mungkin, mereka yang bilang?" tebak Ayu.

"Mungkin, mustahil kalo Dokter Fadil. Untungnya, saya gak bilang bulan depan nikahnya," ucap Amar tenang.

Mendengar kapan menikahnya, Ayu seketika mendapat ide. "Gimana kalo nikahnya jangan rame? Biar gak ngundang netizen!" sarannya.

"Gimana kalo minggu besok saja kita nikahnya?" tanya Amar semakin semangat.

Ayu terdiam. "Gila, cepet amat!"

"Kenapa? Daripada banyak netizen, loh."

Jadi? Apakah Ayu akan mengiyakan saran dari Amar? Toh, mereka sudah memiliki tabungan masing-masing untuk rumah tangga kecilnya. Sampai di sebuah toko sewa baju pengantin, tanpa ragu Amar menyebutkan bahwa pernikahan mereka berdua akan berlangsung minggu depan. Ayu masih ragu, tapi ia mengiyakan saja. Selanjutnya, tinggal mengurusi ke kantor KUA. Beruntungnya Ayu sudah berusia 20 tahun. Kembali ke rumahnya, Haryanto dan Asih awalnya tersentak kaget.

Saat Ningsih mendengar, ia semakin geram dan mendoakan agar pernikahan mereka berdua batal! Mengapa? Diam-diam Ningsih menyukai Amar dan tidak pernah menyangka dokter yang membantunya saat persalinan, malah menyukai adiknya! Itu tidak adil baginya. Seharusnya Amar untuknya, tapi mau dikemanakan Hamdan? Memang, Ningsih selalu iri akan kebahagiaan Ayu. Merasa lebih cantik dan seksi, sedangkan adiknya? Jauh sekali.

"Ning, bilang ke Hamdan, datangnya besok aja biar bisa bantu," titah Haryanto.

Ningsih menoleh malas, anaknya masih tertidur lelap. "Iya, nanti dibilangin!"

Haryanto berjalan ke luar dari kamarnya, menemui Asih yang asik menyantap nasi goreng pemberian Amar.

"Kamu tahu tidak, Ningsih kok mukanya kaya ngono, ya?"

"Kumaha? Ningsih, kayak biasa, Pak."

Haryanto menggeleng tegas. "Ora! Dia kayak ora seneng, Ayu lan Amar pengin menikah," bisiknya, takut terdengar oleh Ningsih.

Asih menghentikan suapan terakhirnya. "Iya juga, dari tadi kok, gak ngomong apa-apa, ya? Kayak dipendem."

"Tuh, kayane kaya ngono!"

Curiga mereka memang benar, Ningsih sama sekali tidak menyetujui Amar dan Ayu menikah. Apalagi setelah kabar pernikahan mereka satu minggu lagi. Terpaksa, ia memberikan kabar, bagi Hamdan sangatlah bahagia.

"Alhamdulillah, gak nyangka, Ayu dapet dokter!" seru Hamdan di ujung sana.

"Biasa aja," balas Ningsih tak suka.

"Yee ... beruntung, dong! Oh, ya, Ning, aku kirim uang bulanan semuanya, ya."

"Lah, entar abang makan gimana? Mau puasa sebulan, ha?"

Hamdan tertawa. "Tenang, semuanya beres kok. Besok sebelum berangkat ke Bandung, saya langsung transfer ke rekening kamu, ya."

"Iya." Ningsih menjawab singkat.

Jauh untuk digapai gampang, Hamdan tersenyum kecil. Menatap potret istri dan anaknya yang terbingkai dalam sebuah pigura. Selanjutnya, malam berganti pagi. Suara burung kecil menemani. Seperti biasa Ningsih langsung memandikan anaknya, sebelum memakaikan baju, panggilan video dari Hamdan membuatnya cepat mengangkat. Anaknya yang sudah berusia satu tahun itu tertawa, menepuk layar ponsel.

"Ning, barusan aku transfer. Kemungkinan nanti sore aku sampai sana, ya."

"Iya, hati-hati di jalannya."

Hamdan tersenyum kecil, lalu berkata, "Gunain uangnya baik-baik, jangan boros. Kita gak tau ke depannya gimana."

Ningsih menghentikan aktivitasnya memberikan bedak bayi di wajah anaknya. "Siapa juga yang boros? Abang, tuh! Suka beli segala macam kalo pulang," protesnya.

"Hahah, iya! Aduhh ... anak bapak sudah besar, ya. Mau main ke mana besok? Ke taman atau ke mall?"

Bayi mungil berumur lima bulan yang sedang belajar tengkurap itu tertawa, Ningsih pun mengajaknya belajar bicara. "Ha, ha! Baba!"

"Nanti ketemu, bapak, ya ...." Hamdan melambaikan tangannya.

"Udah, ya, Ning mau mandi."

Dari balik celah pintu kamar yang sedikit terbuka, Ayu tersenyum senang. Sebuah keluarga kecil tetap bahagia meskipun jarak memisahkan mereka. Asih datang siap mengajak cucunya bermain di luar, sambil berjemur dan mulai berbincang ria dengan tetangga. Ayu sendiri sudah bersiap dengan baju rapi, tentunya mulai mengurusi acara pernikahannya. Melihat penampilan adiknya sangat rapi, Ningsih berhenti melangkah.

"Ke mana lu?"

"Ke luar," balas Ayu sambil menutup pintu kamar.

Ningsih tersenyum miring. "Awas, dokter kandungan itu." Ia pun melangkah pergi, meninggalkan Ayu yang mengerutkan kening dalam.

"Apa urusannya?" tanyanya.

Seperti janji kemarin, Amar datang menjemput. Para tetangga terkagum-kagum dan tak hentinya memuji Ayu yang beruntung akan menikah dengan seorang dokter. Di perjalanan, hubungan mereka semakin mengerat. Amar tak hentinya menjaili Ayu, dengan cara menarik rambutnya bahkan mengacaknya sampai berantakan. Memasuki ruko tukang foto, tidak pernah tangan kirinya lepas dari pinggang Ayu.

Siang pun datang, memaksa mereka menghabiskan waktu di warung makan pinggir jalan. Kembali, seorang pengemis datang dan mendoakan keluarga kecil mereka. Padahal belum sampai menjadi suami istri yang sah. Saat Amar siap penyuapi Ayu dengan ayam bakar miliknya, ponsel Ayu berdering nyaring. Panggilan dari tetangganya, yaitu Enung.

"Apa?" Ayu menatap kosong ke depan, sedangkan Amar mengerutkan kening dalam.

Bagai petir di siang bolong, panggilan video Hamdan dan Ningsih tadi pagi masih tergambar jelas. Sebelum sore hari yang dijanjikan sampai berada di rumah, tepat pukul dua siang kabar tak diharapkan itu datang. Nafsu makan Ayu hilang, saat telinganya menangkap jelas Enung memberikan informasi, bahwa Hamdan kecelakaan dan sekarang kritis di rumah sakit. Tanpa menunggu lama mereka segera pergi menuju rumah sakit, tapi panggilan lain kembali masuk.

"Yu, Hamdan udah dibawa ke rumah." Gemetar Enung memberikan kabar kakak iparnya itu.

"Ayu, tenang, kita langsung pulang." Amar melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, melewati beberapa mobil yang parkir sembarangan.

Hingga, tubuh Ayu menjejak tanah pekarangan rumahnya. Dipenuhi manusia memakai baju warna-warni, tidak seperti di film yang biasanya serba hitam. Semua pelayat itu adalah tetangganya sendiri, memakai penutup kepala, sedangkan para pria sudah memegang cangkul siap pergi ke pemakaman. Ayu menghambur masuk diikuti Amar, menemukan sosok terbaring memanjang ditutupi samping kain batik.

Di sampingnya, Ningsih menangis tanpa penutup kepala seperti pelayat lain. Asih berusaha menenangkan anaknya, Haryanto masih khusyuk membaca surat Yasin untuk ketiga kalinya. Ayu menghampiri Ningsih, anaknya entah berada di gendongan siapa sekarang. Amar terpaku, tidak menyangka kabar bahagia satu minggu lagi menikah, malah memberikan kabar duka terlebih dahulu.

"BANGUN, BANG!" Ningsih menjerit, memukul tanpa tenaga dada jasad suaminya yang tertutupi itu.

Ayu tak mampu menahan air matanya, ia mencoba memeluk Ningsih, tapi kakaknya itu enggan ditenangkan.

"Kenapa balik kayak gini? Kita bakal pergi main sama Dani anak kita, Bang ... ayo bangun, anak kita nangis dari tadi manggil elu, Bang!" Ningsih terus mengoceh, untuk kesekian kalinya ia kembali pingsan.

"Astagfirullah." Ayu kewalahan lalu dibantu oleh tetangganya, membawa Ningsih ke dalam kamar.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 109K 28
Yg gk sabar jangan baca. Slow up !!! Bagaimana jika laki-laki setenang Ndoro Karso harus menghadapi tingkah istrinya yang kadang bikin sakit kepala. ...
Zea By NonaHyoJae46

Teen Fiction

9K 210 68
Arga tampak terdiam dihadapan sosok yang begitu ia kenali.Seketika tubuhnya lemas melihat seseorang yang saat ini tengah terbaring di meja operasi se...
159K 6.1K 37
Melly yang sudah berusaha move on dari Rahma pun gagal.Bertahun-tahun sudah Melly berusaha namun Rahma datang dan merobohkan tembok yang sudah Melly...
485K 15.8K 32
Dax, bangun di sebuah kamar hotel dalam keadaan telanjang bersama dengan seorang wanita yang bukan pacarnya. Setelah mengetahui wanita itu ternyata...