"Sorry ...."
~Happy Reading~
***
"Mau ngomongin apa?" Latisha membuka pembicaraan. Dirinya dan Gavian saat ini tengah berjalan-jalan santai di sepanjang koridor.
Lebih tepatnya, Gavian yang menarik tangannya dan mengajaknya dengan alasan hendak membicarakan sesuatu.
Gavian menghentikan langkahnya tepat di depan ruang laboratorium. Ia melepaskan genggaman tangannya dari Latisha, lalu membalikkan badannya menghadap gadis itu.
Hening. Bukannya menjawab pertanyaan Latisha, Gavian malah diam sembari menatap lamat gadis di depannya saat ini.
"Kamu mau ngomongin apa?" Latisha bersuara kala mendapati Gavian yang tak kunjung mengeluarkan kalimatnya.
Tatapan Gavian yang semula lekat dan dalam, kini terlihat melemas dan sendu (?) Lelaki itu menundukkan kepalanya, mengalihkan pandangannya yang semula seperti tak lepas dari kedua mata coklat gelap milik Latisha.
"Kamu mau ngomongin apa, Gavian?!" Latisha kembali mengulang pertanyaannya. Ia telah cukup jengkel sekarang.
Gavian nampak melirik Latisha sejenak, setelahnya kembali menunduk. Ia terlihat menggigit kecil bibir bawahnya.
"Kita ..." Ia memulai kalimatnya. "hubungan persahabatan kita, berakhir sampai di sini."
Diam. Suasana berubah menjadi hening. Latisha tak lanjut membalas.
"Lo tau 'kan kalo gua udah punya pacar sekarang. Jadi, demi ngejaga perasaan dia, kita--"
"Aku tau," sela Latisha. Ia memotong ucapan Gavian. "Kalo itu yang kamu mau, aku bakal menjauh. Aku sadar diri, kok."
"Maaf Tisha, gua--"
"Makasih buat semuanya. Selamat tinggal." Lagi-lagi Latisha memotong Gavian. Gadis itu tampak tersenyum sejenak, kemudian melangkah pergi melewati Gavian yang diam mematung di tempat.
Beberapa detik setelahnya, Gavian sontak tersadar dan membalikkan tubuhnya dengan cepat. Tangannya mengulur hendak mencegat langkah Latisha. Namun, telat. Latisha sudah pergi jauh meninggalkannya.
"Tisha," gumam Gavian lirih.
***
Latisha berlari kencang, meninggalkan area sekitaran ruang laboratorium. Tanpa izin sama sekali, air matanya tiba-tiba menerobos keluar, membasahi kedua pipinya.
Kenapa aku nangis?! batinnya merasa aneh dengan dirinya sendiri. Entah kenapa dadanya terasa sesak. Ia sama sekali tak mengerti kondisi apa yang terjadi padanya saat ini.
Buru-buru ia menghapus air matanya kasar, tanpa menghentikan langkah kakinya yang masih berlari dengan cepat.
Bruk!
Latisha berhenti kala merasakan kalau dia telah menabrak sesuatu. Ia menengadah, mendapati Narendra yang menatapnya bingung.
Keduanya saling tatap-menatap selama beberapa detik. Hingga tanpa terduga, air mata Latisha mengalir semakin deras.
"Lo kenapa nangis?!" panik Rendra. Ia refleks menangkup wajah Latisha dengan kedua telapak tangan lebarnya.
Latisha tak membalas, ia malah semakin menatap dalam kedua manik hitam Narendra dengan air mata yang masih mengalir tanpa seizinnya.
Tak kunjung mendapat jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan, Narendra dengan cepatnya malah memeluk erat tubuh Latisha.
Latisha kaget sejenak dengan apa yang Rendra lakukan. Namun setelahnya, ia malah semakin membenamkan wajahnya di dada bidang lelaki itu.
Seketika Narendra dapat mendengar isakan Latisha dalam pelukannya. Bahkan, dapat ia rasakan jika bajunya sedikit basah sekarang. Gadis itu menangis, menumpahkan segala rasa tak mengenakkan yang bersemayam di dadanya.
Narendra ikut memejamkan kedua matanya. Pelukannya semakin erat pada tubuh Latisha, tangannya perlahan mengusap surai hitam milik gadis itu.
Lagi-lagi lo nangisin dia. Nangisin orang yang sama sekali gak pantas buat ditangisi! Narendra membatin kesal. Dia itu betul siapa yang gadis itu sedang tangisi.
.
.
.
.
.
Latisha perlahan melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Ia berjalan gontai menuju kamarnya di lantai atas.
Blam!
Pintu tertutup. Latisha menghela nafas kasar, merasa sedikit beruntung karena hari ini mamanya tak ada di rumah. Ia sedang tak mood untuk mendengar amarah. Dia ingin sendirian.
Perlahan kakinya berjalan menuju balkon kamarnya. Gorden besar yang menutupi pintu ia buka sedikit demi sedikit, membuat sinar matahari perlahan memasuki ruang kamar dengan nuansa putih tersebut.
Ini mungkin kali pertama ia membuka gorden yang menutup seluruh kamarnya, semenjak Alisha dinyatakan kehilangan penglihatannya.
Ya, semenjak hari itu Latisha seolah tak menemukan cahaya dalam hidupnya lagi. Kamarnya pun ia tutup rapat tanpa boleh ada cahaya yang menerobos masuk kedalam. Hanya ada kegelapan di dalamnya selama hampir sembilan tahun.
Kedua matanya menyipit kala sinar mentari menusuk. Pintu kaca balkon yang berdebu, perlahan ia buka.
Wush ...
Seperti sebuah kebetulan, angin sejuk menerpa wajahnya tepat saat dia telah melangkah keluar.
Latisha berjalan hingga ke tepian balkon, memegang pagar pembatas yang dipasang. Ia menatap kosong langit biru yang perlahan ingin menguning.
Cobaan apa lagi sekarang, Tuhan? Setelah kasih sayang kedua orang tuaku yang Engkau hilangkan, kini giliran kisah persahabatanku yang Engkau putuskan? Ujian apa ini? Kenapa begitu kejam? Latisha membatin lirih. Benaknya penuh dengan berbagai macam pertanyaan kepada Sang Pencipta.
Sahabat pertama yang dia punya, kini ikut menjauh seperti kedua orang tuanya. Tak ada lagi tempatnya untuk pulang. Tak ada lagi tempatnya untuk bersandar. Semangatnya telah memudar, cahayanya telah padam, harapannya telah menghilang. Tidak ada lagi tujuan dalam hidupnya. Ia kembali ditinggal sendirian. Sendirian dengan berjuta kepedihan.
"Apa aku masih sanggup buat jalani hidup ke depannya?" gumamnya dengan setetes air mata yang perlahan jatuh membasahi pipinya.
***
Helaan nafas berat terdengar di sebuah kamar dengan nuansa Navy blue. Seorang remaja menduduki dirinya di sebuah singel-bed yang sedikit berantakan, khas kamar seorang laki-laki.
Dia, Gavian, yang kini terlihat kusut dan seperti tak bersemangat. Ia baru saja kembali ke rumah sekitar lima menit yang lalu, seusai menyelesaikan sekolahnya.
Wajahnya menunjukkan rasa lelah. Ia memijit pelipisnya. Kepalanya terasa sedikit pusing. Banyak hal yang terjadi hari ini. Mulai dari hal-hal kecil, sampai hal besar sekalipun.
Ia menoleh, mencari handphone miliknya di dalam tas. Setelah ditemukan, dihidupkannya handphone tersebut.
Tangannya dengan lincah membuka sandi yang mengamankan ponselnya itu. Selanjutnya, ia terlihat membuka aplikasi galeri, tempat penyimpanan foto-foto dari kamera maupun dari aplikasi lainnya.
Perlahan ia merebahkan dirinya, memposisikan tempat yang nyaman untuk melihat kembali isi galeri-nya. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba sangat ingin membuka aplikasi tersebut.
Jarinya terus menggulir foto-foto yang terpampang di layar handphone, hingga gerakannya terhenti pada sebuah foto. Foto dirinya dengan seorang perempuan.
Senyumnya seketika mengembang. Ia menatap dalam dan penuh arti foto tersebut. Sampai tak lama setelahnya, senyumnya tiba-tiba saja memudar. Tatapannya berubah sendu ke perempuan yang berada di foto.
Ia menatap lamat wajah gadis itu sejenak. Kelang beberapa detik, jarinya kembali bergerak, mengarah ke sebuah ikon berbentuk kotak sampah. Ia menekan ikon tersebut, lalu memilih pilihan 'Yes' yang tertera. Dan seketika, foto yang tadi pun menghilang, tergantikan dengan foto yang berbeda.
"Sorry," lirihnya kecil, tak ada siapapun yang dapat mendengarkan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
~To Be Continued~
Jangan lupa Vote, komen, share, sama follow 😊🙏
Oh ya, kalo mau tanya-tanya ke aku silahkan mampir ke ig-ku @nabilarosa1703
Bye-bye...
See you...
🙌🙌
This Really Hurts