Aluka (Proses Penerbitan)

By Elfmda

215K 13.5K 1.5K

"Ma, Aluka sakit. Boleh aku tidur sama mama?" "Pergi! Kamu di rumah papamu saja!" ··· "Aluka buatin makanan k... More

Aluka Alkenzia
Part 1~ Tersisih ~
part 2~Luka lama~
Part 4~Enggan Pergi~
Part 5~Perlakuan lain~
Part 6~Hari yang melelahkan~
Part 7~Mereka Kembali~
Part 8~Pernyataan Pahit~
Part 9~Pernyataan pahit 2~
Part 10~Menutupi luka~
Part 11~Perpustakaan tempat suka duka~
Part 12~Harga diri yang kau hancurkan~
Part 13~Patah hati~
Part 14~Tertawa sejenak~
Part 15~Ketidaksengajaan berakhir menyakitkan~
Part 16~Malam menyakitkan~
Part 18~Berbohong mungkin lebih baik~
Part 19~Kenangan cinta masa kecil~
Part 20~Jahat~
Part 21~Anak haram~
Part 22~Dibuang~
Part 24~Bukan Pembunuh~
Part 25~Terhakimi~
Part 26~Persidangan~
Part 28~Mulai peduli~
Part 29~Berpura-pura~
Part 30~Kebencian sekolah~
Part 31~Memaafkan~
Part 33~Kebakaran~
Part 34~Takut kehilangan~
Part 35~Siapa saya?~
Part 36~Awal yang baru~
Part 38~Kenyataan Awal~
Part 40~Jantung Berdebar~
Part 41~Jejak luka~
Part 42~Sikap Manis~
Part 43~Cewek spesial(?)~
Part 44~9 Jam~
Promosi (Bukan Update)
Part 45~Ultah Frezo~
Part 46~Bunuh diri(?)~
Part 48~Broken~
Part 49~Tidak percaya~
Part 50~Kecelakaan tragis~
Part 51~Mimpi Buruk~
Part 52~Maaf~
Part 53~Mencoba ikhlas~
Part 54~Malam Tak Terduga~
Part 56~Serba Salah~
Part 57 ~Hanya Beban~
Part 58 ~Nyaman~
Part 60~Hari pertama sekolah~
Part 61~Bahagia bersamanya
Part 62~Hampir Kehilangan~
Part 63~Kasihan(?)~
Cover Novel Aluka
Spin off Aluka |ARGANTA|
Open PO-Novel Aluka

Part 27~Tidak Bersalah~

3K 223 10
By Elfmda

Hai semua 🤗
Afa comeback

Jangan lupa tinggalin jejak

Vote dan komen yang banyak ya:)

Komen setiap paragraf, biar aku semangat:) kalau bisa.

Komen kalau ada typo, soalnya ngetiknya auto buru-buru.

Happy reading😊

•••

"Saya mau dia dihukum mati!"pekik pria dengan jas hitam dan tatapan tajamnya dari balik pintu.

Seluruh pasang mata menatap ke arah pria tersebut. "Laksa?"lirih Ara kemudian berlari dan memeluk pria itu. "A-aku pikir kamu nggak perduli, hiks."

Pria yang dipanggil Laksa itu membalas memeluk Ara dan mengelus pundaknya lembut. "Saya datang hanya karena putraku ingin ke makam adiknya. Bukan untuk menemuimu! Ibu macam apa kamu tidak bisa mengurus anak sendiri,"bisik Laksa tepat di samping telinga Ara.

Dada wanita itu terasa sesak bukannya memberikan dukungan untuknya, suaminya malah menyalahkannya. "A-aku juga nggak mau ini semua terjadi, hiks."

Laksa mengedarkan pelukannya, dan menatap ke arah Aluka. Sedangkan gadis itu sedikit terkejut. Mata yang sama dengan Raga, itu artinya dia Ayahnya. "Hukum dia mati! Bukankah nyawa harus dibalas nyawa?"

Tok... Tok

"Kita lanjutkan nanti setelah istirahat,"titah jaksa.

Fernan menyusun strategi dengan rekan sekaligus teman pengacaranya.

Aluka kembali diborgol. Saat dia berpapasan dengan Adi, langkahnya terhenti karena ucapan cowok itu. "Lo harus menderita! Karena perempuan kayak lo nggak pantes hidup, b*tch!"

Gadis itu yang tadinya menunduk langsung menampar pipi Adi dengan semampunya karena tangannya yang diborgol. Air matanya kembali luruh dan menatap nyalang cowok itu, "kamu boleh benci aku. Tapi kamu nggak ada hak untuk merendahkan aku Adi!  Kenapa kamu bohong? Kamu bilang akan bersaksi yang sebenarnya, tapi-"ucapnya kemudian terkekeh miris. "Aku lupa kalau takdirku memang terlalu hina."

Adi diam seribu bahasa. Aluka kembali terisak, "kenapa kamu bilang kayak gitu Adi, hiks. Kalau kamu nggak mau bersaksi untuk membelaku untuk apa semakin menyudutkanku, hiks. A-aku minta maaf karena udah nyakitin hati kamu, tapi aku sama sekali nggak bermaksud buat bunuh mereka, hiks-"

Adi terkekeh sinis,"tapi lo udah bunuh mereka Aluka! Lo udah bunuh mereka dengan tangan lo." Aluka menunduk dalam dengan menatap tangannya. "Andai lo nggak bodoh untuk ke tempat itu, pasti semua nggak akan gini. Sahabat gue masih ada di sini dan bareng-bareng sama gue. Lo pem-bu-nuh,"tegasnya.

Aluka mengangguk dan menatap netra Adi dengan frustasi,"aku juga nggak mau ada di tempat itu, hiks. Andai Kakekku nggak ninggalin aku di situ, pasti aku nggak akan ngalamin ini semua, hiks. Andai juga kalian langsung bunuh aku bukannya malah, hiks. Andai juga Raga nggak nolongin aku dan-"gadis itu memejamkan matanya menahan sesak dalam dadanya. "Andai Bri nggak mau berbuat seperti itu, pasti aku nggak akan bunuh dia, hiks."

Adi menatap gadis di hadapannya ini yang terlihat hancur dan rapuh. "Aku juga nggak mau terus buat orang tersakiti, hiks. Tapi-"

"- kenapa aku terus membuat orang menderita, hiks."

"Apa lo pikir gue bakal percaya dengan omong kosong lo,"ucap Adi dengan membuang muka.

"Kamu ngomong kayak gitu karena nggak tahu dan nggak akan pernah tahu rasanya ada diposisi aku, hiks. Dengan seenak hati kamu tuduh aku kayak gitu tadi. Kamu punya Ibu kan? Kamu punya saudara atau kelak kamu akan punya istri Adi. Gimana jika mereka harus direndahkan dan dipandang sebelah mata oleh semua orang, hiks. A-aku sakit Di, dengan semua pernyataan pedas kamu tadi,"ujarnya panjang lebar dengan air mata yang terus mengalir.

"Orang terdekat gue nggak akan pernah kayak lo. Mereka orang baik-baik,"tukas Adi dengan berbalik badan.

Aluka tersenyum pahit,"dan aku harap nggak akan ada perempuan yang seperti aku, hiks. Setiap detik aku berharap semoga nggak ada perempuan yang menjalani hidup seperti aku,"katanya dengan memilih untuk duduk di kursi.

Adi melirik sekilas ke arah gadis itu. Sedikit ada rasa penyesalan dalam dirinya, namun ia menepisnya. Ia yakin apa yang dilakukannya sudah benar. Yang salah harus mendapat hukuman yang pantas, tapi memangnya apa ini murni kesalahan gadis itu. Siapapun perempuan yang ada diposisinya pasti akan melakukan hal yang sama.

Gadis itu sadar telah dilirik oleh Adi, sehingga ia menoleh dan memberikan senyum manis untuk laki-laki yang telah ikut memberi luka pada hatinya yang sudah lama hancur dan terluka. Dengan cepat Adi memutuskan kontak matanya dan pergi.

Senyum itu perlahan-lahan luntur dan digantikan dengan senyum kecut yang dihiasi oleh cairan bening. "Bolehkah aku tersenyum? Oh tentu boleh Aluka. Haha,"monolognya kemudian tertawa miris. Sungguh miris kehidupan gadis itu.

Ia hanya menunduk dengan memainkan jemarinya, ada sedikit rasa gugup. Namun, ada pula rasa tenang dalam kesendiriannya. Setidaknya tidak ada orang yang memberinya rasa sakit untuk sekejab saja. Karena jujur saat ini ia sudah sangat lelah untuk merasakan rasa sakit lagi. Tiba-tiba ada tangan yang mengusap rambutnya, membuat gadis itu menegang kemudian mendongak. Air matanya kembali luruh melihat orang di depannya yang tengah menatapnya datar. "Dista,"lirihnya.

Tanpa mengatakan apapun, Dista menarik kepala sahabatnya dan memeluknya. Sedangkan Aluka hanya menangis tersedu-sedu dalam perut sahabatnya. Karena posisi Dista yang masih berdiri, sedangkan Aluka yang tengah duduk. "A-aku bukan pembunuh Distaaaaa, huwaaaa, hiks-"tangisnya pecah.

Dista mengepalkan tangannya kuat, giginya bergemeletuk menahan amarah. Melihat kondisi sahabatnya yang jauh dari kata baik-baik saja, membuatnya ingin mencabik semua orang yang telah menyakiti hati Aluka. Jangan lupakan bahwa gadis itu bukanlah gadis remaja biasa, dia sangat misterius dan menyimpan banyak rahasia. "Jangan nangis Al. Karena lo tahu gue nggak akan segan-segan buat bunuh orang yang buat lo nangis kek gini,"ujarnya dingin.

"Aku nggak sengaja Dis, hiks. T-tapi mereka nggak percaya-"

"Husttt- ingat kata gue, jangan peduliin omongan sampah orang Al,"tekan Dista dengan mengelus punggung Aluka berusaha untuk menenangkannya.

"Kamu percaya aku kan? Kamu nggak akan ninggalin aku kayak dulu lagi kan? Kamu nggak akan kemakan omongan orang lagi kan? Dikta dan Mathew, mereka percaya aku nggak-"

"Denger gue Al, tenang ya. Kita semua nggak akan ninggalin lo lagi kayak dulu. Kita semua akan usahain yang terbaik buat lo. Oke? Lo percaya sama kita kan?"sanggah Dista dengan menangkup wajah Aluka yang terlihat khawatir dan ketakutan.

Aluka hanya mengangguk kemudian kembali menunduk dalam. Dista yang tahu bahwa sahabatnya ini sangat tertekan dan trauma akan kesendiriannya, memilih untuk berjongkok di depan Aluka dan menggenggam tangannya. "Kamu percaya aku?"tanya Dista dan dibalas anggukan kepala oleh Alu. "Kamu percaya sama Dikta dan Mathew?"gadis itu kembali menganggukkan kepalanya. "Kamu percaya Om Fer-"

"Lebih dari diriku sendiri,"sergah Aluka. Dista tersenyum melihat binar ketulusan dari mata sahabatnya ini. Entah bodoh atau apa dia menyebutnya, tapi ia heran dengan hati Aluka. Terbuat dari apa hati gadis itu, sehingga berkali-kali disakiti namun tetap tersenyum tulus dan menyayangi orang yang telah menabur luka pada hatinya. "Gimana tadi? Lanc-"

"Dista,"panggil Fernan yang hendak menghampiri kedua gadis itu. "Semuanya kacau. Cowok itu malah memberikan kesaksian bohong,"papar Fernan.

"Sh*t! Udah gue duga,"umpat Dista dengan mengusap kasar wajahnya. "Mathew sama Dikta ini nyoba cari bukti dan saksi lain Om,"ujarnya kemudian pergi untuk menelepon.

Fernan menatap putrinya iba, sedangkan Aluka malah tersenyum manis menanggapi. "Maafin Papa sayang. Pap-"

"Hustt,"sanggahnya dengan mendekatkan telunjuknya ke bibir Fernan. "Papa kayak gini sama aku aja udah buat aku bahagia. Aku nggak butuh apa-apa lagi, bahkan jika aku harus dihukum mat-"

"Nggak,"sergah Fernan dengan menatap tajam Aluka. "Kamu jangan ngomong gitu. Papa nggak akan biarin mereka menyentuh kamu seujung kuku pun,"tegasnya.

"A-aku cuma pengen Mama, hiks-"lirih Alu dengan menunduk menahan isak tangis. "Apa segitu nggak diharapkannya aku dalam hidup Mama pah? Kenapa Mama nggak bisa sedikit aja nerima aku, hiks. Padahal Papa udah-"

Fernan langsung menarik putrinya dalam pelukannya,"memangnya kenapa kalau Mama nggak mau nerima kamu? Kan ada Papa yang mulai saat ini akan sayang sama kamu."

"T-tapi aku pengen tahu rasanya disayang oleh Ibu, hiks. Papa bisa buat Mama sayang Alu kan?"

Dada Fernan berdenyut nyeri. Ternyata seperti rasanya, jika seorang anak menuntut sesuatu hal yang tidak bisa kamu wujudkan. "Saya nggak bisa mewujudkan keinginan kamu Aluka. Tapi saya janji akan jadi Ayah sekaligus Mama buat  kamu, sampai kamu lupa jika Mama kamu itu nggak pernah menganggap kamu ada,"ujar pria itu yang semakin membuat tangis Aluka histeris dalam pelukannya.

...

"Saudara Adi silahkan melanjutkan kesaksian anda,"ucap pengacara penggugat.

Adi kembali berdiri di tempat saksi. "Lalu apa yang terjadi setelah Raga meninggal dunia?"tanya pengacara.

Adi melirik ke arah Aluka yang sudah menatap depan dengan pandangan kosong. "Setelah Raga menghembuskan nafas terakhir, dia akan kabur. Tapi Bri mengejarnya, setelah berhasil menangkap gadis itu sempat ada pertengkaran diantara mereka. Saat itu saya mulai menelepon kepolisian, dan saat saya menghampiri mereka gadis itu sudah memukul kepala Bri menggunakan botol kaca begitupun saat itu pihak kepolisian datang,"jelasnya yang dipenuhi oleh kebohongan.

Seluruh orang terkejut dan histeris di tempat. Mereka semua memandang Aluka penuh kebencian. Jaksa terlihat tengah menerawang setiap penjelasan dari saksi.

"Dari pihak tergugat silahkan."

Fernan berdiri dan membungkukkan badannya,"terima kasih. Saya menolak setiap kesaksian dari saudara Adi yang mulia."

"Atas dasar apa anda menolaknya?!"teriak pengacara Fiko, pihak penggugat.

Fernan tersenyum penuh arti,"saya kemarin telah meminta keterangan dari saksi dan kesaksiannya sangat berbeda yang mulia-"

"Pasti hanya kebohongan semata!"tukas Fiko.

"Tenang pengacara Fiko. Biarkan pengacara Fernan melanjutkan penjelasannya,"sahut Jaksa.

"Saya sama sekali tidak berbohong yang mulia. Bahkan ada saksi saat saudara Adi memberikan kesaksiannya kemarin,"kata Fernan dengan menunjuk Dista.

Dista maju ke depan,"benar. Saya ada di sana saat dia memberikan kesaksiannya. Bahkan, Kakak saya merekamnya,"ucap Dista membuat seluruh orang terkejut tak terkecuali Fernan.

"Dikta merekam?"tanya Fernan yang dibalas anggukan oleh Dista. "Iya. Karena dari awal kami tidak percaya orang itu akan mengatakan yang sejujurnya di ruang sidang. Jadi, kami merekam kesaksiannya kemarin."

"Dimana rekamannya?"tanya Fernan.

"Ada di Dikta-"

"Sudah yang mulia! Pasti mereka hanya bersekongkol untuk menunda-nunda persidangan ini! Padahal mereka sama sekali tidak mempunyai bukti!"sergah pengacara Fiko.

"Berikan bukti sekarang. Jika tidak, kami harus memutuskan keputusan tanpa bukti yang membela saudari Aluka,"ujar Jaksa.

"Saya mohon beri waktu yang mulia,"pinta Fernan.

"Tidak bisa! Pengacara Fernan hanya menunda keputusan yang mulia!"tolak pengacara Fiko.

"Saya beri waktu 10 menit untuk menghubungi seseorang,"putus jaksa.

Dista berlari keluar dan menghubungi Dikta. Dia mencari nomor Dikta dan menekan tombol telepon lalu mendekatkannya pada telinga kanannya.

Hallo

"Lo dimana?"

Gue nemu bukti kuat la-

"Cepet ke sini. Rekamannya dibutuhkan. Si br*ngs*k itu nggak kasih kesaksiannya."

Gue masih mengsadap cctv Dis.

"Ha? Ada cctvnya?"

Iya. Tapi udah dirusak sama seseorang. Baru aja sekitar 5 menit sebelum gue nemuin cctv itu.

"Pasti Adi,"ujar Dista dengan mengepalkan tangannya menahan emosi.

Nggak mungkin tuh anak. Soalnya baru 5 menit sebelum gue nemuin. Pasti orang lain.

"Itu nggak penting. Yang penting cepet ke sini dan bawa bukti itu!" Setelah mengatakan itu, Dista memutus sambungan sepihak.

...

"Bagaimana pengacara Fernan? Anda sudah melewatkan waktu 10 menit sia-sia,"tuntut jaksa.

"Maaf yang mulia, sebentar lagi. Kasih waktu untuk saya,"mohon Fernan.

Dista kembali memasuki ruang sidang. Fernan langsung menghampirinya,"gimana? Dimana dia?"tanyanya.

Dista menggeleng,"masih di jalan Om-"

"Sudahlah. Pasti dia hanya mengulur-ulur waktu percuma,"sanggah pengacara Fiko dengan menatap Fernan angkuh.

"Sekarang sudah lewat 15 menit. Jadi, keputusannya adalah saudari Aluka Alkenzia dinyatakan bersalah karena telah melakukan pembunuhan berantai tanpa alasan yang jelas dan dikenakan hukuman-"

Brakk

"Tunggu!"pekik Dikta dingin, disampingnya juga ada Mathew. "Kami membawa bukti bahwa apa yang dituduhkan untuk Aluka salah,"ujarnya.

"Waktu sudah terlambat,"ucap jaksa.

"Tolong dengarkan dulu yang mulia,"pinta Fernan.

Seluruh jaksa saling menatap kemudian mengangguk. Dikta maju ke depan untuk memperlihatkan rekaman video kesaksian Adi. Sedangkan Mathew langsung duduk dan memeluk Aluka yang sudah diam saja dengan pandangan kosong. "Semua akan baik-baik aja Al,"kata Mathew menenangkan.

Video diputar oleh Dikta dan menampilkan Adi yang memberikan kesaksiannya di depan Fernan. Ia mengatakan yang sejujurnya, lain dengan apa yang ia katakan tadi untuk memberikan kesaksian di hadapan semua orang.

"Itu bisa saja karena diancam,"dalih Pengacara Fiko.

"Iya. Bener juga, kalau anaknya saja bisa berbuat seperti itu bagaimana Ayahnya tidak?"

"Apalagi keluarga Albernando sangatlah berpengaruh."

"Pasti hanya sandiwara atau pemaksaan dan di sogok."

Seluruh orang terus berasumsi sendiri, seakan-akan tidak terima jika Aluka dinyatakan tidak bersalah. Sedangkan gadis itu, hanya diam saja dengan menunduk karena cukup lelah akan keadaan yang terus menyudutkannya.

"Lalu bagaimana dengan luka yang ada pada tubuh putri saya?!"tanya Fernan dengan menatap Aluka iba. Pria itu menarik Aluka dari pelukan Mathew dan membawanya ke depan.

Ia meneteskan air matanya, karena terpaksa harus memperlihatkan luka putrinya akibat laki-laki brengsek itu. Yang jelas-jelas itu adalah aib putrinya. Aluka bahkan sudah menggeleng keras,"jangan Pah. Aku mohon, hiks,"lirihnya dengan tangis yang sudah pecah.

Dengan paksa Fernan menarik kerah baju Aluka yang ia gunakan untuk menutupi lukanya.

Seluruh orang menganga lebar dan terkejut melihat leher gadis itu yang terdapat bekas cekikan dan cakaran. Tidak puas dengan itu, Fernan memperlihatkan luka goresan di kaki Aluka akibat pisau lipat Bri. "Bagaimana dengan semua luka ini? Apakah ini tidak cukup usaha pembelaan diri? Putriku sudah berusaha untuk melindungi dirinya tanpa melakukan perlawanan, namun jika sudah kelewat batas, setiap perempuan akan berbuat hal yang sama,"jelas Fernan.

Aluka sudah terduduk lemas dengan isak tangis dan bahu bergetar hebat. Ia menunduk dalam dengan menangis, gadis itu benar-benar merasa malu dan gagal dalam melindungi kehormatannya. Karena baginya, disentuh oleh orang tidak dikenal dengan paksa adalah aib untuknya.

Fernan memeluk Aluka namun malah didorong oleh gadis itu. "Lepas! Papa jahat! Kenapa harus memperlihatkan, hiks. A-aku, hiks-"

Pria itu tidak perduli anaknya memberontak ingin lepas darinya, ia tetap memeluk erat putrinya karena merasa sangat bersalah. "Maaf. Papa terpaksa melakukan itu,"ujarnya dengan terus mengecup puncak kepala Aluka.

"Itu hanya sandiwara! Bisa saja dia melukai dirinya sendiri. Karena seorang yang tega membunuh orang lain, tidak akan segan-segan untuk melukai dirinya sendiri,"sanggah pengacara Fiko.

"Tutup mulut anda! Apa rekaman cctv ini cukup untuk membuktikan?"tanya Mathew dengan mengambil flash disk dari sakunya.

Mathew memberikan flash disk itu kepada Dikta dan memberikannya kepada jaksa. Seluruh jaksa melihat isi rekaman cctv itu dan saling menatap.

"Setelah kami melihat semua bukti dan saksi. Kami memutuskan bahwa saudari Aluka tidak melakukan pembunuhan ini dengan disengaja. Beliau hanya melakukan pembelaan diri dan sebuah kecelakaan semata. Saudara Raga meninggal atas dasar kecelakaan karena berusaha menolong saudari Aluka. Sedangkan saudara Bri meninggal karena saudari Aluka berusaha untuk melakukan pembelaan diri atas dirinya yang hampir dilecehkan dan dibunuh dengan mencekik leher saudari Aluka, sehingga dengan terpaksa saudari Aluka memukul kepala saudara Bri menggunakan botol kaca minuman keras milik saudara Bri,"jelas jaksa agung.

Semua orang hanya diam saja dengan melihat Aluka yang sudah terlihat kacau dalam pelukan sang Ayah.

Sedangkan Ara hanya menangis, karena tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Laksa hanya diam dengan menahan amarah, sedangkan Adi hanya berusaha menenangkan Ara yang sudah histeris di tempat.

"Dengan segala pertimbangan, saudari Aluka Alkenzia kami bebaskan dengan membayar denda senilai 1 milyar kepada keluarga korban. Karena pembunuhan ini hanyalah bentuk pembelaan diri dan sebuah kecelakaan yang sama sekali tidak direncanakan maupun diharapkan. Keputusan ini sudah tidak dapat diganggu gugat,"putus jaksa.

Tok... Tok

"Tidakkkk! Ini tidak adil, hiks,"pekik Ara dengan menangis histeris di lantai. "Mana keadilan untuk kematian putraku, hiks. Arghhhhhh, ini tidak adil, hikss-"

Aluka tumbang dalam pelukan Fernan dan tersenyum pahit,"a-aku nggak bersalah,"lirihnya dengan tatapan linglung. Fernan mengangguk dengan air mata yang tidak dapat ia bendung. "Iya sayang kamu dinyatakan nggak bersalah,"ujarnya dengan mengecup kening putrinya dan tersenyum.

Fernan membantu Aluka untuk berdiri. Dista langsung memeluk sahabatnya erat, bahkan air matanya ikut luruh melihat Aluka,"lo bebas Al. Lo dinyatakan nggak bersalah,"ujarnya kemudian melepas pelukannya.

Mathew dan Dikta tersenyum ke arah Aluka dan dibalas kembali oleh gadis itu. Kemudian Aluka menoleh ke arah Fernan dan memeluk Ayahnya. "Makasih,"ucapnya.

"Kita pulang,"ajak Fernan. Sedangkan Aluka melihat ke arah Ara yang sudah histeris dalam pelukan Adi. Fernan menepuk pipi anak gadisnya dan membuatnya tersadar. "Ayo kita pulang."

Mereka semua berjalan menuju pintu. Namun langkah Aluka malah menuju Ara. "Maaf Tante,"ucapnya dengan menunduk.

Ara langsung berdiri dan-

Plakkk... Plakkk

"Apa maaf kamu bisa mengembalikan putraku?! Apa maaf kamu bisa buat mereka tenang?! Apa maaf kamu, hiks."

Aluka tak kuasa menahan tangisnya melihat betapa hancurnya wanita di hadapannya ini. "A-aku nggak, hiks-"

Ara mencengkram kedua bahu Aluka erat,"kembalikan kedua anakku, hiks. Kembalikan buah hatiku, hiks. Kembalikan!"pekiknya. Kemudian sedetik kemudian malah tertawa renyah,"memangnya kamu tuhan? Tidak! Kamu nggak bisa kembalikan anakku. Tapi kamu pembunuh, jadi bunuh aku sekarang! Bunuh! Bunuh wanita malang ini sekarang!"teriaknya histeris dengan mengguncang bahu Aluka kencang.

"Ma-maaf Tante, hiks,"lirihnya dengan menunduk dan menangis.

Ara mencengkram dagu Aluka kemudian-

Plakk... Plakk

tangan wanita itu kembali mendarat dengan keras pada pipi Aluka yang sudah merah dan lebam semua. Bahkan sudut bibir gadis itu terluka saking kerasnya tamparan Ara.

Fernan langsung menarik putrinya ke belakang tubuhnya. "Cukup Nyonya! Anda sudah keterlaluan!"bentak Fernan.

"Pembunuh! Pembunuh! Kamu harus bertanggungjawab! Kamu harus dihukum mati! Kamu pembunuh,"histerisnya dengan meraung-raung ingin mencakar Aluka. Namun, Adi tahan.

Aluka semakin bergetar ketakutan dalam pelukan Dista. Ia merasa bersalah dan ketakutan, sungguh dadanya terasa sesak melihat seorang Ibu yang merasa kehilangan anaknya gara-gara dirinya. Air matanya tidak berhenti luruh melihat betapa hancurnya Ara saat ini.

"Kamu nggak akan bahagia Aluka! Kamu akan menderita seumur hidup! Kamu tidak akan pernah bahagia, pembunuh! Haaaaaaaaaa,"histerisnya dengan terus meraung-raung seperti orang gila. Bahkan Adi sudah kesusahan untuk menenangkan wanita itu.

Laksa, suaminya hanya menatap datar istrinya itu. Tanpa ada minat untuk menenangkan istrinya.

"Ma-maaf Tante, hiks."

"Sudah. Ayo kita pulang,"titah Fernan.

"T-tapi tante itu-"

"Udah Al. Ayo kita pulang. Lo pasti capek,"sahut Dista.

"Saya sebagai seorang Ibu mengutuk kamu Aluka! Tidak akan pernah kebahagiaan menghampiri kamu! Camkan itu! Kamu akan menderita disisa hidup kamu! Kamu akan merasakan ditinggalkan oleh orang yang kamu sayang! Ingat itu!"ancam Ara dengan menatap Aluka penuh kebencian.

"Nggak. Jangan tante, hiks. A-aku nggak mau hidup dengan dihantui rasa bersalah, hiks-"

"Udah Al. Jangan dengerin omongannya. Ayo kita pulang,"titah Mathew.

"Nggak! Aku nggak mau pulang sebelum Ibu itu maafin aku,"tolaknya dengan menggeleng keras.

"Nggak hari ini Al. Lo bisa minta maaf besok. Oke?"sahut Dikta dengan menatap Aluka lembut.

Dengan berat hati, gadis itu meninggalkan Ara yang masih histeris merutuki Aluka.

"Jangan pergi pembunuh! Kamu harus dihukum mati! Tunggu saya Aluka! Saya akan bunuh kamu!"

Laksa terkekeh sinis. "Hh Kamu masih nggak sadar. Anakku mati karena keteledoran kamu! Andai Raga ikut saya waktu itu! Pasti dia masih hidup. Saya akan bawa putra sulungku menjauh dari kamu! Dasar Ibu nggak becus!"sarkas Laksa kemudian meninggalkan Ara yang tersakiti sangat dalam.

Wanita itu tersenyum pahit,"jangan ambil dia lagi Lak, hiks. Kenapa ini semua terjadi, Tuhan? Kenapa kau ambil anakku, hiks-"

Sebuah pelukan hangat mendarat dari sisi kiri Ara. Pelukan yang sangat ia kenali dan ia rindukan. Ia menatap lekat wajah tegas putra sulungnya yang menatap depan datar. "Kamu datang sayang? Jangan tinggalin Mama, hiks." Kesadaran wanita itu terenggut dalam pelukan putra pertamanya yang sedari tadi hanya menyaksikan semua kejadian dari belakang.

Adi menatap Ibu dan anak yang tengah melepas rindu satu sama lain dengan terharu. Air matanya tanpa diminta ikut luruh. Andai sahabatnya Raga masih hidup, pasti ia bahagia melihat Kakaknya yang kembali dalam pelukan Ara.

Laki-laki yang tengah memeluk Ibunya itu mengusap peluh dan air matanya dengan sayang. Ia menelisik tiap inci wajah frustasi dan kacau Ara yang tidak sadarkan diri dalam dekapannya. "Lo harus membalas setiap air mata yang Mama rasakan. Lo harus menderita dalam genggaman gue. Tunggu pembalasan gue, lo akan mengemis kebahagiaan di lutut gue. Hari-hari lo akan dipenuhi dengan penderitaan, Aluka Alkenzia, "ujarnya dengan menatap depan tajam dan tangan mengepal kuat.

•••

Papa Fernan

Mathew

Dikta

Dista

Gimana part ini?

Siap-siap buat penderitaan Aluka selanjutnya?

Masih penasaran atau udah bosen?

Lanjut?

See you next part🤗


Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 107K 59
[ PART MASIH LENGKAP🚩 ] "Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah."...
357K 30.9K 50
"Kwasih guwe awlesan bwuat restuwin lo pwacwaran samwa adwek guwe?" Vrelan sudah berkacak pinggang di depan rumahnya sembari menikmati rempeyek kacan...
83.2K 4.1K 57
(FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Seorang gadis bernama Melody. Dia adalah gadis cantik dan juga baik, namun sedih nya, di usia dia yang masih muda dia sudah...
228K 13.9K 33
Rumah , sekolah , itu hanya kata pengganti neraka bagi seorang Caca . Bagi Caca hidup ini terlalu menyakitkan untuk di jalani , masa masa SMA yg menj...