"Saya saja lupa namanya."
Ya terus, urusanku begitu? Tentu saja bukan. Memang tidak ada kewajiban harus mengingat, dan aku tidak suka dia mengingat nama mahasiswi yang centil dan suka cari perhatian.
"Cemburu kamu jelek banget. Ada mahasiswi saya bimbingan dicemburui."
Ugh ... ini bukan persoalan cemburu ya. Ini ... soal dia yang membiarkan mahasiswi berpakaian seperti tadi. Memang tidak bisa menetapkan aturan setiap akan bimbingan harus memakai pakaian tertutup? Duh, itu mahasiswi juga kok tidak ada sopan-sopannya. Kalau di FKIP, sudah digemplang sama dosen.
"Pulang dulu sana."
Mataku yang semula menatap ke bawah, melihat kaki yang menendang-nendang mejanya sebagai bentuk kekesalan, seketika melotot.
"Biar bisa lanjutin bimbingan sama mahasiswi yang ngasih bonus?!"
Bukannya menjawab dengan benar, dia malah tertawa keras. Please ya, aku sedang sangat bernafsu membunuhnya.
"Bonus apa? Bonus tulisan yang lebih buruk daripada punya kamu tadi?" Dia menggeleng tak habis pikir. "Saya harus masuk kelas. Sana pergi dulu, saya sudah telat lima menit."
Aku mendengus, dengan berat hati, mengambil bendelan kertas sekaligus bekalnya.
"Lho kok dibawa?"
"Biar nggak usah makan. Minta makan sana sama mahasiswi bimbingan yang cantik seksi dan menggoda."
Dia tertawa lagi lebih keras sampai harus mendongak. Tanganku ditahan, dan dia berjalan memutari meja, menghadapku secara penuh.
"Saya kira kamu sedewasa orang seumuran saya sampai nggak pernah curiga saya sama perempuan lain, ternyata masih seusia kamu, ya."
Apa maksudnya? Aku mendengus lagi.
"Ayo, nggak boleh cemburu sampai nggak ngasih saya makan. Nanti saya sakit, Dek Ayna sedih."
Seketika perutku terasa bergejolak, tenggorokanku penuh dan rasanya benar-benar ingin muntah. Ough, apa katanya? Dek Ayna?!
"Ayo, Dek Ayna yang manis, di ruangan saya ada CCTV, nanti kalau saya minta dengan cara yang brutal, kamu marah lagi."
Tak mau pikir panjang, kuserahkan bekalnya dan mendorong tubuhnya. Aku merinding mendengarnya memanggil 'Dek Ayna' seperti om-om penggoda anak perawan. Lha aku saja sudah diperawani, tidak pantas dia menggoda seperti itu.
"Hati-hati," pesannya saat aku melewati tubuhnya. "Nggak mau ngasih semangat untuk Mas Bara-nya?"
Gigiku saling beradu kuat dengan mata terpejam. Aku ingin banget lho, nampol mukanya dengan sepatu. Namun tidak berani, dan aku sedang tidak mau bicara dengannya.
Malahan, kini badanku diputar. Wajahku pasti sudah merah padam apalagi saat dia menangkup dua pipiku.
"Ayo semangatin dulu Mas Bara-nya."
Tidak-tidak. Ini tidak bisa begitu. Dia curang. Aku sedang marah dan kesal karena dia bertemu mahasiswi tidak tahu diri, tetapi aku juga yang digoda habis-habisan. Mana bisa begituuu!
"Dek—"
Aku mengerang sebal, putus asa, dan akhirnya tubuhku meluruh ke lantai dengan tangan menutup wajah. Dia curang banget. Aku tidak suka diperlakukan seperti ini!
"Ay."
"Bapak kenapa, sih!"
"Jangan nangis, cuma gitu kok nangis. Sudah, sini. Jangan nangis gitu."
"Ya Bapak gitu terus!"
Dia berjongkok di depanku, memaksaku melepas tangan. Mataku terpejam dengan air mata yang sulit berhenti.
"Sudah, maaf. Berhenti nangisnya." Wajahku terasa diusap-usap pelan, tetapi bukannya berhenti, aku malah semakin ingin menangis.
"Kenapa lagi, sudah berhenti lho ini. Sudah, jangan nangis lagi."
Aku menggeleng keras. Dia enak, aku kesal sampai mau mati.
"Ayna."
Mungkin tidak sabar, dia memaksaku berdiri. Tubuhnya yang besar merengkuh tubuhku yang kecil, dan lagi, aku semakin tersedu-sedu di dadanya. Seenaknya dia bisa begitu, sementara aku sejak tadi kesal malah ditambah-tambahi kesal.
"Sudah, ikut saya ke kelas saja ya. Jangan nangis."
Aku menyusut cairan dari hidung sampai bunyinya nyaring.
"Emang boleh?"
"Pura-pura jadi mahasiswa."
"Nanti aneh sendiri dong, nggak dikenal siapa-siapa."
"Siapa yang mau peduli kamu siapa. Bersihkan mukanya."
Aku menjauh, menarik beberapa lembar tisu di mejanya. Mahasiswa penyusup. Ck, harusnya dia membiarkan aku duduk di depan dan dikenalkan sebagai asisten baru. Tapi tidak-tidak, nanti semua orang ingat dan kalau bertemu aku akan malu.
Dia membawa tas berisi laptop dan aku berjalan di belakangnya. Eum, penampilanku yang seperti ini akan aneh tidak, ya? Ah, bodoh amat deh, kapan lagi punya kesempatan jadi mahasiswi gadungan begini.
"Duduk di belakang," pesannya dengan suara rendah, dan dia melanjutkan jalan dengan langkah lebar.
"Paaak," bisikku saat suasana sepi. Namun dia hanya menoleh sesaat dan terus melangkah lebar, sampai di ruangan nomor 09, pintu didorong. Aku berhenti sesaat, melirik isinya yang sebagian besar lelaki. Hanya ada dua cewek.
Perlahan, aku mendorong pintu, berjalan mengendap saat Pak Bara masih mengoperasikan laptop.
"Telat?"
Apa?
"Sejak kapan saya izinkan mahasiswa yang telat untuk masuk?"
Mataku mengerjap, menatapnya penuh tanya. Jadi nggak boleh masuk?
"Ambil presensi."
"Saya?" tanyaku kaget. Matanya menyorot tajam dan itu agak mengerikan.
"Segera ambil presensi dan pastikan tidak ada yang titip absen."
Oh, di mana aku harus ambil? Kan, tidak tahu di mana presensinya. Ish, tahu bakal dibuat susah, aku tidak akan sudi masuk kelasnya.
"Kak," suara seseorang terdengar saat aku baru membuka pintu. "Ini presensinya."
Senyumku melebar dengan mata berbinar melihat benda itu. Segera kuambil dan mencari letak presensi hari ini, setelah ketemu, kuminta orang tadi mengisinya paling awal.
"Saya punya tugas minggu lalu. Ada yang suka rela memberikan penjelasan dari tugas saya? Saya tunggu."
Diam-diam aku meliriknya. Dasar nyebelin. Nada bicaranya itu lho, angkuh tiada ampun. Kalau aku mahasiswa di sini, kelasnya bakal aku skip terus menerus.
"Salah tidak masalah. Asal Anda mengerjakan, perlihatkan pada saya usaha Anda."
Kelas masih hening sekali, sampai seseorang mengangkat tangan.
"Izin menjawab, Pak. Boleh saya tuliskan di depan?"
"Silakan."
Ganteng, keren, dan pintar. Aku mengamati lelaki tadi sampai berhenti di depan papan tulis. Namun aku mengerjap lagi saat suara Pak Bara terdengar berdehem keras dan menatapku dalam sekali.
"Duduk."
"Saya?" tanyaku kaget. "Belum selesai presensi, Pak."
Dia bungkam, tetapi dari tatapannya, aku sudah tidak sanggup melawan. Baiklah, mari kita duduk dan dengarkan dosen ini mengajar. Aku memilih kursi agak tengah, melipat tangan persis seperti anak TK.
Si mahasiswa yang tadi menulis di papan tulis, kini sudah selesai dan mulai menjelaskan dengan lugas. Pak Bara, suamiku yang terlihat budiman itu mendengarkan dengan saksama. Gantengnya jadi berkali-kali lipat kalau tidak jahil.
"Bagus. Penjelasan yang bagus. Saya harap tidak hanya satu mahasiswa yang begini, tetapi semuanya. Di akhir semester, tugas kalian hanya satu, mempresentasikan tugas yang saya berikan. Setiap mahasiswa beda tugas."
Senyumku yang semula terukir panjang melihat mahasiswa tadi menjawab langsung sirna. Namun tak berlangsung lama, saat mahasiswa yang menjawab tadi duduk di sebelahku. Mataku melirik tertarik, eng ... wangi, tapi aku lebih suka aromanya Pak Bara.
"Baru pertama masuk?"
Aku mengerjap, mahasiswa tadi bertanya dengan suara sangat pelan.
"Nggak pernah lihat ke sini. Baru pertama masuk?"
"Iya."
"Sudah akhir semester baru masuk?"
Aku mengedip lagi. Ya kenapa dia tanya-tanya? Terserah aku dong mau masuk mau tidak. Urusanku.
"Ada yang ingat, minggu lalu saya minta mempelajari apa?"
Aku menoleh lagi ke depan. Dia, suamiku yang entah kenapa saat ini terlihat ganteng banget, berdiri sambil membawa spidol.
"Yang ingat dan siap menjelaskan, nilai B+ sudah pasti akan kalian dapatkan. Saya beri waktu tiga menit untuk berpikir."
Dia duduk lagi. Kini, aku berpikir menjadi mahasiswa Pak Bara pasti sangat tertekan. Tiba-tiba ponselku bergetar, kuintip ke bawah meja.
Hubby
Pindah duduknya.
Aku menatapnya sebal. Apa pula perintah seperti itu.
Ayna
Udah enak di sini.
Hubby
Pindah!
Atau saya usir dari kelas.
Astaga. Dosen sialan. Untung aku bukan mahasiswanya, kalau iya, pasti hidupku benar-benar tertekan dan penuh ancaman.
Dengan berat hati, aku meninggalkan si mahasiswa ganteng, wangi dan pintar tadi. Dia terheran-heran saat aku melipir pindah, dan hanya kubalas dengan senyuman singkat.
Hubby
Nggak usah centil, sudah punya suami.
Kuputar bola mata saat membaca pesan terbarunya. Bilang aja sih, kalau cemburu. Tahu rasa!