°
"Terimakasih sudah mengambil dua peran sekaligus, menjadi penyembuh dan penoreh."
°
Kayak pake koko asli yaaa:(
Happy reading! 🧡
~•|•~
Akbarr
08.15 AM
Aku kangen tauuu
08.15 AM
Hari ini aku mau jenguk kamu. Pokoknya kamu harus udah bangun, ya! Supaya nanti pas aku masuk, kamu yang kaget liat aku, bukan aku yang kaget liat kamu. Ehehe
08.16 AM
Seyna tersenyum getir menatap layar ponsel yang menampilkan beberapa pesan yang ia kirimkan pada lelaki itu, yang tentunya tidak akan di baca apalagi di balas. Tapi biarlah. Hari ini Seyna datang. Tidak lagi membawa sapaket buah seperti hari itu, justru sekarang gadis itu membawa setangkai mawar merah yang sudah hilang baunya, karena sejak tadi terus Seyna hirup.
Dan di sinilah Seyna sekarang, tepat di daun pintu kamar tempat Akbar di rawat. Awalnya Seyna akan datang kemarin siang, tepat saat kabar sakitnya lelaki itu sampai di telinganya. Tapi entahlah, saat itu Seyna benar-benar takut. Takut jika... Ah! Tapi itu tidak mungkin.
Untuk terakhir kalinya gadis itu menghembuskan nafas, lalu mendorong handle pintu.
"Assalamu'alaikum," ucap Seyna. Alan yang sejak kemarin terus terjaga sontak menoleh terkejut, tapi sebisa mungkin ia menyembunyikannya.
"Waalaikumsalam..."
Meski tidak mengenal Seyna, pria itu tetap menyambut senang uluran tangan Seyna yang hendak menyalaminya. Alan tidak ingin menerka-nerka siapa gadis ini, toh pastinya tujuan dia datang kemari ingin bertemu anak lelakinya.
"Maaf menganggu," dua kata yang Seyna ucapkan tanpa menatap Alan yang kini berdiri di hadapannya.
"Jika terjadi sesuatu, beritahu saya." Alan memberi pesan tanpa mengindahkan ucapan Seyna, yang setelahnya pria itu pergi.
Senyum tipis yang sempat tercetak di wajah manis Seyna karena sikap Alan seketika hilang. Tatkala tanpa sengaja matanya melirik lelaki yang terbaring lemah dengan selang infus yang terhubung pada tangannya. Lalu Seyna mendekat dan menaruh bunga tadi di nakas. Gadis itu mengambil tangan bebas Akbar yang terasa dingin, kemudian menciumnya lama. Mata sembabnya perlahan meredup, ketika wajah tenang itu terus mengobrak-abrik emosinya.
Sebelah tangan Seyna menyibak anak rambut lelaki itu yang menghalangi matanya, sambil memperhatikan hidung runcing itu yang sekarang di pasangi selang oksigen, sontak membuat Seyna terkekeh pelan di tengah hatinya yang hampir tak sesempurna lagi. Di samping ranjang lelaki itu, suara mesin monitor yang menunjukan grafik detak jantungnya yang bergerak normal, semakin membuat hati Seyna bergetar. Sesak kini memenuhi rongga dada gadis itu.
Semesta, Seyna takut, sungguh...
"A-aku telat ya?" tanya gadis itu dengan suara bergetar.
Tapi sangat di sayangkan, Seyna lagi-lagi harus menelan kecewa. Ketika ingat jika Akbar tak mungkin akan membalas segala ucapannya, seperti hari itu. Gadis itu lalu menipiskan bibir, menahan isakan yang sebentar lagi akan keluar.
"Akbar..." Panggil Seyna lirih. "T-tolong bangun... Sebentar aja, tolong bangun... Hikss... Bangun, terus bilang sama aku kalo kamu gapapa..." Pinta gadis itu dengan suara bergetar.
"Wake up, by... Jangan terus buat aku khawatir... Aku mohon... Hikss..." Seyna semakin terisak.
Gadis itu lalu melepaskan tangan Akbar, kemudian memeluk tubuh lemah itu. Tangisnya kian memecah dengan isakan yang semakin lama semakin terdengar menyakitkan. Bukan tanpa alasan, Seyna sudah kehilangan pelangi sebagai pewarna langitnya. Apa harus, semesta mengambil senjanya juga?
Hampir saja Seyna terlelap karena sudah lelah terus menangis sejak kemarin, jika pintu itu tidak terbuka...
~•|•~
Azura sudah benar-benar siap sekarang. Gadis itu hanya memakai hoodie putih mirip milik Akbar, dengan celana jeans yang tidak terlalu ketat. Rambutnya yang sedada, ia biarkan tergerai dengan indahnya. Hanya tinggal menunggu Reyna yang katanya akan menjemput, Azura akan pergi menemani lelaki hingga petang.
"Mau pergi sekarang, Ra?" tanya Hana yang baru saja tiba di kamar Azura.
Azura mengangguk sebagai balasan.
"Baguslah, kasian Alan. Dia juga perlu istirahat," ujar wanita cantik itu.
Azura bergeming, bahkan ia sampai tidak berfikir siapa yang menjaga lelaki itu setelah dia pergi. Karena Azura terlalu larut mendalami rasa sedihnya? Tentu saja. Sebelumnya, Azura tidak pernah merasa setakut ini jika di tinggalkan seseorang. Hanya karena Akbar. Bahkan lelaki itu tidak banyak memberikan jejak di kehidupannya, tapi kenapa begitu sulit bagi dirinya untuk berhenti memikirkan lelaki itu?
"Udah, jangan di pikirin lagi. Nanti Akbar nya sedih kalo kamu kaya gini terus, Ra." Hana berucap pelan seraya memegang bahu Azura yang memunggunginya.
Azura memegang tangan Hana sambil tersenyum miris, menatap matanya yang sudah terlihat ada lingkar hitam di pantulan kaca meja riasnya. Tiba-tiba Azura teringat kejadian kemarin siang, tepat dengan tanpa sengaja gadis itu melihat wajah cantik ibunya yang sedang tersenyum tipis padanya.
Kedatangan Bunga bersama Hana tentu saja menjadi tanya besar di benak mereka. Dengan tanpa dosanya, Bunga menghampiri Alan yang sudah berada di dalam dan melewati beberapa pasang mata yang menatap tak suka kearahnya. Apa ini sosok ibu yang katanya sangat baik?
Azura yang menyadari kedatangan Bunga bersama ibunya, sontak bangkit dan memeluk tubuh Hana. Wanita itu sebisa mungkin mencoba menenangkan anak gadisnya, meski tanpa bersuara.
"Maa... Akbar... Hikss..." ucap Azura yang terisak di pelukan Hana.
"Gapapa, sayang. Akbar kan udah di tangani sama Dokter," balas Hana.
"Tapi tadi Akbar hampir kehilangan nafas, Ma... Zura takut..." ujar Azura.
Sontak Hana melepaskan pelukannya, lalu menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi anaknya. Senyum tipis ia tampilkan, saat matanya dan mata Azura bertemu. Tak perlu lagi menerka sorot mata Azura, dengan air matanya, gadis itu sudah menunjukan betapa hancurnya ia sekarang.
"Sekarang ikut Mama, yu? Kita ketemu Akbar," ucap Hana.
"Tapi Dokter ngebatas—"
Hana dengan cepat menaruh jari telunjuknya di bibir Azura, membuat ucapan anak gadisnya itu terpotong. "Sssttt. Zura mau ketemu Akbar kan?" tanya Hana, Azura mengangguk. "Yaudah ayo. Kita masuk sekarang," ajak Hana, menggiring Azura untuk masuk kedalam setelah gadis itu mengangguk setuju.
"Pulang yu..."
Ucapan Bunga yang terdengar mengajak, menjadi suara pertama yang Azura dan Hana dengar. Baik Bunga maupun Alan, tidak ada yang menyadari keberadaan Ibu dan anak yang sudah berada di dalam dan mendengarkan perselisihan kecil diantara mereka.
"Kamu gila, Bunga?!" tukas Alan yang langsung menatap Bunga dengan tatapan nyalang. Bunga bergeming, dalam diam ia merutuki dirinya yang sudah melakukan kesalahan dengan berucap seperti itu. "Siapapun belum tau kapan anak aku bisa sadar, Bunga! Dan kamu, dengan bodohnya ajak aku pulang?" ujar Alan penuh penekanan.
"Anak kamu, anak kamu, anak kamu! Aku ingetin kamu Mas! Dia bukan anak kita!" sarkas Bunga sambil menunjuk Akbar yang terbaring dengan jarinya yang bergetar.
Dengan cepat Alan menepis tangan Bunga, membuat wanita itu menatapnya dengan sorot tak percaya. "Jangan tunjuk anak aku seperti itu!"
Bunga semakin di buat tak percaya dengan sikap Alan sekarang, seolah pria itu melupakan janjinya yang akan mendukung dengan penuh keinginannya 10 tahun lalu. "Kamu kenapa sih Mas?" tanya wanita itu tak habis pikir.
"Kamu yang kenapa Bunga?!" sela Alan dengan marah. "Kamu bahkan bertaruh nyawa untuk memberikan kehidupan kepada Akbar! Tapi sekarang lihat? Apa yang kamu lakukan pada anak kita?" ujar pria itu.
"Kalo aku tau akhirnya bakalan kayak gini, aku ga akan mau susah-susah hamil, ngelahirin, sampe harus ngurus segala. Kalo tau bakalan kayak gini, aku mending gugurin kandungan aku dulu, Mas!" balas Bunga yang sepertinya sudah terbawa emosi.
"Egois!" cerca Alan. "Kalo kamu gugurin kandungan kamu, Farel juga ga akan ada Bunga!" lanjutnya.
"Tapi aku ga akan mungkin kehilangan anak perempuan aku kan?" tanya Bunga dengan nada rendah. "Ayah kamu juga ga akan meninggal, Ibu kamu juga ga akan benci sama Aku. Trus Mama Papa aku juga akan pergi ke Filipina, Mas."
"Semua yang terjadi 10 tahun lalu di luar kendali kita Bunga," balas Alan semakin tak habis pikir.
"Tapi semua itu ga akan terjadi kalo anak itu ga ada!" sela Bunga dengan sarkasnya.
"Udah, cukup!" Hana yang sejak tadi diam sambil memeluk Azura akhirnya membuka suara, berharap perang mulut yang terjadi saat ini berhenti. Menatap Azura yang juga berada di sana, sontak Bunga seperti kehabisan kata untuk bersuara. Alan pun yang terkejut melihat keberadaan wanita itu pun hanya memalingkan wajah.
"Kalian itu udah tua! Bukan lagi anak SMA! Jadi, stop! Stop bersikap kekanak-kanakan. Kalian ga kasian liat Akbar? Dia lagi sakit, Nga... Lan... Kalian bisa bertengkar di rumah, jangan di sini." ujar Hana tak habis fikir. Tapi baik Alan dan Bunga tak ada yang mengindahkan, bahkan Alan justru pergi, lalu di susul Bunga.
Azura menatap mata ibunya yang terpejam, menahan butiran-butiran bening hangat yang siap untuk turun membanjiri pipinya. Yang setelahnya, wanita itu juga pergi. Meninggalkan Azura bersama Akbar di sana. Tapi Azura hanya mematung, tanpa mau menatap wajah itu. Yang tentunya akan semakin membuat ia tak bisa membuat kendali atas dirinya. Azura lalu menghembuskan nafas, kemudian pergi dari sana. Membiarkan lelaki itu tertidur tanpa ada yang menjaganya.
"Ada apa?" tanya Gerald. Alih-alih menjawab, Azura justru berlari pergi. Mungkin saat ini, hanya sunyi yang bisa mengerti dirinya.
"Biar gue temenin Zura dulu," ucap Reyna yang di hadiahi anggukan oleh Gerald.
Dan dari situlah Azura tau, jika kata baik yang sering media cantumkan dalam setiap berita tentang keluarga itu hanyalah sebuah kebohongan yang terbungkus apik oleh wajah manis milik wanita itu.
"Akbar ga salah kan, Ma? Dia cuma korban," ujar Azura tiba-tiba, setelah beberapa saat keheningan melanda mereka.
Hana mengerti, sulit bagi Azura untuk dapat melupakan kejadian siang kemarin. Tapi bagaimanapun, ia dan Azura tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan keluarga mereka. "Jangan di pikirin lagi, sayang." balas wanita itu.
"Ra, ayo!" Pintu kamar Azura perlahan terbuka, menampakan sahabatnya yang sedang tersenyum tanpa dosa kearahnya.
"Reyna udah dateng tuh, senyum lagi dong," ucap Hana di akhiri godaan agar anaknya tidak terlalu larut dalam kesedihan.
Azura berbalik, berniat menyalami Hana. "Azura pergi dulu ya, Ma." ucapnya tanpa mengindahkan ucapan Hana. "Assalamu'alaikum," lanjutnya. Lalu pergi dengan langkah tanpa semangat.
Reyna pun hanya bisa menerka-nerka keadaan, yang setelahnya gadis itu tersadar. Lalu menyalami Hana, yang setelahnya turun kebawah.
"Lo gapapa?" tanya Reyna seraya menaiki motornya, karena saat itu Azura sudah lebih dulu terduduk di jok motornya.
"Bohong kalo gue bilang gapapa," balas Azura tersenyum kecut.
"Yaudah, kita berangkat sekarang. Lo mau beli buah dulu? Biar nanti gue berhenti di toko buah deket pasar."
"Gausah, lagian siapa yang bakalan makan?"
"Ko lo jadi berkecil harapan gitu sih?"
"Gue udah gamau naruh harapan tinggi lagi, kalo akhirnya dengan mudah bisa gue tebak."
"Terserah lo." Reyna mengalah, lalu melajukan motornya ke rumah sakit tempat Akbar di rawat.
~•|•~
"Lo duluan. Gue mau tunggu Mario sama Farel di sini," ucap Reyna mereka tiba di parkiran.
"Lama ga?" tanya Azura sedikit menyipitkan matanya, ketika sinar matahari tampak terik siang pagi ini.
"Gatau, katanya Mario mau jemput Farel sambil ambil HP Akbar," balas Reyna.
"Yaudah. Gue duluan," pamit Azura yang setelahnya gadis itu berbalik. Tapi baru saja beberapa langkah, Reyna menghentikan langkahnya.
"Ra!" Panggil gadis itu, Azura menoleh dengan raut bertanya. "Jangan nangis lagi, entar air mata lo abis. Ehehe," celutuk Reyna.
Azura hanya membalasnya dengan senyuman miring, lalu berjalan memasuki area rumah sakit. Berulang kali Azura menyakinkan diri, mencoba kuat jika suatu hal yang tidak sempat Azura pikirkan akan terjadi.
Tangan gadis dengan poni yang biarkan menutupi sebagian wajahnya itu sudah mencapai handle pintu kamar inap Akbar. Dalam hitungan detik, dengan jelas Azura melihat hal yang seharusnya tidak ia lihat.
Seorang gadis terlihat sedang memunggunginya seraya memeluk tubuh Akbar, dengan isakan yang semakin lama terdengar semakin pelan. Saking kagetnya Azura, gadis itu tanpa sengaja membuat suara saat menutup kembali pintu itu. Membuat gadis yang tengah memeluk Akbar sontak menerjap, lalu terduduk lagi sambil tangannya menghapus jejak air mata di pipinya.
Hingga akhirnya keempat mata itu bertemu. Azura mematung tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Sama seperti Azura, gadis itu juga juga tidak percaya akan hal itu.
"Kamu ngapain di sini?" tanya gadis itu membuka suara.
Azura tersenyum miring seraya memalingkan wajah sesaat, lalu menatap gadis itu dengan tatapan menusuk. "Harusnya gue yang nanya, lo ngapain di sini?"
Hening sesaat. Gadis yang di ketahui bernama Seyna itu hanya bisa meneliti setiap sudut tubuh Azura, tanpa mau mengucapkan satu kata pun.
Tiba-tiba terlintas dalam ingatan Azura, sebuah nama yang pernah Akbar sebutkan saat lelaki itu mengutarakan perasaannya.
(Ada di part Akbar |• Dua Puluh Sembilan)
Sama seperti Azura, Seyna juga memikirkan hal yang sama. Saat itu, Gerald menyebut nama seseorang di tengah kelegaan yang baru saja mereka rasakan.
(Ada di part Akbar |• Dua Puluh Tiga (✨))
"Jangan bilang kalo lo..." Azura menggantungkan ucapannya. "Seyna yang Akbar maksud?" tanya gadis itu hati-hati.
Seyna semakin di buat tak percaya akan hal itu, Azura mengatakannya seolah sudah tau kedekatan antara dirinya dan Akbar. Tapi untuk saat ini, Seyna tak ingin terlalu banyak ambil peduli. Bagaimana pun Akbar belum sadar dari komanya, lantas harus pada siapa ia meminta jawaban atas segala tanya di benaknya?
"Kamu mau ketemu Akbar?" tanya Seyna, mencoba mengalah pada keadaannya yang terus mendesaknya agar mau mengerti.
"Iya. Lo udah lama?"
"Aku udah lama di sini. Sebentar lagi mau pulang."
"Ko buru-buru sih? Ga kuat liat gue sama Akbar ya?" tanya Azura dengan sinisnya. Ketika melihat Seyna langsung bangkit dari duduknya.
Seyna mendelik, lalu tersenyum remeh. "Reyna bilang, kamu itu pinter lho Ra. Tapi pemikiran kamu ko pendek kayak gitu sih?"
Azura mengibaskan rambutnya kebelakang. Melihat Seyna, membuat rasa sedih Azura berganti menjadi marah. Ingin sekali Azura mencakar habis muka gadis polos itu. Hanya saja ia ingat, Seyna adalah bagian penting dari sahabatnya.
Sedangkan Seyna, gadis itu geleng-geleng kepala melihat kepalan tangan yang Azura buat di samping pahanya. Lalu berniat pergi dari sana, tapi tangan Azura dengan cepat mencekal tangannya.
"Lo masih hutang jawaban sama gue," ucap gadis itu penuh penekanan. Matanya yang sembab, menyorot nyalang kearah Seyna yang berada di sampingnya.
"Sakit, Ra..." lirih Seyna sedikit meringis. Karena Azura dengan sengaja mencekal kuat tangannya. Azura tersenyum simpul sesaat, lalu menghempaskan tangan Seyna dengan kuat. Yang setelahnya gadis itu berlari pergi.
~•|•~
Dua orang anak lelaki, bersama seorang gadis berjalan beriringan. Melewati beberapa orang yang berada di lorong rumah sakit. Tak ada yang membuka suara, baik si bodoh Mario, atau Farel musuh bebuyutannya. Apalagi Reyna si gadis bermulut cabe, tidak mungkin ia membuka suara terlebih dulu.
Tiba-tiba mereka melihat seorang gadis berlari dari kamar inap Akbar sambil menangis, Mario yang dengan jelas melihat gadis itu langsung terdiam. Sedetik kemudian, ia pun berlari menyusul gadis itu yang semakin menjauh. Tanpa meninggalkan sepatah katapun untuk kedua temannya. Lagipula, baik Farel atau Reyna, tidak peduli.
Mereka berdua lalu melanjutkan jalannya menuju kamar Akbar, di jajaran kamar-kamar VVIP. Karena kata dokter Yunus, di sana peralatannya sudah benar-benar lengkap. Tanpa sengaja, mereka bertemu dengan Alan yang datang dari arah yang berlawanan. Sontak Reyna dan Farel menyalami Alan dulu sebelum masuk.
"Assalamu'alaikum," ucap ketiganya dengan pelan.
Azura menerjap, lalu memeluk Reyna dengan erat. Reyna yang sudah mengerti keadaan, hanya membalas pelukan Azura sambil sesekali mengusap punggung gadis itu.
"Udah, Ra. Jangan kayak gini. Lo harus bisa berfikir jernih, jangan dengerin ego lo. Satu hal yang harus lo inget, Akbar cuma milik Azura." Reyna berbisik di sela isak tangis Azura, meski sebenarnya ia juga sedikit ragu.
Azura lalu merenggangkan pelukannya, gadis itu menunduk. Sebelum akhirnya mendekat, menghampiri Akbar yang sudah beberapa jam ini ia abaikan. Azura ingin bercakap dengan lelaki itu lagi, membuat lelaki itu kesal, tertawa bersama dan melihat betapa senangnya dia saat Azura bawakan makanan.
"Gue kangen..." Lirih gadis itu dalam hatinya. Azura lalu mengambil duduk di samping lelaki itu, kemudian menyentuh tangan yang pernah mengusap lembut kepalanya. Membiarkan Alan yang sedikit mendelik melihat gadis itu bersikap demikian pada anaknya. Tapi sungguh, Azura tidak peduli.
Jika pun Azura harus tidak di sukai oleh semua orang karena ia mencintai Akbar, itu tidak masalah. Asal Akbar harus menyukainya. Karena jika Akbar tidak menyukainya, maka saat itu juga, Azura sudah gagal.
Sama seperti hari-hari biasanya, Farel akan kesal saat melihat interaksi itu. Hari itu Bunga pernah bilang, jika pasangan sesungguhnya adalah Farel dan Azura. Hubungan antara Akbar dan Azura hanya sebatas teman. Tapi tidak mungkin kan, seorang lelaki dan wanita menjalin sebuah pertemanan tanpa melibatkan perasaan?
"Papa..." Panggil Farel mencoba mengalihkan fokusnya, Alan menoleh dengan raut bertanya. "Mama nyuruh pulang, nanti siang ada meeting penting." ujar lelaki itu.
Alan menghembuskan nafas sesaat. Bukannya ingin suudzon, tapi ia sangat yakin bahwa itu hanyalah akal muslihat Bunga agar dirinya mau meninggalkan Akbar. Padahal jika pun benar ada meeting penting, pasti sekretarisnya akan memberikan dia kabar. Tapi selama ia di rumah sakit, tidak ada yang memberinya kabar apapun.
"Adik kamu belum bangun, Rel. Papa ga bisa ningalin dia," balas Alan kemudian.
"Tapi sekarang ada kita, Pa... Papa bisa pulang dulu," kata Farel.
"Tapi tetep aja, Rel—" Alan menggantungkan ucapannya, ketika menyadari ada sesuatu yang hilang di sini. "Anak tadi mana?"
~•|•~
"Abii!" Teriak Akbar yang tengah kebingungan. Halis sontak Adam terangkat, bahkan tak ada satu detikpun pria itu berhenti memperhatikan anaknya. "Kenapa Akbar lama banget sih sampenya? Padahal jaraknya deket lho," ujar anak itu.
Adam terlihat terkekeh pelan, sangat menyebalkan. "Akbar pernah denger ga, satu tahun di akhirat sama dengan seribu tahun di dunia?" tanya pria itu kemudian.
Akbar mengangguk cepat, "Lalu? Apa ini akhirat?"
"Bukan. Ini adalah imajinasi yang Akbar buat sendiri. Akbar bisa keluar, kalo Akbar berhenti berimajinasi tentang ini."
"Caranya?"
"Akbar jangan terlalu terobsesi buat ketemu Abii. Akbar harus terbebas, fokuskan hati kamu pada hal yang akan menguntungkan di masa depan. Jangan terpaku pada masalalu. Tapi kalo Akbar kangen Abii, Akbar bisa baca surat Yasin terus sebut nama Abii."
"Trus Abii bakalan dateng temuin Akbar?" tanya anak itu polos.
Tapi Adam menggeleng dengan senyum tipisnya. "Itu artinya Akbar memperjuangkan pertemuan kita di Surga, " balasnya.
Mata sendu itu menatap terluka kearah Abiinya. Harusnya Akbar tidak lupa, bertemu dengan Abiinya adalah sebuah keajaiban untuk sekarang dan mungkin selamanya. "Akan Akbar coba. Tapi Abii harus tunggu Akbar, yakk! Kita nunggu Ummii sama sama."
~•|•~
Hampir 3000 kata.
Panjang ya?
Gaje ya?
Udah tau gaje, author masih aja pede buat ngepub.
#BIASALAH
Yasudah, selamat datang di lapak istri Jaemin.
Semoga kalian sukaaa, dan ga ada bonus di part ini.
Jangan lupa tinggalkan jejak!
Iluv🧡
Seperti biasa...
~•|•~
Aku lelah melewati malam
Lemah kurasa diri seakan tak mampu melangkah lagi
Tersudut dalam kelam tiada pasti
Sejenak aku tutup mataku
Berharap kau hadir dalam gelapnya hatiku
Mengobati luka rindu yang tak kunjung temu
Datanglah, meski dalam khayalku
Peluk aku...
Aku lelah menunggu bersama rindu akan sosok itu.
~•|•~
"Lagi dan lagi. Terimakasih."