Abizar menyapu seluruh benda diatas meja dengan tangannya hingga berjatuhan diatas lantai dan beberapa benda yang terbuat dari kaca peca, dan pecahan tersebut berserakan dilantai.
Tidak hanya sampai disitu, kaca rias dikamarnya juga menjadi korban pelampiasan kemarahan Abizar. Lelaki itu menonjok kaca itu dengan tangan kosong hingga retak dan tangannya berdarah. Namun rasa sakit atau hanya sekedar perih tidak lelaki itu rasakan meskipun darah segar terus bercucuran dari tangannya.
Abizar marah, tentu. Pada sebuah surat undangan yang kini menjadi robekan kertas kecil, yang Geri berikan padanya dirumah sakit pagi tadi.
Seharusnya dari dulu Abizar mengatakan pada Geri jika ia mencintai kekasih lelaki itu dan dengan terang-terangan mengajaknya bersaing secara jantan. Bukan berdiam seperti pengecut dan menerima semuanya dengan lapang dada. Abizar tidak sebaik itu.
Abizar bisa saja mendapatkan Gea jika ia tidak menikahi Nadine. Seharusnya Abizar sudah berusaha merebut Gea sejak dulu, sebelum Abizar menikahi Nadine.
"AAAAAAAAAAA!" Teriak lelaki itu kuat. Tak peduli jika tetangganya merasa terganggu atau papanya yang khawatir.
Pintu kamar Abizar terbuka tepat setelah lelaki itu berteriak dengan keras. Nadine menatap seberapa kacaunya kamar suaminya itu dan hanya hembusan kasar yang gadis itu keluarkan.
Tidak ambil pusing apa yang Abizar sebabkan, Nadine berjalan kebelakang pintu dan mengambil beberapa baju kotor lelaki itu untuk ia cuci
Melihat Nadine membuat kepala Abizar mendidih. Lelaki itu merasa masalahnya bertambah hanya melihat Nadine yang bahkan diam saja.
Akhirnya dengan langkah lebar Abizar mendekati sang istri dan menjudutkannya dengan tangan yang ia tempatkan pada leher sang istri.
Nadine tersentak saat tubuhnya dengan tiba-tiba Abizar hempaskan pada dinding cukup kuat dan mencekik gadis itu.
Nadine terbatuk-batuk dan menepuk lengan Abizar, berusaha menghempaskan tangan kekar itu dilehernya karena ia mulai kesusahan bernapas.
"Siapa yang lo temuin kemaren?" Tanya Abizar marah, matanya memerah memandang Nadine dengan sangat dingin
Wajah Nadine memerah karena pasokan oksigen semakin menipis diparu-parunya. Kerongkongannya terasa sakit dan akhirnya matanya mengeluarkan air mata yang mengalir langsung pada lengan Abizar yang masih mencekiknya. Melihat sesuatu yang mengalir ditangannya membuat Abizar melepaskan tangannya dan membiarkan istrinya itu bernapas.
Nadine terbatuk-batuk dengan menepuk dadanya sendiri berulang-ulang, berusaha menormalkan kembali deru napasnya agar kembali normal.
"Siapa yang lo temuin kemaren?" Tanya Abizar masih mengintimidasi
Nadine menatapnya tajam "Cuma karena cewek yang lo suka itu tunangan, bukan berarti lo bisa lampiasin semua ini ke istri lo. Kalo mau jadi duda cerein aja gue."
"Siapa yang lo temuin kemaren?"
"Bukan siapa-siapa"
"Pacar lo?"
Nadine manatap Abizar lama, hingga lelaki itu berdecih hina "Lo gak berubah ternyata. Masih murahan."
"Kenapa? Cuma karena lo kepala keluarga lo boleh memuja cewek lain sedangkan gue gak boleh jalan sama cowok lain?"
"Berani banget lo ngomong kek gitu!" Geram Abizar
"Emang kapan gue keliatan pemalu didepan lo?"
Abizar semakin menggeram marah "Jadi dia pacar lo?"
"Iya. Kenapa? Lo gak suka?" Tanya Nadine tenang "Lo bisa tinggalin gue kalo gak bisa terima gue yang suka sama cowok lain." Ujar Nadine membalik ucapan Abizar yang pernah lelaki itu utarakan padanya.
Abizar diam mencerna apa yang Nadine sampaikan, hingga lamunannya buyar karena Nadine yang meninggalkannya keluar dengan membawa baju kotor lelaki itu.
Abizar berjalan kearah ranjangnya dan duduk disana. Darah yang masih mengalir dari punggung tangannya ia biarkan menetes dan menghalau rasa sakit yang mulai ia rasakan.
Pintu kamar lelaki itu kembali terbuka, begitu Abizar menoleh ia melihat Nadine yang membawa kotak p3k ditangannya dan kini duduk disampingnya.
Abizar diam saja saat Nadine mulai membersihkan lukanya dengan tisu basah dengan hati-hati. Lelaki itu sedikit meringis saat sebuah kapas yang sudah Nadine bubuhkan alkohol disana menyentuh lukanya, Nadine membalut luka itu dengan perban masih dengan hati-hati.
"Kalo lo emang gak suka sama pertunangan Gea, pergi culik dia. Jangan cuma diem disini bertindak kek orang bodoh" ujar Nadine
"Lo biarin gue?"
"Emang kenapa?" Nadine mendongak "Gue gak peduli dengan siapa atau gimana cara lo hidup."
"Gue tetep suami lo." Tekan Abizar
"Meskipun begitu." Jawabnya tenang "Jangan lukain tangan lo lagi, lo dokter. Tangan lo berharga. Kalo mau potong urat nadi lo sekalian, jangan nanggung"
"Kemana perginya cewek bodoh yang selalu nurutin omongan gue?" Sindir Abizar sinir "Lo semakin ngelunjak ke gue"
"Lo gak lupa siapa yang punya andil besar dari berubahnya sikap gue?" Nadine menyelesaikan sesi pengobatannya dan membereskan kembali kotak p3k ditangannya
"Gue tidur sama lo malam ini"
Nadine menoleh "Gak akan culik Gea? Kalo gak sekarang acaranya lusa lho"
"Lo bener" Abizar mengangguk
Nadine mengangguk "Hm, hati-hati" acuhnya seraya berlalu "Semoga berhasil."
***
Suara telpon rumah dilantai dasar membuat Andine turun hanya untuk mengangkatnya
"Halo?" Sapa Andine. Namun disebrang sana tidak menjawab apapun "Halo? Ini siapa ya? Ada perlu apa?" Tetap tak ada sahutan.
Andine menutup panggilan tersebut bersamaan dengan Gea yang juga turun karena haus "Siapa Ma?"
"Gatau, salah sambung kayaknya." Andine kembali naik ke kamarnya sedangkan Gea pergi ke dapur untuk mengambil air kulkas
Telpon rumah diruang tamu kembali berdering, Gea mengangkatnya sebelum naik ke kamar "Halo?"
"Ini gue"
Gea berdecak sama mendengarnya "Ada apa lagi sih Zar? Lo dapet nomor rumah gue darimana coba"
"Itu gak penting." Jawab Abizar "Gue didepan rumah lo sekarang"
"Mau ngapain?"
"Kalo lo penasaran lo boleh turun dan temuin gue"
Gea menghela napas pelan "Waktu gue terlalu berharga kalo cuma buat ketemu sama lo."
"Sebentar aja"
"Nggak semenit pun" kekeh Gea dengan nada tegas
"Kalo gitu gue bakal disini sampe lo turun dan temuin gue." Putus Abizar
"Hm, lakuin sesuka lo" acuh Gea dan memutuskan panggilan.
"Gak ngerti bahasa manusia emang tuh iblis satu" gumam Gea dan berlalu begitu saja.
***
Hujan lebat tiba-tiba saja turun saat Gea akan memejamkan matanya. Gadis itu mengernyit mendengar suara hujan yang sangat deras seakan-akan seluruh pasokan air diatas langit turun seluruhnya.
Petir menyambar setelahnya membuat Gea terkejut dan matanya melotot
Line!
Gea merogoh ponselnya dibawah bantal
Pahlawan super
Tidur sama Mama aja, hujannya lebat banget, ada petir juga
Gea tak membalas pesan Geri, fikirannya tiba-tiba saja teringat Abizar. Apa mungkin lelaki itu masih berdiri didepan rumahnya? Ditengah hujan seperti ini?
Tak ingin mati penasaran, akhirnya Gea menyingkap selimut yang membalut tubuhnya dan berlari kearah jendela. Menyingkap gorden silver dihadapannya dan matanya membola melihat Abizar masih berdiri disana tanpa membawa apapun untuk melindunginya dari terpaan hujan
Abizar basah kuyup
"Biar apa coba kayak gitu." Gea menghela napas panjang "Ngerepotin gue aja"
***
Abizar tersenyum saat melihat Gea membukakan gerbang rumahnya dengan payung kuning beserta jas hujan yang dipakainya.
Gea berdiri didepan Abizar dan meletakkan payung ditangannya dipundak Abizar membuat lelaki itu mau tak mau memegangnya agar tak jatuh
"Sekarang apa?" Tanya Gea tanpa ekspresi "Haruskah lo bertindak kayak gini Zar? Malu-maluin tau gak"
"Gue cuma pengen ketemu lo"
"Sekarang udah kan? Kalo gitu pulang dan jangan dateng lagi kesini dengan alasan apapun" tegas Gea "Gue yang awalnya agak muak sama lo, jadi semakin muak sama lo. Jadi gue harap lo ngerti dan bisa penuhin permintaan gue."
Gea berbalik hendak meninggalkan Abizar jika saja lelaki itu tidak membuka suaranya yang berhasil membuat darah Gea mendidih
"Gak bisakah lo batalin pertunangan lo?" Pinta Abizar
"Drama apa lagi yang lo buat, ha?" Gea kesal, capek, lelah menghadapi lelaki kriting yang kini basah kuyup dihadapannya ini.
"Susah payah gue ada diposisi ini, dan menurut lo gue bakal kabulin permintaan gila lo itu?" Gea berdecih "Banyak yang gue korbanin buat ada disini, lo fikir gampang?"
"Ge, gue sayang sama lo." Abizar menatap Gea
Gea menghela napas pelan "Gue juga Zar"
Abizar tersenyum sumbringah "Sayang gue?"
"Sayang gue" jawab Gea lurus "Kita gak lebih dari sekedar orang asing yang ketemu dikesempatan yang seharusnya gak datang ke kita. Gak bisakah lo bersikap sewajarnya? Inget posisi lo, liat gue, siapa gue dan siapa lo. Gak ada gunanya suka sama gue kalo gue aja muak sama lo."
"Seharusnya lo cukup mengagumi gue aja, jangan pake nyimpen perasaan segala" tambahnya
"Lo tau kan perasaan bukan sesuatu yang bisa dipaksain atau sesuatu yang bisa dikendalikan. Mana bisa gue berenti suka sama lo." Balas Abizar
"Lo punya pasangan" Gea mengusap wajahnya yang terkena tetesan air hujan.
"Gue gagal." Abizar sedikit berteriak takut suaranya teredam suara hujan "Gue gagal sama dia"
"Apa dengan lo gagal lo boleh cari yang lain? Lo bisa perbaiki kalo lo mau."
"Gue gak bisa. Gue udah gak mau sama dia"
Gea tersenyum sebentar, lalu terkekeh setelahnya "Udah ketebak masa depan gue kalo sama lo nanti"
"Nggak Ge, gue bakal berubah kalo sama lo nanti."
Gea mengangguk "Lo gigih juga ternyata anaknya." Gadis itu bertepuk tangan sebentar "Sifat gak tau diri lo emang pantes buat diapresiasi. Bagus banget."
"Menurut lo setia itu apa?" Tanya Gea
"Pilihan." Jawab Abizar tanpa berfikir "Mau selingkuh atau setia, itu pilihannya"
"Menurut gue setia itu sebuah keharusan. Bukan tentang seberapa besar rasa sayang kita, tapi karena semulia dan seberkelas apa diri kita. Setia juga bukan tentang cuma tentang sebuah hubungan, tapi lebih dari itu." Jawaban Gea menampar Abizar yang mendengarkan
"Liatkan, hal kecil kayak gini aja udah keliatan banget kalo kita bener-bener gak cocok." Gea menggeleng
Untuk sesaat keduanya diam, membiarkan suara hujan yang memecah keheningan mereka. Abizar menatap Gea dengan sorot memohon lain halnya Gea yang memancarkan sorot kebencian melalui tatapan matanya.
"Bener-bener gak ada sedikitpun perasaan lo ke gue?" Tanya Abizar pada akhirnya
"Apa gue keliatan kayak punya perasaan itu ke lo?"
"Sekalipun gue memohon?"
"Ini bukan kali pertama lo lakuin ini kan?" Tanya Gea balik. "Bukan lo yang gue mau. Bukan lo juga yang ada dalam rencana masa depan gue. Bukan lo yang gue harapkan bersama, sama gue. Semua hal indah yang gue bayangin, itu bukan lo. Gue udah nemuin orang itu jauh sebelum lo kenal gue, jauh sebelum lo suka sama gue, jauh sebelum itu. Gue sama Geri itu takdir, dan ketemu sama lo adalah sebuah kesalahan. Jadi biarin gue mohon sama lo sekali ini, plis, jangan pernah lagi bahas hal kayak gini. Gue udah capek."
"Kalo lo gagal sama cewek lo, jangan buat orang lain ngerasain hal itu juga, lo tau seburuk apa hal itu. Kalo gak bahagia, jangan rebut kebahagiaan orang lain."
"Gue—"
"Adek!"
Teriakan itu menyita perhatian Gea dan menghentikan ucapan Abizar. Gea menoleh dan menemukan Andine berdiri diteras rumahnya, memandang lurus dirinya dan Abizar
"Ngapain disana? Masuk, hujan!" Teriak Andine "Itu temennya ajak masuk kesini, hujan."
"Pulang" suruh Gea capek "Cukup buat hari ini. Gue bener-bener gatau harus gimana ngadepin lo kedepannya. Tapi semoga lo berenti sampe disini."
"Gue belom selesai, dengerin gue dulu." Abizar menahan tangan Gea yang hendak masuk, namun Gea buru-buru menarik tangannya
"Gue ngerasa cukup dan gak ada yang pengen gue denger lagi dari lo. Masalah lo pulang atau nggak gue gak peduli, gue masuk." Acuh Gea dan meninggalkan Abizar dengan jas hujan yang dikenakannya.
"Siapa, bukannya diajak masuk" suruh Andine saat Gea berdiri dihadapannya
"Bukan siapa-siapa."
"Kasian, kayaknya basah kuyup."
Gea menatap Abizar sebentar yang masih disana dan berlalu dengan menarik Andine pelan "Biarin aja, udah ayo masuk."
***
Sama halnya dengan Abizar, Sella sama frustasinya bahkan lebih menyedihkan daripada Abizar. Sejak datangnya surat yang Geri sampaikan melalui orang lain, Sella tidak menyentuh makanan walau hanya sebutir nasi. Gadis itu melewatkan jam makan siang dan makan malamnya, namun hingga hampir tengah malam kini ia tak merasa lapar. Yang dilakukan Sella sejak 3 jam lalu hanyalah duduk termenung dengan memeluk lututnya sendiri.
Air mata tidak lagi turun membasahi pipinya karena sudah terlalu lama gadis itu menangis.
"Terlalu sibuk mencintai orang lain sampe buat gue lupa caranya mencintai diri sendiri" gumamnya gamang.
"Seharusnya rasa ini gak boleh gue biarin tumbuh. Karena dari dulu endingnya udah ketauan. Gue yang bakal menderita karena gak sanggup gapai Geri"
Sella ingat saat hari dimana Geri mulai magang dirumah sakit ayahnya. Perangai Geri yang ramah dan murah tersenyum ataupun bergaul dengan mudah, membuat Sella berfikir jika Geri menggodanya, atau sekedar usahanya untuk mendekati Sella.
Saat itu Sella sedang sakit setelah menjadi relawan dipusat bencana alam, bersama Geri dan yang lainnya.
"Cepet sembuh, jaga kesehatan biar bisa kerja lagi."
Kira-kira seperti itulah isi Line yang Geri kirimkan saat itu.
"Iya Ger, makasih"
"Jangan makasih kalo belom sembuh. Share lokasi kostan lo sekarang"
"Buat apa?"
"Kirim aja"
"Whatsapp ya."
Sella tersenyum geli ditengah tangisnya mengingat sesaat setelah ia mengirim lokasinya pada Geri, lelaki itu menelponnya dengan suara kesal.
"Lo bisa kirim lokasi pake whatsapp gak sih?" Kesal Geri saat itu
"Kenapa?"
"Gini ya Sell. Ditunggu dulu akurasinya max 100 meterlah, lo tunggu dulu, sabar, jangan pas loading gambar peta indonesia lo sand."
"Emang kenapa?"
"Gojeknya nelpon gue marah-marah katanya dia nyasar terus"
Sejak kejadian itu Sella menaruh hati pada Geri, ia merasa dispesialkan olehnya. Namun harapan Sella dipatahkan saat Geri mengenalkan Gea sebagai kekasihnya, terlebih hubungan mereka sudah sangat lama. Dan saat itu pulalah ia membiarkan dirinya berperang dengan Gea.
Suara ponsel Sella diatas ranjang membuat gadis itu menoleh. Lamunannya hilang dalam sekejap. Dengan malas Sella meraihnya dan menerima telpon dari Abizar
"Hm"
"Ayo sekarang"
Sella mengernyit dan mengusap bawah hidungnya sebentar "Apa?"
"Rencana gue, ayo lakuin sekarang"
"Gue nggak deh."
"Kenapa? Lo mau nyerah kayak beginian doang? Cemen lo." Ledek Abizar
"Bodoh banget gue nantang hati gue buat sakit lebih dalem."
"Lo gak mau coba dulu apa?"
"Nggak deh Zar, lo aja" Sella menggeleng
"Ah, anjing. Kenapa semua orang anjing banget sih hari ini!" Teriak Abizar membuat Sella menghela napas panjang. Merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi Sella memutuskan sambungan telpon mereka.
Sella tak akan melakukan apapun untuk menggagalkan acara Geri.
***
Acara Gea dan Geri berjalan lancar.
Senyum manis tak pernah sedikitpun pudar dari bibir Gea saat matanya entah sengaja atau tidak melihat cincin dijari manisnya.
Sejak tadi Gea terus menggaruk perutnya karena ia merasakan sesuatu yang menggelitik dari sana.
"Gue emang gak salah pilih."
Celetukan Geri menghentikan garukan Gea diperutnya. Gadis itu menoleh dan melihat Geri sudah berdiri dihadapannya dengan tuxedo juga jas dan kemeja berwarna putih, sama seperti gaun yang Gea pakai juga yang lain kenakan. Sedangkan tema lamaran yang mereka usung adalah sinema-kuliner. Tidak ada alasan lebih kenapa keduanya memilih tema tersebut, namun Geri bilang "Gue anak rumahan yang suka nonton film, dan Amanda yang selalu makan disemua kesempatan."
Gea bersyukur karena WO yang Bams kirim tidak keberatan dengan konsep gabungan yang Gea dan Geri inginkan, meskipun sedikit ribet.
Suasana semakin menunjukkan karakteristik keduanya. Dimulai dari poster seperti digedung bioskop, nama makanan seperti tiket nonton, dan minuman menggunakan mini klapper. Bahkan tempat bunga saja menggunakan tempat popcorn
Gea tersenyum menanggapi ucapan Geri barusan. Tangan Geri meraih tangan kiri Gea dan meletakannya didepan wajah lelaki itu
"Gue pinter pilih kan yangg?" Tanya Geri
"Lo gak salah"
"Iyalah, cantik" jawab Geri
"Sebenernya gue bingung mau pilih yang mana, semuanya bagus, tapi beruntung mata gue nemuin yang ini"
Gea mengernyit "Apa?"
Geri mengusap cincin pilihannya yang berhasil ia sematkan dijari manis Gea "Cincinnya"
"Oh..." Ujar Gea panjang dengan nada kosong, kerongkongannya terasa kering mendengar kenyataan yang Geri ucapkan.
"Tunggu" Geri merasa ada yang aneh dengan ucapan kekasihnya, ah atau mungkin sekarang Geri bisa mengklaimnya sebagai, tunangan?
"Apa lo baru aja mikir gue ngomong tentang lo?" Curiga Geri
"Karena lo bilang cantik" alibi Gea pelan
"Lo ngerasa cantik?"
"Emang nggak?"
"Hm.." Geri berfikir
"Ah bodo amat!" Kesal Gea "Pokoknya gue fikir lo ngomong tentang gue."
"Gue seneng lo akhirnya tau kalo itu bukan tentang lo." Geri menepuk pundak Gea pelan, lalu terkekeh setelahnya
Prosesi lamaran memang sudah selesai sejak 30 menit lalu, persis seperti yang Rion katakan, Geri banyak membeli barang tak berguna untuknya. Lelaki itu bahkan menyertakan gunting kuku dan sisir didalam alat make up Gea.
Tiba-tiba Gea memeluk Geri membuat Geri mengernyit bingung "Kenapa?"
"Pengen aja"
"Aneh"
"Makasih karena udah sembuh Geri" gumam Gea
Geri mengusap belakang kepala Gea "Makasih karena gak ninggalin gue."
Seseorang memisahkan mereka berdua dengan kedua tangan yang sengaja dibentangkan
"Apaan sih Mas" kesal Gea
"Masih lamaran, belom boleh peluk-pelukan" jawab Rion
"Biasanya Geri cium gue lo diem aja"
"Hari ini nggak, biar disangka abang yang sayang adeknya" jawab Rion cuek.
Gea mendengus mendengar ucapan Rion.
"Bro." Bagas menyapa Geri dan berdiri dibelakang lelaki itu, menutup kedua mata Geri dengan kain tanpa sempat membiarkan lelaki itu protes "Jangan dibuka, kalo bukan gue yang buka"
Mata Gea ikut ditutup oleh Rion
"Apasih" Gea meraba wajahnya "Mas idung gue lo tutup juga"
"Eh" Rion memeriksa itu dan benar, hidung Gea tertutup. Bagas tertawa saat Rion membetulkan kain diwajah Gea
"Sekarang lo dengerin gue baik-baik. Jangan betingkah, bikin gue kesel sedikit gue slengkat" ancam Bagas
"Lo pasti bakal lakuin itu walaupun gue diem" balas Geri
Bagas tertawa "Jawaban lo emang menunjukkan seberapa lama persahabatan kita."
Rion menuntun Gea, bukan, melainkan menggendong Gea dibelakang sedangkan Bagas menyelipkan tangan Geri diantara keteknya dan menuntunnya berjalan.
"Mau kemana sih?" Gea membuka suaranya
"Lo bakal tau"
Gea berpegangan pada pundak Rion saat tubuhnya diturunkan dengan perlahan "Udah boleh buka?"
"Jangan, kalo bukan sama gue" balas Rion
Gea menggeliat. Karena matanya ditutup Gea tidak dapat melihat sekitarnya, jadilah tangannya yang terbentang diudara sempat mampir diwajah Geri
"Yangg!"
Rion tertawa, begitu juga Bagas
"Sorry" sesal Gea sebentar
Rion dan Bagas sudah bersiap untuk membuka tutup mata pemeran utama malam ini.
"Lo itung Ger" titah Bagas
"Sampe mana?"
"Bintaro"
Bagas mengaduh saat Geri menyiku perutnya.
Gea menghitung sampai tiga mewakili Geri karena sudah penasaran, dan tepat dihitungan ketiga penutup kain keduanya dibuka dan muncullah sebuah video dalam layar besar menunjukkan video mereka berdua.
Kedua mata Gea maupun Geri tak berpaling dari layar besar didepan mereka, menonton video mereka yang berhasil diabadikan oleh orang-orang terdekat mereka.
Scene yang menirukan saat Gea dan Geri berdebat berhasil mengundang tawa seluruh tamu yang menyaksikan. Begitu juga mereka yang sedang diimpersonetkan.
"Mereka bener-bener kenal kita" puji Geri saat teman-temannya terasa nyata memperagakan dirinya
"Atau kita yang gak punya temen lain selain mereka?" Balas Gea.
Mata Gea berkaca-kaca saat bergantian dari mereka menyampaikan harapan dan rasa cintanya pada Gea juga Geri. Saat tiba giliran Bagas suara tawa kembali terdengar. Lelaki itu hanya mengucapkan "Selamat" dengan wajah datar dan out frame
"Heh!"
Seruan Bagas menggagalkan rencana Bams untuk pergi, jadilah lelaki itu kembali inframe
"Yang serius dikit" paksa Bagas
"Itu serius."
"Kalo gitu yang panjang"
"Seeelaaamaaat" ulang Bams dengan nada lagu ulang tahun yang kembali mengundang tawa.
"Bener-bener gak berubah" gumam Geri pelan
Lampu kembali dinyalakan tanda pertunjukkan sudah selesai. Gea mengusap pipinya yang berair karena terharu dengan apa yang teman-temannya berikan.
Rian mendekati keduanya dengan Anna digendongannya "Akhirnya yaa" ledeknya
Anna merentangkan tangannya kearah Geri dengan jari digerak-gerakkan gemas, ingin digendong namun Rian melarangnya.
"Anna sama Kakak dulu, jangan sama Gepa." Ujarnya halus
"Kenapa?"
"Dengerin apa kata Kakak" tambah Gea lembut
Bagas, Bams dan Sarah mendekati mereka "Gue yang punya rencana lo yang duluan" kesal Sarah
"Lo bisa nyusul setelah kita." Gea tersenyum
"Cewek lo mana Bams?" Tanya Geri
"Yang kemaren bukan pacar gue" Bams menggeleng
"Lagu lama kaset kusut" ledek Bagas dan mengerling pada Geri
Geri terkekeh, namun tawanya mereda saat matanya menangkap seseorang yang berjalan kearah mereka, terutama kearahnya, dengan kotak berbungkuskan pita berwarna biru ditangannya.
Suasana berubah sunyi saat gadis itu itu bergabung dengan mereka.
Gea hanya diam memperhatikan itu, sedangkan Sarah nampak gelisah ditempatnya
"Selamat ya kak" Caca mengulurkan tangannya
Geri melirik pergelangan tangan Caca sebentar dan membalas uluran tangan itu "Makasih. Lo kapan pulang?"
"Kemarin." Caca tersenyum dan menatap Gea yang tengah tersenyum padanya. Caca menyerahkan kotak ditangannya kearah Gea "Selamat ya kak."
Gea menerima itu dengan senyum dibibirnya "Makasih, udah makan?"
"Udah"
Gea mengangguk "Kalo gitu gue taro kadonya dulu yah kesana" tunjuk Gea kedalam rumah "Have fun yah" gadis itu berlalu
"Yangg" teriak Geri yang dihiraukan Gea.
"Sebentar" Sarah menyusul Gea. Dan perlahan satu persatu dari kerumunan tersebut undur diri dengan alasannya masing-masing, menyisakan Geri dan Caca.
Geri menghela napas pelan sebentar "Lo menikmati acaranya?"
Caca mengangguk "Asik, penuh kekeluargaan."
"Bisa ngobrol sebentar?"
Sekali lagi Caca mengangguk "Boleh"
***
Geri membawa Caca ke tepi kolam sedikit jauh dari tempat berlangsungnya acara. Keduanya berdiri bersisian tanpa suara selama 15 menit
"Gimana kuliah lo?" Tanya Geri
"Wisuda bulan depan"
"Selamat"
Caca mengangguk "Makasih"
"Setelah itu apa?"
"Aku bakal balik ke indonesia dan tinggal disini lagi."
"Semoga lo dapet kerjaan yang sesuai sama pashion lo."
"Semoga" jawab Caca sedikit bergumam
"Ca"
"Iya?" Caca menoleh kearah Geri disampingnya
"Hidup gue udah sempurna" cerita Geri
"Bagus kalo gitu."
"Gue udah nemuin seseorang yang tepat dan gue udah bahagia."
"Aku ikut seneng dengernya." Caca tersenyum saat mengatakannya
Geri menghadap Caca "Gue harap lo juga ngerasain hal yang sama"
"Apa?"
"Hidup bahagia"
"Aku bahagia kok" jawab Caca "Aku udah bahagia kak"
"Kalo gitu" Geri meraih tangan kanan Caca dan menatap Gadis itu. Perlahan tangannya melepas gelang yang tersemat ditangan gadis itu dan membuangnya kedalam kolam "Mulai dengan lepasin gue."
Caca menatap gelang pemberian Geri dulu yang lelaki itu berikan padanya beberapa tahun lalu, mengambang diatas air. Caca tak menyangka gelang tersebut akan dibuang oleh orang yang sama yang dulu memberikannya.
"Apa sebesar itu perasaan lo ke gue sampe-sampe lo pake gelang itu ke acara gue?" Tanya Geri "Lo mau nunjukkin kalo lo masih suka sama gue dengan pake itu? Atau lo mau gue sama Gea berantem diacara kita?"
"Gak gitu" Caca menjawab dengan panik
"Terus apa? Apa maksud lo pake gelang itu?"
"Karena aku masih sering pake gelangnya"
"Biar apa? Dengan kayak gitu lo justru bakal diolok-olok orang banyak." Balas Geri "Apa yang lo lakuin selama ini sampe gak bisa ngapus gue dari perasaan lo? Lo tau kalo perasaan lo gak bakal terima balasan kenapa masih dilakuin juga?"
Caca diam
"Gue bilang kalo gue udah bahagia sama pilihan gue. Jadi gue harap lo bisa bahagia sama pilihan lo." Geri menghela napas sebelum menyelesaikan ucapannya "Gue pergi. Ini kali terakhir kita ngobrol pribadi kayak gini."
Caca mulai menangis saat Geri menepuk pundaknya dengan lembut sebanyak dua kali dan berlalu setelah mengatakan "Cepet sembuh" padanya.
Semoga dengan seperti ini Caca berhenti mengharapkan Geri dan melupakan perasaannya pada lelaki itu.
----
Tbc