Indira berlari menyusuri koridor rumah sakit. Beberapa kali tak sengaja tersenggol dengan orang yang berlalu lalang. Sudah ditahannya perasaan kacau ini di mata pelajaran terakhir sampai akhirnya bel pulang berbunyi dia langsung ke mari.
Dia berhenti sejenak begitu melihat ruang yang dicarinya tinggal beberapa langkah dari tempatnya. Dia mengatur napasnya dengan sempurna serta mengatur emosi agar tak menangis begitu saja bila bertemu dengan Keynand. Meski dia tetap ragu mampu menahan itu atau tidak.
Begitu sampai di depan pintu ruangan, perlahan pintu dibuka dan menampilkan Keynand yang berbaring di brankar. Pria itu menoleh ke arahnya.
Indira melangkah mendekat. Matanya terus menatap sekujur tubuh Keynand tanpa berpaling sedikitpun. Keynand terlihat mengubah posisinya menjadi menyender dengan bantal.
Dada Indira terasa nyeri, sesak pun dengan matanya yang mulai memanas. Tibalah di hadapan pria itu, Indira memberikan senyum terbaiknya. “Ternyata gue kangen sama lo.”
Keynand masih menatapnya tak memberi respons apa pun.
Dilihatnya wajah Keynand yang pucat. “Kenapa tetap genteng, ya?” Indira bergumam sendiri.
Indira menghela napas sambil mengedipkan beberapa kali matanya agar tidak ada yang lolos begitu saja dari sana. “Lo enggak ada niatan nyambut kedatangan gue?” tanyanya.
Keynand tersenyum sekilas. “Cie kangen gue.”
Indira terkekeh dan tepat saat itu air matanya begitu saja melalu kelopak. Bagaimanapun dan sekeras usaha yang dilakukannya agar tak menangis tetaplah sia-sia. Ini begitu menyayat hatinya.
Dihapusnya dengan cepat air mata itu lalu duduk di kursi dekat brankar. “Gue buru-buru ke sini, jadi enggak sempat bawa apa-apa.”
“Yah. Ya udah sih, enggak pa-pa," respons Keynand.
Belum lama pria itu merespons dia sudah tampak meringis. Entah apa yang dirasakannya membuat Indira spontan berdiri dan memegangi pria itu.
“Gue panggil dokter dulu, Key,” ucapnya panik, tetapi dicegah oleh Keynand.
Indira menatap Keynand dengan penuh tanda tanya. Mengapa pria itu tak mengizinkannya memanggil dokter?
Belum sempat Indira bertanya alasan tersebut Keynand lebih dulu menarik dirinya ke dalam pelukan. Indira terkejut begitu berada dalam dekapan pria itu.
“Kalo kangen ya peluk.” Keynand berbicara.
Indira diam. Di satu sisi dia senang berada dalam pelukan ini, satu sisi lain dia semakin takut tak bisa berada dalam dekapan ini lagi.
Air matanya kembali jatuh. Dia takut membayangkan semuanya. Dia takut.
Dibalasnya pelukan Keynand tak kalah erat. Memejamkan mata, mencoba menggali kembali kenangan mereka, membayangkan bahwa setelah ini pasti akan ada waktu panjang untuk mereka kembali membuat kenangan.
Tangan Keynand beralih mengelus rambut Indira. Mencium kepala gadis itu. Gadis yang berhasil membuat dia tak bisa mengungkapkan betapa dia mencintainya.
Sebelum melepas pelukan itu Indira sengaja menghapus semua jejak air mata di pipinya lalu menatap Keynand dengan tajam. “Lo sebenarnya sakit, enggak, sih?” tanyanya.
“Sakitllah. Kan, ada di rumah sakit.”
“Yang barusan. Kenapa peluk gue kalau beneran kesakitan?” tanya Indira lagi.
“Enggak. Gue cuma bercanda biar bisa peluk lo.” Keynand terkekeh.
“Modus!”
“Tapi lo suka. Iya, 'kan?” Keynand terdengar menggoda.
Indira menatap pria itu dengan memicingkan mata. “Iya, suka. Puas lo?”
“Ya udah kalau suka. Sini peluk lagi.” Keynand merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum jahil.
***
Kini menjadi rutinitas Indira menjenguk Keynand bila pulang sekolah sebelum menuju kafe.
Kemarin dia sempat bertemu kedua orangtua Keynand. Tante Anit mengatakan bahwa Keynand harus tetap berada di rumah sakit sampai mendapat donor ginjal.
Ibu Keynand itu juga mengatakan bahwa kemungkinan Keynand mendapat donor ginjal pun sangatlah kecil. Pasalnya sejauh ini sudah ada tiga pendonor yang ternyata tak cocok dengan ginjal Keynand.
Indira ingat jelas saat Tante Anit mengatakan bahwa jika dalam kurun waktu dekat ini belum juga ada donor ginjal yang cocok, maka keadaan Keynand akan semakin buruk. Cuci darah yang selalu dilakukan pria itu tak lagi dapat membantu untuk kurun waktu yang cukup lama. Pasalnya hanya selat hari pria itu harus menjalani cuci darah tersebut. Hidupnya tak bisa terus bergantung dengan itu.
Sambil mendorong kursi roda Keynand ke taman rumah sakit, Indira berkata, “Sebentar lagi bakal ujian akhir semester lho, Key. Lo ujian di rumah sakit berarti, ya?”
“Gue mau ujian di sekolah.”
“Kan, keadaan lo ....”
“Kali aja ini ujian terakhir gue. Harusnya bisalah di sekolah.” Keynand menyela ucapan Indira.
Indira diam.
“In?”
“Ya?” Indira sedikit menunduk dan berhenti mendorong kursi roda.
“Coba duduk dulu di sana, yuk.” Keynand menunjuk sebuah bangku di taman itu. Indira hanya menurut dan mendorong kursi roda ke sana.
Indira duduk di bangku itu lalu kursi roda Keynand menghadap ke arahnya.
“Lo masih kerja di kafe?” tanya Keynand.
Indira mengangguk.
“Lo lihat, 'kan, pas gue kolaps di sana?” tanyanya lagi.
Dan Indira kembali mengangguk.
“Kenapa enggak mau temuin gue?” Keynand lagi dan lagi bertanya.
“Gue pikir ... gue pikir lo ... eum ....”
“Gue marah sama lo waktu itu dan enggak mau ketemu lo lagi?”
Indira menunduk dalam. “Salah satunya.”
“Salah duanya?”
“Lo sama Ona ....”
Belum sempat Indira melanjutkan perkataannya, Keynand sudah lebih dulu mengacak rambutnya. “Lo beneran ngira gue sama Ona ada hubungan?” Keynand tampak terkekeh.
“Lho, emang salah? Bisa jadi, 'kan?” protes Indira.
“Dasar. Ya enggaklah. Orang dari awal gue suka sama lo.”
Ucapan Keynand tentu saja membuat degupan jantung Indira tak terkontrol. Bagaimana jika pria di hadapannya ini dapat mendengarnya? Huaaa!
“Gue suka samo lo, In.” Keynand kembali berbicara.
“Ish. Lo kenapa ngomongnya berkali-kali gitu, sih. Tadi, 'kan, gue udah denger,” omelnya.
“Gue mau lo jawab,” balas Keynand.
“Jawab apaan? Lo ngasih gue pernyataan bukan pertanyaan, Keynand.”
“Lo harus jawab kalau lo enggak suka gue.”
“Ha?”
Kali ini Indira benar-benar terkejut atas apa yang baru saja Keynand katakan. Bagaimana mungkin dia mengatakan itu? Bahwa pada nyatanya dia memiliki rasa yang sama.
“Cuma dengan jawaban itu bisa bikin gue pergi dengan tenang. Cukup gue yang suka sama lo. Cukup gue yang mencintai lo. Sementara kalau gue udah enggak ada lo bisa mencintai orang lain, lo bisa menyukai orang lain. Anggap aja gue orang rese yang selalu gangguin lo ....”
“Gue suka sama lo. Gue suka banget sama lo ... Keynand.” Seolah tak terima atas apa yang baru dikatakan Keynand, Indira langsung saja menyela perkataan pria itu. Mana mungkin berlaku hal seperti itu? Mana mungkin hanya dengan mengatakan bahwa dia tak menyukai dan mencintai Keynand maka ketika pria itu pergi dari dunia ini dia akan baik-baik saja?
“Lo coba pikirin ulang, deh. Mana mungkin lo suka sama cowok kayak gue. Rese, kepedean, penyakitan ....”
“Iya, lo bener. Mana mungkin gue suka lo.” Lagi-lagi Indira menyela.
Kini justru Keynand yang terdiam.
“Karena gue udah jatuh cinta sama lo, Key.”
***
Satu episode lagi Tabula Rasa menemui akhirnya.
Jangan lupa tinggalin jejak.
With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka