Happy reading
***
Reno menunggu kepulangan adiknya di halaman rumah dengan begitu amat khawatir, ia merasa menjaga Raisa adalah tanggung jawab terbesarnya apalagi jika kepergian Raisa juga ada sangkut pautnya dengan teman-temannya.
Akhirnya yang ditunggu pun tiba, Raisa sampai bersama Arsa menggunakan mobil pemuda itu. Mobil itu terparkir di halaman rumah, dan disusul oleh dua orang yang turun dari mobil.
“Bisa gak jangan buat khawatir orang? Sa . . ., sejak kapan berani keluar malam sendiri denghan alasan gak jelas gini? Gak mikir lo ada kemungkinan orang buat jahat ke lo?” Kedatangan Raisa langsung dicerca banyak pertanyaan oleh sang kakak.
“Kok lo tahu gue pergi?” Tanya Raisa basa-basi.
“Arsa.” Jawab Reno.
“Arsa yang kasi tahu lo atau lo yang kasi tahu Arsa gue pergi? Apa kebetulannya barengan? Walau Arsa tahu gue keluar rumah, dia mikirnya gue pergi sama lo. Kenapa lo harus bohong sih? Kenapa harus ngerepotin Arsa untuk cari gue.”
“Raisa . . ., aku yang nawarin diri buat cari kamu.”
“Bukan karena Reno gak mau ketemu kak Galih? Sejak kapan gue punya kakak yang overprotektif?” Sindir Raisa.
“Overprotektif?” Tanya Reno seraya membuka mulutnya tidak percaya.
“Gue hapus GPS yang lo pasang di HP gue. Jangan pernah lakuin itu kalau lo memang sayang sama gue.” Raisa menatap Reno tajam sedangkan Reno menatap Arsa seolah-olah bertanya.
“Jangan cuma karena ini jadi berantem sama kakak sendiri.”
“Cuma? Arsa Diroz, mau seganteng apa pun lo, jangan ikut campur terlalu dalam di hidup gue. Pacar aja bukan.”
Sebelah alis Arsa terangkat, bisa berikan penjelasan lebih makna yang tersirat dalam kalimat ini? Kenapa jadi marah padanya?
“Masih marah? Kan aku udah minta maaf dan janji gak ngulangi lagi.”
Padahal Arsa sudah mau jujur dan sebenarnya ia datang pada Raisa hanya mau minta agar Raisa hadir di pertandingan basketnya.
“Tahu gak sih, gue benci banget sama cowok overprotektif.”
“Raisa . . . .” Reno memanggil nama Raisa dengan menggeram.
“Gue sebagai kakak lo sayang banget sama lo.”
Raisa terlalu fokus beradu argument dengan Reno dan juga Arsa, menatap mata Reno dengan ketidak kepercayaan sampai tidak menyadari bahwa Ibunya sudah berada di dekat mereka. Saat hendak pergi dan menjauh dari tubuh Reno yang menghalanginya, di situlah ia beradu pandang dengan sang Ibu.
Raina berjalan menghampiri Raisa dengan tangan yang setia ia lipat di depan dadanya. Raina sudah mengenakan piyama dan bersiap untuk tidur namun, kebetulan yang membawanya tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang ini.
“Kamu itu anak perempuan tapi pulang larut malam? Kamu mau buat malu mamah?! Pulang sama laki-laki yang gak jelas hmm? Kamu tahu mamah ngebangun image untuk kamu mendekatkan kamu dengan laki-laki yang bisa menjamin masa depan kamu tapi kamu malah merusak usaha mamah!”
“Mah maksud mamah apa sih? Iya aku minta maaf karena keluar malam gak izin.”
Raina menatap Arsa tidak suka, lihatlah penampilan pemuda ini. Kaus polos dan celana basket membawa pulang anak perempuan semata wayangnya.
“KAMU JANGAN DEKAT ANAK SAYA. MEMBAWA ANAK SAYA PULANG LARUT MALAM SEMAKIN MEMBUAT SAYA TIDAK SUKA DENGAN LAKI-LAKI SEPERTI KAMU.” Raina kembali menatap Raisa yang wajah merah padam sekarang.
“Dia pacar kamu?” Tanyanya pada Raisa.
Raisa terdiam, ia hanya berharap pada Reno untuk menjelaskan pada Ibunya. Jika Raisa yang menjelaskan pasti tidak akan di dengar.
“Belum tan, baru ngungkapin perasaan tadi tapi belum ngajak jadian.” Ucap Arsa sambil memaksakan senyumnya, ini adalah hal seru . . . . Arsa sangat menyukai tantangan, belum apa-apa ia sudah dapat lampu merah, entah mengapa Arsa merasa Raina mirip sekali dengan Ibunya, entah dalam hal apa.
Reno menatap Arsa tidak percaya, ia baru mau menjelaskan dan meluruskan apa yang terjadi tetapi malah dibuat rumit oleh Arsa.
“Bukan gitu maksudnya Mah, tapi kalau memang pacaran wajar aja kan?” Ucap Reno menengahi.
“Reno bawa adik kamu masuk!” Titahnya.
Reno tidak bisa menolak walau sebenarnya ia tidak ingin melakukannya, tetapi ia harus. Reno mengajak Raisa masuk namun, Raisa menolak.
“Reno lo gila?!” Ucapnya pelan.
“Mau gimana lagi Sa? Lo penyebabnya ngerti? Lo tahu Arsa kan dia gak lemah soal ini. Keras kepala sama keras kepala bairin aja ketemu.”
Raisa melototkan matanya mendengar ucapan Reno, Reno memang berhasil menariknya agar menjauh tapi hatinya belum ikhlas dan berniat kembali dan memberontak.
“Lo gak mikirin teman-teman lo di dalam? Cukup jangan sampai masuk ke ego lo dalam masalah ini. Anggap aja ketemu mamah, ngebuktiin apa benar Arsa cinta sama lo seperti apa yang dia bilang.”
“Kenapa lo pengen banget Arsa suka sama gue.”
“Lo tahu kakak lo ini selain ngeselin juga nyebelin.”
“Anjir, jujur Ren gue malu jadinya dan LO . . . .” Raisa menekan ucapannnya di kata terakhir. “ Apa-apaan lo sok baik, kita masih berantem.”
“Udah-udah masuk kamar dari pada papah bangun.” Dengan berat hati Raisa masuk kamar dan menemui teman-temannya yang sudah menunggunya.
“Raisa lo gak papa kan?” Tanya Cery panik.
“Kok ribut gitu sama abang lo?” Tanya Zila.
Raisa diam mengalihkan pikirannya kini hanya pada teman-temannya. “Gue minta maaf ya, mau have fun malah ngerepotin kalian.”
“Deg-deg’an sedikit sihhh.”
“Sorry.”
“Lo ceritain semuanya ya? Biar kita bisa bantu juga Sa. Gak tahu kenapa gue ngerasa masalahnya berat, percaya sama gue, kita cari jalan keluarnya sama-sama.” Ucap Zila meyakinkan.
“Gue ketemu kak Galih dia sahabatan sama kak Reno dulu, tapi ngilang sama kaya Jeprin dan gue juga ketemu dia tadi. Gue merasa ---pembicaran singkat yang tersirat.” Raisa terdiam mengingat hal yang tadi terjadi, ia mengambil secarik kertas yang diberikan oleh Galih, ia mengeluarkan kertas itu dari saku celananya dan membaca tulisan yang ada di kertas itu lalu memperlihatkannya pada kedua temannya.
“Anehnya kak Galih buru-buru pergi pas Arsa datang.” Ucapnya dengan pikiran yang liar.
“Gue siap bantuin.” Kata Zila
“Raisa maaf . . . .” Lirih Cery. “Izinin gue tahu semuanya karena gue merasa ini ada hubungannya sama kecelakaan kakak gue. Gue udah nyusun kepingan itu tapi gak nemu.”
“Ceryyy . . .? Serius?” Tanya Zila dan disusul oleh Raisa.
“Please . . . jangan sampai orang lain tahu. Ini rahasia kita.”
“Pantas aja Galih bawa-bawa lo tadi pas ngobrol, gue yakin Galih baik.”
“Jangan percaya sama orang lain seratus persen Sa dan dia bukan orang baik. Setahu gue.” Cery menatap Raisa dengan tatapan serius. “Dia juga bukan orang baik, jangan bodoh karena rasa yakin, jangan mudah terlena sama lawan. Tapi dia satu-satunya kuci kalau memang mau tahu kebenaran.”
“Kita harus melindungi orang jahat dan itu satu-satunya jalan tapi jangan sampai menimbulkan kepercayaan apalagi kalau berlebihan.” Sambung Cery.
Raisa mengangguk dan meratapi dirinya yang hampir terjebak jika tidak diberi masukan yang sangat jelas dari teman-temannya.
“Ini lah gunanya untuk gak nyimpan rahasia, mengurangi beban dan setidaknya mengurangi resiko terhindar dari jebakan.”
“Lo yakin gak ada yang disembunyiin?” Cery menyahut ucapan Zila namun, Zila malah membisu.
“Udah-udah, jangan bikin tambah pusing.”
“Waktu masa orientasi teman gue cuma Gisel. Lo paham kan Zee kalau gue dekat sama Gisel?”
“Jadi lo dapat semua rumor dari Gisel? Kalau gitu gue baru paham.”
“Jangan terlalu dekat sama yang suka nyebarin rumor. Cuma saran.” Lanjutnya.
“Kayanya itu Audrey banget gak sih? Bukannya Gisel.” Sambung Cery. “Gue ganti baju dulu ya, tidur aja lah besok bisa terlambat nanti.”
Dilain tempat, wanita yang tengah memandang ke arah pemuda dengan tatapan yang tidak suka dan mengintimidasi.
“Asal kamu tahu, saya sudah banyak berusaha untuk mendekatkan Raisa dengan laki-laki baik yang punya masa depan jelas. Jujur saja sepertinya anak saya Reno pun membela kamu, sudah pasti kamu memberi pengaruh tidak baik sama Reno kan? Saya jelas tidak suka teman-teman Reno, apalagi saat Reno SMA dan saya mengingat kamu ada dalam circle Reno pada waktu itu.”
“Ingatan tante sangat baik.” Ucap Arsa kagum.
“Pemerkosa? Penculikan? Perilaku bejat dan gak akan pernah bisa di maafkan apalagi untuk dekat dengan anak saya. Reno anak baik yang untungnya tidak terpengaruh.”
“Tante, apa saya sangat gak baik? Saya mengklaim diri saya jauh dari kata itu dan dari prmikiran tante.”
Raina terkekeh dengan sinis. “Penampilan kamu sangat tidak terurus. Apa yang anak saya sukai dari kamu? Tampan? Masih banyak laki-laki tampan.”
“Ayah kamu kerja apa? Cita-cita kamu apa? Apa sekarang sudah prepare masa depan?”
Arsa juga ikut terkekeh dibuatnya. “Ayah sudah meninggal.” Ucapnya dengan nada tak suka.
Raina mengangguk. “Oke saya minta maaf untuk itu.”
“Untuk masa depan? Saya mendeklarasikan bahwa saya laki-laki bertanggung jawab, belum seratus persen mengambil keputusan tentang cita-cita dan masa depan karena saya sangat bijaksana dalam hal membuat keputusan dan tidak ingin terburu-buru. Yang jelas saya juga tidak akan mau jadi pengangguran dan sebisa mungkin akan memenuhi kebutuhan jasmani rohani lahir dan batin orang yang saya cintai.” Ucap Arsa percaya diri dengan nada yang tenang.
“Kata-kata kamu bagus, Cuma kalau hanya di perkataan itu Cuma manis di telinga kan? Perjalanan kamu juga sangat panjang jika ingin di restui.”
“Kamu anak beasiswa di sekolah.”
“Oh jelas bukan. Utuk saat ini saya sekolah dengan uang pinjaman, tinggal sendiri, dan mobil mahal yang saya bawa ini juga pinjaman. Saya juga bukan orang yang pintar. Jadi memang jangan menaruh harapan dengan kata-kata saya yang tadi.”
“Saya suka percaya diri kamu, tapi saya tidak suka anak saya dekat dengan kamu. Saya peringatkan sekali lagi untuk jauhi Raisa. Saya gak mau anak perempuan saya diprotin sama laki-laki kaya kamu, jelas kamu kurang usaha untuk menyiapkan masa depan.”
“Tante Raina, jangan menilai orang dari apa yang tante lihat.”
“Tentu saja! Kalau saya menilai kamu dari mata saya, saya tentu akan mengizinkan kamu dengan anak saya karena membawa mobil mewah dan jam tangan kamu saya sudah tahu harganya. Tapi ini kan tidak! Saya berpositif thinking itu semua pinjaman karena saya baik saya ingin memperingatkan, berusaha buat masa depan, jangan kebanyakan berhutang.
“Kamu masih muda, perjalanan masih panjang dan uang pun belum mampu dihasilan secara mandiri. Anak kaya kamu itu maunya yang instan muluuu, takut ambil risiko, menghindar dari masalah dan mau gaya-gayaan tapi gak bermodal. ” Raina tersenyum sinis menyatakan ketidak sukaannya yang nyata.
Raina meninggalkan Arsa dengan keadaan Arsa yang sangat tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan Raina. Arsa mendongakkan kepalanya ke atas langit. “Ya Tuhan . . . .” Gumamnya. “Baru kali ini ada yang menilai tampang gue secara mendetail dan penuh keburukan.” Arsa berbicara pada dirinya sendiri.
***
Instagram : naswanindya