Satria Dirgantara [Complete]

By BerlianLhegusa5

97K 9.7K 2.3K

Namanya Satria Dirgantara. Seperti namanya, ia seorang kesatria, tapi ... kesatria tanpa senjata. Membuat dir... More

Prolog
1. Pemberi Luka Baru
2. Harapan yang Memudar
3. Harapan di Balik Pedihnya Luka
4. Kita yang Sama-Sama Terluka
5. Luka Pertama di Sekolah
6. Bahagia, ya?
7. Kata yang Lebih Menyakitkan dari Pukulan
8. Bukan Lelahnya, tapi Sakitnya
9. Pesona Seorang Fian
10. Lagi-Lagi Dirga yang Disalahi
11. Tangguh, tapi rapuh
12. Tebengan Pertama
13. Sakit
14. Hangat untuk Sang Dirgantara
15. Lapuk untuk Kemudian Patah
17. Lagi dan Lagi
18. Sejatinya yang Fino Rasa
19. Adek
20. Gelap
21. Masalah Lagi
22. Tepat pada Waktunya
23. Rumah dan Kekosongan di dalamnya
24. Apa Ini Awal dari Segalanya?
25. Siapa yang Lebih Menderita?
26. Tugas dari Bu Fita
27. Saat Fian Pergi
28. Sosok Beku yang Mulai Luluh
29. Dirga dan Rasa Sakitnya
30. Fian Kembali
31. Anak itu Punya Banyak Rahasia
32. Sekolah itu Bencananya Sang Dirgantara
33. Rasanya Seperti Mau Mati
34. Maaf
35. Rumah Sakit
36. Rahasianya Terbongkar Sudah
37. Dulu Asing Sekarang Penting
38. Back to School
39. Dalam Peluk Bahagia
40. Ibu
41. Masalahnya Ada Pada Fian
42. Penjelasan Bintang
43. Akhirnya Luka Itu Menemukan Ujungnya (End)
Epilog
Special Part
Half Beast
Tanya

16. Rasanya Menyesakkan

1.8K 194 34
By BerlianLhegusa5

''Rasa cinta bisa berubah menjadi benci dalam sekejap mata, begitupun sebaliknya.''

💎Happy reading💎

Hal pertama yang Dirga lihat saat sukses membuka kelopak mata adalah langit-langit ruangan yang diberi cat warna putih bersih. Saat ia menjatuhkan pandangan ke sekitar, Dirga tahu kalau kini ia sedang berada di UKS. Walau ini kali pertama Dirga memasuki ruangan ini, Dirga tetap bisa tahu kalau sekarang ia berada di UKS. Pasalnya dulu Dirga juga sering masuk ke ruangan pengap ini di sekolahnya yang lama. Suasananya jelas tak jauh berbeda dan Dirga tak butuh waktu lama untuk mengartikan semua.

Sejauh mata memandang, yang dapat Dirga lihat hanya sebatas ruangan kosong---walau masih ada dua brankar lainnya yang tak berpenghuni---tak ada satu orang pun yang menemani. Tidak guru kesehatan, tidak pula satu teman sekelasnya. Teman, ya? Memang semenjak kapan Dirga kenal apa itu teman?

Sampai akhirnya Dirga menarik satu senyuman. Mencoba menyusun kembali hatinya yang mulai tak beraturan. Sensasi rasa di kepala memang tak lagi terasa menyakitkan, tapi sakit di pipinya membuat Dirga teringat apa yang telah terjadi. Beberapa waktu lalu, Bintang memukulnya kuat sekali. Sampai Dirga tak sadar ia mendapatkan pukulan itu sebanyak berapa kali. Hanya sunyi dengan pemandangan hitam di sekitar saja yang bisa Dirga ingat terakhir kali. Ah, tidak. Sepertinya ada banyak bintang-bintang yang berputar di kepala. Sampai akhirnya Dirga benar-benar tak lagi mengingat apa-apa.

Atensi Dirga sepenuhnya teralih. Ketika pintu UKS berbunyi dan menampakkan sosok perempuan paruh baya tengah berdiri di ambang pintu. Kemudian perempuan itu tersenyum saat melihat Dirga sudah sadarkan diri.

"Sudah bangun ... mmm, Dirga?" tanya wanita itu ragu-ragu.

Untuk itu Dirga segera mengangguk dan mempersilahkan guru UKS itu masuk. Padahal kalau tidak dipersilahkan pun guru itu pasti akan masuk. Toh ini tempat miliknya. Guru itu yang lebih berhak atas apa-apa yang ada di sini, tapi dengan bodohnya Dirga malah mempersilahkan guru itu masuk.

"Ini ibu bawain roti sama teh hangat. Kamu minum, ya. Itu bibir kamu pucat banget loh," katanya sembari meletakkan roti juga segelas teh hangat di meja samping brankar yang Dirga tiduri.

Dirga baru akan mengucap terima kasih, tapi suara Sang Guru lebih dulu terdengar dan membuat Dirga otomatis menelan kembali kalimatnya. Mendengarkan dengan seksama apa yang akan guru itu tanyakan atau katakan padanya.

"Salah satu teman kelas kamu liat kamu pingsan di kelas ... dan sepertinya kamu dihajar? Atau habis berantam?"

"Saya dipukuli, Bu," jawab Dirga dengan suara lantang.

Dirga tak mungkin begitu saja bisa memaafkan apa yang sudah Bintang lakukan. Memaafkan dengan hati yang lapang bukanlah cara Dirga mengakhiri semua. Itu hanya akan membuat Bintang merasa semakin berkuasa dan berakhir kembali menyiksanya. Lebih baik Dirga mengadukan semua pada guru agar anak itu mendapat ganjaran dari perbuatannya. Berharap dengan begitu Bintang jera dan tak akan melakukan kesalahan yang sama. Cukup hari ini dia dipukuli, besok jangan lagi.

"Siapa yang mukulin kamu? Astagaa ... anak-anak sekarang kasar-kasar, ya. Sampai bikin anak orang pingsan segala."

"Namanya Bintang, Bu. Saya enggak tau dia dari kelas mana, tapi ... kalau soal pingsan kayaknya enggak sepenuhnya salah Bintang, deh, Bu. Saya pingsan, mah karena emang dasarnya aja lemah. Hehehe."

➰➰➰

"Tunjukin mana orangnya ke gue besok. Biar gue buat babak-belur juga muka, tuh anak sialan."

Suara Fian menggema di sudut-sudut rumah saking kencangnya ia bersuara. Padahal Dirga duduk kurang dari satu meter darinya, tapi Fian benar-benar tak bisa menahan amarah saat mendengar Dirga bercerita tentang bagaimana anak itu mendapatkan memar di pipinya.

Dari awal Dirga memang tak ingin menyembunyikan apa-apa kepada Fian. Bukan karena Dirga ingin diperhatikan. Bukan pula karena Dirga ingin Fian membalas perlakuan Bintang dengan lebih kejam. Namun, Dirga hanya tak ingin dosanya bertambah. Takut kalau-kalau waktu yang ia punya tak cukup banyak sampai ia bisa menembus semua dosa-dosanya. Walau bagaimanapun juga Dirga ingin masuk syurga.

"Enggak usah, Bang. Lagian dengar-dengar, tuh anak diskors selama tiga hari. Dijamin, deh itu anak enggak berani ngulang."

"Justru itu, Ga. Orang-orang kayak gitu bakal tambah ngelunjak kalau kena hukum satu kali. Yang ada dia dendam sama lo dan bakal ganggu lo lagi. Udah hapal gue gimana kerja otak bocah-bocah kurang kerjaan kayak gitu."

Dirga tersenyum sebentar. Kemudian menatap Fian yang seperti ingin meledak. Ada hangat yang diam-daim merambat dan ini pertama kalinya Dirga benar-benar merasa dilindungi, tapi ... bukannya orang-orang yang dilindungi itu adalah mereka-mereka yang 'lemah'? Ah, jangan lupa kalau Dirga itu memang tak pernah sekuat kelihatannya. Dirga menarik napas pelan, kemudian berkata dengan suara yang juga terdengar pelan.

"Nah, itu Abang tau. Kalau Abang bikin keadaan muka dia kayak muka gue sekarang, yang ada beberapa hari lagi gue pulang tanpa wajah."

"Ya, tapi gue enggak bisa diam aja liat lo diginiin, Ga. Lo adek gue dan udah sepantasnya gue jaga."

Hangat itu benar-benar terasa nyata dan Dirga selalu ingin merasakannya dalam waktu yang lebih lama. Namun, hangat di dadanya masih belum sempurna. Lelaki itu masih menunggu rasa hangat lain untuk mengisi relungnya. Dirga masih menunggu seorang Refino Aditya membagi hangat untuknya.

"Udahlah, Bang. Gue enggak apa-apa, beneran."

Fian mendengus kesal, kemudian memilih diam karena malas berdebat dengan Dirga. Dirga itu kerasa kepala, tak jauh beda dengan sikap adiknya yang satu lagi. Untuk itu Fian lebih memilih berhenti sampai di sini. Kalau terus memaksakan keinginannya, yang ada pembicaraan mereka tak akan berhenti sampai Matahari tak lagi tampak di atas langit sana.

Tak lama setelahnya Fino datang dengan menekuk wajah. Pasalnya saat di jalan pulang tadi bensin motor habis dan berakhir dengan Fino yang harus mendorongnya sampai pertamina. Sialnya lagi motornya kehabisan bensin di tempat yang jauh dari tempat di mana Pertamina berada. Sekarang tenaga lelaki itu benar-benar terkuras habis. Bahkan ia merasa kesusahan hanya sekedar mengatur napas.

"Tumben telat pulangnya," komentar Fian ketika matanya menangkap sosok Fino muncul di balik pintu utama.

"Kehabisan bensin. Elo, sih main tinggal-tinggal aja. Biasanya 'kan juga pulang-pergi sekolahnya barengan. Jadi, gue enggak perlu khawatir kalau motor gue kenapa-kenapa karena ada motor lo di belakang. Oh ... sorry, gue lupa. 'Kan lo udah punya adek baru, ya," balas Fino dan berakhir dengan senyum miring yang tercipta di wajahnya yang masih memerah.

"Kok lo jadi bawa-bawa Dirga segala, sih. Cuma gara-gara motor lo kehabisan bensin, lo jadi nyalahin Dirga? Sebenarnya lo kenapa, sih, Fin. Kayak bocah, sumpah."

Sekali lagi, Fino menarik salah satu sudut bibirnya. Senyum yang memiliki arti berbeda dari senyum-senyum yang biasa dipamerkannya. "Lo yang kenapa. Gue kayak liat orang lain, tau enggak. Gue bahkan udah enggak kenal lagi sama Refian Aditya yang dulu, saking lamanya gue nerima perlakuan berbeda. Gue enggak masalah lo bilangin gue kayak bocah karena yang bisa bersikap dewasa itu cuma lo doang."

Setelah kalimatnya selesai ia lontarkan, maka Fino tak punya alasan lagi untuk bertahan pada posisi yang sama. Karena kalau ia terus-terusan berada di antara Dirga dan Fian, yang ada perdebatannya hanya akan berakhir dengan dirinya yang dipatahkan. Ah, sepertinya Fino melupakan satu fakta tentang dirinya. Lelaki itu bahkan sudah lama patah, yaitu sejak awal di mana Dirga mulai membaur bersama mereka.

Fino membawa langkah cepatnya menuju kamar di lantai atas. Mengabaikan teriakan Fian yang bahkan suaranya terdengar cukup jelas. Bahkan saat Fino menutup pintu kamarnya, suara Fian di lantai dasar masih bisa ia rekam walau sudah tak begitu jelas. Kini, fokus Fino sepenuhnya tertuju pada satu foto di atas nakas. Foto dirinya dan Fian yang berlatarkan padang rumput yang luas. Foto yang diambil saat mereka berdua masih sama-sama bisa tertawa lepas.

Namun, kebahagian Fino kini sudah sepenuhnya dirampas. Oleh sosok Dirga yang hadirnya tak akan pernah Fino terima selama dirinya masih bernapas.

"Dulu gue juga sempat ingin nerima Dirga di rumah ini, Bang. Mencoba ngelupain fakta bahwa bunda pergi itu karena dia datang tiba-tiba, tapi sekarang dia malah ngambil lo dari gue. Gue bisa pura-pura anggap bunda udah enggak ada karena emang rasanya sama aja. Gue bahkan enggak tau bunda ada di mana, tapi lain ceritanya kalau itu menyangkut lo. Liat lo dekat sama dia tiap hari, itu yang bikin gue enggak bisa terima. Lo bahkan lupain gue demi dia."

Fino menarik napas dalam, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar.

"Kalau gue juga pura-pura nganggap Dirga itu orang yang paling berhak dapetin kasih sayang lo, setelahnya gue harus rela pura-pura kayak gimana lagi? Yang ada gue tinggal sebatang kara karena semuanya udah diambil sama dia."

➰➰➰

Hayo loh. Ada yang mau oleng ke Fino, enggak, nih?

Continue Reading

You'll Also Like

393K 31.2K 42
Devan yang harus berpisah dengan kembarannya dan bertahan ditengah keluarga yang tak mengharapkan kehadirannya
180K 12.5K 36
Chandgave Sagufta "Ayah, Gave rindu dengan ayah. Gave harap bisa bertemu dan mendapatkan kasih sayang ayah, sebelum Tuhan menjemput Gave." Batinnya t...
41.5K 2K 53
bolehkah aku egois bolehkah aku menginginkan kita bersama lagi aku lelah sendirian...... tapi aku ingin bersama kalian bersamamu.... bolehkah...
4K 275 16
Awal mereka begitu manis, pertemuan yang belum berkisah namun ikrar telah terjalin. Perjalanan panjang yang mengusik ketenangan. Kisah tuan muda kel...