"Samu, kau yakin?"
"Tentang?"
"Keputusanmu menyusul [Last Name]-san ke Kyoto."
Osamu menghentikan tangannya yang sedang membalikkan lembaran album lama dan terpaku pada foto [Name] yang sedang duduk di tribun penonton dan sedang berbicara dengan seseorang yang Osamu sangat kenal.
Ia tak pernah menyangka akan menemukan sebuah foto yang membuat suasana hatinya yang sudah begitu kacau malah semakin memburuk. Padahal ia hanya ingin menemukan foto penginapan milik kenalan orang tuanya di Kyoto.
"Oi! Aku sedang berbicara denganmu." Atsumu melempar bola voli yang sebelumnya ia mainkan di tangannya ke arah Osamu yang diam, mengacuhkan pertanyaan yang kali ini bukan sekedar pertanyaan iseng. Namun kembarannya itu menepis bola yang melesat ke arah tubuhnya hingga masuk ke bawah kolong tempat tidur, nyaris membuat Atsumu mengumpat karena ia harus merangkak masuk ke dalam sana.
Sungguh sial sekali.
"3 tahun lalu saat turnamen voli antar prefektur. Apa Suna ikut berpartisipasi?"
"Kenapa kau tiba-tiba bertanya hal tak penting seperti itu sekarang?"
Osamu memutar badannya, memperhatikan Atsumu yang merenggut kesal sembari keluar dari kolong tempat tidur dengan bola voli kesayangannya. "Foto ini, aku baru menyadari bahwa ada [Last Name]-senpai tak jauh di belakang kita berdua."
Atsumu menaikkan alisnya bingung, ia menepuk bajunya pelan untuk menghilangkan debu halus lalu menyambar album bersampul cokelat yang disodorkan Osamu.
Ia mendengkus geli saat melihat ekspresi kesal Osamu yang ia rangkul dengan tubuh penuh keringatnya lalu menggeser arah pandangannya pada perempuan berambut panjang yang mengenakan dress one piece berwarna baby blue. "Oh, ini benar-benar [Last Name]-senpai. Ia ternyata begitu feminim di masa lalu eh?"
"Lihat laki-laki yang bicara dengannya."
"Hmm? Ohh~ mata mu jeli juga. Kupikir kau tak akan mengenali sahabatmu karena terlalu fokus pada perempuan yang kau suka." Atsumu berkelit sebelum tangan Osamu yang melayang nyaris mengenai ubun-ubunnya. "Ini benar-benar Suna. Aku ingat dia pernah cerita kalau dia melihat pertandingan kita sewaktu SMP. Lalu? Apa yang aneh dengan foto ini? [Last Name]-senpai selalu menonton pertandingan voli entah untuk melihat Kita-san bertanding atau sekedar menemani pemuda itu mengamati tim lawan. Tak mustahil jika ia berkenalan dengan Suna pada saat itu."
Osamu mengambil album foto itu dari tangan Atsumu lalu membalikkan nya ke halaman yang lain. "Tidak ada, hanya terasa aneh saja. Mengetahui fakta kalau sepertinya Suna mengenal [Last Name]-senpai lebih dahulu daripada diriku."
Atsumu berdiri, menepuk bola voli yang selalu menemani tidurnya sembari menatap Osamu yang tak dipungkiri, terlihat begitu terganggu oleh sesuatu.
"Sudah kuduga, kau menjadi sensitif karena rival mu sepertinya bertambah. Makanya ku bilang untuk segera mengungkapkan perasaanmu. Dengan begitu, kau tak perlu khawatir [Last Name]-senpai akan direbut orang lain."
"Andai semuanya berjalan semudah cara otak jenius mu itu berpikir." Osamu menyahut sembari menarik keluar sebuah foto penginapan dengan desain yang sudah cukup tua. "Aku sudah menemukan apa yang ku cari. Katakan pada Ayah bahwa aku berangkat sendiri saja. Ia tak perlu buru-buru pulang dari kencannya bersama Bunda."
"Oi!"
Atsumu menyentakkan lengan baju Osamu yang ingin mengambil tas ransel hitam besar dari atas ranjangnya. "Aku tahu aku memang mendesakmu untuk bertindak tegas tapi kau tak harus berbuat senekat ini. Semuanya akan baik-baik saja jadi kau tak perlu khawatir. Kita-san ada disana. Dia pasti akan menjaga [Last Name]-senpai dengan baik untukmu."
"Untukku? Bagaimana kau bisa se yakin itu?"
"Huh? Yah, selama ini bukankah dia selalu menjaga [Last Name]-senpai layaknya seorang bodyguard? Kita-san dan segala tanggung jawabnya itu, semuanya juga sudah tahu."
Osamu menghela napasnya, menatap Atsumu layaknya pemuda berambut pirang itu adalah manusia terbodoh yang pernah ia temui sebelum berkata, "Itu dulu. Sekarang dia sudah menyadarinya."
"Menyadari apa?" Alis Atsumu nyaris bertaut saking tak mengertinya dia dengan arah pembicaraan ini." Bisa tidak kau berbicara to the point saja. Aku mulai pusing padahal aku sedang tidak ikut ujian matematika di sekolah."
Sungguh, Osamu ingin sekali mengambil bola voli di tangan Atsumu dan melemparnya ke tempurung kepala kembarannya itu. Cukup untuk membuat Atsumu pingsan barang 10 menit saja agar pemuda itu bisa diam.
Ia tak ingin mengatakan hal yang sudah memenuhi otaknya semenjak malam dimana ia bertemu dengan Kita. Osamu ingin pura-pura tidak menyadari semuanya.
Perasaan Kita terhadap [Name] dan ketakutan terbesarnya.
Bahwa [Name] akan kembali jatuh pada orang yang sama.
Pada akhirnya, apakah semuanya akan kembali pada garis awal? Osamu benar-benar tak ingin semua itu terjadi. Tidak setelah ia berhasil berlari di track yang sebelumnya ia takuti dan nyaris melihat pita merah di garis finish.
Walaupun ia sadar ada Kita Shinsuke yang berlari di hadapannya saat ini.
"Menyadari perasaannya terhadap [Last Name]-senpai. Kita-san tak akan mengalah kepadaku." Osamu menarik napas panjang, saat melihat Atsumu hanya diam menatapnya. Satu menit mendiami Atsumu yang entah kenapa tak bersuara, Osamu kembali membuka mulutnya. "Astaga, haruskah aku menjelaskan semuanya kepadamu?"
Detik berikutnya Atsumu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Jempolnya segera diangkat. "Aku rasa aku sudah mengerti garis besarnya. Rival mu begitu kuat eh? Semangat! Aku mendukungmu!"
Osamu mendecak, sama sekali tak menerima ucapan semangat yang diberikan Atsumu kepadanya. Alih-alih, ia malah merasa jengkel.
Osamu membuka layar ponselnya yang sebelumnya terkunci dan memeriksa tiket shinkansen yang sudah ia pesan secara online. Kyoto tak lah jauh, tapi tetap saja ia harus hati-hati ketika berada di kota yang begitu asing baginya. Untuk pertama kalinya ia akan berpergian seorang diri tanpa Atsumu yang sebenarnya mau-mau saja jika diseret ke Kyoto.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang? Ini tak seperti kau akan menyatakan perasaanmu kepada [Last Name]-senpai walaupun kau rela menyusulnya jauh-jauh ke Kyoto. Kau masih Osamu, si pengecut yang hanya bisa memendam rasanya." Atsumu memutar kursi belajar yang telah ia duduki. Sama sekali tak merasa takut padahal ia sadar ada kemungkinan Osamu akan menendang nya hingga terjatuh ke lantai satu.
"Satu hal yang pasti, aku akan menemuinya terlebih dahulu. Apa yang akan terjadi selanjutnya, biar insting ku yang mengambil alih."
Atsumu mendengkus geli dengan jawaban kembarannya yang penuh percaya diri. "Jika ia bertanya kenapa kau tiba-tiba muncul di tempat ia berada, apa yang akan kau katakan? Apakah kau tak takut bahwa [Last Name]-senpai akan berpikir bahwa kau adalah seorang stalker yang menjijikkan?"
Osamu mengantongi ponselnya dan menyandang ransel berisi pakaian nya untuk beberapa hari selama di Kyoto. Sudah siap dengan style yang tanpa ia sadari akan sangat disukai [Name]. Kemeja berwarna hitam dengan celana jeans gelap dan sepatu kets berwarna putih bersih yang sebenarnya Osamu pilih dengan buru-buru.
"Kalau begitu, aku akan mengatakan hal yang sejujurnya."
"Apa?"
"Bahwa aku merindukannya sampai aku hampir gila rasanya."
Osamu menutup pintu kamarnya, meninggalkan Atsumu yang tertawa tak percaya dengan tingkah kembarannya yang di luar ekspektasinya.
"Kau memang sudah gila, Samu."
***
Makan malam hari ini berlangsung dengan canggung.
Ada Shou yang mulutnya penuh oleh makanan karena secara terus menerus disuapi oleh seorang Miko bermata sipit dengan nama Koeda dan ada kedua orang tuaku yang terlalu canggung untuk bertanya tentang apa yang terjadi setelah aku pulang dengan Kita yang wajahnya memerah karena ku tampar.
Mata mereka seolah menuntut penjelasan dariku tapi mau bagaimanapun juga, aku tak bisa menjelaskan hal seperti apa yang telah kami bicarakan dan bagaimana Kita menciumku hingga aku berakhir menamparnya. Itu adalah privasi yang akan ku simpan sampai mati.
Aku melakukannya dengan refleks, sungguh, aku tak menyadari bahwa Kita akan menatapku dengan manik yang begitu besar serta telapak tanganku terasa begitu panas. Memerah dan nyeri mulai menjalar di sekujur tanganku.
Aku tak seharusnya melakukan itu. Tak peduli betapa terkejutnya aku akan tindakan yang Kita lakukan.
Ingin rasanya aku minta maaf karena untuk pertama kalinya aku menampar Kita yang bahkan tak pernah dipukul orang tua kandung nya. Namun pemuda itu sudah mendahuluiku, ia meminta maaf duluan dan mengajak ku kembali ke kuil dengan mulut terkunci rapat selama perjalanan mencapai lokasi dimana Shou dan kedua orangtua ku menunggu kami.
Perjalanan yang terasa lebih lama dari seharusnya.
Aku menghela napasku, tak bisa menemukan nafsu makan ku yang hilang begitu saja setelah mengingat kejadian yang terjadi hari ini. Bahkan dessert yang dibawakan oleh Ayahku tak bisa menggelitik selera makanku.
"Maaf tapi aku ingin ke kamar lebih dulu. Terimakasih atas makanannya." Aku meletakkan sumpit yang aku pakai lalu berdiri dengan sopan. Aku melirik Kita sejenak, pemuda itu masih sibuk menghabiskan dango yang entah dibeli siapa.
Menyadari bahwa ia sepertinya menghindariku, aku segera membalikkan badanku.
Sebaiknya aku memberikannya dia ruang untuk menyendiri bukan? Aku juga ingin menenangkan kepalaku terlebih dahulu. Memaksanya untuk berbicara saat ini hanya akan membuat keadaan semakin rumit.
Bulan begitu terang malam ini selagi aku menyusuri koridor kuil, hingga pantulan rembulan hinggap di kolam kecil yang berada di paviliun tempat aku berada saat ini terasa begitu menakjubkan untuk ku lewati.
Aku pikir langit akan mendung malam ini, setidaknya dengan begitu aku akan lebih leluasa menangis di malam hari. Tapi kurasa para dewa berusaha menghiburku sekarang akibat kekacauan yang telah mereka perbuat.
Tak buruk. Aku cukup menyukai malam seperti ini.
Setelah beberapa tahun tak melangkahkan kaki ke sini, ajaibnya tubuhku seolah ingat bahwa dulu aku pernah menghabiskan liburan musim panasku di kuil ini untuk bermain dengan rusa-rusa yang kami pelihara turun temurun.
Musim panas yang sayangnya tak bisa ku reka karena memori ku yang semakin hilang seiring waktu berjalan. Aku harus menemukan solusinya suatu hari nanti.
Aku menggeser pintu yang berada di depanku, melangkahkan kaki di kamar yang akan aku tempati malam ini. Di luar dugaanku, kamar ini begitu harum layaknya kamar yang selalu di bersihkan dan tak pernah kosong.
Kupikir, karena kamar ini adalah milik Kakek dan berada di sebelah gedung utama. Shou akan meninggalkan nya seperti keadaannya sebelum kakek meninggal. Ternyata tidak.
Aku mengitari kamar dan nenyadari posisinya sangat strategis bahkan jika aku membuka pintu yang telah Shou tunjukkan kepadaku, aku bisa langsung terhubung dengan ruang berdoa. Sepertinya Kakek sengaja membuat pintu tersembunyi itu agar ia bisa melakukan ritual nya kapanpun yang ia mau atau mungkin memang sudah ada sejak dahulu.
Meletakkan ponsel yang sedari tadi terus aku bawa di meja kecil yang dipenuhi alat set kaligrafi, aku lantas membuka pintu geser yang diberi cat putih sama seperti kertas khusus yang menutupi bagian celah tiap kotak yang menutupi sekeliling kamar.
Agak sedikit macet tapi akhirnya aku bisa membukanya secara sempurna.
Ruangan yang luar biasa luas menyambutku. Seluruh rambut di tubuhku seolah berdiri karena rasa familiar yang begitu pekat di ruangan ini. Aku meneguk saliva ku yang terasa semakin kering. Menyalakan lilin yang ku ambil di dekat altar lalu menaikkan nya ke arah langit-langit ruangan.
Rasanya seperti disiram air di musim dingin, tubuhku sontak membeku saat aku melihat lukisan yang berada di atas kepalaku.
Aku menggerakkan tanganku dengan cepat namun hati-hati agar sumber pencahayaan ku tidak padam seraya mengikuti jejak lukisan yang begitu pudar itu hingga akhirnya langkah ku terhenti.
"Benang merah ... "
Aku seharusnya sadar bahwa ini adalah kuil yang sama dengan yang 'aku' kunjungi. Bedanya hanyalah eksistensi Kakek ku yang sudah tidak ada lagi. Hanya aku saja yang menyusuri ruangan ini sembari mengingat perkataan Kakek yang terngiang di telingaku. Seolah figurnya berada disini bersama ku.
Melangkah mundur karena kehilangan keseimbangan, aku menabrak sudut altar hingga gelas-gelas berisi lilin yang tak dinyalakan nyaris jatuh ke atas lantai.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melihat ke belakang, teringat ucapan Shou saat aku melihat puncak altar yang tak diisi oleh patung apapun. Hanya sebuah area besar yang kosong dan dikelilingi lilin aromatherapy.
Shou pernah bilang kepadaku, tepat di saat ia menunjukkan kamar milik Kakek kepadaku bahwa kuil ini bukanlah milik dewa tertentu. Kuil ini bukan seperti kuil lainnya di Kyoto yang didominasi oleh Dewa Inari.
"Kuil ini hanya menampakkan manifestasi yang paling mendekati dirimu, perwujudan hewan yang cocok dengan kepribadianmu. Jika kau tanya kepada Koeda, ia akan bilang bahwa ia melihat patung Rubah di atas altar di ruang berdoa. Kenapa? Karena dulu ia hidup sebagai penipu di jalanan hingga ia akhirnya memilih mengabdi di kuil ini."
"Lalu, bagaimana dengan mu?"
"Aku?"
Aku mengangkat lilinku menatap altar yang kosong sembari memicingkan mataku dan memikirkan jawaban Shou.
"Aku melihat Anjing Neraka yang tersenyum lebar ke arahku."
Aku tak tahu kenapa Shou bisa tahan melihat hal menyeramkan seperti itu. Patung anjing berkepala tiga yang mungkin saja tak seimut yang orang lain bayangkan. Shou melihat nya setiap hari berhubung ia selalu memimpin ritual pagi hari dengan Koeda dan relawan lainnya.
Selama bertahun-tahun berada di kuil ini, apa tak pernah terbersit di pikirannya untuk pergi melarikan diri? Sama seperti yang aku lakukan?
Lagipula jika menilik alasan dibalik patung anjing neraka yang ia lihat, pastinya ia berhubungan dengan Dewa Kematian atau Dewa mana saja yang berafiliasi dengan kehidupan setelah kematian. Bukanlah sesuatu yang baik karena itu artinya ia telah melakukan hal yang buruk, setara dengan kejahatan membunuh seseorang.
Ada alasan dibalik kenapa Koeda melihat patung rubah yang terkadang melambangkan sifat kerap menipu dan sepertinya menginginkan kehidupan yang stabil serta kaya raya. Maka hal yang sama pastinya berlaku bagi Shou.
Tapi pemuda itu tak mau memberitahu alasannya kepadaku. Tidak sampai aku melihat patung apa yang mengisi altar di hadapanku saat ini. Sebuah misteri yang entah kapan akan aku ketahui jawabannya karena sungguh, aku tak melihat apapun berkat jiwa tak religius ku.
Aku menghembuskan napasku, memadamkan lilin yang masih ku pegang lalu meletakkan nya di dalam gelas yang kosong.
Lebih baik aku segera tidur. Terlalu banyak event yang terjadi hari ini hingga otakku rasanya seperti akan meledak.
Menutup pintu jalan pintas dan hendak membuka baju miko yang aku kenakan, aku mendengkus geli saat melihat futon ku sudah dibentangkan dan ada segelas susu vanilla hangat di samping nya.
Membuatku berpikir, apa jangan-jangan Osamu datang mengunjungiku jauh-jauh ke Kyoto hanya untuk memastikan bahwa aku bisa tertidur lelap karena hal seperti itu adalah kebiasaan nya disaat aku sedang merasa terpuruk.
Namun aku sadar, bahwa ini pasti hasil kerja Koeda atau mungkin Kita yang khawatir kepadaku. Entahlah, siapapun itu aku berterimakasih kepada mereka.
Aku menenggak isi gelas di tanganku hingga tandas setelah berganti pakaian dengan jubah tidur berwarna putih polos. Meraih ponselku dan merebahkan tubuhku di atas futon sembari melayangkan pandangan ku pada aplikasi Line yang terbuka disana, pesan yang ku kirimkan pada Osamu kemarin malam terpampang di hadapanku.
Hanya sekedar ucapan selamat tidur namun lagi-lagi ia hanya membaca pesanku. Tak ada balasan sama sekali. Bahkan stiker sekalipun.
Aku tak ingin terlalu memikirkan hal simpel seperti ini. Bisa saja ia terlalu sibuk dengan bermain voli bersama Atsumu dan yang lainnya atau mungkin ia pergi liburan dengan keluarganya.
Namun pada akhirnya, di saat jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan aku melihat tanda bahwa ia sedang online namun tak berusaha membalas pesanku, aku tak bisa menghentikan diriku untuk tak overthinking.
Sekarang, apa ia benar-benar mencoba untuk menghindari ku?
Tepat di saat aku butuh presensinya?
Tepat di saat aku membutuhkan suaranya untuk menenangkan diriku yang saat ini butuh support darinya?
TBC
Maaf, ini lebih pendek dari yang biasanya. Saya hanya kepengen cepat-cepat update untuk meringankan rindu kalian :')