KISAH UNTUK GERI

By Eriscafebriani

3.9M 190K 36.3K

(Telah Terbit dan Di-Serieskan) Dinda memiliki semua yang diidamkan remaja dalam kehidupannya; tajir, cantik... More

PROLOG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Geri dan Dinda
Q n A with Geri
LAUNCHING NOVEL
NOVEL KISAH UNTUK GERI GRATIS
Kisah Untuk Dinda #1
KUG tayang di We TV
Kisah untuk Dinda #2
Kisah Untuk Dinda #4
Kisah untuk Dinda #5
Film Dinda dan Dinda untuk Geri

Kisah Untuk Dinda #3

9.5K 699 23
By Eriscafebriani


Sudah resmi tiga hari Dinda bekerja sebagai Wakil Direktur Salon Lucy, sebetulnya tidak terlalu berat, tapi cukup mendebarkan. Dia harus menjaga reputasinya sebagai contoh yang baik di hadapan karyawan, menjaga tutur bicara dan juga sikap. Seperti pagi ini. Tepat ketika jam menunjuk pukul enam pagi, Dinda sudah bersiap-siap, alarm berbunyi tidak lagi sesuatu yang tidak dia hiraukan. Dia bangun, membereskan tempat tidur, supaya ketika pulang dalam kondisi lelah, melihat kamar rapi adalah kebahagiaan sederhana. Dinda bergegas mandi, memilih pakaian terbaik yang akan dia kenakan. Pilihannya tertuju ke sebuah kemeja berwarna merah muda, sepatu higheels dengan warna senada, rok dan slayer berwarna abu-abu.

Dia mulai berdandan, menyapukan maskara ke bulu matanya hingga lentik seperti bulu mata angsa. Tak lupa eye-shadow dengan warna biru yang berani. Tidak senada, tapi bukankah fashion adalah hal abstrak, sesuatu paling dibutuhkan adalah rasa percaya diri.

Dinda pernah mendengar celetukan iseng seorang laki-laki ke temannya sewaktu sedang menunggu kereta di peron, "Gue tuh lebih suka cewek natural daripada suka pake make-up, rempong," yang berkomentar sewaktu Dinda sedang memoles lipstiknya—seakan-akan komentar itu ditujukan ke Dinda. Yah, sebetulnya Dinda ingin bilang ke semua kaum laki-laki agar mereka tidak terlalu percaya diri karena sesungguhnya perempuan pun berdandan untuk diri mereka sendiri, bukan menarik perhatian mereka, seolah-olah itu adalah hal penting yang harus dilakukan di muka bumi.

Dinda kembali melanjutkan aksi make-over-nya dengan menyapukan lipstik merah ke bibirnya yang tipis. "Perfecto," gumam Dinda puas melihat pantulan dirinya di cermin, seperti Narciscus yang terpesona akan bayangannya sendiri. Setelah puas dengan tampilannya, dia segera memesan jasa mobil online yang siap mengantarnya pergi ke kantor. Sembari menunggu, Dinda mengirim sebuah chat ke Geri.

Gutten Morgen, Hon. Aku udah mau berangkat kerja, nih. Selamat beraktivitas! Luv :*

"Udah mau berangkat?" Dinda menoleh dan melihat Nek Asia sedang menyiram bunga, dia menuju ke rumah tetangganya itu. "Iya nih, rajin banget sih Nek, pagi-pagi udah nyiram bunga ...," cuping hidungnya bergerak, terlihat seperti mengendus sesuatu. "Masak semur, ya? Aromanya sampai sini."

"Semur jeroan."

"Yummy, aku mau dong!"

"Iya, nanti Nenek sisain."

"Makasih, Nek!" Dinda memeluk Nek Asia, baginya Nek Asia sudah dia anggap seperti neneknya sendiri. "Sandra udah bangun belum?"

"Udah, di dalam kayaknya."

Dinda segera menyelonong masuk dan melihat seorang cewek berbaju hitam bergambar tengkorak dan rambut dicepol asal-asalan sedang makan di depan ruang TV dengan kaki naik ke atas meja. "Woi! Tumben udah bangun? Jagain toko bunga gue, ya." Sandra adalah cucu dari Nek Asia, yang dipindahkan dari Surabaya dua tahun lalu ke Jakarta karena orangtuanya bercerai. Ibu dan ayahnya sudah menikah lagi, Dia yang tidak ingin tinggal dengan kedua-duanya memilih untuk tinggal bersama Nek Asia.

"Udah nggak mandi berapa hari lo? Bajunya itu mulu, nggak ganti-ganti."

Sandra melirik pakaian Dinda. "Beda ya yang sekarang udah kerja kantor? Kerja di mana, sih? Ngepet lo?" Usia Sandra 19 tahun—seharusnya dia berkuliah, tapi Sandra memilih untuk bekerja dahulu, mengumpulkan uangnya hingga cukup membiayainya kuliah.

"Iya, nanti malem gentian lo, ya, jaga lilin."

"Kurang ajar!"

"Dinda, ada mobil nungguin. Kamu yang pesan jasanya?"

"Iya, Nek! Dah ah gue berangkat, dah Sandra!" Dinda mengibaskan rambutnya dengan gaya sok manis membuat Sandra terbatuk-batuk sambil meringis jijik.

****

Sebuah gedung minimalis bertingkat tiga di pusat kota Jakarta dengan logo Alfirasa Game itu terlihat tidak berhenti bekerja sejak tadi malam. Kalau menyebutkan Alfirasa Game, orang-orang pasti langsung mengingat Attack on Java—sebuah gim perang yang naik daun dua tahun terakhir. Sebuah proyek yang dibuat Geri sebagai tugas akhir kuliahnya dan sepulangnya di Indonesia, berbekal tekad dan risiko, dia meminjam modal dari ayahnya untuk menyiarkan gim tersebut secara legal di Play Store. Tidak ada yang pernah menyangka, gim tersebut direkomendasikan oleh Staff Pick dan berhasil masuk di jajaran ranking teratas dengan jumlah paling banyak diunduh serta memiliki rating memuaskan dari para pengguna. Bahkan juga dikeluarkan untuk serial gim di PS 4. Perusahaannya pun naik daun, para investor berlomba-lomba untuk menginvestasikan saham mereka. Prestasi paling membanggakan yaitu ketika timnya berhasil mendapatkan pendanaan sebesar 1 juta dollar dari salah satu firma ventura. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dan segera bergerak dengan responsif.

Awalnya hanya memiliki seorang rekan, Rudi, teman sekampusnya yang juga berprofesi sebagai programmer andal. Terus bertambah menjadi sepuluh, hingga saat ini telah memiliki 60 karyawan dengan berbagai macam keahlian, masing-masing karyawan itu lantas dipecah dimasukkan ke tim sesuai jenis pekerjaannya. Mulai dari tim programmer, ada yang bertanggungjawab untuk artificial intelligence, programmer gameplay, programmer yang bertanggungjawab dalam kelancaran grafis, dan programmer di bidang engine. Ada tim penulis cerita video gim, tim game tester, tim desainer gim, hingga tim manajer komunitas—yang bertugas mengeratkan para fans, berdiskusi langsung melalui media sosial, hingga mengadakan acara tatap muka.

Geri pun melancarkan sayapnya untuk bekerja sama dengan beberapa jenis publisher gim terkenal di dunia dalam menelurkan berbagai gim menarik. Karena tantangan terbesar bekerja di bidang teknologi adalah dituntut selalu beradaptasi menyeimbangkan perubahan dunia yang secepat kilat. Saat ini timnya sedang mengerjakan sebuah projek besar, menelurkan gim lanjutan dari series sebelumnya dan kali ini berjudul Attack on Sumatera. Geri menarik napas frustrasi dan membanting joystick-nya ke meja hingga membuat beberapa orang karyawannya tersentak. "Kamu yakin, gim seperti ini bakal di-approve? Eksekusi gim seperti ini, jangan harap bakal dimainkan banyak orang! Sasarannya buat usia berapa? Ini lebih cocok dipakai sama anak TK, nggak ada tantangannya!" Geri berteriak jengkel pada desainer game di tim-nya.

"Grafisnya juga tolong diperbaiki, kurang mulus. Saya sudah berkali-kali bilang, kan?!"

Ruangan luas dengan puluhan komputer tipis berderet di atas meja itu menjadi serba hening. Geri memilih untuk kembali ke ruangannya, kalau kepalanya transparan, mungkin terlihat bagaimana kondisi pikirannya saat ini yang seperti benang kusut. Dia menyandarkan punggungnya di kursi, sembari menghela napas berat. Sejak semalam dia belum istirahat dan terpaksa menginap di kantor karena pekerjaan yang tak kunjung usai sementara jadwal deadline sudah dekat. Geri memejamkan mata sambil memijat batang hidungnya.

Seorang karyawan perempuan berambut merah muncul, terlihat enggan untuk mengganggu, tapi mau tidak mau harus dilakukan sebagai kewajiban. "Permi—si, Pak," katanya berhati-hati.

Geri segera membuka mata. Eleanor, salah satu timnya yang menangani bagian musik. "Ya, silakan, gimana perkembangannya? Sudah dihubungi komposer musiknya?"

Minggu lalu, Geri sempat berselancar di Youtube dan menemukan sebuah musik instrumen yang cocok sebagai pengiring dalam gim terbarunya. Dia pun segera menyuruh Eleanor untuk menghubungi sang komposer yang terlihat misterius karena menggunakan nama samaran: Perperusha Goddess.

"Sudah, Pak, tapi beliau hanya mau berbicara dengan Bapak. Dia tidak mau kalau urusan negosiasi diserahkan ke tim."

"Hah!" Geri berdecak, "kamu sudah tahu identitasnya? Laki-laki atau perempuan? Nama aslinya siapa?

"Perempuan, dari suaranya, sepertinya masih muda. Namanya belum tahu, nanti akan saya cari tahu lagi, Pak.

Geri mengesah panjang. "Ya sudah, tolong cari tahu identitas lengkapnya. Kalau sudah jelas, temui saya lagi."

"Oke, Pak."

Dari segala carut-marut tempat kerjanya, Geri mengambil ponsel yang menganggur sejak tadi. Ada sebuah chat masuk dari seseorang yang tidak pernah gagal membuatnya tersenyum.

Gutten Morgen, Hon. Aku udah mau berangkat kerja, nih. Selamat beraktivitas! Luv :*

Padahal hanya sebuah pesan singkat, tapi sudah berhasil menghibur kepenatannya sejenak. Dia segera membalasnya dengan senyum tak lepas dari bibir. You are the CSS to my HTML :).

Tak lama ponselnya bergetar lagi, balasan dari Dinda.

Apaan sih maksudnya? Kalau bales pesanku to the point aja. Aku nggak ngerti bahasa alien, masih mending bahasa alay deh atau bahasa banci.

Tawa Geri akhirnya meledak juga, dia geleng-geleng kepala, sambil membayangkan ekspresi Dinda sewaktu membaca pesannya.

Makanya, cari tahu dong. Biar paham maknanya, Sayang.

****

"Dasar cowok aneh, nggak jelas, mau romantis aja sok misterius!" Dinda menggerutu dari balik meja kerjanya. "Apa salahnya sih bilang love you too gitu? Idih," dia menggeram jengkel sembari membuka laptop, mengetik kalimat tersebut di kolom pencarian. "You are CSS to my HTML?" Rasanya Dinda merasa bodoh sekali karena tidak tahu menahu atau memiliki gambaran tentang maknanya.

Dia membuka artikel satu per satu, tapi tidak ada satu pun yang dia mengerti meskipun sudah membacanya dengan teliti. Dia pun membuka Facebook, bertanya ke sebuah grup yang isinya orang-orang professional dalam bahasa pemrograman.

Ada yang tahu apa makna dari You are CSS to my HTML? Pls komen.

Semenit, dua menit, sepuluh menit, tidak ada balasan. Dinda rasanya seperti tersekat akan rasa penasaran. Dia memilih untuk bangkit dari kursi, menutup laptopnya, mengambil berkas-berkas yang akan dia tanyakan ke Iren. Bisa dibilang, Dinda belum ada pengalaman sama sekali bekerja. Well, dia pernah bekerja di sebuah salon, dua tahun lalu. Namun, itu hanya salon kecil di pinggir jalan, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan salon Lucy. Spesialisnya pun berbeda, bukan di bidang rambut, tapi salon khusus rias pengantin.

"Selamat pagi, Mbak." Seorang office boy yang sedang mengepel lantai menyapanya.

"Halo—Ucup?" Dinda berusaha keras untuk mengingat namanya, tidak peduli apa jabatannya, bahkan OB sekali pun, sesuatu hal yang akan membuat seseorang merasa dihargai.

"Wah, Mbak tahu nama aku? Makasih lho," Ucup terlihat sedikit terharu. "Mau teh atau kopi, Mbak?"

"Teh aja satu, oh iya Kak Iren ada di ruangan?"

"Udah dari tadi."

"Oke, diantar ke ruangan Kak Iren ya. Makasih Ucup." Dinda segera berjalan menuju ke ruangan Iren dengan senyum semringah dan hati berbunga-bunga, rasa penasaran akan teka-teki dari Geri untuk sementara digantikan pertanyaan dari berkas yang ada di tangannya.

"Oooh, hahaha, iya! Ya ampun, betul banget sih." Baru saja Dinda ingin mengetuk pintu, dia mendengar suara Iren tertawa, sepertinya sedang menelepon seseorang karena tidak ada suara dari lawan bicara. "Aku juga sebetulnya nggak setuju kalau Dinda mengisi posisi sebagai Wakil Direktur," tangan Dinda berhenti di udara, mengurungkan niatnya untuk mengetuk sewaktu mendengar namanya disebut. Apa itu? Dia mendekatkan telinga ke pintu. Berusaha mendengar lebih jelas.

"Kamu tahulah, dia hanya pernah bekerja di salon pinggir jalan. Salon murah, nggak ada akreditasnya, keajaiban kalau tahu-tahu aku mengangkat dia dan mengisi jabatan penting di salon Lucy."

Jantung Dinda berdebar kian cepat sewaktu mendengar itu, adrenalinnya meningkat, dia masih berusaha mencerna informasi yang didengarnya dengan benar.

"Skill-nya juga belum ada apa-apanya dibandingkan kamu atau anak buahku yang lain, bisa dibilang betul-betul buruk. Aku heran, apa yang dia pelajari sewaktu kuliah? Apa ilmunya benar-benar dipakai? Kamu dengar pidatonya? Ya ampun, harus aku akui rasa percaya dirinya memang tinggi dan patut diacungi jempol. Kalau bukan karena Geri yang memohon supaya Dinda diterima sekaligus mengisi jabatan, aku juga nggak mau. Kamu tahulah, adik laki-lakiku itu paling pintar kalau urusan merayu."

Dinda menelan saliva yang terasa pahit, dia meremas tangannya keras hingga jari-jemarinya terasa sakit. Dia menggigit bibir, menahan air matanya agar tidak keluar. Rasanya seperti ada pedang tak kasat mata menusuknya dari belakang. Selama ini dia sudah membangun rasa percaya dirinya begitu tinggi, percaya bahwa dia memang memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan, tapi dalam waktu seperkian detik, perasaan itu hancur berkeping-keping seperti susunan lego yang dibangun sekian lamanya dan runtuh dalam waktu singkat. Dengan susah payah, Dinda berusaha menekan ego dan amarahnya yang menggelegak.

"Geri memohon agar aku menerima Dinda, biar dia senang ... bekerja di bidang tata rias adalah mimpinya sejak dulu. Awalnya aku sempat menolak, rasanya seperti menodai idealisme-ku sendiri. Lalu, Geri bilang hanya dalam waktu setahun, setelah itu Geri akan mengajak Dinda menikah dan menyuruhnya berhenti bekerja.

"Sebetulnya dulu aku sempat menyukai Dinda, dia menyenangkan, tapi setelah tahu reputasi ayahnya yang koruptor. Kepercayaanku menyusut. Apa kata orang kalau tahu bahwa besan dari seorang duta besar adalah koruptor yang memakan uang negara untuk memuaskan isi perutnya sendiri? Iya, kamu tahu kasus Setyo? Betul, itu ayahnya. Aku juga sempat bilang ke Papa masalah ini, tapi yah ... Papa nggak mau mempermasalahkan, baginya kebahagiaan Geri adalah hal utama. Tetap saja, ya, sedikit ... um, memalukan?"

Air mata Dinda jatuh menetes ke pipinya. Iren adalah sosok panutan, yang selalu Dinda kagumi, kerja keras, etos kerja dan sikapnya adalah impian. Dinda sama sekali tidak menyangka bahwa Iren akan setega itu, bahkan ada campur tangan Geri di dalamnya.

"Sikap rakus itu menurun, ayahnya punya reputasi buruk, aku nggak bisa mempercayainya semudah itu." Oke cukup, Dinda tidak kuat harus mendengar Iren menghina ayahnya. Baginya, ini sudah di luar batas. Dinda segera membuka pintu, menatap Iren dengan tatapan terluka.

Iren terkejut, dia segera mematikan ponselnya dengan gugup. Ekspresinya seperti pencuri yang baru saja ketahuan melancarkan sebuah aksi. "Kamu ngapain? Nggak mengetuk dulu?"

"Jadi, percakapan itu benar? Kakak mempekerjakanku di sini, mengisi jabatan di salon Lucy bukan karena Kakak percaya sama kemampuanku, tapi atas campur tangan Geri yang memaksa Kakak supaya aku senang, dan kemudian setahun kemudian, aku harus mempertaruhkan mimpiku setelah menikah dengan dia?!" Dinda melemparkan pertanyaan itu secara beruntun dengan berapi-api, dadanya naik-turun, jantungnya berdebar kencang, alarm perang seolah berdering dalam kepalanya.

"Oke, tenang sedikit, Dinda. Ini di kantor, jangan membuat kerusuhan—"

"Harusnya aku bilang itu ke Kakak, tega-teganya Kakak ngelakuin itu?" Dinda melemparkan berkas di tangannya ke lantai. "Aku mengundurkan diri hari ini juga, lebih baik kerja di salon kecil, tapi mereka percaya dengan kemampuanku, daripada bekerja di salon yang besar tapi Nggak dihargai." Dinda setia berteriak.

Iren bangkit dari kursi. "Oke, itu lebih baik, kalau kamu percaya diri akan ada salon besar yang memberimu jabatan. Silakan. Tapi ucapanku memang benar, kamu belum memiliki kemampuan cukup untuk itu. Enough." Karyawan mulai menyemut di depan pintu, tertarik dengan pertengkaran hebat mereka berdua. Ucup yang berniat mengantar minuman, pun mengurungkan niatnya untuk masuk.

Dinda melepaskan name tag di kemejanya, melemparkan ke lantai.

Iren mendengus, geleng-geleng kepala melihat itu. "Kenapa nasib adikku begitu buruk? Kenapa dia memilih kamu? Ada banyak cewek lebih dari kamu yang tergila-gila kepadanya, kenapa dia harus menghabiskan waktunya sama kamu?" seolah belum cukup memberikan luka di hati Dinda, Iren kembali membubuhkan kalimat tajam. Rasanya seperti menaburkan garam di permukaan luka yang masih basah.

Dinda merasakan air matanya akan turun lagi, tapi sekuat mungkin ditahannya, dia tidak mungkin menangis di hadapan Iren dan mengakui kekalahannya.

"Baik, terima kasih untuk semua kebaikan Kakak. Aku pergi." Dia segera berbalik, melangkah keluar dari ruangan Iren yang rasanya seperti neraka. Dinda menuju ke ruangannya, mengambil tas dan laptop. Memasukkan semua barang-barangnya. Padahal baru saja Dinda berandai, ruangan itu akan menjadi tempatnya merajut mimpi, tapi semua itu direguk hilang secara paksa.

"Mbak, maaf ini teh-nya." Ucup masuk, meletakkan teh di meja.

"Makasih, Ucup." Dinda meminumnya perlahan, berharap teh itu melegakan amarah yang menggelegak.

"Mbak betul-betul akan keluar?" Ucup sempat menguping di pintu.

Dinda mengedikkkan bahu. "Itu yang terbaik, Cup. Terima kasih untuh teh enaknya selama empat hari terakhir."

"Mbak," Ucup menghentikan langkah Dinda, "terima kasih juga untuk pujiannya. Barangkali itu sepele, tapi Mbak adalah satu-satunya atasan yang bilang bahwa teh buatan saya enak dan itu sangat berharga buat saya."

****

Kalian bisa baca versi lengkapnya di apliaksi Storial atau buka websitenya di storial.co :D

Continue Reading

You'll Also Like

4.2M 218K 52
Alvaro Pratama Adinata dikenal dengan nama Alvaro . Siapa yang tidak mengenal dirinya di SMA Pertiwi. Sikapnya yang kasar dan dingin membuat dirinya...
36K 174 12
1 chapter terdiri 1 ringkasan novel~ . . Collab: @intxxns_ Happy reading^^
1.3M 108K 14
TRILOGI DEAR NATHAN (TELAH TERBIT DAN DIFILMKAN) "Jadi saya harus bantu gimana biar ceritanya selesai? Bantu doa aja gimana, Sayang?" Aku mendelik ke...