Part Dua Puluh Tiga

7.2K 674 10
By Nmikasa24

Happy reading <3
Enjoy


Gama tahu Ibunya akan berkunjung ke apartemennya karena tadinya, Ibunya itu sudah mengabari terlebih dahulu. Namun ia tak menyangka jika kedatangan April nyaris berbarengan dengan Ibunya, terlebih lagi ada Brenda yang ikut-ikutan ke sini membuat Gama yang kepalanya berdenyut karena sedang sakit, lebih bertambah nyeri lagi saat melihat tingkah Brenda.

Gama menatap Ibunya lemah yang dibalas dengan ringisan kecil oleh Ibunya. Mengusap wajahnya kasar,  Gama lantas beranjak bangun dari tempat tidur meski kepalanya terasa pusing sekali. Kemudian ia mengajak Ibunya untuk mengobrol di luar sementara April dan Brenda ia tinggalkan di kamar. Sesampainya di luar, Ibunya itu buru-buru memegangi tangannya seraya meringis. "Abang kok nggak bilang ada pacarnya, sih? Tau gitu Ibu nggak minta ditemani Brenda," kata Ibunya tak enak hati.

Gama menggeleng. "Nggak apa-apa, Buk. April pasti ngerti kok," ucapnya berusaha meyakinkan.

Falia lagi-lagi merasa bersalah, terlebih tadi ia lupa menyambut uluran tangan April yang bermaksud untuk menyalaminya. Karena tadinya netranya fokus pada Brenda yang menatapnya sedih. Biar bagaimanapun, Brenda itu merupakan anak dari tetangganya dari dulu, yang sudah ia anggap anak sendiri. Sedari kecil, perempuan itu memang terang-terangan menunjukan ketertarikan pada putra sulungnya.
Falia sampai lupa menyambut uluran tangan si perempuan yang baru ia ketahui merupakan pacar anaknya. "Yaudah, kalau gitu Ibu pulang aja, ya? Kamu udah ada pacarnya, kan, yang ngurusin?"

Gama mengangguk sembari memijat kepalanya yang terasa pusing. Tidak lama terdengar suara pintu kamar terbuka menampilkan sosok Brenda yang berjalan ke arahnya. Gama menatap Ibunya yang dari sorotnya, terpancar jelas bahwa ia ingin agar Ibunya segera membawa Brenda pergi dari sini.

Seakan mengerti tatapan anak sulungnya itu, Falia buru-buru memeluk anaknya sekilas sebelum menarik lengan Brenda sembari beranjak keluar dari apartemen.

"Tante, mau ke mana? Katanya mau ngurusin Gama. Ayok, nanti aku yang suapin bubur..." ucapan Brenda terdengar samar-samar karena Gama langsung menuju ke kamarnya dan segera membaringkan tubuhnya ke kasur, karena sungguh kepalanya benar-benar terasa berat dan pusing.

Ia pejamkan matanya untuk meredakan pusing yang tiba-tiba menyerang. Merasa sudah mendingan ia membuka matanya lalu menangkap sosok April yang masih berdiri di dekat pintu kamar. Tampak bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Gama tertawa pelan, lalu kembali menarik selimut tebal untuk menutupi badannya.

"Ngapain berdiri di situ? Sini," panggil Gama karena April masih berdiri di tempatnya sambil menggosok kakinya menggunakan kaki yang satunya.

Yang di tatap lantas mengerjap pelan seraya berdecak. Namun, tetap saja ia berjalan mendekat ke tempat pria itu berbaring. "Udah minum obat?" tanyanya yang di jawab Gama dengan gelengan pelan.

Sekali lagi, April berdecak lalu menuju ke lemari baju Gama yang menyatu dengan dinding. Dilihatnya beberapa kaos milik pria itu lalu mengambilnya salah satu. Sedangkan Gama yang sedang berbaring di kasur menatapnya penasaran namun, ia mengabaikannya. April lalu menarik lepas selimut Gama hingga tersibak semua.

"Dingin April," Gama yang sedang memejamkan matanya, lantas memprotes saat dirasakan selimut yang melingkari badannya di tarik oleh seseorang. Tentu saja orang itu adalah April.

April menyerahkan kaos yang diambilnya tadi. "Ganti pake ini," perintahnya. Karena melihat Gama yang sedang mengenakan sweater tebal hanya akan membuat proses pengeluaran panas terhambat dan menyebabkan suhu tubuh tidak kunjung turun. Jika begitu, kapan sembuhnya?

Tanpa suara, Gama menerimanya lalu begitu saja ia membuka sweaternya, menggantinya dengan kaos putih yang diberikan April. Sementara perempuan itu sudah keluar dari kamar dan memindahkan bubur yang dibawakan Ibu Gama ke mangkuk. Mengambil segelas air putih, lalu kembali lagi ke kamar dan mendapati Gama sudah kembali merebahkan diri ke kasur.

"Makan dulu ya," kata April yang dijawab gelengan pelan oleh Gama. "Nggak makan, aku pulang," desak April lagi.

Akhirnya dengan ancaman April itu, Gama mau menerima suapan demi suapan April hingga tersisa dua sendok lagi, namun pria itu menyerah. Setelah memastikan Gama meminum obatnya, April beranjak ke dapur untuk mencuci mangkuk dan gelas bekas Gama, lalu saat ia kembali lagi ke kamar, April mendapati pria itu sudah tertidur dengan selimut yang melingkar di perutnya.

*

Merasakan usapan lembut di dahinya, perlahan April mengerjapkan mata. Namun, yang ada kantuknya malah semakin datang, lalu saat sebuah kecupan mendarat di keningnya otomatis berhasil membuat April terjaga. Ia mengusap matanya pelan lalu setelah nyawanya terkumpul, ia mendapati Gama yang tengah menatapnya hangat. Pria itu menerbitkan senyum tipis yang berhasil membuat April benar-benar terjaga.

"Astaga! Aku ketiduran, ya?" tiba-tiba saja April mengalami kepanikan ringan, lantas beranjak dari tidurnya seraya melihat-lihat sekitar. Di saat-saat seperti ini, otak April yang sangat novelable itu tiba-tiba berpikir suatu hal. Jika ini di novel, hal pertama kali yang harus ia lihat adalah bajunya. Apakah masih terpasang di badannya atau justru—

No!

April buru-buru menggeleng menahan dirinya untuk tidak melihat keadaannya sekarang. Sebagai gantinya, ia meraba sendiri keadaannya untuk sekadar memastikan. Aman. Ia masih berpakaian lengkap. Bukan apa-apa, April sebenarnya ingin melihat langsung apakah pakaiannya masih terpasang, namun saat melihat Gama yang sedang menatapnya penasaran, membuat April mengulurkan niatnya itu. Kalau di pikir-pikir, malu juga. Pasti Gama menganggapnya norak dan konyol!

"Ehm. Jam berapa, sih?" tanya April sebiasa mungkin.

"Jam setengah delapan."

"Malam?"

Gama mengangguk, sementara April menepuk jidatnya. "Astaga, aku ketiduran lama banget ya?" tangannya terulur untuk meraba leher dan pelipis Gama sekadar memastikan apakah demam pria itu sudah turun atau mungkin panasnya malah naik. "Masih anget. Kamu masih ngerasain pusing, nggak? Mau ke dokter aja?" tanyanya memastikan.

Gama menggeleng sembari menyingkirkan rambut April yang jatuh menutupi wajahnya. "Udah mendingan," jawabnya. "Makasih ya."

April mengangguk lalu beranjak berdiri. "Udah malam, aku balik ya? Atau kamu mau makan dulu? Aku bisa buatin kamu makan malam."

Gama buru-buru menahannya. "Aku udah makan. Kamu ke sini naik apa?"

"Motor."

"Aku antar aja ya? Bentar aku siap-siap dulu," katanya sembari beranjak bangun, namun dengan cepat ditahan April. "Eh, jangan! Kamu belum sembuh. Enggak, nggak usah. Nanti aku pelan-pelan kok, bawa motornya."

Gama kembali berbaring sembari menarik April mendekat. "Nginap di sini ya Pril," katanya tanpa berpikir sama sekali. Permintaan macam apa itu? Sudah pasti April menolaknya. Lagi pula, April itu tidak tinggal sendirian. Ia tinggal bersama orang tuanya, sudah pasti orang tua April akan khawatir anaknya tidak kunjung pulang. Dan terbukti lagi karena perempuan itu tidak kunjung menjawab.

Gama memejamkan matanya sesaat seolah sedang merutuki ketololan-nya barusan. "Makan dulu, tadi dibawain makanan lagi sama Ibu," pinta Gama seraya beranjak, lantas berjalan keluar kamar yang diikuti April dari belakang.

"Kamu beneran udah mendingan?" tanya April sekali lagi untuk memastikan. Gama mengangguk.

"Kan, udah minum obat tadi, makasih ya."

April menyantap makan malamnya yang berupa soto. Masih terasa hangat di lidah, April yakin Gama sempat menghangatkannya terlebih dahulu. Dalam diam, April menghabiskan kuah sotonya hingga tandas. Lantas mengambil air putih yang disiapkan Gama lalu meneguknya hingga habis. Setelahnya April membersihkan piring-piring lalu membawanya ke tempat cucian kotor.

"Biarin di situ aja, Pril. Nggak usah di cuci," tegur Gama namun April mengabaikannya.

Setelah selesai April mengambil tisu di meja lalu mulai mengelap tangannya. "Gama," panggilnya entah untuk apa. Pria itu bahkan sudah menjawab namun April tidak kunjung melanjutkan ucapannya.

"Kenapa sayang?"

Sontak April berdecak. "Ih, jangan gituuu maluu," katanya sambil membuang tisu. Gama tertawa lalu menarik April mendekat. "Kenapa?"

April menggeleng. "Nggak jadi, hehe."

Gama lalu mengajak April untuk duduk di sofa ruang tamu, ia menarik April mendekat padanya. "Gimana tadi, nyari-nyari kado sama Rehan? Udah dapat yang cocok?"

April mengangguk santai seraya melepas cepolan rambutnya yang tadi ia kuncir asal karena merasa terganggu saat sedang menyeruput kuah soto. "Nggak ketemu yang cocok, jadinya aku saranin buat kasih baju aja. Dan Rehan bilang setuju, jadinya sepakat buat ngasih Dress batik gitu katanya," jelas April.

"Kamu yang rancang?"

"Kok tau?" tanya April. "Iya, kebetulan juga Rehan nggak keberatan, jadinya ya gitu deh. Dari pada keliling mal nggak ketemu juga hadiah yang cocok kayak apa, kan. Yaudah sekalian aja, siapa tahu Maminya Rehan suka."

"Maaf ya."

April yang sedang bersandar lantas mendongak ke arah Gama. "Kenapa tiba-tiba minta maaf?" tanya April bingung. Perasaan tadi ia sedang membahas kado, kenapa tiba-tiba Gama meminta maaf?

"Maaf buat yang tadi. Waktu Kanjeng Mami sama Brenda ke sini. Tadinya emang udah dikasih tau, beliau mau datang jengukin aku. Eh, malah ngajakin Brenda juga, mana pas banget lagi ada kamu di situ."

April tertawa lalu menyubit perut Gama. "Terus kenapa aku ditinggalin di kamar berdua doang sama dia? Tau nggak, sih, matanya udah mau keluar melototin aku."

Gama tergelak pelan. "Oh ya? Terus gimana, tuh kalian?"

"Aku paksain senyum walau aku yakin seratus persen, senyumku pasti aneh banget. Bukannya senyum, muka aku kayak orang lagi nahan boker. Lebih parah lagi waktu Brenda maju, terus dia ngomong 'nggak usah kepedean Gama suka sama lo! Karena Gama itu sukanya sama gue' terus belum sempat aku jawab, dia udah keluar kamar," jelas April panjang lebar. "Aku nggak tau, di situ aku mau miris apa ngakak, jadinya aku diam aja kayak orang bego."

Gama tertawa mendengar cerita April. "Maafin yaa... Dia emang begitu dari dulu. Aku ngajakin Ibu ngobrol di luar buat balik aja, lagian udah ada pacar aku yang ngurusin, ini," godanya membuat April tertawa.

"Maafin juga ya, tadi Kanjeng Mami nggak balas uluran tangan kamu karena keburu shock waktu liat muka Brenda udah merah banget."

April lantas teringat kejadian tadi siang saat ia mencoba untuk menyalimi ibu Gama. "Astaga, aku bahkan udah overthinking loh. Apa mungkin tanganku bau bawang kali, ya, makanya Ibu kamu nggak mau kenalan," celetuk April tergelak. "Tapi pas aku cium, nggak, kok. Nggak bau."

Gama menarik tangan April. "Masa, sih?" lalu menciumnya sebelum menjatuhkan sebuah kecupan. "Nggak kok, wangi. Nggak bau bawang," katanya lalu memberikan kecupan bertubi-tubi ke tangan April.

Sontak April tertawa lalu melepaskan diri dari Gama. Ia beranjak berdiri untuk bersiap-siap. "Udah, ah. Aku balik dulu."

"Aku antar."

April menggeleng  namun tidak dihiraukan oleh Gama. Pria itu berjalan ke kamarnya, mengambil jaket dan kunci mobilnya. Melihatnya membuat April memasang wajah memelas karena tawarannya tidak berlaku bagi pria itu yang tetap akan mengantarnya pulang. "Padahal aku bisa pulang sendiri, lho. Aku bawa motor," tawar April lagi.

"Aku udah enakan, Pril. Yuk, ah keburu malam banget. Kamu pikir aku bakal biarin kamu pulang sendirian malam-malam begini? Mana naik motor lagi. Nanti kalau di begal gimana?" kata Gama sembari berjalan ke luar kamar mendahului April yang berdiri di depan pintu.

April tergelak lalu buru-buru menyusul pria itu, lantas merangkulkan tangannya ke lengan Gama. "Iyaaa Mas, ngomel-ngomel mulu, sih? Kayak Ibu-Ibu komplek," canda April namun mendadak Gama menghentikan langkahnya membuat April ikut-ikutan berhenti.

"Kenapa, kok berhenti?" tanyanya.

"Kamu tadi bilang apa?"

"Hmm? Oh kamu ngomel-ngomel udah kayak Ibu-Ibu komplek."

"Yang sebelumnya lagi."

April mengangkat alisnya pura-pura tidak tahu, padahal ia ingat dengan jelas apa yang ia katakan pada pacarnya itu. "Yang mana, sih? Aku lupa."

"April..."

"Iya Mas?"

April tidak bisa menyembunyikan gelak tawanya lalu cepat-cepat ia melangkah, meninggalkan Gama yang masih terpaku di tempatnya. April melirik Gama dari balik pundaknya. "Ngapain berdiri doang di situ? Jadi nganterin nggak, Mas?"

***

Ya gitu deh, maklum pasangan baru masih anget-angetnya.

Don't forget to votmen pokoknya =)

Continue Reading

You'll Also Like

822K 60.1K 30
Sebuah pernikahan yang menyiksa bagi Kia, ia harus menikahi pria paling mengerikan yang pernah ia jumpai. Marco benar-benar pria yang tidak ada belas...
6.1M 80.5K 47
GUYSSS VOTE DONGG 😭😭😭 cerita ini versi cool boy yang panjang ya guysss Be wise lapak 21+ Gavin Wijaya adalah seseorang yang sangat tertutup, ora...
589K 48.6K 38
Semua berawal dari surat cinta yang di anggap menjijikan oleh Luca, surat itu dari Kalias anak pendiam dengan kaca mata bulatnya. surat berujung rasa...
391K 2.6K 17
Tentang nafsu yang tidak pada tempatnya dan bukan pada orang yang seharusnya.