Possessive Lintang [SELESAI]

By Secrettaa

528K 59.2K 9.7K

[FOLLOW SEBELUM BACA YA] Ini tentang Lintang dengan segala keposesifannya pada Linka, saudari kembarnya dan k... More

PROLOG
Chapter 1 : Keluarga L
Chapter 2 : Kabur
Chapter 3 : Gara-gara tatapan
Chapter 4 : Mau adik
Chapter 5 : Rutinitas
Chapter 6 : Salting
Chapter 7 : Rencana
Chapter 8 : Si cantik penuh luka
Chapter 9 : Cilok
Chapter 10 : Mine?
Chapter 11 : Gagal
Chapter 12 : Tidak sesuai harapan
Chapter 13 : Sederhana
Chapter 14 : Grandma's home
Chapter 15 : Ayah
Chapter 16 : Mainan baru?
Chapter 17 : UKS
Chapter 18 : Salah bicara
Chapter 19 : Awal penderitaan
Chapter 20 : Tanda
Chapter 21 : Pacar?
Chapter 22 : Lintang aneh
Chapter 23 : Rencana berhasil?
Chapter 24 : Abang jelek!
Chapter 25 : Pelampiasan
Chapter 26 : Kumpul
Chapter 27 : Pelukan
Chapter 28 : Keras kepala
Chapter 29 : Romantis?
Chapter 30 : Curiga
Chapter 31 : Penyelamat?
Chapter 32 : Mahes
Chapter 33 : Pertanyaan atau pernyataan
Chapter 34 : Bolos
Chapter 35 : Debat
Chapter 36 : Perempuan lemah yang beruntung
Chapter 37 : New family?
Chapter 38 : Berusaha
Chapter 39 : Sorry
Chapter 40 : Baikan
Chapter 41 : Jealous?
Chapter 42 : He's care, but ...
Chapter 43 : Fall in love
Chapter 44 : Makan malam
Chapter 45 : Andai
Chapter 46 : Berbeda
Chapter 47 : Trauma?
Chapter 48 : Terjaga
Chapter 49 : Kata putus
Chapter 50 : Gilvan Mikael
Chapter 51 : Kantin
Chapter 52 : Lucu
Chapter 53 : Posesif
Chapter 54 : Pertanyaan yang berakhir luka
Chapter 55 : Ara Aiden?
Chapter 56 : Bohong
Chapter 57 : Nasehat Bunda
Chapter 58 : Jalan-jalan
Chapter 59 : Dua sisi yang berbeda
Chapter 60 : Berakhir?
Chapter 61 : Yang baik belum tentu baik
Chapter 62 : Asal mula dendam itu ada
Chapter 63 : Lintang atau Gilvan?
Chapter 64 : Semua tak lagi sama
Chapter 65 : Broken
Chapter 66 : Berlalu
Chapter 68 : Sweet seventeen
Chapter 69 : She's gone (End)
Epilog

Chapter 67 : Keluarga aneh

6.3K 840 484
By Secrettaa

Follow wp Secrettaa

Instagram @authorta

Bantu share cerita "Possessive Lintang" ke IG/TIKTOK/TWITTER/FB ya

Mampir juga ke Tiktok @authorta. Jangan lupa pakai hashtag #secrettaa #possessivelintang #lintangzidanalfaska #linkamikaelaalfaska #larasatiindahmeswari

▪▪▪HAPPY READING▪▪▪

Jangan lupa vote+komen✨
•••
Berada di tengah-tengah keluarga yang hangat dan bisa nerima kamu itu rasanya nggak bisa didefinisikan dengan kata-kata.

Lara

••

"Kenapa kamu lari-lari? Nanti kalo jahitannya kebuka lagi, gimana?!"

"Linka, dengerin bunda nggak, sih?" cerca Lauren ketika mendapati anak perempuannya berlari memasuki rumah dengan tergesa-gesa.

"Kebelet, Bun!" teriak Linka yang sekarang sudah memasuki toilet.

Lauren hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang anak. Ia kembali sibuk dengan cangkir susunya.

"Punya suami, bukannya manjain istrinya yang lagi hamil. Malah asik nonton kartun. Huh, pertama aja bilang 'Nanti setiap hari, aku yang bakal bikinin kamu susu'. Cih, omongan doang yang manis," gerutu Lauren seraya mengaduk-aduk susu ibu hamilnya dan setelah dirasa sesuai. Ia berjalan menghampiri Largas dan Lingga yang sekarang asik menonton tayangan televisi.

Keduanya tampak fokus, sampai tak menyadari jika Lauren sudah  ikut bergabung bersama mereka.

"Eh, kamu kok buat susu sendiri? Kenapa nggak minta buatin sama aku? Nanti kalo capek gimana?"

Lauren tak menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut sang suami. Ia fokus menikmati secangkir susu yang ia buat tadi seraya menggusap perut buncitnya.

Heran karena tidak mendapat jawaban dari istrinya, Largas pun semakin mendekatkan tubuhnya. "Ngambek, hm?"

"Siapa yang ngambek!" jawab Lauren ketus seraya menatap Largas tajam.

Yang ditatap hanya tersenyum tipis dan semakin mendekatkan tubuhnya. Perlahan ia mengambil alih cangkir susu milik Lauren. Largas meletakkan cangkir itu ke atas meja, kembali fokus pada wajah cantik istrinya yang masih terlihat kesal.

Cup!

Kecupan yang Largas berikan, ternyata tak juga berhasil membuat raut wajah itu ceria. Largas tak menyerah dan kembali mengapit tubuh itu.

"Ih, jangan digigit!" ujar Lauren bertambah kesal dengan apa yang suaminya itu lakukan.

"Ayah apain Bunda?! Huaaa ...." Tiba-tiba Lingga menangis histeris dan memeluk tubuh sang bunda posesif.

Dan saat itulah Largas baru teringat jika bukan hanya ada dia dan sang istri. Melainkan sosok mungil, Lingga juga ada di sana.

Awalnya sih iseng, tapi lama-lama menantang. Ya udah keterusan, pikir Largas.

"Enggak diapa-apain kok," jawabnya berusaha menenangkan sang anak yang justru tidak mau disentuh olehnya sama sekali.

"Bohong! Lingga liat Ayah gigit-gigit Bunda!" Lingga semakin histeris dan terus memeluk tubuh sang bunda yang hanya diam.

"Jangan dekat-dekat Bunda!" peringatnya semakin membuat Largas terdiam di tempatnya.

Laki-laki itu memasang wajah memelas seraya menatap sang istri yang sekarang justru tersenyum mengejek.

"Sana! Ayah jangan dekat-dekat. Liat, lehel bunda melah kalena Ayah gigit!" Napas Lingga tampak memburu karena terus mengoceh dan menangis histeris. Ia benar-benar tak suka saat melihat bunda kesayangannya diperlakukan seperti itu oleh sang ayah.

"Ssst ..., udah ya. Bunda nggak kenapa-kenapa kok, liat ayah kamu mau nangis tuh," bisik Lauren menenangkan Lingga yang sekarang berada di pangkuannya dan memeluk tubuhnya erat--tak mau dilepas sama sekali.

Mendengar ucapan istrinya barusan, Largas pun langsung memasang ekspresi sedih seolah-olah hendak menangis.

Anaknya ini benar-benar tak diduga, lagipula kenapa dia bisa melupakan jika sosok mungil itu masih ada di sana dan berakhir mengganggu kegiatannya. Padahalkan ... ah, Largas cepat-cepat menggelengkan kepalanya mengenyahkan pikiran negatif yang seketika muncul di pikirannya.

"Ndak mau! Liat lehel Bunda melah ..., pasti sa-sakit 'kan," ucapnya tersedu-sedu dan menyentuh bagian leher itu. "Ayah, jahat! Lingga ndak like Ayah, Bun."

"Pengen masukkin ke dalam perut lagi rasanya," lontar Largas semakin membuat anak kecil itu menangis histeris.

"Huaa ..., Bunda. Ayah mau masukkin Lingga ke dalam pelut lagi, Ayah ndak sayang Lingga!"

"Aw, bercanda sayang," bisik Largas yang mendapat cubitan maut dari sang istri.

Lauren tidak menggubrisnya, ia masih membujuk Lingga agar berhenti menangis.

"Katanya mau jadi abang yang baik, kok cengeng sih. Nanti kalo Lingga cengeng, adiknya nggak mau main sama Lingga loh."

Perkataan Lauren barusan ternyata berhasil membuat tangis anak itu perlahan mereda. Jika sudah menyangkut masalah adiknya, Lingga pasti akan lebih menurut. Terbukti dari kejadian sekarang. Anak itu tidak lagi menangis.

Lingga menatap wajah bundanya yang berada tepat di depannya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Bunda ndak kesakitan?"

Lauren menggeleng. "Enggak, Sayang."

Tatapan Lingga kini beralih pada ayahnya yang sedaritadi hanya diam menyaksikan keduanya. Namun, tidak sampai beberapa detik, anak itu kembali memalingkan wajahnya.

"Tapi itu melah," bisiknya, kembali memeluk tubuh itu setelah beberapa saat terlepas. Tangannya yang mungil mengusap-usap perut besar milik Lauren.

"Abang ndak cengeng kok dek. Nanti kalo adek udah kelual, halus mau main sama abang ya. Ndak boleh nolak!"

Lingga berbicara pada adiknya, seolah sosok yang masih berada di dalam perut sana mendengar. Tangannya masih mengelus perut itu tak berhenti dan Lauren hanya menikmati sentuhan tangan mungil milik sang anak seraya tersenyum tipis.

Sampai saat di mana ia merasakan bayinya merespon dengan menendang perutnya, meski tidak kuat. Namun, Lingga bisa merasakan itu lewat tangannya.

Seketika raut sedih di wajah Lingga langsung hilang, ia tersenyum senang. "Bunda, dedeknya gelak!"

"Serius? Ayah mau megang juga dong," pinta Largas memelas seraya hendak mendekatkan duduknya pada Lauren dan Lingga.

"Ndak boleh!" tolak Lingga menatap tajam sang ayah yang langsung mengurungkan niatnya untuk mendekat.

"Ya udah, nggak jadi." Dengan berat hati Largas kembali duduk seperti semula di tempatnya dan hanya menjadi penonton dari mereka berdua yang tampak begitu asik berbincang.

Masih kecil gini aja ngeselinnya kebangetan. Gimana kalo udah besar? Batin Largas yang entah kenapa merasa kesal dengan apa yang dilakukan Lingga pada istrinya.

Harusnya aku yang manja-manja sama Lauren. Kenapa malah Lingga!

Tatapannya tak pernah beralih dari sana barang sedetik saja. Largas benar-benar memperhatikan apa saja yang Lingga lakukan pada Lauren.

"Udahan kenapa sih ngambeknya, ayah juga mau meluk Bunda sama dedek," lirih Largas.

"Lingga, nanti ayah beliin mainan deh," bujuknya tapi sama seperti awal-tidak direspon.

Lauren berbisik pada Lingga. Entah apa yang istrinya itu bicarakan, Largas tak dapat mendengernya.

"Beliin Lingga mobil, balu dimaafin!" finalnya berhasil membuat Largas menganga tak percaya. Lalu, menatap Lauren yang sekarang terkikik geli.

"Ren, jangan ngajarin Lingga yang macam-macam deh. Dia masih kecil, nggak mungkin juga aa---"

"Lingga udah besal tau!" protesnya dan Largas hanya bisa bungkam.

"Serah dah."

Linka yang sudah selesai dengan kegiatannya di toilet itupun menghampiri keluarganya.

"Kenapa, Yah?"

Largas memfokuskan tatapannya pada istri dan si bungsu, Linka pun mengikuti arah pandang ayahnya itu.

Linka terkekeh. "Ayah ngambek ceritanya?"

Gelengan dari Largas tak membuat Linka berhenti mengejek ayahnya.

"Kamu kenapa pulang sendirian? Lintang sama Lara, mana?" tanya Lauren.

"Linka tinggalin. Biar mereka ada waktu berdua buat pacaran!" jelasnya bersemangat. Lauren dan Largas hanya menggelengkan kepala. Anaknya yang satu ini benar-benar tidak berubah, selalu saja jahil.

"Kak Lala nya Lingga, belduaan sama abang? Kenapa dibialin sih?!"

Sontak semua pasang mata menatap ke arah si kecil Lingga yang sekarang sudah melepaskan pelukannya pada sang bunda.

"Dia kayaknya bukan anak ayah sama bunda deh, nggak ada mirip-miripnya," cibir Linka berniat mengejek Lingga.

"Awh ...," ringisnya karena tarikan di rambutnya yang dilakukan oleh Lingga.

Lauren dan Largas langsung sibuk memisahkan kedua anaknya itu, apalagi Lingga tidak mau melepaskan tangannya dari rambut Linka.

"Assalamu'alaikum, k-kami pulang!"

Suara dari pintu depan mengagetkan mereka semua yang ada di dalam rumah. Menyadari adiknya tak lagi fokus pada dirinya, Linka mengambil kesempatan itu untuk terbebas dari Lingga.

"Kak Lala!" Lingga berlari mendekat ke arah Lara yang terlihat kelelahan.

"Kaki Kak Lala kenapa? Luka? Abang kok ndak jagain Kak Lala nya Lingga sih!"

"Berisik," ujar Lintang pada akhirnya. Laki-laki itu membantu Lara berjalan seraya terus memegang plastik berisi pesanan sang bunda.

Keduanya sudah duduk di sofa dengan napas terengah-engah membuat semua pasang mata menatap bingung pada mereka.

"Anjing sialan," ujar Lintang sambil menutup kedua matanya setelah meletakkan plastik yang berisi bakso itu di atas meja.

"Abang Lintang sialan."

"Lingga!" teriak Lauren, Largas dan Linka bersamaan. Yang diteriaki hanya  menampilkan wajah polosnya seraya mendekat pada Lara.

"Siapa yang ngajarin?!" tanya Largas galak. Bukannya merasa bersalah dan takut, Lingga malah menatap balik ayahnya tak kalah tajam.

"Ndak usah ya bicala sama Lingga! Ayah lupa ya, Lingga ngambek sama Ayah. Awas aja Lingga liat Ayah gigit-gigit Bunda lagi, Lingga gantung Ayah di loteng?!"

Astaghfirullah, gue salah adon kayaknya kemarin. Batin Largas sambil mengusap dadanya sabar.

"Tolong ambilin mereka air Kak," perintah Lauren pada Linka yang langsung bergerak cepat. Wanita paruh baya yang sedang hamil besar itu tengah mengobati luka di lutut Lara akibat terjatuh.

Tak berselang lama, Linka datang dengan seember air di tangannya dan tanpa wajah berdosanya meletakkan ember itu di atas meja.

"Nih, berat banget," keluh Linka bersiap ingin duduk, tetapi ucapan dari sang bunda  berhasil membuatnya mengurungkan niat tersebut.

"Air minum Linka, bukan air kran! Pakai ember segala lagi, sana ganti?!"

"Yee, Bunda 'kan nggak bilang juga airnya air apaan," cibirnya seraya mengangkat ember itu dan berjalan ke arah dapur.

Lintang dan Largas kompak menggelengkan kepala mereka, mendapati tingkah Linka yang kelewat bego. Ya kali orang baru datang dikasih air kran seember, bukannya air minum pakai cangkir.

"Kalian kenapa capek banget keliatannya?" Largas membuka suara setelah cukup lama hanya ada hening di antara mereka.

"Ada anjing tadi, Yah. Jadi, lari dari depan komplek, apalagi tuh si Lara pakai jatuh segala. Terpaksa dikendong," ujar Lintang jujur dan sekarang sudah mengganti posisinya menjadi berbaring di sofa. "Punggung, abang sakit Bun. Tolong pijitin dong."

Plak!

Lintang memusuti pantatnya yang dipukul oleh sang ayah barusan.

"Nggak ada!" Tentu saja Largas menolak keinginan anaknya itu. Padahal yang diajak bicara siapa, yang jawab siapa. Keluarga aneh.

"Dih, posesif amat. Sama anak sendiri juga masa cemburu," cibir Lintang.

"Hush! Diem, Kak Lala nya Lingga lagi istilahat. Jangan adu bacot."

Ucapan Lingga lagi-lagi berhasil membuat mereka semua menatap anak kecil itu dengan tatapan tak percaya.

"Kak Lala nya Lingga palamu!"

"Abang ih! Mau Lingga katain lagi, nih?!" ancamnya sukses membuat Lintang menggeleng.

Kadang perkataan anak kecil itu terlalu jujur, dan saking jujurnya  apa saja disebut.

"Masa kalah sama anak kecil," ejek Largas.

"Daripada Ayah, sama anak sendiri cemburu!"

"Idih, nggak nyadar! Sendirinya juga cemburu kalo Lingga nempelin Lara terus!" celetuk Linka yang baru datang dari dapur, kali ini perempuan itu tidak salah. Ia membawa minuman untuk abang serta keluarganya yang lain. Saking baiknya Linka, bahkan mangkuk pun ia bawa juga.

"Bunda, baksonya Linka buka ya."

"Iya, punya bunda jangan ada yang nyentuh. Awas aja, ntar bunda sentil ginjalnya!"

Lintang memang sengaja membeli bakso lebih, bukan hanya untuk bundanya saja melainkan untuk anggota keluarganya yang lain juga ia belikan.

"Pagi-pagi makan bakso," ucap Linka seraya menyuap satu buah bakso kecil dari mangkoknya.

"Cakep!" balas Largas dan Lingga yang entah kenapa kompak.

"Enak juga!"

"Si murni kirain mau ngepantun," cibir Largas.

Lauren langsung melototkan matanya, "Murni siapa?!"

Largas dibuat kaget olehnya dan hanya bisa menyengir saja, "Bukan siapa-siapa Sayang, suwer!"

"Hm."

"Ih, KaLin jolok." Lingga menatap tak suka kakaknya yang sedang menikmati bakso.

Lintang bangkit dari posisi berbaringnya dan memberi akses untuk Linka agar bisa duduk di sebelahnya. "Udah makan nasi belum?"

"Udah satu suap," jawab Linka jujur dan kembali menikmati baksonya dengan tenang. Tidak peduli Lingga yang terus mengoceh padanya karena cara makannya yang menurut anak kecil itu jorok.

"Lain kali hati-hati ya," ucap Lauren setelah selesai mengobati luka Lara.

"Hehe ..., iya Bun. Tadi Lintang jalannya cepet banget, pas mau ngejar malah jatuh."

"Ngadu lo?" Lintang mengalihkan tatapannya yang tadinya fokus pada sang kembaran beralih pada Lara.

"Siapa yang ngadu, emang kenyataannya gitu kok."

"Terserah."

"Ekhem! Anak ayah bisa ngambek sama pacarnya juga ternyata."

"Dih, siapa yang ngambek!" balas Lintang mengelak.

Linka, Lauren dan Largas terkekeh melihat kelakuan Lintang barusan.

"Abang kayak pelempuan, kalo ditanya mau apa, jawabnya pasti telselah," celetuk Lingga. Berhasil membuat Lintang malu bukan main.

Semuanya tertawa mendengar penuturan si kecil yang memang ada benarnya juga. Bahkan, kegiatan makan mereka terhenti untuk beberapa saat karena asik menertawakan Lintang yang sekarang sudah salah tingkah dan merasa disudutkan oleh keluarganya sendiri.

"Ah iya, Bun, Yah. Lintang tadi katanya mau un---" Mulut Lara langsung dibekap oleh Lintang. Bahkan, laki-laki itu dengan cepat sudah berada di depan tubuh Lara.

"Diem, jangan ngadu macam-macam!"

"Tangan kamu bau minyak urut, bau nenek-nenek!" Lara memusuti mulutnya seraya mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya.

"Cup cup cup, abang jadi sadboy. Kacian," ejek Lingga. "Pacalnya buat Lingga aja ya, oke deal."

"Ren, mereka emang anak kita atau bukan sih? Jangan-jangan ada yang nukar anak kandung kita pas lagi di rumah sakit? Kok anak kita gini semua ya, nggak ada yang beres," bisik Largas memeluk istrinya posesif.

Lauren yang tengah menikmati bakso itupun hanya menyuapi sang suami dengan bakso, agar mulutnya bisa berhenti mengoceh.

Largas mengusap perut buncit itu seraya bergumam, "Dedek, jangan kayak abang-abang sama kakak ya. Kamu harus jadi yang paling waras di keluarga kita."

"Ayah ngatain anak sendili dosa loh?!"

"Tau, gini-gini juga hasil Ayah sama Bunda!"

"Ngatain anaknya stres, dia sendiri padahal lebih dari stres!"

Lara hanya terkekeh melihat kekompakkan ketiga saudara itu. Betapa beruntungnya dia bisa diberi kesempatan untuk merasakan bagaimana hangatnya keluarga mereka.

"Indahnya masa depan Lingga, Bun. Celah banget," celetuk Lingga seraya terus menatap Lara yang tertawa.

"Heh, masih kecil juga! Apa-apaan sih Cil!" Lintang merasa tak senang dengan apa yang adik bungsunya itu katakan. Hm, cemburu mungkin?

"Nggak usah gitu Lintang, kalo cemburu jangan sama Lingga," bisik Lara dan mendapat pelototan sang pemilik nama.

Dengan wajah datarnya ia perlahan menjauh dari Lara, sedangkan mereka yang diam-diam memperhatikan hanya terkekeh.

***

"Udah lama, ya. Ara nggak ke sini, maaf baru bisa jenguk Aiden." Tangan itu terulur meletakkan setangkai bunga di depan sebuah makam.

Sudah lama sejak kepergiannya dan baru kali ini dia kembali menemui sosok tersayangnya. Tak ada lagi air mata yang membasahi pipi itu, Ara bukan lagi gadis cengeng. Ya, sosok dengan pakaian serba hitam lengkap dengan topi di atas kepalanya itu adalah Ara--kekasih Aiden.

"Ara berhasil keluar dari penjara mematikan itu, Aiden. Dan Ara langsung pergi ke sini. Mereka cuma ngurung Ara, tapi Ara nggak tahan di sana terus. Jadi, Ara milih kabur. Ara udah hidup seperti apa yang Aiden mau," lontarnya seraya tak berhenti menatap batu nisan itu. Seolah-olah ia sedang bertatap langsung dengan Aiden dan laki-laki itu tengah menikmati cerita yang ia sampaikan.

Selama ini Ara memang dikurung oleh Largas di tempat persembunyiannya, setelah anak buahnya mendapati Ara tak sadarkan diri di dalam lemari. Largas langsung menyuruh mereka untuk membawa Ara.

Tidak ada yang Largas lakukan, selain selalu mengawasi setiap apa saja yang Ara lakukan selama di tempat itu. Ia juga mengizinkan Ara untuk melihat pemakaman kekasihnya, tentu saja dengan beberapa pengawal yang setia menjaganya agar gadis itu tidak kabur.

Namun, lama-kelamaan rasa bosan dan jenuh menghantuinya belum lagi ia tidak bisa bebas di sana serta tidak bisa menemui Aiden lagi. Bahkan, pemakaman itu adalah terakhir kalinya Ara keluar karena setelahnya Largas benar-benar mengurung dirinya.

Beruntung pagi tadi ia bisa kabur dengan leluasa, menyadari para bodyguard yang masih terlelap membuat Ara tak membuang kesempatan itu. Sebenarnya, ini sudah percobaan kabur entah yang keberapa, saking banyaknya ia mencoba kabur Ara sampai lupa. Mungkin keberuntungan sedang berpihak padanya.

Ara tersenyum tipis, mengusap batu nisan itu dengan senyum yang tak pernah pudar. "Ara nggak tau lagi, mau hidup seperti apa Aiden. Rasanya Ara pengen nyerah dan nyusul Aiden secepatnya, Ara ... nggak bisa sendirian gini."

Pada akhirnya tangis yang ditahannya sedaritadi pecah juga. Ara sangat merindukan sosok ini. Sosok yang selalu menemaninya baik suka maupun duka. Sekarang dia benar-benar telah sendirian. Tidak adalagi tempat untuk meminta sebuah pelukan hangat atau sekedar usapan menenangkan.

Ara merindukan semuanya. Kenangannya bersama Aiden terlalu sulit untuk ia lupakan, sekarang semuanya terasa membosankan bagi Ara. Tidak adalagi semangatnya untuk hidup, tetapi Aiden terus menghantuinya dengan kalimat terakhir itu yang menyuruhnya agar tetap hidup.

"Aiden, tungguin Ara ya." Ara mencium nisan itu cukup lama, bersamaan dengan air matanya yang tak berhenti mengalir. Dengan berat hati, ia pun pergi dari sana. Meninggalkan tempat pemakaman sesegera mungkin karena perasaannya tak tenang jika terus berlama-lama di sana.

Seolah instingnyanya mengatakan akan ada bahaya yang menghampirinya dan menyuruhnya agar bergagas pergi.

Benar saja, tak lama setelah Ara meninggalkan tempat itu---makam Aiden. Beberapa mobil hitam terlihat muncul dari luar tempat pemakaman. Mereka adalah para bodyguard yang diberi tugas untuk menjaga Ara.

"Dia tidak ada di sini. Tuan pasti akan sangat marah jika mengetahui hal ini," ujar Anto yang kebetulan sudah mengetahui tentang kaburnya Ara.

Bodyguard yang berdiri tepat di depan Anto hanya menundukkan kepalanya karena merasa sudah tak becus dalam pekerjaan.

"B-bagaimana jika Tuan akan memecat atau bahkan membunuh kami?"

Tentu saja ia akan berpikir demikian, mengingat bagaimana sosok Largas yang bisa berubah sangat menyeramkan melebihi apapun.

"Sudahlah, kalian tidak perlu berpikir macam-macam. Saya akan membicarakannya dengan Tuan. Dan kalian harus terus mencari gadis itu." Anto berlalu dari sana setelah berpamitan.

Tanpa menunggu lama lagi mereka semua kembali memutuskan untuk mencari sosok Ara yang sekarang masih bersembunyi di dekat pohon tak jauh dari makam Aiden. Memangnya dia secepat apa, sampai bisa lolos dari sana dengan cepat? Tentu saja Ara mati-matian bersembunyi, bahkan sebisa mungkin tak menimbulkan suara yang mencurigakan.

Saat semua mobil itu sudah benar-benar pergi. Barulah Ara bisa bernapas lega. Dia seperti seorang buronan saja sekarang.

"Ara harus ke mana?" Tatapannya kembali tertuju pada makam sang kekasih. "Coba aja Aiden masih ada sama Ara, maafin Ara. Nanti Ara ke sini lagi."

***

"Satu-satu, Lingga sayang Bunda."

"Dua-dua, Lingga sayang uang ayah."

"Tiga-tiga, Lingga sayang Kakak Lala."

"Satu, dua, tiga, Kak Lala segalanyaaa!"

"Kecil-kecil, udah stres," gumam Lintang tak sengaja mendengar nyanyian adiknya.

"Ili?! Bilang bos, hahai ...," balas anak itu seraya tertawa kencang karena merasa terhibur melihat ekspresi kesal sang abang.

"Pasti ayah 'kan, yang ngajak Lingga nonton video toktok?!" tuduh Linka yang sialnya memang benar.

Largas hanya menyengir dan kembali menikmati makan malamnya. "Bunda kamu lebih sering tuh ngajak Lingga nonton video itu."

"Heh?! Mau disambelin mulutnya? Main nuduh sembarangan aja, aku masukkin ke dalam perut baru tau rasa!"

"Emang Ayah muat masuk ke dalam pelut Bunda?" celetuk Lingga sambil menerima suapan dari Lauren. "Kak Lala cepet banget ya bobonya Bun."

Lauren hanya mengangguk dan kembali menyuapi anak bungsunya itu.

Lara memang sudah terlelap ke alam mimpinya. Mungkin perempuan itu kelelahan karena kejadian pagi tadi.

"Ngapain nanya-nanya Lara?" tanya Lintang penuh selidik dengan tatapan tak lepas dari Lingga yang justru tidak menanggapinya.

"Kasian ya, Bang. Dikacangin," ejek Linka. "Eh, Bun. Bukannya besok Lara ulang tahun ya? Kita rayain nggak?"

Semua atensi tertuju pada Linka. Bahkan, Lintang yang biasanya tak begitu peduli kini langsung menghentikan kegiatan makannya.

"Beneran? Yang ke berapa?" tanyanya beruntun.

"Wah, Kak Lala nya Lingga ulang tahun. Kita layain 'kan?!"

"17," jawab Largas. "Sweet seventeen, ya, nggak?"

"Iya, Bunda udah ada rencana jauh-jauh hari buat rayain ultah Lara."

Lara memang sudah dianggap seperti bagian keluarga mereka. Mencari tahu tentang perempuan itu bukanlah hal yang susah. Termasuk mencari tahu kapan ulang tahunnya.

Lintang tersenyum tipis, entah membayangkan apa yang jelas sepertinya laki-laki itu punya kejutan lain untuk pacarnya.

Eh, pacar?

Beberapa menit sudah berlalu dan kegiatan makan malam serta berbincang mengenai ulang tahun Lara itupun berakhir. Lintang, Linka dan si kecil Lingga langsung menuju kamar Lintang. Pasalnya kedua adiknya terus saja memohon untuk bisa bermain di kamar sang abang.

"Mas, orang tua Lara nggak ada kabar atau gimana sih? Lara nanya mulu, kasian dia. Mana besok ulang tahunnya, masa temen kamu itu nggak mau pulang sih atau jangan-jangan dia nggak ingat lagi ulang tahun anaknya sendiri."

Largas mengedikkan bahunya acuh, "Lagi sibuk-sibuknya si Mahes. Katanya bakal diusahain pulang besok."

"Awas aja kamu kayak dia!" ancam Lauren seraya mengarahkan garpu tepat di depan suaminya.

"Hm, enggak Sayang. Kamu duduk aja, biar aku yang bersihin." Largas membersihkan meja makan dan mencuci piring-piring kotor bekas mereka makan tadi.

Sedangkan Lauren duduk tenang di kursinya seraya memperhatikan setiap pergerakan Largas. "Yang bersih."

"Mas, aku dengar Ara kabur."

Largas langsung membalik tubuhnya menjadi menghadap sang istri, kebetulan juga kegiatannya sudah selesai. Kentara sekali di wajah cantik itu kekhawatiran, ia mendekati Lauren dan memeluknya.

"Jangan banyak pikiran ya, biar aku yang urus semuanya," jelasnya.

Lauren menggangguk dan terus berusaha percaya bahwa semua akan baik-baik saja.

Saat mendapat kabar bahwa Ara kabur, tentu saja Largas marah. Bisa-bisanya mereka lalai menjaga satu orang anak perempuan seperti Ara. Beruntung ia bisa menahan emosinya kali ini, jika tidak mungkin para bawahannya itu sudah tinggal nama.

Masih tim happy end?

Sad end?

Atau

Gak end2 🙂😭

Kalian, kalo ngasih kado ultah, biasanya apa (selain doa)?

See you next part!

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 126K 60
*C O M P L E T E D* "This isn't like that stupid book, Oliver." "What do you mean by that?" "I mean this isn't a love story." - - - - Oliver Green is...
1.2M 27.8K 45
UNDER EDITING "Listen May" Ace said with a pleading voice. "No Ace! You listen, I was not the one who ended our relationship! I was not the one who d...
1.3M 32.8K 20
In which a skittish human girl and an angry Alpha wolf heal together A Werewolf Romance Copyright © The Queen Slushie 2021 You do not have permission...
4.9M 165K 76
Summary: Yue Fei transmigrates into a novel and becomes the fodder beta male partner of the male lead in the book. His alpha boyfriend marks an omeg...