"Udahlah Nad, pengin cerai aja gue rasanya. Regan yang playboy aja nggak sampe hamilin anak orang, lah ini yang keliatannya kalem udah mau jadi bapak aja." sepanjang perjalanan Elena terus saja menggerutu.
Pagi-pagi sekali, mungkin sekitar jam empat dia bangun. Ralat, tidurnya tidak nyenyak semalam padahal dia lelah. Tidak seperti pria disampingnya yang ia rasa tidak juga bangun meski ada badai. Sengaja dia bersiap-siap lebih cepat lalu berangkat bahkan sebelum Reza membuka mata.
"Yakin lo mau cerai?" diseberang sana, Nadya berkomentar dengan santai. Mungkin masih di tempat tidur hingga sekarang. Walaupun sempat protes tadi, Nadya tetap mau mendengarkan semua curhatannya pagi-pagi begini.
"Kalau udah dapet hartanya Reza. Minimal ya lima puluh persen lah! Yakali gue nggak dapet apa-apa." setidaknya walau menyandang status janda muda, setidaknya dia menjadi konglomerat dadakan.
"Emang Reza mau serahin hartanya gitu aja?"
"Gue paksa!"
"BTW, lo yakin itu anak Reza?"
"Menurut lo? Buat apa tuh cewek chat Reza ka- shit!"
Brak!
Melepas airpods-nya asal, Elena buru-buru turun dari mobil. Ia meringis mendapati seseorang terjatuh dari motor yang ia yakini karena tertabrak dirinya. Padahal dia sudah fokus ke jalanan, laju mobilnya juga tidak cepat -dalam kategori sedang, lalu tiba-tiba saja ada ibu-ibu masuk begitu saja ke jalan.
"Makanya Bu, kalau mau masuk tuh tengok kanan kiri." dumel Elena kemudian membantu ibu-ibu tersebut. Beberapa orang mulai mendekati mereka. Bertanya-tanya tentang kejadian sebenarnya juga mulai menyalahkan pengendara mobil. Padahal yang salah kan si motor.
"Si Eneng gimana sih bawa mobilnya? Harus hati-hati atuh, Neng!" salah satu warga mulai menghakimi.
"Sembarang kalau ngomong! Saya tuh udah hati-hati, bawa mobil nggak ngebut, ibu-ibunya aja yang tiba-tiba nyelonong berasa jalan punya sendiri. Dasar ibu-ibu raja jalanan!" Elena tak mau kalah pun ikut mengomel. Sedangkan ibu-ibu tadi dibantu warga dimasukan ke dalam mobil Elena untuk dibawa ke rumah sakit.
Kondisi ibu-ibu itu? Ada beberapa lecet juga terlihat shock. Ingin marah-marah tapi urung melihat wajah galak si pengendara mobil.
"Makanya Bu kalau bawa motor itu lihat kanan kiri. Lagian mau kemana sih nggak make helm segala? Udah tahu ini jalan besar, mentang-mentang masih pagi nggak ada polisi nggak make helm. Bahaya tahu! Bla bla bla..." dan sepanjang jalan Elena terus mengomeli ibu-ibu itu. Menyalurkan rasa kesalnya.
Tiba di rumah sakit, Elena mengurus administrasi. Ponselnya beberapa kali bergetar membuatnya kesal sendiri. Tidak tahu moodnya sedang jelek hari ini? Ibu-ibu saja kena semprot olehnya.
Beberapa panggilan tak terjawab dari Nadya juga... Reza. Cih! Masih ingat punya istri dia? Ketika akan mematikan layar ponselnya, nama Reza kembali muncul. Dengan malas ia menerima panggilan itu.
"DIMANA KAMU?!"
Jangan salahkan dirinya ketika ponsel puluhan jutanya ini meluncur begitu saja ke lantai. Dia terkejut. Mendumel tidak jelas, dia mengambil ponselnya lagi. Beruntung tidak mati.
"Tahu sopan satun nggak sih? Ngapain teriak-teriak begitu?!" Omel Elena kesal.
"Kamu dimana Lena? Bukannya menjawab kenapa malah-"
"Rumah sakit Medika," Tut. Setelahnya ia mematikan layar ponselnya. Ia pun masuk ke IGD untuk menemui orang yang ia tabrak tadi.
"Administrasi sudah saya urus. Sudah lunas, ibu bisa pulang. Punya HP kan? Telfon orang buat jemput, saya sibuk mau kerja." setelah memastikan ibu-ibu tadi memiliki ponsel, Elena pun pergi darisana.
Biarlah dia tidak sopan, ibu-ibu tadi juga menyebalkan. Lagian yang salah kan si ibu-ibu, tapi dia yang tanggung jawab. Padahal biaya mobilnya pasti akan lebih mahal nanti.
🍁🍁🍁
Brak!
Elena berjengit, matanya langsung berubah tajam menatap sosok yang baru saja masuk. Kemudian dia menatap beberapa orang yang berada di ruangannya. Padahal dia tengah berbincang dengan kliennya, tapi tanpa sopan santun Reza masuk begitu saja. Bahkan membuka pintu ruangannya dengan kasar.
"Maaf Tuan Fahmi, sepertinya ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan suami saya. Bagaimana dengan makan siang nanti?" Elena memberikan senyum terbaiknya, merasa tidak enak pada kliennya ini.
"Ah, tidak apa Nona Lena. Untuk makan siang, Anda bisa menentukan tempatnya."
Elena kembali tersenyum. Berdiri mengantar tamu-tamunya itu, ketika di luar ia memberi kode pada Ratna. Barulah dia kembali ke ruangannya lalu menatap tajam orang yang juga tengah memasang wajah garang sekarang.
"Kenapa disini?!" harusnya Elena yang bertanya seperti itu bukan Reza. Pria itu berjalan mendekat, memegang bahu Elena kemudian memutar tubuh wanita itu. Memeriksa setiap inci tubuh Elena lewat tatapan tajamnya. "Nadya bilang kamu kecelakaan, terus kamu bilang sedang dirumah sakit tadi. Kenapa malah disini? Kamu tidak apa-apa?" Reza bertanya tanpa jeda.
"Aku baik-baik saja dan nggak usah sok perhatian!" Elena menyentak kedua tangan Reza. Ia mundur dua langkah lalu menatap pria itu dengan tangan bersedekap.
"Kamu kenapa?"
Sebelah alis Elena terangkat, apa pertanyaan yang terlontar tidak salah? Rupanya pria ini belum juga sadar akan salahnya.
"Soal Tiffany?" tebakan Reza tepat sasaran. Elena menghela nafas kemudian berjalan menuju kursi kebesarannya. "Kamu buka HP aku?"
"Nggak!"
"Kamu baca pesan Fany."
Mata Elena memicing mendengar panggilan yang terdengar akrab itu. Padahal kemarin Gibran pun demikian, kenapa rasanya berbeda ketika keluar dari mulut Reza?
"Fany emang hamil, dia-"
"Wah, selamat. Kamu bakal jadi Ayah!" Elena berkata sarkas.
"Jangan potong ucapanku Lena!" helaan nafas lolos dari Reza. "Itu bukan anak aku, paham? Lagian dia sudah menikah, wajar kan kalau dia hamil?"
Dahi Elena berkerut. Tiffany sudah menikah? Kalau begitu wajar jika wanita itu hamil, yang tidak wajar itu, "Kenapa dia sampai repot-repot ngasih tahu kamu?"
Reza diam. Okay, Elena tahu ada yang tidak beres disini. Tiffany hanya mantan sekretaris Reza, mereka sudah lama tidak berjumpa -anggap saja seperti itu- lalu tiba-tiba Tiffany memberi kabar seperti itu? Menarik sekali.
"Kami tidak memiliki hubungan apapun, itu yang perlu kamu tahu."
Mau tak mau Elena mengangguk. Walau sulit baginya percaya. Sekaku apapun Reza, dia tetaplah pria bukan? Pria berusia matang, akan aneh jika Reza belum pernah jatuh cinta selama ini pada lawan jenis. Ah, dia jadi penasaran apa Tiffany adalah orang yang membuat Reza jatuh cinta dulu? Kalau iya, kenapa mereka tidak bersama?
"Apa yang kamu pikirkan?" entah sejak kapan, Reza sudah mendekat. Pria itu menggerakkan kursi Elena agar menghadap padanya. Pria itu menunduk, menumpukan kedua tangannya pada kursi Elena, mengukung tubuh istrinya.
"Kamu belum mandi?" Elena mengerutkan dahinya. Tidak, Reza tidak bau hingga ia berkata demikian. Tapi baru menyadari jika celana juga kemeja Reza adalah yang dipakai semalam. Pasti pria itu sembarang meletakan bajunya hingga pagi ini dipakai lagi.
"Bangun tidur aku tidak melihatmu. Aku menelfonmu kamu selalu sibuk, lalu tiba-tiba Nadya menelfonku lalu berkata kamu kecelakaan. Kamu pikir aku punya waktu untuk mandi?" mata Reza menyorot tajam. Wajah pria itu terus mendekat hingga Elena merasa nafas hangat Reza menyentuh wajahnya. "Kamu harus tanggung jawab karena sudah membuatku panik, Lena."
"Aku--"
Bibir Elena dibungkam oleh Reza dengan bibir pria itu sendiri. Tanpa ijin, tanpa berkata apapun, tiba-tiba saja pria itu menciumnya. Ini memang bukan pertama kalinya bagi Elena tapi... Sial! Jantungnya berdegup begitu kencang.
"Ayo pulang, aku belum sarapan." Reza menarik lembut pergelangan tangan Elena. Membawa istrinya untuk pulang bersamanya.
Jadi, hal yang membuat mood Elena terjun begitu saja hanyalah salah paham? Tiffany sialan! Kalau hamil ya hamil saja kenapa memberitahu Reza? Ck! Menyebalkan!
🍁🍁🍁🍁
TO BE CONTINUE
Halo guys, ini Reza, yg udah bikin kesel Elena sampai ibu-ibu aja dimarahin wkwk.
Ada yang masih kesel sama Reza? Apa ngerasa Elena terlalu cepet luluh?
Double up gak nih? Biar agak lama, 300 komen aku double up wkwk. Sanggup gak tuh?
Makasih udah baca cerita ini. Jangan lupa votenya, gaboleh pelit yaaaa. Aku nulis ini capek loh, jadi timbal baliknya vote sama komen ya.
See you guys!