Past Time

By pillowuuy

31.4K 4.6K 408

Tragedi tenggelamnya kapal wisata yang ditumpangi tujuh siswa SMA Marina masih menjadi berita duka dikalangan... More

0. Prolog
0.5 Prolog
1. All About Them
2. Luka Mereka
3. Impian Jisung
4. Sayap Pelindung
5. Awal Dari Semua
6. Pulang dan Malam
7. Tidak Disini Lagi
9. Waktu Cepat Berlalu

8. Kembali Seperti Semula

1.5K 277 48
By pillowuuy




~~~•~~~




21 Desember 2016

Banyak jerit tangis dipemakaman begitu 'mereka' diturunkan dan tidak disini. Terdengar kacau tapi nyatanya banyak orang kehilangan.

Sama sepertiku, yang hanya duduk dari kejauhan menatap diturunkannya mereka. Beberapa anak dari sekolah lain ikut berduka. Menunduk dan menengadah tangannya meminta doa pada Tuhan agar dilapangkan kuburnya.

Begitu liang ditutupi tanah, suara tangis semakin terdengar. Jeffrey menahan tangisnya sambil memegang papan nama ketujuhnya.

Tapi siapa sangka, bahwa tadi pagi adalah hari dimana aku tahu kalau Doyoung dan Mark sempat menjauh. Aku kira Doyoung bercerita untuk menghiburku, tapi sungguh aku baru sadar jika dia menyesal karena belum meminta maaf.

Bunga-bunga mulai ditaburkan dan surat-surat ditumpuk sekeliling gundukan tanah itu. Satu per satu mereka memeluk ketujuh papan nama.

Kehilangan seorang anak termasuk hal yang menyakitkan bagi keluarga. Aku melihat Ning, adik Chenle ikut menangis memeluk gundukan abangnya.

Paman Ben, satu-satunya orang terdekat Jaemin berusaha kuat.

Dan ayah Jeno, beliau menghadiri pemakaman. Walau hanya berdiri disamping mobilnya.

"Yah besok anterin Jeno ke gedung Sabda ya, ada olimpiade kimia."

"Papa keluar kota."

"Sebentar aja yah, cuman anterin Jeno."

"Dari rumah kesana jauh, papa berangkat habis shubuh. Kamu berangkat sendiri bisa kan?!"

"Yaudah kalau gitu, jangan lupa sarapan ya yah. Biar maagnya enggak kambuh, besok Jeno berangkat sendiri."

Baron teringat percakapan dengan anaknya. Itu adalah percakapan yang paling panjang antara dia dan Jeno. Baron tidak bisa menangis, dia hanya menatap kerumunan orang yang mengelilingi makam putranya.

Aku merogoh saku kemeja hitamku, membuka surat yang seharusnya aku berikan pada mereka sebelum beristirahat terakhir.

Jika aku tahu bahwa kalian tidak akan lama, maka dengan sepenuh hatiku kuberi tahu pada dunia kalau kalian adalah matahari bagi orang-orang yang pedih. Terimakasih atas senyum dan perbuatan tulusmu, tidak akan kulupa sampai kapan waktu berakhir.




~~~•~~~





Waktu pemakaman telah usai. Kini aku, Doyoung, dan Jeffrey mendatangi sekolah untuk memberi bunga dibangku mereka.

Suasana cukup sepi karena tidak ada lagi pertandingan basket disiang hari. Polisi masih menutup sekolah dari media, hanya beberapa orang yang bisa masuk kedalam, termasuk kami bertiga.

Lampu dikelas tidak menyala, biasanya dicuaca mendung seperti ini akan ada Renjun yang menyalakan lampu karena dia tidak bisa membaca buku ditempat yang gelap. Lalu datang Haechan berlari sambil menirukan suara petir menyambar.

Aku merindukan itu semua.

Terakhir. Kami bertiga memasuki kelas bahasa. Meja Jisung penuh gambar dan coretan tentang seorang yang dia kagumi dan menjadi motivasi untuk mengejar impiannya.

Aku meletakkan bunga dan bingkai fotonya.

Terasa berat saat kami mulai pergi dari ruangan itu. Kini seluruh ruangan tentang mereka akan kami kunjungi dan beri bunga untuk perpisahan.

"Lo kalau nonton film suka happy ending atau yang sedih?"

"Dimana-mana orang suka happy ending."

"Gue suka yang sad ending."

"Gila lo. Gue mah tim happy."

"Yang sad ending emang nyakitin tapi gak bisa dilupain, dan sad ending gak semestinya buruk kok."

"Gue gak mau nangis bombay. Cukup hidup gue yang pahit, drama jangan."

Aku melihat Jeno dan Renjun duduk dikantin berdua. Mereka saling berbagi cerita dan beradu argumen. Renjun bilang dia suka drama yang berakhir happy ending. Tapi kebalikannya dengan Jeno, cowok itu lebih memilih sad ending.

Saat berkedip bayangan mereka mulai memudar. Disusul tawa Renjun yang jarang diperlihatkan, dan senyuman Jeno yang selalu menjadi bagian terindah dalam hidupnya.

Kini selamat tinggal kenangan.

Banyak kisah kalian yang semestinya aku ceritakan pada publik. Tapi cukup disini aku berbagi, sisanya akan kusimpan dihati.



~~~•~~~





Malam itu, mungkin akan menjadi malam yang panjang. Suara musik dari radio yang terdengar samar namun masih bisa didengar jelas memainkan lagu yang mereka sukai.

Tiga cangkir teh hangat masih utuh dengan kepulan asap tanpa mau diminum. Jeffrey menatap betapa gelapnya malam ini. Semilir angin dingin menembus pakaiannya yang serba hitam.

Warung kecil ini menyimpan penuh kenangan indah dari mereka. Coretan dan segala benda peninggalan mereka masih ada dibawah meja kecil. Seolah-olah sengaja ditinggalkan karena mereka tahu bahwa perpisahan segera datang.

Termasuk buku catatan kecil berwarna coklat yang sampulnya sudah tidak lagi cantik. Doyoung mengambil buku itu, membukanya dengan sangat pelan.

Cie ketahuan kepo, awas aja nanti yang punya marah

Doyoung ingat betul itu tulisan Jisung. Tidak rapi dan bahasa kasarnya seperti ceker pitek. Ada sekitar 50 lembar tapi tidak satupun kalimat jelas tertulis disitu. Hanya beberapa curhatan pemilik buku yang ditulis dengan tinta merah.

"Gue bilang apa, jangan dibuka!"

Haechan merebutnya dari Renjun. Seketika moodnya berubah dan duduk menjauhi cowok itu, alias pundung alias ngambekan.

"Ah elah cuman depannya doang."

"Ya gak boleh!" cibir Haechan.

"Yi gik bilih." Chenle ikut mengompori.

Haechan berdecak. Memasukkan buku itu kedalam saku jaketnya, "Lo gak usah ikut-ikutan ya Le."

Suaranya masih terdengar. Bagaimana dia merajuk karena rahasianya akan segera kebongkar jika Renjun membacanya.

Sementara Doyoung, dia hanya membaca dengan tatapan kosong. Mungkinkah Haechan menyembunyikan ini semua karena dia ingin memberi tahu jika sudah waktunya.

"Itu lo yang kesini suka bertujuh, pada kemana ya? Saya kok kangen berisiknya." tanya ibu penjual.

"Sering banget kesini ya bu?" balas Jeffrey.

Ibu penjual itu duduk disamping Jeje. Sepertinya dia antusias untuk membahas mereka, "Sering banget. Kalau kesini warung ibu jadi gak pernah sepi. Sayang ibu suka lupa namanya, tapi mukanya masih saya inget."

"Yang paling diinget yang mana bu?"

"Yang mana ya. Pokoknya yang berisik banget, suka teriak-teriak kalau nyanyi."

Jeffrey berpikir, apakah itu Haechan? Chenle atau Renjun?

"Tapi ada juga yang pendiem. Kalau pada cerita sukanya nyimak aja, baru ngomong kalau salah satu dari mereka udah selesai cerita."

"Terus ada lagi yang masih kecil tapi tinggi banget. Saya inget dia kebentur kepalanya waktu berdiri. Maklum warungnya pendek, tapi dia cuman cengengesan. Baik anaknya."

Jeffrey dan Jeje menyimak dengan baik. Tidak hanya kebaikannya, tapi semua perilaku mereka diingat betul. Andai waktu bisa diulang.

"Ibu seneng banget kalau bahas mereka-mereka itu. Ikut bahagianya."

Jeje tertawa, "Iya bu. Saya juga."

"Mereka kemana ya? Semingguan ini ibu gak pernah lihat, lewat kayaknya udah gak pernah. Saya cuman pengen tahu gitu, apa saya buat salah, atau mereka sibuk ya?"

"Mereka pergi bu,"

Ibu itu rada terkejut, "Loh pergi kemana? Jauh ya?"

Jeje ingin menjawab tapi Jeffrey menahannya, "Belum tahu bu. Tapi nanti mereka pulang lagi, saya cuman dikasih tahu gitu."

"Pantesan ya saya jarang lihat. Titip salam ya, saya kangen mereka. Disuruh cepet pulang."

Jeffrey hanya menunduk diam. Walau didalam hatinya dia menangis tanpa diperlihatkan.




Continue Reading

You'll Also Like

135K 7K 30
Aelin tidak menyangka kalau sang ibu menikah lagi dengan seorang duda, ayah Aelin meninggal dunia sekitar 3 tahun yang lalu karena serangan jantung...
1.6M 107K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...
363K 32.3K 47
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...
84.1K 5.8K 18
Laksita Hana Bahira adalah seorang Perempuan yang terpaksa menyewakan Rahimnya pada seorang Laki-laki karena satu masalah yang sedang membebaninya. N...