Seorang cowok dengan keadaan yang mengenaskan tengah menutup kedua kupingnya rapat menggunakan kedua tangannya, ia terus menggeleng cepat. Kata 'maaf' terus ia gumamkan. Berusaha membuat dirinya kuat menghadapi teriakan-teriakan yang berasal dari balik pintu kamarnya.
"Lihat dia! Gara-gara kamu nggak bisa didik anak! Arvan jadi kayak gini!" Teriak sang pria paruh baya. Di depannya, seorang wanita paruh baya tengah menatapnya tajam dengan dagu yang terangkat angkuh.
"Kenapa kamu marahin saya?! Seharusnya kamu intropeksi diri! Dan seharusnya saya yang bilang begitu ke kamu! Kamu cuma bisa kerja! Kerja! Dan kerjaaaa Trus! Nggak pernah sekalipun luangin waktu buat anak kita! Liat? Liat sekarang! Dia jadi berandal kaya gini juga gara-gara kamu!!"
Wanita itu menatap tajam sang suami, sedangkan sang suami langsung mengepalkan tangannya menahan emosi.
"Ngaca! Seharusnya kamu yang di rumah! Biar saya saja yang bekerja! Kodrat seorang istri itu di rumah! Bukan keluyuran kesana kemari cuma bisa menghabiskan uang! Jika bukan karena Arvan, saya tidak segan-segan untuk menceraikan wanita boros seperti kamu, Arum!" Ucapnya berlalu pergi menuruni anak tangga. Jika terus adu mulut dengannya, permasalahan ini tidak akan cepat selesai.
"SAYA JUGA KERJA ANGGA! SAYA KERJA! BUKAN MEMBUANG-BUANG UANG!" Teriak Arum emosi. Berharap sang suami—Angga dapat mendengarnya.
Wanita yang di duga bernama Arum itu mengacak rambutnya frustasi, ia mengetuk pintu berwarna coklat di sebelahnya dengan pelan.
Tok tok tok
"Sayang, kamu nggak papa 'kan? Sini keluar nak. Mamah obati luka kamu"
Tak mendapat jawaban, akhirnya Arum memilih mengetuk pintunya kembali, "Nak, ay-"
"Pergi aja mah, Arvan nggak papa kok" Jawab dari balik pintu. Arum hanya bisa menghela nafas pelan. Ia memilih ikut menuruni tangga untuk menyusul sang suami.
-
Arvan Putra Ajmata. Cowok tampan yang memiliki harta berlimpah ruah, ayahnya yang memiliki perusahaan terbesar di Indonesi dan sang ibu yang menjadi seorang dokter bedah membuat keluarga Arvan selalu menjadi bahan sorotan oleh banyak publik.
Dari sudut pandang orang luar, keluarga Atmaja adalah keluarga yang harmonis. Selain memiliki harta yang melimpah, keluarga Atmaja juga di karuniai oleh dua Putra yang memiliki ketampanan di atas rata-rata.
Tak ayal, banyak pembinis tamak yang berniat menjodohkan anak perempuan mereka hanya untuk sekedar menjalani kontrak dengan perusahaan terbesar yang di dirikan oleh Atmaja.
Tok tok tok
Lagi-lagi terdengar suara ketukan dari pintu coklat kamarnya.
Arvan berdecak kesal, "Pergi mah, aku nggak pa-"
"Ini gue!"
Bukan, itu bukan suara Arum. Tubuh Arvan nenegang seketika mendengar suara berat yang berasal dari balik pintu.
"Keluar lo! Atau gue yang masuk!" Suara berat itu kembali terdengar. Arvan langsung berdiri dan membuka pintu secara kasar.
"Mau apa lo?!" Tanya Arvan setelah membuka pintu. Di depannya terlihat seorang cowok yang terpaut satu tahun di atasnya tengah menatap marah dan kesal ke arahnya.
Terlihat cowok itu terkekeh sinis dengan tatapan meremehkan, "Selain perebut, lo juga suka yah bikin keributan" Ujarnya sinis.
Arvan yang tau arah pembicaraan ini hanya terkekeh kecil, "Sirik lo? Lo yang bilang sendiri 'kan? Kalo lo udah ikhlas buat ngelepasin Jenicha?" Tanynya bersedekap dada.
"Gue nggak bahas soal Jeni! Gue lagi bahas soal Bokap nyokap!" Sentak cowok itu emosi.
Terlihat cowok di depannya mengeraskan rahang dengan tangan yang mengepal.
"Dan satu lagi, Bibir gue emang bilang udah ngelepas, tapi hati gue enggak!"
Arvan mengedikkan bahu acuh, "Itu si derita lo!"
Bughhh
Arvan terhuyung kebelakang akibat pukulan keras yang mendarat di bibirnya. Ia menyeka ujung bibir yang kembali mengeluarkan darah akibat luka yang belum mengering.
"PUAS LO! PUAS LO HAH BIKIN NYOKAP BOKAP BERANTEM TERUS!" Bentak si cowok mencengkram kerah kemeja yang di pakai Arvan.
"Lo udah ngrebut Jenicha dari gue dan lo juga yang udah ngrebut kasih sayang dari orang tua gue!"
Arvan hanya diam mendengarkan cowok yang menjadi kakaknya itu berbicara. Mau melawan pun tak bisa, tenaganya telah terkuras habis akibat tawuran yang ia lakukan 1 jam yang lalu.
"Lo pembawa sial!"
Cowok itu melepaskan cekalanya dari kerah kemeja lalu mendorong Arvan menjauh darinya.
"Lo mikir nggak sih? Semenjak kehadiran lo, keluarga ini nggak pernah harmonis!"
"Nyokap bokap yang dulunya saling mencintai, sekarang malah saling membenci!"
"Dan mereka yang dulunya peduli sama gue, sekarang malah sebaliknya. Mereka malah nggak peduli sama gue! Dan lo tau itu gara-gara siapa?!"
Cowok itu mengguncang bahu Arvan dengan keras "Lo tau Itu semua gara-gara siapa?!" Ulangnya.
"GARA-GARA LO!"
Arvan terdiam mendengarkan, memang benar yang di ucapkan oleh kakaknya. Selama ia hidup menjadi bagian dari keluarga Atmaja, ia tidak pernah mendengar kedua orangtuanya saling bercanda. Jangankan bercanda, bertegur sapa pun tidak pernah. Mereka hanya saling berbicara hanya saat bertengkar saja, itupun saling triak meneriaki dan tidak mau mengalah.
"Gue capek, gue capek! Mereka semua milih lo!"
"Nyokap, Bokap! Oma, Opah! Dan bahkan..."
"... Jenicha!"
"Mereka semua milih lo! Mereka semua hanya sayang sama lo!"
Cowok itu kembali mencengkram kerah kemeja Arvan dengan kuat.
"Puas lo?! PUAS LO UDAH NGAMBIL SEMUANYA DARI GUE?!"
Cowok itu tiba-tiba menyeret Arvan ke arah balkon kamarnya yang berada di lantai dua. Arvan yang di seret hanya pasrah, tenaganya sudah terkuras habis. Entah apa yang akan di lakukan oleh kakaknya ini.
"Kayaknya kalo gue jatuhin lo dari sini, cuma patah tulang doang" Ucapnya ber-Smirk.
Arvan menggeleng cepat, "Lo gila?!"
Cowok itu menoleh lalu terkekeh kecil, "Iya gue gila! Dan sekarang, lo akan menjadi korban kegilaan gue!"
Tanpa aba-aba, Cowok itu langsung mendorong tubuh Arvan yang lemas dengan keras.
"Gue harap lo mati!" Ucapnya ber-Smirk lalu pergi meninggalkan tubuh Arvan yang masih melayang di udara hendak menyentuh tanah.
Arvan capek.
Arvan lelah, Kenapa harus Arvan yang terus menerus di salahkan oleh keadaan.
Di permintaannya yang terakhir, semoga Arvan tidak akan pernah hadir di keluarga Atmaja lagi. Ia berharap, ini adalah akhir dari semuanya.
Arvan pasrah, ia langsung memejamkan matanya. jika memang takdir hidupnya seperti ini, ia rela. Asalkan keluarganya kembali seperti dulu, seperti permintaan sang kakak. Keluarga harmonis yang di selingi oleh canda tawa.
Brugkkkkkk
Tubuh Arvan terjatuh dengan posisi terlentang bersimbah darah.
Tidak ada air mata yang mengalir, hanya ada senyuman tipis dan rasa sakit di bagian kepalanya.
Arvan menghembuskan nafasnya pelan.
'Semoga lo bahagia kak~'
Ngefeel nggak?
Next?
Bubay 👋