Panas nya sinar matahari pagi yg masuk melalui celah ventilasi jendela menyilaukan pandangan Ravin, dia menggunakan buku tulisnya untuk menghalangi cahaya mengenai wajah nya secara langsung. Mata nya yg memang sudah sangat mengantuk, terpaksa membuka kembali ketika mendengar tepuk tangan dari teman-teman nya setelah Fanan mengakhiri penjelasan mengenai kedatangan Cornelis de Houtman ke kepulauan Nusantara.
Biasanya mendengarkan kisah sejarah seperti ini adalah kesukaan nya, namun lain ceritanya hari ini karena semalam dia kekurangan tidur akibat menyelesaikan pekerjaan fotokopian buku hingga pukul dua belas malam. Sebenarnya dia bisa saja menyerahkan setengah pekerjaan nya pada bang Edgar atau Bagas. Tapi dia merasa tidak enak jika harus memberikan beban tersebut pada mereka, karena hanya dirinya saja yg tidak bekerja, sementara mereka bahkan terkadang terlampau sibuk dengan pekerjaan sampingan lain meskipun sudah terdapat pembagian sift untuk menjaga fotokopian.
Lagipula nanti dirinya juga akan mendapat gaji tambahan sehingga tidak ada rugi nya jika dia menyelesaikan semua pekerjaan ini sendiri. Ravin memainkan pulpen nya dengan sebelah tangan, mencoret-coretkan isinya ke buku tulis bagian paling belakang. Pendengaran nya masih dengan jelas menangkap penjelasan bu Sri, namun matanya sedari tadi lebih memperhatikan jam dinding di atas papan tulis daripada materi yg tertulis disana. Menghitung berapa waktu yg di butuhkan jarum panjang untuk menuju ke angka dua belas.
Bel istirahat yg berbunyi membuat lengkungan kecil dibibirnya, padahal sudah lama sejak terakhir kali dia tersenyum. Mungkin kebahagian memang sesederhana itu , karena waktu istirahat setelah jam pelajaran yg panjang adalah hal yg paling dibutuhkan semua siswa sekarang.
Setelah bu Sri keluar dari kelas, Farras langsung mengambil ancang-ancang untuk mengajak teman-teman nya keluar.
"Kantin ga?"
Tanya Farras pada Hisam dan Ravin dibelakangnya. Nafi yg duduk disebelahnya sudah bersiap-siap membereskan buku-buku,seolah sekolah telah usai.
"Kantin lah, lo ikut kan vin, atau mau tidur di kelas? Mata lo udh lima watt"
Hisam memperhatikan wajah Ravin yg memiliki kantung hitam yg tercetak jelas di bawah matanya.
"Ikut"
Tanpa berkata panjang Ravin melangkahkan kaki keluar kelas diikuti teman nya. Matanya mengerjap, masih menyeseuaikan dengan teriknya matahari pagi. Dia sebenarnya tidak terlalu suka keramaian di kantin, tetapi perutnya memaksa untuk diisi jika tidak ingin pingsan selama sisa pelajaran.
Disaat teman-teman nya mengobrol sepanjang perjalanan menuju kantin, dirinya memilih diam tidak tertarik untuk ikut bergabung dengan pembicaraan mereka. Hari-harinya sekarang begitu monoton dan terasa...sepi.
"Vin, Rafa ikut latihan ga nanti sore?"
Pertanyaan Hisam membuat Ravin menoleh, dan jika itu menyangkut tentang rafa maka jawaban nya sudah pasti
"Gak tahu"
Hisam mendapat senggolan dari Nafi, memintanya untuk tidak menanyakan tentang Rafa kepada Ravin. Hisam berdehem menyadari kesalahan nya. Sebagai ketua tim basket, dia membutuhkan kepastian mengenai kehadiran Rafa, karena pelatih selalu menanyakan nya tentang Rafa yg sering absen latihan. Dan orang paling tepat untuk pertanyaan ini adalah Ravin
"Hmm tapi gua harap lo segera nanya ke dia, karna pelatih udh nanyain gua terus"
"Lo tanya sendiri aja"
Hisam menghela nafas, jawaban yg sama seperti sebelumnya setiap kali dia menanyakan tentang rafa. Farras yg merasa atmosfer udara mulai terasa tidak enak memutuskan untuk mengambil alih pembicaraan.
"Nanti, gua aja yg tanya langsung sam, weh ada yg tau ga mang bana kemana, gua nyariin dari kemaren, di kantin ga ada"
Nafi menengahi sekaligus mengganti topik pembicaraan mereka.
"Tumben nyariin, Suka sama mang bana lo?"
Tuduh Farras kepada Nafi yg langsung mendapat pukulan di tangan.
"Ga lah, gilak lo, mending gua sama mimi peri, gua lagi ngidam ketopraknya"
"Mimi peri belum tentu juga mau sama lo naf"
"Gua juga ga mau sama dia anjir"
Ravin tidak lagi mendengarkan pembicaraan mereka selanjutnya karena telah sampai di kantin. Dia sebenarnya tidak tahu apa yg harus dibeli, tapi mungkin bukan makanan yg merepotkan saat dimakan, dan pilihan nya jatuh pada sebuah roti dan susu kotak.
"Vin lo mau beli apa?"
Hisam yg berada disebelah Ravin mengikuti dia pergi, sementara Nafi dan Farras sudah bergegas berburu ketoprak mang bana.
"Gua mau roti aja"
"Oke, gua ikut"
Mereka menuju ke warung teh ina yg berada di bagian paling belakang kantin. Karena letaknya dibelakang sehingga mereka harus melewati kerumunan di tengah kantin. Ravin sebenarnya benci melakukan itu, tapi untungnya kantin sedang tidak seramai seperti biasanya.
Ravin tersentak ketika seseorang memukul meja kantin dengan keras saat dia melewatinya. Dia menoleh untuk melihat siapa pelakunya dan ternyata seorang perempuan dengan rambut berponi dikuncir kuda, wajah nya terlihat merah padam dengan raut kesal, atau lebih tepatnya marah, terdapat beberapa jerawat merah di kedua pipinya. Tunggu dulu, mengapa dia harus memperhatikan fisik perempuan ini? Ravin tidak mendengar dengan jelas perkataan gadis itu, tapi dia terlihat sedang beradu argumen dengan laki-laki di meja tersebut, mungkin itu adalah pacarnya yg dipergoki tengah selingkuh darinya.
Apapun itu bukan urusan nya dan dia juga tidak peduli. Ravin merutuki benaknya yg malah memikirkan kata terkutuk tersebut. 'Selingkuh', perbuatan yg benar-benar tidak terpuji dan sangat dibencinya, karena telah merenggut seluruh kebahagiaan yg susah payah didapatkannya. Mendadak perasaan nya jadi sedikit emosional jika membahas tentang ini, Ravin menggeleng, menghilangkan kata tersebut dari pikiran nya.
"Vin, lo jadi beli ga?"
Ravin menoleh, menyadari bahwa dia sedang melamun sedari tadi.
"Jadi"
*****
Latihan basket hari ini bukan olahraga fisik sehingga Ravin bisa merasa sedikit santai. Pelatihnya memang bukan seseorang yg sangat berambisi untuk memenangkan perlombaan tapi selalu tegas setiap kali latihan. Mereka tidak diperbolehkan membuka ponsel selama berlatih, hanya ketika beristirahat saja, jika memang tidak bisa mengikuti latihan maka harus mengakatan nya sebelum kegiatan dimulai. Alasan yg diberikan juga harus jelas dan masuk akal karena pelatih tidak suka bila hrus melatih siswa yg tidak serius dan menghilang sementara perlombaan sudah berada di depan mata. Jatah yg diberikan untuk tidak ikut berlatih adalah 4 kali, jika lewat dari itu maka siap-siap untuk segera keluar dari tim.
Dan karena alasan itulah pelatih menghampiri Ravin sekarang, menyakan Rafa secara langsung kepada orang yg tinggal bersamanya.
"Ravin, bapak mau tahu kenapa Rafa ga hadir lagi hari ini, meskipun sekarang kalian cuman nonton video, tapi ini penting supaya kalian bisa melihat keadaan di perlombaan yg sesungguhnya"
"Saya kurang tahu pak"
Ravin menunduk, dia menjawab dengan sejujurnya
"Masa kamu ga tahu?, kalian kan serumah, saling tanya kalau masing-masing dari kalian ada masalah, jangan diem- diem an aja"
"Baik pak"
"Yasudah, nanti jumat jangan lupa ingatkan dia buat datang, tapi suruh dia buat tonton video yg bapak kasih, silahkan lanjutkan lagi kegiatan kamu"
"Baik pak, terima kasih"
Ravin menganggukkan kepalanya kemudian kembali bergabung bersama teman-teman nya yg lain.
"Kenapa vin?"
Tanya Farras, yg disusul dengan tatapan dari Beberapa orang yg sedang duduk di bangku panjang yg menghadap kelapangan. Ravin mengabaikan pandangan tersebut dan menuju tempatnya disebelah Nafi, kemudian mengeluarkan ponsel di saku celana dan melanjutkan menonton video.
"Gak apa-apa, cuman tentang Rafa"
Hisam, dan Farras yg berada disebelah Nafi saling berpandangan, sudah menduga pertanyaan tersebut akan ditanyakan. Tapi mereka memilih tidak bertanya lebih lanjut karena Ravin sepertinya tidak tertarik untuk menjelaskan jawabannya.
Meskipun sebenarnya mereka juga sangat bingung tentang perubahan sikap antara Rafa dan Ravin. Saat pertama kali memasuki tim basket, mereka terlihat sangat akrab, Ravin kemudian mengenalkan Rafa kepada teman-teman sekelasnya, hingga mereka berlima dimasukkan kedalam satu tim untuk tim cadangan pada perlombaan basket mendatang.
Ravin menatap ponselnya dengan pandangan kosong, videonya masih menyala tapi dia tidak tertarik untuk memperhatikan nya. Pikiran nya melayang pada pembicaraan nya dengan pelatih. Berbicara - dengan - Rafa. Mulut Ravin mendadak kering membayangkan dia akan melakukan itu. Seharusnya hal tersebut sangat mudah dilakukan...di masa lalu, ya karena sekarang hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Dan Ravin menyadari dengan pasti penyebab nya ada pada dirinya.
Ravin mengacak rambutnya kasar, mengapa dia merasa seperti menghindari sesuatu yg tidak ada. Berlari tanpa tujuan sekalipun dia tahu tidak ada yg mengejarnya. Karena baginya tidak mudah meskipun hanya sekedar menatap Rafa, apalagi mengajaknya bicara. Tidak disaat dirinya telah menganggap rumah sebagai tempat yg berbeda. Rumahnya sekarang hanya dianggap sebagai tempat tinggal yg menyediakan tempat untuk hidup dan bukan untuk... pulang.
****
Biasanya malam hari adalah waktu bersantai bagi sebagian orang untuk beristirahat setelah seharian bekerja dan menghadapi kejamnya dunia, tapi bagi Ravin adalah waktu tersibuknya. Melayani berbagai permintaan untuk menjilid makalah, memfotocopy dokumen, mencetak berlembar-lembar kertas, menghitung lembaran folio, dan lain-lain. Yah pekerjaan sampingan nya sebagai penjaga fotocopy memang termasuk cukup mudah, tapi menjadi berat ketika banyak permintaan yg datang. Dan Ravin tidak ingin mengandalkan orang lain ketika dirinya masih sanggup melakukan nya, tidak lagi, karena manusia terkadang menjadi sumber kecewanya.
"Jadi 11.000"
Ravin meletakkan penghapus di atas lemari kaca bersama dengan pulpen, dan tip-ex. Dia menerima uang 12. 000 dan mengambil kembalian 1000 di kotak berisi uang receh.
"Makasih kak, oh iya kakak udah makan belum, kebetulan aku ada roti"
Seorang Gadis dengan rambut panjang terurai yg sepertinya seumuran dengan nya menawarkan sebuah roti untuknya. Hal inilah yg membuat Ravin terkadang tidak menyukai pekerjaan nya, dirinya terlalu mencolok.
"Gak, makasih"
Gadis itu terlihat menundukkan kepalanya, wajahnya menampilkan raut sedih. Ravin dengan santainya kembali ke tempat duduknya, kemudian gadis itu pergi dengan kecewa.
"Harusnya lo terima vin"
Bagas yg sedang memfotocopy sebuah buku disebelahnya mengatakan pendapatnya. Ravin termasuk cukup populer di kalangaan pengunjung fotocopy ini, terutama di kalangan perempuan. Ya dengan wajah rupawan, kulit putih bersih, rambut sedikit panjang mendekati telinga, hidung mancung serta mata lebar,membuat siapapun tidak akan bisa mengabaikan pesona Ravin.
Ravin sebenarnya memiliki alasan tersendiri mengapa dia menolak pemberian gadis tersebut dan itu karena.
"Gua ga mau ngasih harapan"
Ya. Ravin tidak mau nantinya gadis itu menaruh harapan lebih padanya jika dia menerima pemberian nya, karena sebenarnya sudah banyak perempuan yg melakukan hal tersebut. Dan ravin tidak bisa jika harus mengecewakan seseorang karena tidak bisa membalas perasaan nya.
"Seenggaknya lo menghargai pemberian dia"
"Gua mau negasin dari awal kalau gua ga suka"
Bagas menghela nafas mendengar jawaban Ravin, benar-benar dingin, mungkin dia harus mengajarkan Ravin cara mencintai untuk melelehkan tembok es dihatinya. Tapi sebenanya Bagas pun tahu, bahwa Ravin bersikap dingin di luar untuk menyembunyikan kesedihan nya di dalam.
Waktu telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, masih tersisa satu jam lagi sebelum fotocopy tutup, dan sepertinya tidak akan ada pelanggan lagi malam ini.
"Lo pulang duluan aja vin, kemarin lo udah lembur sendiri kan?"
"Iya, lo gak masalah gua tinggal?"
Ravin membereskan barang-barangnya, memasukkan ponsel, charger dan buku tulis kedalam nya. Selama menjaga fotocopy Ravin terbiasa menggunakan waktu luang nya untuk mengerjakan tugas sekolah, sehingga Fotocopy ini sekarang seperti menjadi rumah ketiga bagi Ravin.
"Gak masalah, oh iya nih ada nasi kotak, tadi pas balik, di rumah gua lagi ngadain pengajian, dan ada kelebihan makanan "
Bagas memberikan kantung plastik kuning dengan gambar smiley berisi nasi kotak serta kue-kue kecil di dalamnya, Ravin menerimanya.
"Makasih, gua balik dulu, titip salam sama bang Edgar, Assalamualaikum"
"Waalaikumsallam, hati-hati vin"
Ravin meraih kunci motornya dan menyalakan mesin nya, perjalanan menuju rumah mungkin tidak akan lama karena jalanan di malam hari tidak begitu ramai.
Mengendarai motor saat malam terasa berbeda, karena udara panas yg biasa dirasakan nya di siang hari berganti menjadi dingin, cahaya matahari yg menyilaukan pandangan berubah menjadi kegelapan. Saat melewati jalan tanpa lampu rasanya seperti kegelapan tersebut telah berhasil menelan nya. Dan Berkat hal itulah Ravin menyadari bahwa dunia memiliki sisi hitam dan putih, yg keduanya saling melengkapi. Membuat hidup tidak hanya terasa bahagia di setiap harinya, tapi juga memiliki kesedihan dan kemuraman di tiap malam nya.
Namun, mengapa rasanya hidupnya hanya memiliki sisi hitam? Dan disaat dia telah menemukan sisi putih nya, dengan mudah sisi tersebut tertelan kembali oleh kegelapan, menyisakan keterpurukkan yg makin mendalam. Ravin menghela nafas, dia harus segera mengobati luka di hatinya, jika tidak ingin bertambah parah, dan menjadi bernanah. Tapi adakah obat yg benar-benar bisa menyembuhkan rasa sakit yg tidak terlihat? Kalau ada, dia dengan senang hati akan membelinya.
Ravin turun dari motornya untuk membuka pagar rumah nya yg belum terkunci, tapi biasanya di jam segini Rafa memang belum tertidur. Dengan pelan dia memasukkan motor kemudian mengunci pagar dan pintu rumah. Hal pertama yg menyambutnya ketika memasuki rumah adalah kegelapan. Ya, karena lampu ruang tamu telah dimatikan, Ravin melihat lampu dari kamar disebelahnya yg masih menyala. Rafa pasti sedang belajar.
Tujuan pertama nya bukanlah kamarnya sendiri, melainkan kamar depan yg sekarang lampunya telah mati. Kamar ibunya. Ravin membuka kenop pintu perlahan, mengamati keadaan ibunya yg sedang tertidur dengan damai. Dia tidak berani mendekat, tetapi memperhatikan perut ibunya yg masih bergerak sesuai ritme nafasnya. Ravin menghela nafas lega, setidaknya dia tahu bahwa ibunya masih... hidup.
Dengan ketenangan yg sama Ravin menutup kenop pintu pelan, berjalan tanpa mengeluarkan bunyi langkah kaki nya. Dia menyalakan lampu kamar dan meletakkan bungkusan berisi nasi kotak di mejanya. Ravin tidak langsung menuju kamar mandi, dia terduduk di kasur untuk menghilangkan rasa lelahnya. Dan begitulah harinya berakhir, dengan kesendirian yg sama. Ravin menatap pantulan dirinya di cermin, bertanya pada dirinya sendiri, sampai kapan kesepian ini akan bertahan?