2 Minggu kemudian...
Embun sedang mempersiapkan dirinya, untuk pergi kerumah sakit. Memeriksa, keadaan bayinya.
Embun sedang mengoles wajahnya dengan beberapa, make up tipis. Ia menatap suaminya, yang sudah siap dengan jasnya.
"Kamu jadikan anter aku?" tanya Embun, membalikan badannya.
"Maaf ya sayang, temen aku nelepon dia lagi kesusahan" jawab Angkasa, dengan nada bersalahnya.
"Apa yang lebih penting dari anak kita?" tanya Embun, yang sudah mulai dingin.
"Aku janji, Minggu depan aku anter kamu. Kamu, sama Tante Can, omah atau kak Aurora aja ya" bujuk Angkasa mendekat.
Angkasa ingin menggenggam tangan istrinya, namun Embun jauhkan tangannya. Membuat Angkasa, menatap memohon kepada istrinya itu.
"Minggu kemarin juga, kamu ngomongnya gitu Sa. Dua Minggu yang lalu juga, kamu ngomongnya aku janji. Aku yang akan anter kamu, tapi apa buktinya sekarang?" tanya Embun, membuat suami didepannya ini terdiam.
"Terus Minggu depan juga kamu ingkarin, ada halangan lagi. Aku udah hapal Sa, omong kosong kamu." lanjutnya.
Embun menatap langit kamarnya dan saat ingin, beranjak dari duduknya. Angkasa menahan istrinya, dan menatap bola matanya dengan dalam.
"Aku engga minta lebih Sa, aku cuma mau kamu temenin periksa anak kita" ujar Embun bergetar.
"Jadi seolah-olah anak ini yatim, sebelum lahir"
Embun melepaskan genggaman suaminya, Angkasa terdiam terpaku dengan apa yang dikatakan oleh istrinya itu.
Angkasa mengacak rambutnya, dan segera berlari menyusul Embun.
"Sayang, sayang."
"Sayang hey,"
Embun menghempaskan tangan suaminya, dengan kasar. Dan menatap matanya, tidak bisa ditahan lagi air matanya sudah turun membasahi kedua pipinya.
"Apa hah?! Mau apalagi kamu?!" tanya Embun, terisak.
"Aku yang anter, ayo."
"Engga usah! Aku bisa sendirian, engga usah kamu temenin"
"Ayo sayang,"
Saat Angkasa ingin mengelus perut Embun, Embun menepisnya dengan kasar. Membuat Angkasa, menatapnya.
"Aku bisa sendiri, aku pamit" Embun segera memutar badannya, dan menghapus air matanya.
Angkasa terdiam ditempatnya, Embun berjalan menuju luar rumah. Dan menghentikan, sebuah taksi.
¥¥¥
Embun sudah berada disebuah rumah sakit, menunggu kedatangan Aurora. Ia menatap lurus kedepan, rasa kecewanya sudah sangat besar.
Embun mengelus perut besarnya, lalu tersenyum dengan tipis.
"Ada momy, Dede jangan sedih ya." ucapnya pelan.
"Embun,"
Embun segera mendongkakan kepalanya, saat seseorang memanggilnya. Aurora tersenyum, dan segera duduk disamping Embun.
"Angkasa, engga nemenin lagi?" tanya Aurora.
Embun mengangkat bibirnya, dan menggelengkan kepalanya lemas.
"Dia lebih mentingin, yang lain."
"Apa?"
Embun menatap bola mata Aurora dengan lekat, dan menceritakan semuanya yang terjadi saat dirumah tadi.
Air matanya turun, namun dengan cepat ia hapus dan tersenyum tulus kepada Aurora. Hati Aurora, menahan kesal dan juga gemas dengan perilaku Angkasa.
"Anj-"
"Nyonya Embun Ravandra Pranciska," panggil seorang perawat.
Embun dan Aurora segera beranjak dari duduknya, dan berjalan masuk kedalam ruangan.
"Alhamdulillah, bayinya sehat"
Embun tersenyum dengan tulus, "kemana ayahnya?" tanya dokter.
Aurora yang awalnya tersenyum, memudarkan senyumnya saat dokter itu menanyakan Angkasa.
"Sibuk,"
"Apa yang lebih penting, dari ini?" tanya Dokter.
"Ini adalah masa-masa terindah, saat hamil. Seharusnya ayahnya, selalu menemani"
Aurora dan Embun membisu, dengan apa yang dikatakan dokter barusan. Embun, menahan air matanya agar tidak keluar.
¥¥¥
Saat sudah memeriksa kandungannya, Embun dan Aurora segera berjalan menuju parkiran untuk segera pulang.
"Embun!"
Keduanya memutar badan kebelakang, untuk melihat siapa yang memanggil Embun. Ternyata adalah Angkasa, Angkasa berlari kecil menuju tempat Aurora dan juga Embun.
"Mau ngapain?"
"Aku mau lihat anak kita,"
"Lo telat Sa, pemeriksaannya udah selesai." jawab Aurora.
"Ma-"
"Engga usah, membela diri lagi Sa. Udah cukup," potong Embun.
"Mending lo pulang aja Sa, gue mau bisa anterin Embun" ujar Aurora.
"Lo engga usah ikut campur kak, ini masalah rumah tangga gue."
Aurora tekekeh meremehkan, apa yang dikatakan oleh sahabat yang berada didepannya ini.
"Masalah apa? Urusan apa? Urusan, masalah. Tentang lo lebih mentingin orang lain dari pada istri sama anak lo sendiri hah?!" tanya Aurora.
"Lo pikir engga, gimana perasaan istri lo hah? Lo tanya engga, saat lo mentingin orang lain perasaan dia gimana hah?!"
"Lo tanya engga hah?!" bentak Aurora.
"Disaat-saat seperti ini, dia butuh dukungan dari suami sekaligus ayah dari bayi yang dia kandung!"
Angkasa terdiam ditempatnya, dengan bentakan Aurora. Nafas Aurora terengah-engah, dengan apa yang ia katakan.
"Lo ngaku, lo udah dewasa punya istri, sekaligus calon bayi dari kandungan istri lo. Tapi, tanggung jawab lo mana?" tanya Aurora.
"U-dah kak, kita pulang aja udah. Biarin dia," ajak Embun.
"Mikir Sa, jangan kayak anak kecil!"
TBC
.
.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak teman 🧡
Serasa udah lama engga update 😭
Luka_10