4 September 2014
"Dia bertingkah tiada bercela.
Siapa kuasa?"
—Ke Entah Berantah, Banda Neira
Kios gado-gado di sebelahku sedang ramai bukan main. Beberapa kali para murid yang mengantre menyenggol mejaku, entah mereka sadar atau tidak. Dengan sedikit kesal karena diganggu saat makan, aku menarik teh botolan yang kupesan agar tidak tumpah dan pecah. Sambil menggerutu sendiri dalam hati, aku masih enggan pindah dari sini. Setengah jam yang lalu, aku berjanji pada Zaid akan menunggunya di sini, di samping Kedai Gado-Gado Bu Jum.
Zaid.
Nama itu terasa asing saat kulafalkan karena memang sebelumnya aku tidak pernah. Meski namanya sering kali terpampang di mading sekolah sebagai penulis artikel-artikel bahaya narkoba dan larangan menyontek —tipikal isi mading SMA—, aku sama sekali tidak pernah secara personal bicara dengannya. Lucu rasanya saat kau berada di tahun ketigamu di sekolah, namun masih ada satu-dua orang yang tidak kaukenal.
Kalau boleh jujur, Zaid sering kali membuatku kagum dengan apapun yang ia lakukan. Walaupun hanya hal-hal kecil. Seperti caranya merapikan rambut yang mendadak kusut setelah pertandingan futsal yang melelahkan, caranya bicara di depan orang banyak, caranya berterimakasih pada supir angkot yang wajahnya kurang mengenakkan, dan jika kuteruskan, mungkin akan butuh dua jam lagi untuk menyelesaikannya.
Ah, tidak juga. Sesungguhnya, tidak ada manusia sesempurna itu bukan?
Iya, jawabannya iya. Hanya saja sampai saat ini, di mataku ia masih begitu.
--
Lima menit setelah itu, kantin sudah tidak begitu ramai. Banyak murid yang lebih memilih untuk makan di kelas mereka masing-masing atau di sepanjang koridor yang membuat orang-orang kesusahan untuk berjalan. Laki-laki berkemeja putih dengan lekukan hasil setrika dan celana abu-abu dengan ikat pinggang yang masih menempel dengan sempurna itu akhirnya datang juga. Tangannya menggenggam segelas jus mangga. Ia duduk di hadapanku dan kami tidak memulai percakapan sampai tiga puluh detik kemudian.
"Jadi gini, Atha," katanya, menyebut namaku dengan hati-hati, "tentang yang semalem gue LINE lo, itu sebenernya gue dikasih tugas sama Bu Lili langsung sih."
Aku mengangguk-angguk. Semalam, ia dengan tiba-tiba mengajakku bertemu di kantin —seperti saat ini— setelah sempat menjelaskan tentang tugas ini padaku, namun dengan PR Kimia yang rumit, aku kesulitan mencerna apa yang ia maksud.
"Buat Annual Creativity Week nanti, gue diminta untuk bikin cerita pendek ber-genre sci-fi. Tugas lo adalah mengubahnya jadi sebuah lagu yang bakal lo nyanyiin."
Aku mendelik ke arahnya. "Sci-fi?" tanyaku tidak percaya. "Bercanda."
Zaid mengangkat kedua bahunya. "Karena tema tahun ini tentang time traveling, isi pentasnya pasti nggak jauh-jauh dari itu," ujarnya. "Gimana? Lo siap, nggak?"
"Siap. Tapi mungkin gue butuh beberapa panduan."
"Kita tandem. Gue bantu lo, lo juga bantu gue." Dia tersenyum.
"Oke. Senang bekerjasama dengan Anda, Bapak Zaid," kataku sambil mengulurkan tangan.
Ia menyambut tanganku. Kami bersalaman tidak begitu lama, lalu ia pamit untuk kembali ke kelas. Baru saja ia melangkah tiga kali, ia kembali duduk di hadapanku.
"Emang nggak ketauan ya, nggak pake seragam kayak gitu?" Matanya mengarah pada badanku yang hanya terbungkus sebuah sweater hitam tanpa dilapisi kemeja sekolah di bawahnya.
"Pinter-pinternya lo ngehindarin guru BK, sih."
Dia tersenyum lagi, lalu benar-benar pergi.