***
Malam sudah larut, namun Lisa belum juga bisa terlelap. Gadis itu ketakutan, berbaring sendirian di kamarnya. Seolah ada yang terus menatapnya dari kamar mandi, ia tutup pintu kamar mandinya. Tapi malam yang begitu tenang, justru membuat suara angin jadi terdengar sangat mengerikan. Sesekali ia melirik jam di atas nakasnya, masih jam dua belas, masih ada enam jam lagi sebelum matahari mulai terbit.
Sembari meremas selimutnya, gadis itu memejamkan matanya erat-erat. Matanya terpejam sama kuat dengan remasan tangannya di atas selimut. Ia harus tidur. Ia harus segera tidur agar matahari cepat terbit. Tapi gadis itu tidak pernah bisa melakukannya. Seolah ada seorang pria yang memperhatikannya dari luar jendela, ia menutup kepalanya dengan selimut. Tubuhnya bergetar hebat menahan takut, sampai akhirnya ia tidak tahan lagi. Dengan kaus dan celana pendek yang malam ini jadi piyamanya, ia berlari keluar, menaiki tangga kemudian menggedor pintu rumah Jiyong, menekan juga bel rumahnya berulang kali sampai akhirnya pemilik rumahnya membukakan pintu.
Jiyong baru selesai mandi saat Lisa datang. Pria itu sedikit mabuk, baru saja makan malam dan minum alkohol bersama Mino juga Jisoo selepas pulang kerja tadi. "Whoa! Ada apa?!" tanyanya, sebab Lisa langsung menerobos masuk dan menutup pintunya.
"Izinkan aku menginap. Hanya malam ini, aku tidak bisa tinggal di rumah sekarang," panik Lisa, meremas sendiri ujung kausnya. Gadis itu bahkan tidak memakai sandal saat datang barusan.
"Kenapa? Ada apa di rumahmu?" khawatir Jiyong, menawarkan diri untuk turun dan mengecek rumah Lisa.
Lisa mengangguk, mengiyakannya. Rasanya ada yang tidak beres, pikir Jiyong. Seingat Jiyong, Lisa bisa berkelahi dengan sepuluh pria sekaligus. Seingat Jiyong, Lisa sama sekali tidak takut pada seorang penjahat dengan pisau maupun pistol. Tapi hari ini, gadis itu kelihatan benar-benar takut. Lisa bahkan meremas ujung kaus Jiyong dari belakang, khawatir Jiyong akan meninggalkannya saat mereka mengecek rumah Lisa.
Saat masuk ke rumah gadis itu, semua lampunya menyala. Bahkan lampu dari senter di biarkan menyala di atas lantai. "Apa yang terjadi di sini? Mati listrik?" tanya Jiyong, curiga kalau Lisa sekarang jadi sangat penakut. Dengan hati-hati pria itu mengambil lampu senter di lantai, mematikannya kemudian mengecek masuk.
"Tadi aku melihat seseorang di kamar mandi," lapor Lisa, masih mengikuti Jiyong, hampir menempel pada pria itu karena terlalu takut.
"Pencuri?" tanya Jiyong, melangkah ke kamar mandi di dalam kamar Lisa kemudian membuka pintunya dan tidak menemukan apapun. "Tidak ada apa-apa di sini," jawab Jiyong, meski Lisa bisa melihat dengan matanya sendiri kalau kamar mandinya bersih, hampir tidak pernah di pakai.
"Di jendela. Aku juga melihat seseorang di jendela," ucapnya, membuat Jiyong lagi-lagi melangkah mengecek ke sana. Masih tidak ada apapun di sana. Selain sebuah pohon yang rantingnya hampir patah dan membentuk bayangan Slender-man di jendela.
Handphone Lisa bergetar kemudian. Deringnya mengejutkan Lisa, tapi Jiyong pun ikut terkejut karenanya. Hanya karena getar kecil dari handphonenya, karena sebuah pesan masuk, Lisa menjerit. Ia berjongkok di lantai, menutup telinganya sembari menjerit ketakutan. Benar-benar ketakutan. Lisa sukses mengejutkan Jiyong dengan suara jeritannya itu.
"Jujur padaku," ucap Jiyong yang kemudian ikut berjongkok di depan Lisa. "Kau baru menonton film hantu, iya kan?" tanyanya kemudian, membuat Lisa perlahan menganggukkan kepalanya. Manusia memang tidak pernah sempurna, Lisa bisa mengatasi rasa takutnya terhadap manusia dengan baik. Bahkan lebih baik daripada kebanyakan orang, tapi gadis itu tidak berkutik setelah mendengar apalagi menonton cerita hantu.
"Jangan tertawa! Menakutkan!" protes Lisa, masih khawatir, sesekali masih mencuri-curi pandang, takut pada hantu yang mungkin akan menyerang dari bawah meja atau dari kamar mandi.
"Ku pikir ada pencuri-"
"Ular."
"Apa? Kau baru menonton film tentang siluman ular? Medusa?"
"Tidak. Ular. Sungguhan. Di pohon," ucapnya, membicarakan sebuah pohon di luar jendela yang baru saja Jiyong buka.
Pria itu lantas menoleh, melihat kearah seekor ular hijau yang memeluk dahan pohon dengan seluruh tubuhnya. Ular itu berada di dahan yang jauh dari jendela, tapi melihat warna hijaunya yang super cerah, membuat Jiyong khawatir. Bagaimana kalau itu ular berbisa? Jiyong tidak bisa melihat ekornya, tapi warna hijaunya yang cerah sudah cukup untuk membuat pria itu was-was.
"Kau ingin aku menangkap ular sekarang?" tanya Jiyong kemudian, masih berdiri di depan jendela, bersandar di sana seolah ia tengah melihat ular di balik kandang kebun bintang.
"Tidak," geleng Lisa, perlahan bangkit dari posisinya, ikut berdiri di sebelah Jiyong, ikut menonton ular hijau itu dari jendela kamarnya. "Tapi jangan pergi. Aku terus melihat bayangan seseorang saat sendirian," pelan gadis itu, enggan melihat Jiyong meski diam-diam tangannya memegangi ujung kaus pria itu. Khawatir Jiyong melarikan diri.
"Kenapa tiba-tiba menonton film hantu? Kau tidak pernah melakukannya sebelumnya," komentar Jiyong, masih di posisinya, menonton si ular hijau yang dengan tenang melilit dahan pohon.
"Seseorang mengajakku," singkatnya. "Tidak tahu. Terjadi begitu saja, ku pikir aku bisa mengatasinya," susulnya, sedikit menyesali keputusannya karena pergi ke bioskop bersama Bobby sore tadi, menonton sebuah film horor tentang hantu yang bergentayangan di sekolah dan membunuh orang-orang.
Jiyong kemudian menutup jendelanya. Ia kunci jendela itu, memastikan si ular hijau tidak akan bisa masuk.
"Kau pasti lelah, tidur lah, aku akan menjagamu diluar. Tidak akan ada hantu yang bisa menganggumu," tenang Jiyong, menyuruh Lisa segera naik ke ranjangnya namun gadis itu masih tidak melepaskan pegangannya dari ujung kaus Jiyong. Seolah ia ingin Jiyong tetap berada di sana.
"Tidak bisa," ucap Jiyong. Dengan lembut ia lepaskan tangan Lisa dari kausnya, tapi gadis itu tetap menggeleng, masih enggan ditinggal sendirian. "Kalau aku terus di sini, aku mungkin akan lepas kendali. Kamar ini terasa seperti apartemenku di depan Metro. Sulit bagiku untuk terus ada di sini. Aku akan menunggu di luar, di ruang tengah- ah tidak. Aku bisa menunggu di depan pintu kalau kau masih takut. Jangan khawatir, kau tidak sendirian," tuturnya, mengantar Lisa ke ranjangnya sampai gadis itu berbaring kemudian melangkah ke pintu. Jiyong duduk di pintu yang dibiarkan terbuka, bersandar pada dinding di sebelah pintu itu sembari menatap dinding lain di depannya, memunggungi Lisa meski gadis itu masih bisa melihatnya dari ranjang.
"Oppa?"
"Hm... Aku di sini."
"Tidak lelah?"
"Tidak. Tidur lah... Sudah lewat tengah malam," tuturnya. "Aku tidak akan pergi, jadi jangan khawatir."
"Oppa sungguh tidak akan pergi?"
"Hm... Tidak akan," angguk Jiyong, masih sembari memunggungi Lisa, mengalihkan pikirannya dengan menghitung titik hubung dari tiap keramik di lantai.
"Tapi kenapa kau tidak ingin berharap lagi? Kau lelah? Karena aku terus mendorongmu pergi?"
"Tidak," Jiyong menggeleng. "Aku tidak ingin memaksamu. Aku yang bersalah. Aku yang memintamu berkencan denganku, aku juga yang menunda-nunda untuk mengakhiri hubunganku dengan Victoria. Aku menipumu, aku juga mengabaikan Victoria. Aku yang membohongimu, aku juga yang mengkhianati Victoria. Tapi orang-orang sepertinya tidak peduli padaku. Orang-orang membencimu seolah kau yang sengaja datang untuk merebutku dari Victoria. Orang-orang menghibur Victoria dengan menghinamu. Membuatmu jadi satu-satunya pelaku. Bahkan Victoria memaafkanku satu minggu setelah kejadian itu, dia bilang dia bisa melupakan segalanya dan memulai lagi dari awal, dia memberiku kesempatan kedua."
"Oppa menerima kesempatan kedua itu?"
"Tidak, aku menolak kesempatan kedua itu," jawabnya. "Bagaimana bisa kami kembali bersama seolah tidak pernah terjadi apa-apa padahal videonya tersebar dimana-mana? Meskipun kami mengabaikan video itu dan kembali berkencan, rasanya tidak akan sama lagi seperti di awal hubungan kami. Dia akan terus curiga dan aku tidak bisa melupakanmu. Tidak ada yang menghukumku atas kesalahanku. Hanya kau yang melakukannya. Hanya kau yang meninggalkanku dan rasanya sama sulitnya seperti dihukum. Aku merindukanmu. Bahkan beberapa pakaianmu, masih ku simpan di lemariku. Aku sangat merindukanmu, tapi tidak cukup percaya diri untuk meraihmu lagi. Aku tidak tahu bagaimana caranya agar kesalahanku bisa dimaaf-"
Jiyong berhenti, sebab tubuhnya merasakan sebuah rengkuhan lembut yang sudah lama sekali dirindukannya. Lisa memeluknya, tanpa mengatakan apapun. Bahkan Jiyong tidak tahu kapan gadis itu turun dari ranjangnya dan melangkah mendekatinya.
"Apa aku masih punya kesempatan untuk dimaafkan?" tanya pria itu, menahan dirinya agar tidak balas memeluk Lisa, agar tidak bertingkah melewati batasnya. Suaranya kini bergetar, berusaha keras menahan dirinya untuk tidak hancur, tidak menangis, tidak memohon pada Lisa seperti yang sesekali ia lakukan saat sendirian di rumahnya. Menangis dan memohon pada angin agar Lisa bisa kembali padanya.
***