"Tidak ada yang menginginkan kehidupan seperti Raga, sekalipun aku menolak. Aku tetap Raga yang ditakdirkan untuk menjalani hidup seperti ini."
...
Suasana tegang terjadi di dalam sebuah kelas di Senin pagi.
Sorot kucing menatap tajam pada yang lebih muda yang menunduk takut.
Puluhan pasang netra menanti apa yang akan dilakukan si pemuda tinggi itu kepada pemuda yang terlihat berantakan.
"Cepat pakai!!" Perintahnya dengan suara emosinya sembari melempar sebuah dasi tepat di wajah yang menunduk takut itu, dan sementara dibalas gelengan.
Emosi pemuda bermata kucing itu kembali. Menatap kedua temannya yang berada di kedua sisinya sembari mengucapkan bahasa oleh isyarat mata.
Kedua pemuda yang juga sebayanya itu menahan tangan si korban bully. Sementara dengan cepat, pemuda sipit itu memasangkan dasi dengan erat di kerah seragam sang korban. Ralat, tetapi pemuda si anti dasi, begitu julukan yang diberikan seluruh penghuni sekolah pada memuda mungil berparas rupawan itu.
"Jangan di lepas!" Perintah pemuda bermata kucing yang mempunyai tubuh tinggi yang atletis itu.
"Uhuk." Pemuda yang menjadi bahan tontonan seluruh warga kelas itu terbatuk-batuk, tubuhnya memberontak kepada dua teman sekelasnya yang masih menahan tangannya itu.
"LEPAS! FELIX, JENO, LEPASIN TANGAN RAGA." Seorang pemuda yang baru menampakkan dirinya itu berlari di sudut kelas. Menepis tangan kedua pemuda yang di sebut namanya tadi. Netra rubahnya menatap khawatir pada sosok lemah di depannya.
"Dikta, Lo gila!" Emosinya meluap tatkala menatap kembarannya yang menjadi biang dari kesakitan sang adik.
"Gue tidak melakukan kesalahan."
Sembari menenangkan Raga yang masih mengatur nafasnya yang terputus-putus itu, Ajuna menatap kembarannya dengan tatapan tak percayanya.
"Lantas.."
"Gue cuma bantuin dia pasang dasi doang. Itu salah? Teman-teman, apa ada yang ngelihat gue pukul anak ini?"
Teman sekelasnya menggeleng. Adapula yang menyeletuk.
"Tidak."
"Lo tau sendiri kan, kenapa Raga tidak bisa memakai dasi. Kenapa di paksa?guru, pun, sudah memakluminya Dikta." Ajuna berucap lembut. Berharap sang kembaran mau mengerti dan berhenti menyakiti adiknya.
"Terus aja belain tuh anak pembawa sial." Setelahnya, kaki tinggi itu berjalan keluar karena rungu nya mendengar bel tanda upacara akan dimulai.
"Uhuk.. arrgh.."
"Kita ke UKS ya!" Raga ingin sekali menolak sang kakak yang mengulurkan punggungnya siap untuk menggendong tubuhnya yang melemah. Tapi, mau berdiri, pun seakan kakinya mati rasa. Jadi, ia hanya menurut pada sang kakak yang dianggap sebagai malaikatnya walaupun terkadang mereka sering berdebat.
Ajuna menidurkan Raga yang sedari tadi terdiam dengan nafas yang memberat. Membantu Raga untuk melepas dasi sekolah dan melonggarkan kerah seragam Raga.
"Lo pucat. Gue telefon mama ya buat jemput Lo?"
Raga menggeleng.
"Ya terus gimana anjir. Gue mau ikut upacara." Ajuna melihat jam yang melingkar di tangannya. Sudah jam tujuh lebih. Itu artinya, ia terlambat untuk mengikuti acara wajib di Senin pagi.
"Ja..Ngan tinggalin gue," ucap Raga dengan lirih. Ajuna menghela nafas pelan. Ia mengusap peluh di dahi Raga. Padahal, ini di ruangan ber-AC.
"Iya. Gue disini."
Senyum tipis merekah di bibir tipis Raga.
"Thanks," ucapnya pelan.
Ajuna merogoh benda pipih yang lebih sering di sebut ponsel. Mengetikkan beberapa kata disana dan mengirimnya ke mama agar menjemput Raga yang tidak memungkinkan untuk mengikuti kegiatan sekolah.
"Sebentar lagi mama datang. Lo istirahat dirumah ya!"
"Gue nggak mau ngerepotin mama," ucap Raga dengan lirih. Ia menatap Abang keduanya dengan tatapan memohon. Sementara Ajuna menatap adiknya dengan iba. Ia mengelus Surai tebal Raga.
"Mama tidak merasa direpotkan Raga."
"Gu...gue mau banget pakai benda ini bang. Tapi... Tubuh gue nolak. Trauma gue nggak mau hilang bang. Padahal, tubuh gue udah nelen ratusan obat dari mama."
"Iya, gue ngerti. Nanti biar gue yang marahin Dikta. Lo jangan nyerah. Tetap jalani pengobatan supaya Lo tetap sehat."
"Jangan. Bang Dikta nggak salah, dia cuma mau bantuin gue pake dasi aja kok. Jangan di marahin ya bang."
Lagi, Ajun menghela nafas pelan. Kemudian, tersenyum tipis ke arah tubuh yang terbaring lemah itu.
Raga memang seperti ini, baik hati dan gampang memaafkan. Walaupun seringnya terjadi perdebatan di antara mereka.
Tetapi, jika dengan Dikta, Raga akan menjadi adik penurut.
"Lo tidur aja ya. Gue nggak kemana-mana," ucapnya yang dibalas anggukan oleh Raga.
Setelah beberapa saat, mama datang dengan raut cemasnya. Masih lengkap dengan jas putih kerjanya.
"Raganya tidur ma."
Mama Evelyn mengangguk. Ia tersenyum tipis ke arah Ajun yang masih setia duduk di samping brankar Raga. Kemudian ia mendekati Raga.
"Apa yang terjadi Jun?"
"Eh, eum... Ta...tadi..."
"Euhg..." Suara lenguhan Raga menyelamatkan Ajun dari pertanyaan mama. Sebenarnya gampang ia menjawabnya dengan jujur. Tetapi ia tidak bisa jujur karena jika ia jujur, Ragalah yang akan jadi korban lagi.
"Mama." Suara serak itu berhasil membuat atensi mama teralihkan.
"Raga, bagaimana keadaan kamu nak?" Tanya mama Evelyn dengan lembut.
"Baik ma. Tapi pusing, hehe.."
"Yasudah kita pulang yuk. Tadi mama sudah izin sama guru kamu. Ajuna, kamu kembali ke kelas ya. Belajar yang benar."
Ajuna mengangguk. Kemudian ia berdiri dan akan beranjak.
"Ini, untuk jajan. Bagi sama Dikta ya."
Ajuna tersenyum lebar menerima beberapa lembar uang berwarna merah dari mama.
"Terimakasih mama ku sayang."
Cup..
Setelah mengecup mama, Ajuna berlari dari sana dengan riang. Mama terkekeh gemas. Sementara Raga memutar bola matanya malas.
"Kok aku nggak pernah di kasih uang buat jajan." Ia mengerucutkan bibirnya.
"Untuk apa? Mama, kan sering buat makanan buat kamu."
"Tapi Raga juga mau jajan yang dimakan Abang ma. Jajannya anak muda."
"Iya nanti mama buatin."
"Ih, mau beli sama Abang. Mau nongkrong-nongkrong sama abang."
"Sayang, dengerim mama!" Evelyn mengangkup wajah mungil Raga yang cemberut itu. Mata bulat Raga menatap mamanya dengan polos.
"Ada saatnya mama bebasin kamu. Main kesana-kemari, makan ini itu. Ada saatnya sayang. Saat kamu sembuh. Saat kamu sudah melupakan semuanya. Kamu paham kan maksud mama."
Raga mengangguk.
"Iya."
"Karena Raga gila, mama tidak mengizinkan aku untuk seperti kakak dan abang. Raga paham banget," lanjutnya dalam hati.
.
.
.
Ajuna menghampiri Dikta yang duduk di kantin bersama teman-temannya. Ia duduk tepat di depan Dikta yang tengah menikmati bakso itu. Menyodorkan lima lembar uang berwarna merah itu.
"Nih, dari mama."
"Oh, mama kesini?"
"Iya, jemput orang yang Lo bully tadi pagi." Ajun merebut bakso yang baru di makan sesuap oleh sang empu.
"Anjir, beli sendiri sana."
"Beliin. Gue kan sudah baik hati menutupi perlakuan Lo ke Raga sama mama. Serta memberi Lo uang itu dan mencari Lo ke kantin."
"Ya Lo tutup-tutupi nanti juga bakal ketahuan."
"Yaudah Lo berhenti ganggu Raga bisa ngga sih."
"Nggak selagi dia masih berkeliaran di hidup gue."
"Dia adik Lo anjir."
"Adik gue cuma Lo." Setelahnya, Dikta beranjak dengan perasaan jengkel. Meninggalkan Ajuna yang menatapnya kembarannya sendu. Serta tiga teman sekelasnya yang lebih pro ke Dikta.
"Wah.. Lo buat Dikta ngambek Jun," ucap Felix.
"Lo, kalian." Ajuna menunjuk ketiga temannya.
"Kalau diajak Dikta buat bully Raga jangan mau."
"Ya gimana dong, asik tau."
Ajun menatap Jeno dengan tidak percayanya.
"Kata Dikta, si Raga gila ya."
Brak...
Sudah, kesabaran Ajun sudah habis untuk menghadapi teman sekelasnya yang nakal ini.
"Jaga ucapan Lo anjing. Adek gue, Raga buka seperti yang Lo bilang. Kalau sampai gue denger kalian hina Raga lagi, gue nggak akan segan-segan buat hidup Lo hancur." Setelahnya Ajun beranjak dengan emosinya.
Raga tidak gila. Baginya, adiknya itu hanyalah korban dari pernikahan keduanya bunda.
22:47