Sebelumnya... (Part 31)
"Jika kau ingin membantuku, maka dengarkan aku!" Tegas Sakura di balik kalimatnya yang terdengar berbisik. Umika yang sejak tadi terus membiarkan air matanya mengalir baru menyadari pandangan Sakura yang sedari tadi tertuju ke bawah pintu dengan serius. 'Kenapa wajahnya setegang itu?' Batin Umika sebelum memutar bola matanya ke arah yang sama.
Gadis itu menutupi mulutnya yang terbuka, berusaha menahan teriakannya yang hampir keluar saat melihat bayangan kaki seseorang di bawah mereka. Kini ia memahami perubahan mencolok yang di tunjukkan temannya pada ekspresinya itu disebabkan alasan yang sama, terkejud.
Umika berbalik menatap Sakura yang sudah memberinya tanda untuk mundur, tentu tanpa menimbulkan suara apapun. Gadis itu langsung mengangguk sebelum perlahan melangkahkan kakinya ke belakang, hingga keduanya bisa mengatur nafas untuk sesaat.
"Siapa dia? Sejak kapan dia berada di sana? Apa dia mendengar tentang..."
"Tenanglah, jangan membuatnya curiga! Aku yakin orang itu sudah mendengarkan pembicaraan kita."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?!" Keduanya berbicara dengan nada berbisik.
Sakura terpaku pada pandangannya sesaat memikirkan sebuah cara. Meski menurutnya masalah ini tidak terlalu serius, cepat atau lambat kondisinya juga akan diketahui oleh anggota yang lain. 'Tapi tetap saja, apa yang orang itu lakukan di tempat ini?' Pikir Sakura tepat saat pandangannya menghadap Umika yang sudah terlihat tenang.
"Menangislah."
"Hah?!"
"Berpura-puralah tertekan dan pergilah keluar, kita harus tahu siapa orang yang sudah menguping kita. Tapi ingat jika dia menanyakan apapun tentang hal yang kita bicarakan, jangan menjawabnya! Mengerti?"
"Apa aku harus melakukan itu?"
"Kau ingin membicarakan itu sekarang?!"
"Jadi... apa itu benar?"
"Sakura pernah mencoba... untuk bunuh diri?"
Umika merapatkan bibirnya seolah ingin bungkam, sorot matanya yang mulai kacau memberi tanda jika gadis itu sama sekali tidak mempersiapkan apapun untuk pertanyaan yang baru ia dengar. Sementara Sakura yang dari awal menguping keduanya di balik pintu hanya bisa mendesah pelan. 'Apa-apaan ini?'
"Kau tidak perlu menjawabnya jika memang... sulit." Ujar Sakuya mengahiri kalimatnya dengan pandangan mengarah ke pintu kamar, membuat Umika yang menyadari reaksinya semakin kebingungan dengan jawabannya sendiri.
'Itu pasti untuk Sakura, apa aku harus menjawab pertanyaannya? Kenapa aku harus terlibat dalam situasi ini?' Umika mulai berdebat dengan pikirannya sendiri, yang justru mengingatkannya kembali pada masa lalunya yang sempat teringat tepat ketika ia bersama dengan Sakuya berusaha mencari jalan keluar dari labirin.
"Itu hanya ilusi."
"Apa?!" Mendadak perhatian Sakuya yang sempat teralih langsung tertuju kembali pada gadis itu yang akhirnya bicara setelah mendiamkannya sejak melontarkan pertanyaan.
"Itu hanya ilusi Sakuya, kita semua tau itu. Karena faktanya, kami yang menyelamatkan kalian dari dalam sana. Benar bukan?"
"Itu, itu benar tapi...." Pemuda itu langsung menghentikkan kalimatnya tepat saat ia mendapat panggilan markas dari Jem yang sontak langsung mengubah ekspresi di wajahnya yang sejak tadi terlihat tenang.
"Apa? Baiklah kami akan segera ke sana sekarang!"
"Apa terjadi sesuatu?"
"Para Podermen menyerang, kami tidak tahu jumlah mereka tapi yang pasti telah terjadi keributan besar-besaran di kota. Aku harus segera pergi sekarang!"
"Baiklah, h-hati-hati Sakuya...."
Pemuda itu langsung berlari ke arah ruang Bistro tepat setelah menyelesaikan kalimatnya, meninggalkan Umika yang terpaku pada pandangannya melihat pemuda itu pergi diantara lorong Jurer sampai akhirnya menghilang saat memasuki ruang Bistro. Gadis itu menghelah nafasnya merasa khawatir dan lega di saat bersamaan.
"Entah kenapa perasaanku tidak enak, tapi yasudahlah itu bukan masalah. Setidaknya mereka akan segera pergi." Ucap Umika berusaha tersenyum, sebelum pandangannya yang langsung beralih ketika mendengar decitan pintu yang cukup kasar dari arah kamar.
"Ah, Sakura mereka sudah...."
"Sakura! Kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?!"
-----
"Apa yang kulakukan di sini? Semua ini.... apa yang sebenarnya kupikirkan?"
Rentetan pertanyaan itu terus memenuhi benak Corbin yang mulai terasa sesak, dengan pikiran yang terus berpacu pada waktu. Terkadang pertanyaan itu sering membuatnya merasa bersalah hingga terus berdebat dengan sisi lain dari dirinya yang terus menolak, meski hal itu tidak mengganggu keputusannya yang telah bulat.
"Sepertinya dia sangat frustasi, mungkin aku salah sudah menerima persyaratan konyol itu. Ini sama sekali tidak menarik!" Zanjio menatap kesal pada hasil keputusannya sendiri, saat melihat ratusan pasukan podermen yang membuat banyak keributan di jalan.
"Bagaimana menurutmu senior? Sepertinya kau sangat tertarik dengan gangler itu. Biasanya ku akan langsung berkomentar saat tidak menyukai sesuatu."
Zanjio bertanya dengan nada yang cukup datar, sama sekali tidak tertarik. Sementara pandangannya yang baru beralih beberapa saat kemudian justru menemukan pemandangan yang cukup menarik. Karena saat ia memperhatikan pria tua itu lebih teliti, ia sadar Noreant sedang tersenyum.
"Hah.... baiklah, siapa yang tau seperti apa selera orang tua." Zanjio berbicara pelan sambil memutar bola matanya, berusaha memastikan kalimatnya tidak terucap di pikiran.
Corbin menggelengkan kepalanya beberapa kali, memaksa pikirannya untuk tidak beralih pada hal lain. Tepat setelahnya itu salah seorang Podermen berjalan menghampirinya untuk melaporkan sesuatu.
"Ada apa?" Corbin bertanya dengan bingung, karena seingatnya ini terlalu cepat untuk memberikan laporan karena rencana mereka sama sekali belum berjalan. "Apa terjadi sesuatu?" Batin Corbi.
Dengan singkat podermen itu melaporkan kejadian yang ia lihat sebelumnya, membuat Gangler itu tersenyum senang setelah selesai mendengarkannya. "Jadi akhirnya mereka memakan jebakanku, bagus sekali ini bahkan jauh lebih cepat dari perhitunganku."
"Hei kau! Beritahu pada semuanya untuk bersiap di posisi mereka, dalam 30 menit lagi saat matahari mulai terbenam aku akan memulainya."
Podermen itu mengangguk dengan sigap, segera mengiyakan perintah tersebut dan langsung pergi saat Corbin melihat kearahnya. Ia bahkan tidak sempat melihat bagaimana perubahan sikap Corbin setelah ia berbalik badan, yang seketika itu juga kembali resah sambil memegangi kepalanya.
"Setengah jam lagi, apa ini akan berhasil? Apa yang harus kulakukan sekarang kenapa aku sama sekali tidak bisa merasa tenang." Bisik Corbin dalam hati. Sampai gambaran tentang sosok dengan bunga kamelia membuat matanya terpejam.
Perlahan-lahan pria itu menurunkan tangannya, menjatuhkannya bersamaan dengan tubuhnya yang langsung terduduk ke tanah. "Aku penasaran apa yang akan dia lakukan jika berada di posisi ini. Sekarang.... dia sedang apa ya?"
-----
Sore itu langit senja tampak lebih menakutkan dari biasanya, diantara deru tembakan terus terdengar. Teriakan panik dari masa yang berlarian benar-benar memekakkan telinga. Tepat saat seorang ibu tak sengaja melepaskan genggamannya dari tangan gadis kecilnya yang sedang menangis.
Tanpa bisa berbuat banyak, wanita itu hanya pasrah saat memandangi wajah manis sang putri sambil terisak ketika tubuhnya yang terjepit diantara krumunan mulai terbawa arus. Mata gadis itu terbelalak, menyadari wajah sang ibu yang sudah tak nampak lagi sementara tubuhnya mulai merasakan hantaman demi hantaman dari arah belakang hingga berakhir dengan ia yang jatuh tersungkur.
Dengan sedikit bergetar diselimuti rasa takut tangan kecil itu berusaha menghapus air mata yang membasahi wajah ketika ia menyadari suasana sekelilingnya yang mulai tenang, namun di saat yang sama, juga mencekam.
"Rrark...rarrk...!" Erangan itu terdengar pelan tepat setelah bayangan gelap menutupi sebagian tubuh si gadis yang baru saja membuka mata.
Dengan wajah polosnya yang mulai memucat ia memandangi bayangan itu sambil sesekali bergidik, insting kecilnya seolah memberi tanda jika sesuatu yang mengerikan sedang menunggu di belakangnya. Namun dengan sedikit keberanian ia berusaha menepis pikiran tersebut sambil perlahan membalikkan kepalanya untuk melihat hal yang akan membuatnya menyesali keputusan itu.
Sosok itu mendekatkan wajahnya di balik topeng tengkorak berwarna putih, dengan tangan yang masih menggenggam sosok pria tidak sadarkan diri yang sedang ia seret. Podermen merah itu menatap tajam kearah sosok mungil yang ada di hadapannya sementara di ikuti dengan empat Podermen lainnya yang ikut memngikuti.
Seakan bingung dengan kelakuan si gadis kecil yang tanpa sadar menghalangi jalannya, membuat Podermen bertopi merah itu menggaruki kepalanya sendiri sambil sesekali melirik kearah Podermen yang lain.
"Dia menghalangi jalan, apa yang harus kulakukan?" Tanya Podermen bertopi merah itu dengan bahasa mereka.
"Minta dia untuk minggir, apa susahnya."
"Ah, benar-benar."
"Ehem! Hei kau menghalangi jalanku, bisa minggir?" Tanpa bisa menghiraukan pertanyaan tadi gadis itu hanya bisa terpaku dalam padangan kosong, saat menyadari para Podermen yang ada di depannya bukanlah satu-satunya yang ada di sana. Hal itu membuatnya sekujur tubuhnya bergetar hebat.
"I-i-ibu...."
"Hah, dia bilang apa tadi?" Tanya Podermen merah itu yang tampak seperti pemimpin diantara yang lain. Mendengar reaksi tersebut dari rekannya salah seorang Podermen di belakangan lekas menepuk pundaknya lalu membisikkan sesuatu.
"Apa? Tembak saja?" Podermen merah mengulangi kalimat temannya itu sebelum melihat anggukan darinya di belakang.
"Baiklah, lagi pula kita tidak punya banyak waktu untuk menunggu seharian di sini, jadi.... Adieu." Ujarnya tepat sebelum jari kirinya menekan pelatuk senjata berbentuk pistol itu kearah kening sang gadis yang sudah siap memejamkan matanya.
DOR! DOR! DOR!
Beberapa laser keluar diikuti suara tembakan yang menyertainya, langsung menghujani para Podermen di sekitar sang gadis. Bersamaan dengan Podermen merah yang sibuk memastikan wajahnya tidak terluka, langkah kaki seseorang terdengar jelas di dekat mereka yang sontak membuat pemimpin Podermen itu memekik.
"PATRANGER! JANGAN BIARKAN DIA LOLOS, KEJAR DIA!!!" Teriakan itu menggema ke seluruh penjuru membuat para Podermen di sekitar tempat itu mulai mengalihkan perhatian mereka secara serentak.
"Sudah aman, kau bisa membuka matamu sekarang."
Mata mungil itu berbinar-binar ketika menatap sosok yang kini ada di hadapannya saat kembali membuka mata, bukan lagi para Podermen yang menodongkan senjata. Yang seketika membuat sang gadis kecil tersenyum saat mengeja namanya. "I-C-H-I-G-O-U."
"Lho, kau tau namaku?" Tanya Keichiro yang terkejut saat namanya disebut.
"Ibuku sangat menyukai kalian, aku juga sangat menyukai Patranger." Jawab gadis itu dengan semangat di wajahnya yang kini sudah tidak terlihat takut. Keichiro hanya bisa tersenyum di balik topeng Patrennya ketika mendengar kalimat yang sama sekali tidak ia duga.
"Kau sangat berani, kau tidak takut saat dikepung oleh para Podermen itu."
DOR! DOR! DOR!
"....Tapi sepertinya urusanku dengan mereka belum selesai." Ucap Keichiro di sela-sela tembakan yang mulai mendekati persembunyian mereka. "Hei, bisa kau membantuku? Tetap di sini dan awasi aku saat menghadapi mereka, kau mengerti?"
"Ya! Kalahkan mereka, Patren Ichigou!" Pinta sang gadis dengan semangat, ketika mendapat tepukan lembut di kepalanya oleh Keichiro yang baru berlari saat memastikan gadis kecil tadi sudah benar-benar aman.
"Baiklah, kejar aku gangler....!"
-----
"Sakura! Kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?!"
"Umika...."
Wajah gadis itu begitu begitu pucat dari saat terakhir kali ditinggalkan, dengan tubuh yang benar-benar lemas Sakura menyandarkan dirinya di mulut pintu tempat Umika menemukannya setelah mendengar decitan kasar yang ternyata berasal dari Sakura yang berusaha membuka pintu tanpa bisa berdiri.
Umika yang kebingungan melihat kondisi Sakura itu, kembali dibuat panik saat menyadari racun di tangan temannya kembali bereaksi dengan tanda luka yang kembali membiru dengan bekas yang lebih para. "Tidak, jangan bilang jika racun ini...."
"Te-tetaplah di sini aku akan memanggil yang lain, Kairi dan Toma pasti tau cara...." Belum sempat Umika menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya yang hendak pergi mendadak tertahan dengan tangan Sakura yang kembali menariknya.
"Sakura! Kondisimu sudah sangat buruk."
"Tidak, kau harus segera menyusul mereka Umika. Kalian bertiga harus membantu Noel dan yang lainnya...."
"Kau sudah tidak waras! Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu di saat kondisimu seperti ini!" Umika mulai meninggikan suaranya, amarah yang di tekan gadis itu kini sudah tidak bisa lagi tertahan saat melihat rupa sahabatnya yang sudah seperti mayat hidup.
"Kau tidak mengerti dia-dia ada di sana, racun ini.... karena dia.... Akh!"
"A-apa-apa yang ingin kau katakan?!"
"Gangler itu, Gangler yang telah meracuniku waktu itu.... dia ada di sana!"
Jangan lupa vote, komen dan jadikan ini sebagai cerita favorit untuk mendukung saya sebagai penulis. Terimakasih buat kalian yang terus mengikuti LUPIN BLACK, sampai jumpa di part selanjutnya... adieu!