Sambil nunggu cerita lain update, aku kasih kalian bacaan baru. Semoga kalian suka dan jadi pelajaran berharga.
Selamat membaca!
Jangan lupa tap bintang dulu, ya.
Terima kasih.
.
.
.
☆☆☆
"Kok Tante yang jemput Hanan, bukan Ibu?"
Pertanyaan itu membuat pikiran Safina buyar. Sosok laki-laki kecil berdiri tak jauh dari bangku yang dia duduki. Senyum menghiasi wajah Safina untuk membuat laki-laki kecil itu tenang. "Ibu lagi ke rumah sakit, jadi Tante yang jemput Hanan," katanya pada laki-laki kecil bernama Hanan.
"Dedek Hanan mau lahir?" tanya Hanan polos.
"Iya," balas Safina singkat sambil tersenyum getir.
Di saat Hanan terlihat bahagia dan bersorak kemenangan karena akan mendapat keponakan, Safina justru merasa sedih. Bayi yang lahir dari rahimnya justru belum mau mengakui Safina sebagai ibunya, dan lebih mengakui Wulan sebagai ibunya. Wulan adalah bibi Safina, adik perempuan dari ibunya. Safina tak menyalahkan Hanan atau Wulan. Hanan seperti itu karena diabaikan oleh Safina setelah melahirkannya dan lebih memilih untuk pergi jauh menyembuhkan luka hati.
"Ibu bilang sama Tante kalau Hanan tidur di rumah Tante dulu sampai Ibu dan Ayah pulang dari rumah sakit," ungkap Safina pada Hanan sambil berjalan pulang.
"Enggak mau. Hanan mau ke Ibu dan Ayah. Hanan mau tidur di rumah sama Ibu dan Ayah." Hanan menolak.
Safina harus lebih sabar menghadapi putranya. Hanan butuh adaptasi menerima kehadirannya. Untuk saat ini, mungkin Hanan belum bisa menerima kenyataan jika Safina ibu kandungnya, tapi Safina yakin jika suatu hari nanti Hanan mengerti dan mau menerimanya.
"Ya sudah kalau Hanan nggak mau pulang ke rumah Tante. Biarin Hanan sendirian di rumah. Padahal Tante sudah siapin kamar buat Hanan. Tante beli gambar dinosaurus, boneka dinosaurus, dan baju dinosaurus buat Hanan." Safina memancing.
"Tante nggak bohong, 'kan?" tanya Hanan memastikan. Ada keraguan dalam ucapannya.
"Makanya ikut Tante dulu biar Hanan percaya," timpal Safina.
"Iya. Hanan mau ke rumah Tante Fina."
Safina berhasil membujuk Hanan agar percaya dan mau tinggal bersamanya untuk sementara waktu. Bagaimana mungkin seorang ibu tidak bisa membuat anaknya percaya? Saat ini, Hanan adalah harta paling berharga dalam kehidupan Safina. Sudah tiba waktu di mana Safina harus mengakhiri keegosiannya selama ini karena sudah meninggalkan Hanan.
Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit menggunakan angkutan umum, Safina dan Hanan tiba di halaman sebuah rumah. Safina menyiapkan rumah itu untuk dihuni bersama putranya. Rumah itu sengaja Safina beli dengan hasil jerih payahnya selama bekerja di negeri orang. Hampir lima tahun Safina tak bertemu Hanan. Dia menitipkan Hanan pada Wulan setelah melahirkan. Beberapa hari yang lalu Safina tiba di rumah bibinya setelah kontrak kerjanya di negara orang berakhir.
"Mana dinosaurusnya?" Hanan langsung menagih saat mereka tiba di dalam rumah milik Safina.
Senyum tak pudar dari wajah Safina melihat raut putranya. Langkahnya terayun menuju sebuah pintu. "Ini buat Hanan." Safina membuka pintu kamar yang sengaja dibuat khusus untuk putranya.
Kejutan dari Safina disambut bahagia oleh Hanan. Laki-laki kecil itu terlihat senang melihat beragam tokoh hewan kesukaannya. Pandangannya tak henti mengitari seisi ruangan itu. Rautnya takjub. Safina tak menyangka jika putranya akan menyukai jenis hewan besar yang sudah punah itu. Hanan bahkan fasih menyebut satu per satu nama spesies dinosaurus. Dengan cara seperti itu, Safina berhasil membujuk Hanan dan membuatnya percaya.
***
Rindu yang membelenggu hati Safina pada Hanan mulai terurai dengan kedekatan mereka saat ini. Sudah beberapa hari setelah kepulangannya ke kampung itu, Hanan tak mau dipeluk olehnya. Jangankan dipeluk, bahkan disentuh pun Hanan menolak. Mungkin karena tak pernah bertemu. Terakhir Safina melihat Hanan saat putranya berusia lima bulan. Setelah mendapat panggilan dari agensi, Safina meninggalkan Hanan untuk proses keberangkatannya ke negara yang letaknya sebagai pembatas antara asia tengah dan eropa.
Senyum menghiasi wajah Safina saat menatap raut putranya yang terlihat damai dan menenangkan. Tak menyangka jika bayi yang dia pertahankan saat itu sudah tumbuh besar. Jika saat itu dia tak mendengar bujukan Wulan, mungkin Safina tak akan melihat Hanan tumbuh besar seperti sekarang ini. Safina bersyukur karena mempertahankan kehamilannya berkat Wulan. Hanan tidak bersalah dalam kasus yang Safina alami. Bayi yang lahir ke dunia itu suci tanpa dosa. Akan menjadi dosa besar jika sang orang tua membunuh atau membuangnya.
Maafin Bunda kalau selama ini ninggalin Hanan. Bunda janji nggak akan ninggalin Hanan lagi. Hanya Hanan yang Bunda punya saat ini. Hanan alasan Bunda kuat selama ini. Bunda sayang Hanan. Safina membatin sedih sambil mengusap kepala Hanan.
Rasa lelah jelas terlihat pada Raut Hanan. Setelah pulang sekolah, Hanan bermain air di kolam belakang rumah. Kolam itu sengaja dibuat untuk Hanan. Safina tahu jika putranya senang bermain air. Dia meminta pada pamannya untuk dibuatkan kolam agar Hanan bisa bermain di sana.
Safina mengusap air mata ketika Hanan mengerjapkan mata. Senyum kembali menghiasi wajahnya untuk menyambut Hanan. Mata Hanan terbuka sempurna, lalu menatap Safina seksama. Tangan Safina kembali bergerak mengusap kepalanya.
"Ibu belum pulang?" tanya Hanan dengan suara serak khas bangun tidur.
"Dedek bayinya belum lahir. Mungkin Ibu pulangnya tiga atau empat hari lagi," balas Safina lembut.
Seketika raut Hanan berubah murung. Entah doa apa yang Wulan panjatkan sehingga membuat Hanan sangat dekat dengannya. Safina merasa iri karena Hanan lebih dekat dengan Wulan daripada dengan Safina, ibu kandungnya.
"Sore ini Hanan ngaji, 'kan?" tanya Safina mengalihkan obrolan.
Hanan hanya mengangguk lemah.
"Tante akan antar Hanan ke tempat ngaji."
"Hanan nggak mau ngaji. Hanan mau ketemu Ibu."
"Tante janji, besok atau lusa kita ke rumah sakit jenguk Ibu. Sekarang Hanan siap-siap dan berangkat ngaji. Kalau Hanan nggak mau ngaji, Tante juga nggak mau antar Hanan ke rumah sakit buat ketemu Ibu." Safina memberi pilihan.
Hanan beranjak duduk. "Janji, ya." Dia mengulurkan jari kelingkingnya.
Safina menautkan jari kelingking dengan jari kelingking Hanan sambil tersenyum. "Janji," katanya berjanji.
Usaha Safina kembali berhasil. Hanan mau menuruti perintahnya untuk mengaji. Wulan mendidik Hanan dengan sangat baik dan dalam lingkungan yang agamis. Safina tak heran karena suami wulan adalah guru di madrasah. Sudah tentu Hanan akan dididik sesuai syariat Islam. Setidaknya, Hanan tidak seperti Safina yang sudah membuat aib untuk keluarga walaupun bukan atas keinginannya.
"Hanan mau makan apa nanti malam?" tanya Safina sambil mengenakan pakaian pada tubuh putranya.
"Hanan mau burger," pinta Hanan.
"Oke. Nanti kita beli burger kalau Hanan sudah selesai ngaji." Safina menyanggupi.
Apa pun yang kamu minta, Bunda pasti belikan, Nak. Bunda akan berikan apa pun yang kamu mau selama kamu merasa nyaman dan percaya pada Bunda.
Mereka beranjak keluar dari rumah setelah Hanan rapi. Hari ini dan seterusnya adalah milik mereka. Tidak akan ada yang bisa memisahkan mereka lagi. Safina janji akan terus ada di samping Hanan sampai kapanpun. Meski banyak orang yang tidak menginginkan kehadiran Hanan, tapi bagi Safina kehadiran Hanan adalah anugerah dari Allah. Hanan adalah titipan dariNya yang harus dijaga dengan baik.