Praktek Kerja Lapangan atau PKL adalah hal wajib yang harus dilakukan kelas sebelas murid SMK, memilih jarak yang jauh dari rumah adalah pilihan kelima sahabat itu.
Dengan alibi ingin mandiri yang nyatanya ingin jauh dari keluarga agar leluasa menghabiskan waktu tanpa ditegur orang tua, Jogja kota yang disukai banyak orang apalagi murid SMK seperti mereka.
Walaupun Jisoo berbeda jurusan dengan keempat sahabatnya tapi ia juga memilih Jogja agar dekat dengan mereka. Rabu pagi stasiun tidak terlalu ramai, lima koper berjajar rapih didepan masing-masing pemilik,ditambah juga tas yang digendong atau kardus berisi kipas angin, mereka begitu siap untuk tinggal disana.
Setelah duduk dikursi penumpang dan merapihkan barang bawaan mereka mulai bercerita selagi kereta kelas ekonomi itu beranjak dari peron.
"Woah! Akhirnya, PKL juga." Celetuk Irene sembari membuka bungkus kuaci berukuran besar sebagai teman ngobrol mereka.
"Bener, gue udah iri sama anak Pemesinan dan Otomotif yang bahkan udah mulai dari Januari, kita malah baru mulai Maret." Disekolah mereka memang memiliki perbedaan keberangkatan waktu PKL bagi setiap Jurusan, karna mereka juga perlu materi diluar kejuruan jadi bergantianlah yang Guru mereka ambil untuk ketentuan PKL.
"Cowok lo kan dari Februari malah, yah? Enak banget." Jennie mengangguk mengiyakan perkataan Jisoo, Namjoon memang entah mau bermain atau benar-benar serius menjalankan PKL-nya, tiga bulan waktu yang mereka sepakati dengan pihak sana.
"Lo cuma bawa koper, Wen? Sama tas kecil? Emang nyukup? Ngga ada yang ketinggalan?" Seulgi sebagai orang yang paling bongsor dari mereka berlima jadi ia yang harus menata barang bawaan mengangkatnya keatas tempat yang tersedia dan mengernyit heran melihat bawaan Wendy yang begitu sedikit.
"Minggu kemarin diambil cowok gue, biar ngga keberatan katanya." Entah karna begitu mencintai Wendy atau bahkan sudah disihir oleh gadis itu, Yoongi dengan rela pulang dari Bantul hanya untuk mengambil barang Wendy.
"Woah! Luar biasa perjuangan Bapak Yoongi, lo guna-guna, kan? Biar nurut sama lo? Bucin banget soalnya." Ucapan Irene benar adanya, bagaimana bisa hanya seorang kekasih, bukan suami tapi sudah rela melakukan ini itu untuk Wendy.
"Enak aja! Dia yang minta, gue mah cuma nurut aja, nolak pun percuma, keras kepala banget." Satu hal yang tak bisa dikalahkan Wendy adalah ke-keraspalaan Yoongi, membuat pusing jika berdebat dengan pemuda itu.
"Yoongi naik motor, Mih? Cowok gue sebenarnya juga kepengen bawa motor, tapi karna liat temennya ditilang disana jadi takut kali, ngga jadi, deh." Jennie bercerita tentang keingingan Namjoon untuk membawa motor ke Jogja, sebenarnya gadis itu pun sangat ingin jika kekasihnya membawa kendaraan sendiri, ia berkhayal tentang berboncengan malam hari dikota itu pasti sangat menyenangkan.
"Apalah daya yang gebetan gue nan jauh disana." Memang yah, kecantikan Irene tak bisa ditolak pemuda manapun, putus dari Danis ia begitu gampang mendapatkan pengganti, Reyhan, jika dulu Danis atlet voli, Reyhan ini atlet takraw, anak Pemesinan teman Adhi.
"Bandung, yah? Gue ngga nyangka lo sama Reyhan." Celetuk Seulgi yang kali ini ingin diam saja walau sebenarnya ia tahu Reyhan pun tak sebaik itu.
"Ya gimana? Disaat gue masih sama Danis, butuh perhatian yang ngga dikasih Danis, Reyhan malah ngasih itu, ya akhirnya gue mau coba sama dia." Irene pun sadar ia punya kelebihan pada fisiknya yang begitu menawan.
"Ya semoga si Reyhan ini yang terbaik buat lo, lah!" Doa Jisoo yang tak ingin sahabatnya itu patah hati lagi karna seorang pria, berbeda dengan Seulgi yang langsung membatin bukan, Reyhan bukan yang terbaik bagi Irene, pikirnya, tapi siapa yang tahu?
"Gimana, Jis? Seokjin balikan sama mantannya, kan?" Sebenarnya itu baru desas-desus gosip disekolahnya bahwa Seokjin kembali dengan mantannya, baru gosip bukan kebenaran.
"Ngga taulah, capek asli, waktu gue tanya dia jawabnya malah ngga usah dibahas, kan malesin?! Kalo pun dia jawab iya balikan pun yaudah gitu jangan malah ambigu buat bingung!" Kisah asramanya masih ngalor-ngidul tidak jelas.
Tingkah Seokjin masih begitu membingungkan, sebenarnya apa yang dimau pemuda itu darinya? Jisoo merasa begitu dipermainkan, perasaan ia tak pernah berbuat salah pada Seokjin tapi mengapa hatinya diperlakukan seenak hati seakan tak punya harga diri?
"Cari yang lain ajalah! Jangan punya orang, udah lupain orang ngga jelas begitu." Wendy pun kasihan akan Jisoo yang selalu dipermainkan para pria, padahal gadis itu sebenarnya tidak begitu buruk untuk dikencani seseorang, tapi nasib baik tentang asmara belum memihak padanya.
"Udah! Tapi fail!" Dengus Jisoo yang tak mau membahas lebih lanjut, otaknya tak mau mengingat-ngingat hal lalu.
"Lo tau, Seul?" Tanya Jennie yang penasaran akan kegagalan Jisoo dengan seseorang. "Tau." Tentu saja gadis itu tahu.
"Spill the tea, bestie."
"Kenal dari facebook lanjut whatsapp, terus si cowok minta ketemuan di pantai, Jisoo usul di angkringan sekalian makan--"
"Ya, kan namanya baru ketemu enakan sambil makan, kan? Biar ngga canggung?" Serobot Jisoo membela diri sendiri bahwa pemikirannya tidak salah.
"Tapi si cowok ngga mau, ngga punya uang katanya, dan dia emang ngga kerja jadi--"
"Padahal gue ngga minta dibayarin, gue juga punya uang kali buat bayar sendiri, yakali baru ketemu minta dibayarin, gue mah masih waras!" Kembali serobotan Jisoo membuat cerita Seulgi terhenti.
"Terus akhirnya mau ketemu di pantai, eh Jisoo disuruh jemput tuh cowok, pas udah ketemu Jisoo ilfeel, karna cowoknya ini ngga nyarat banget gitu, ya maksudnya ngajak cewek jalan tapi ceweknya yang disuruh jemput--"
"Kalo udah lama kenal lah itu mending, gue bakal mau lah ini baru juga kenal udah gitu, ya males, kan?!" Lagi bela Jisoo untuk dirinya sendiri.
"Yaudahlah, belum waktunya lo pacaran kali, Jis. Fokus hilangin rasa buat Seokjin dulu, baru yang lain." Seokjin lagi Seokjin lagi, sungguh Jisoo sudah sangat lelah dengan pemuda itu.
Dua jam waktu perjalanan yang mereka butuhkan untuk sampai di Jogja, menggunakan Grab menuju kos-kossan Jisoo terlebih dahulu karna jarak tempat PKL mereka sedikit jauh.
Setelah sampai dan mendapat kunci kamar kos, membereskan barang adalah hal yang mereka lakukan sebelum berleha-leha ria.
"Aduh! Enak banget gila." Desah Wendy sembari tiduran diatas kasur lantai yang hanya beralaskan karpet dibawahnya, Jennie menyalakan kipas angin doraemon miliknya untuk menyejukkan badan.
Sore harinya Yoongi datang membawa kardus berisi barang-barang Wendy yang disambut suka cita oleh kekasihnya, berlanjut dengan berjalan kaki santai ditrotoar sana menikmati sore berdua saja.
"Kok keringat mu banyak banget? Capek?" Mengambil duduk pada tempat yang disediakan dipinggir jalan. Wendy mengelap keringat pada dahi dan leher Yoongi.
"Tadi abis dari tempat PKL langsung kesini." Yoongi yang tak sabar bertemu Wendy langsung berangkat dari tempat PKL-nya menuju kos gadis itu, karna barang Wendy pun sudah ia bawa dari pagi.
"Tuh, kan! Ngerepotin kamu jadinya, kayaknya kamu pacaran sama aku rugi, deh. Aku bisanya cuma ngerepotin kamu, ngga ada yang lain." Keluh Wendy merasa bersalah pada sang kekasih.
"Justru itu kamu pacaran sama aku, karna cuma aku yang boleh direpotin kamu, bergantung terus padaku, yah?" Yoongi sangat menyayangi Wendy, entah apa alasannya ia sendiri pun tak tahu yang jelas dalam dirinya saat melihat gadis itu rasanya ia begitu ingin memilikinya.
"Dih?! Kamu ngegombal?"
"Engga, itu kos kamu khusus putri, yah?"
"Iya, kenapa?" Wendy menyandarkan kepalanya pada lengan Yoongi yang bersandar pada sandaran kursi.
"Ke kosku aja, yuk?"
"Ngapain?!" Wendy mengernyit aneh, bingung akan permintaan kekasihnya. "Mumpung jauh dari rumah, sekali-kali tidur sama aku." Ucapan yang sontak membuat jarak antara dirinya dan Wendy.
"Mesum! Dasar cowok mesum! Kotor banget pikiranmu, hah?!" Gadis itu melotot menatap Yoongi begitu tajam penuh kekesalan.
"Cuma tidur, Yang. Dikossanku bebas kok cowok sama cewek bole--"
"Ya menurutmu aku mau diajak tidur segitu gampangnya sama kamu?! Gila! Aku masih waras!" Wendy tak habis pikir akan kemesuman Yoongi.
"Aku yang ngga waras punya cewek kaya kamu, montok!" Berbisik pada bagian montok membuat Wendy bergidik ngeri.
"Yaudah putusin!" Tantangnya yang sudah begitu kesal akan tingkah pemuda didepannya. "Gilak! Ngga mungkinlah! Susah nyari yang kaya kamu, Yang. Ada tapi ngga se-montok kamu."
"Yoongi mesum! huwaa mamaa!" Rengeknya sembari berlari menjauhi kekasihnya, takut jika Yoongi kehilangan akal sehatnya.
"Yang! Hei! Jangan tinggalin aku, Sayang! Aku cuma bercanda, Wendy! Ya, Tuhan." Yoongi menyebut nama Tuhan bukan karna tingkah gadisnya yang tiba-tiba kabur, tapi karna gerakan bokong Wendy disaat berlari yang begitu asik kekanan dan kekiri begitu menyehatkan mata Yoongi tapi tidak dengan nafsu kelakiannya yang harus ditahan mati-matian.
Tanggal satu Maret tepat hari Jum'at, hari pertama mereka memulai PKL, pukul 8 pagi dengan blouse dan celana bahan masing-masing, mereka sudah siap berjalan menuju tempat PKL yang memang tidak menganjurkan para pesertanya menggunakan seragam sekolah, disuruh menggunakan pakaian bebas asal sopan.
Ditengah perjalanan yang hanya lima menit berjalan kaki, mereka menahan gugup dengan jantung bertalu kencang tak lupa tangan yang tiba-tiba mendingin, mengingat betul perkataan salah satu kakak kelasnya yang dulu PKL ditempat yang sama bahwa pembimbingnya sedikit galak, begitu mengintimidasi pikiran mereka.
Pak Mahes namanya, pembimbing berperawakan tinggi, besar, tak lupa kulit yang kecoklatan disertai mata gelapnya begitu mengintimidasi mereka, tapi begitu baik dan sabar dalam membimbing dan mengajari perlahan.
Para pekerja disana pun ramah dan menyenangkan, tidak begitu buruk seperti bayangan awal, hari pertama yang diisi dengan perkenalan dan juga mengatur komputer atau laptop baru sesuai keinginan pembeli, belum diberi untuk memperbaiki device yang rusak, masih hanya menginstal software dan lainnya.
Begitu menyenangkan dan melelahkan, pulang pukul 4 sore, berleha didalam kos adalah pilihan mereka, Jennie dan Seulgi yang sibuk memakan keripik kentang pedas buatan Ibu Irene, dengan Irene sendiri yang duduk dipojok ruangan sedang video call bersama gebetannya.
"Hallo, cantik." Sapa Reyhan dengan senyum menawan.
"Baru aja mulai udah gombal." Ketus Irene walau wajahnya juga bersemu merah.
"Gimana hari pertama?"
"Awalnya sih gugup takut tapi enak juga, lumayan lah."
"Yang godain kamu udah berapa cowok?"
"Godain apaansih?! Mana ada yang mau sama aku."
"Merendah untuk meroket nih ceritanya? Yaudah kalo mereka ngga mau, aku mau sama kamu."
"Terus aja terus, gombalin terus! Gimana Bandung? Ceweknya geulis geulis, ngga?"
"Banyak banget yang cantik-cantik."
"Oh.... dapet?"
"Engga, soalnya waktu mau deketin mereka inget kamu terus, dimana-mana inget kamu, pusing aku tuh." Reyhan tertawa setelah menggoda Irene yang bersemu.
"Yak!---" seruan Irene terhenti akan suara dengkuran Wendy yang begitu keras, gadis itu memang tengah tertidur kelelahan.
"Anjir!! Keras banget, bangsat! Kek suaranya bapak gue." Kaget Seulgi akan dengkuran Wendy yang mirip bapak-bapak, Jennie dan Irene pun terbahak keras.
"Heh! Lo cewek apa cowok?!" Jennie menepuk keras lengan Wendy berusaha menjahili tapi gadis itu tak kunjung bangun, bahkan tepukannya terdengar begitu nyaring pasti harusnya Wendy merasakan sakit.
"Ngga bangun juga, kere--" sekali lagi dengkuran keras memotong ucapan Irene. "Malah ngedengkur lagi, bangsat!" Umpat Seulgi begitu heran akan tingkah sahabatnya.
"Udah dulu ya, Rey? Suara dengkur temenku malu-maluin, disambung besok, yah? Dadah, ganteng!" Gantian Irene menggoda Reyhan yang terbahak disana.
Sudah dua minggu lamanya mereka melakukan rutinitas yang berulang, bangun pagi, membeli sarapan dibelakang kos sesuai petunjuk Bapak pemilik kos, berangkat PKL, pulang sembari membeli makan dan bercerita kesana-kemari, tak lupa akan video call wajib dengan kekasih masing-masing kecuali Seulgi, ya dia jomblo.
Kegiatan Jisoo pun tak jauh beda, PKL ditempat studio foto memiliki jam shift yang membuat pekerjaan lebih ringan, dan otak semrawutnya tetap ada memikirkan Seokjin.
Minggu siang keempat sahabat itu tengah bergoleran kesana-kemari, mengemil dan bermain ponsel, Jisoo sedari sabtu malam sudah berada dikos sahabatnya karna tidak nyaman dengan teman PKL-nya, padahal satu SMP dulu tapi ketidaknyamanan itu membuat Jisoo memilih kabur kesini.
Berbeda dengan keempat orang itu, Jennie kembali dari kamar mandi dengan wajah fresh-nya dan mengenakan baju untuk berpergian, Me time adalah alasan gadis itu untuk pergi, yang tentu saja tidak dipercayai para sahabatnya, me time macam apa disaat ia juga memiliki kekasih dikota yang sama? Omong kosong.
Dan yah benar saja didepan CGV Cinemas Transmart Maguwo, Namjoon dengan senyum lebarnya menunggu Jennie datang, kaos abu-abu dan celana jeans menjadi pakaiannya kali ini.
"Hai!" Seru Jennie sembari melambaikan tangan mendekati sang kekasih. "Mau nonton apa?" Berjalan berdampingan menuju loket pemesanan tiket, tidak ada clue sama sekali, film romansa anak SMA lah yang berakhir menjadi pilihan.
Waktu film itupun tak lama lagi, dengan bioskop tempat penayangan sudah dibuka membuat mereka tak perlu menunggu lama, mencari tempat duduk sesuai tiket.
Banyak pasangan muda-mudi menonton bersama, segerombolan anak SMP pun ada, ternyata banyak peminatnya film romansa ini, semoga tidak mengecewakan.
"Kecewa! Alurnya bisa ditebak parah! Film-film indonesia ini butuh perkembangan deh, kalo kaya gini aja yah bakal kalah sama luar, menyebalkan!" Sungut Jennie sembari menggandeng lengan Namjoon mengeluarkan kekecewaannya akan film yang baru saja ia tonton.
"Hahaha, pengamat film indonesia apa gimana ini? Sehari-hari aja tontonannya anime, sok mengomentari." Balas Namjoon yang terkekeh akan sungutan Jennie.
"Iissh! Itulah mengapa aku lebih milih anime daripada film." Bela Jennie.
"Yaudah, mau makan? Apa mau kemana?"
"Makannya nanti diluar aja, keliling disini aja sekalian ngadem, diluar panas." Melihat-lihat sekeliling.
"Mantanmu ada berapa, sih?" Kekepoan Jennie yang memang terkenal mendarah daging mulai menyerang Namjoon.
"Ngga ada, banyak yang suka aku tapi akunya engga, jad--"
"Sok ganteng banget!" Jennie tak mengira akan kenarsissan kekasihnya, ia kira Namjoon orang yang kalem tidak memiliki kepercayaan diri yang berlebih ternyata kebalikannya.
"Bukan begitu, aku godain mereka berlima pasti semua bakal ngasih nomor whatsappnya ke aku." Tunjuk Namjoon pada segerombolan gadis cantik-cantik dengan pakaian modis yang sepertinya akan berbelanja pakaian.
"Woah! Pacarku playboy ternyata?! Ngga nyangka." Dengan tidak percaya Jennie melepaskan rangkulannya pada lengan Namjoon, bertepuk tangan memuji kepercayan diri kekasihnya.
"Bukan playboy, tapi terlalu menarik, lagi pula kalo aku playboy pacarku bukan cuma kamu, Sayang." Namjoon memposisikan dirinya didepan Jennie yang merengut kesal.
"Woah!! Ngga mungkinlah! Sebelum cewek-cewek tertarik sama kamu atau kamu yang godain mereka, bakal aku basmi duluan jadi bubur!"
"Posesif, huh?" Senyum Namjoon menggoda Jennie. "Ya iyalah! Orang punya aku kok!" Gadis itu melotot penuh tak boleh macam-macam padanya.
Mereka kembali melanjutkan langkah menuju sebuah toko pakaian yang menarik hati Jennie, baju berwarna merah muda menarik perhatiannya. Mencocokkan didepan badannya melihat pada kaca yang tersedia.
"Cocok ngga?" Tanyanya pada Namjoon yang selalu disisinya, tak bosan walau begitu lama si gadis memilih-milih mana yang akan ia beli.
"Ukurannya S banget? Emang muat?" Baju yang berukuran kecil itu memang terlihat muat jika dipakai Jennie. "Muat kayaknya, apa aku coba dulu aja?" Namjoon mengangguk menggiring Jennie menuju tempat ganti baju yang tersedia.
"Gimana? Muat, kan? Cocokkan?" Jennie keluar yang langsung diserobot Namjoon untuk masuk kembali.
"Yak! Kamu ngapain?! Keluar cepet! Nanti dikira ngapa-ngapain! Keluar, heh!" Panik Jennie akan tingkah kekasihnya yang memerangkap dirinya.
"Ganti! Ngga usah keluar, aku udah liat." Ucap Namjoon lalu keluar membiarkan Jennie mengganti baju semula, gadis itu menggerutu kesal begitu bingung akan tingkah sang kekasih.
"Kamu kenapa, sih? Aku kaget tahu tadi." Omelnya sesaat keluar dari tempat ganti. "Refleks, dadamu ke-ekspos parah, aku ngga mau lah ada yang liat!" Itulah alasan Namjoon, baju yang begitu mengetat pada buah dada Jennie menghancurkan fokus pikirannya.
"Bagus tapikan? Biar ngga keliatan tepos-tepos banget kaya Irene." Jennie tertawa mengingat betapa teposnya badan Irene. "Aku yang gila, Yang. Dikira cowokmu bakal tahan apa lihat kamu pakai begituan!"
"Aku lupa! Kamu kan mesum akut! Oh my god! Jangan deket-deket! Nanti sange kamu sama aku." Jennie langsung kabur ke kasir membawa baju yang tadi meninggalkan Namjoon yang tertawa.
Entah mengapa banyak orang yang begitu tertarik dengan virus corona menyebabkan situasi menjadi darurat, korban terus bertambah, zona yang awalnya baik-baik saja menjadi menghitam.
Kegiatan PKL-pun terpaksa ditunda, mengirim surat pernyataan para siswa yang diluar kota harus pulang sampai kondisi terkendali.
"Kok guru kejuruan belum ngasih surat edaran, sih?! Padahal jurusan yang lain udah pada pulang." Sungut Wendy ditempat PKL yang iri akan banyak temannya yang sudah pulang kerumah, Jisoo-pun langsung pulang kemarin sore menggunakan kereta.
"Bener banget! Cowok gue kemarin langsung pulang." Kemarin saat masih bersama Jennie, Namjoon mendapatkan surat dari guru kejuruannya, dan ia pun langsung pulang tanpa kembali ke kos dulu menggunakan kereta api.
"Yoongi udah pulang, Wen?"
"Nunggu gue, katanya pulang bareng aja boncengan, tapi mana suratnya?!!" Keluh Wendy yang ingin cepat-cepat pulang ke rumah.
"Lagi dan lagi Wendy membuatku mengiri." Ucap Irene dengan nelangsa, kenapa nasib asmaranya tak sebagus Wendy.
"Minta jemput gebetanmu, lah!" Seulgi berucap. "Ngga mungkin mau lah! Orang baru pulang tadi malem dari Bandung."
Tapi kok Jimin malah kepengen jemput kesini? Padahal sama juga baru pulang tadi malem, batin Seulgi mengerut bingung.
Hingga jam 12 siang barulah mereka menerima surat edaran untuk memberhentikan kegiatan PKL selama dua minggu sebelum dilanjut lagi nanti saat kondisi sudah membaik, mereka langsung bergegas mengonfirmasi pada tempat PKL-nya dan pulang menuju kos dengan gembira.
"Akhirnya! Pulang juga." Wendy tengah mengepak beberapa barang yang dianggap harus ia bawa ke rumah saja, sebab pukul tiga sore Yoongi akan menjemputnya untuk pulang bersama.
"Lo enak banget sih, Mih! Kita pulang kapan, nih?! Bagaimana nasib?" Tanya Irene pada kedua temannya yang lain.
"Pulang sekarang? Ngga ada yang murah tiketnya." Tidur tengkurap seakan kehilangan arah. "Kata Adhi mesen yang go show aja, biar murah, mau? Kalo mau nanti ke stasiun jam empatan." Celetuk Jennie setelah menerima saran Adhi.
"Udahlah pake itu aja, biar pulang hari ini." Saran Wendy yang sudah siap tinggal menunggu sang kekasih. "Yaudahlah pulang hari ini aja, mandi sanah, gantian."
"Buat apa?! Mandi dirumah ajalah nanti." Ucap Seulgi yang langsung disetujui Jennie, dua orang yang paling malas jika disuruh mandi.
Wendy sudah berangkat dengan Yoongi setengah jam yang lalu, ketiga sahabat itu tengah berjalan menuju jalan depan untuk memesan Grab menuju stasiun, drama dompet tertinggal didalam kos pun diperankan oleh Irene, gadis itu harus tergopoh-gopoh mengambil dompet pada laci meja yang ia lupakan.
Didalam kereta yang tak banyak penumpang, akibat corona membuat parno orang sekitar, gatal pada tenggorokan Seulgi pun harus ia tahan untuk tidak batuk takut dianggap terpapar virus corona.
Tiba distasiun kota tempat tinggal, Irene langsung dijemput kakaknya, Jennie harus berjalan ke depan dulu untuk menemui Grab yang ia pesan, dan Seulgi yang sudah berlari kencang saat melihat Jimin berdiri disamping motor menunggunya.
"Kangen banget!" Gumam gadis itu sambil memeluk erat, sangat erat badan Jimin. "Dua bulan lebih ngga ketemu kamu, kangen banget." Seulgi mendongak menatap wajah Jimin yang semakin tampan.
"Haha, aku emang ngangenin, Seul." Jimin terkekeh akan tingkah manis Seulgi. "Tapi aku lebih kangen dompet kamu, jadi ayo beli es krim!" Seru gadis itu melepas pelukan berjalan menuju motor Jimin tak sabar untuk menyantap es krim.
Jimin terkekeh tak percaya, memang Seulgi begitu berbeda dengan yang lain. Mereka sudah duduk didepan minimarket pada bangku yang sudah disediakan. Seulgi menyantap es krim dengan begitu lahap dan Jimin didepannya tengah menyesap rokok ditangannya.
"Gimana tempat PKL?" Tanya Jimin menyesap kopi kemasan kaleng. "Ngga gimana-gimana, isinya cowok semua, dari pekerja sampe yang PKL, yang cewek cuma aku sama sahabatku aja."
"Ada yang ganteng?"
"Ada satu, tapi om-om udah dua lima apa dua puluhan berapa gitu, mukanya lumayan, ramah juga, dan lagi-lagi doi naksir Irene, dong! Memang luar biasa pesona sahabatku itu." Seulgi bertepuk tangan mengagumi pesona Irene yang tak bisa ditolak cowok manapun. Jimin hanya mengangguk mengetukkan putung rokok pada sudut meja menghilangkan abu yang sudah agak panjang.
"Terus temen PKL-ku ada tiga cowok tingkahnya absurd semua, asli! Yang pertama orang pindahan dari ibu kota jadi logatnya orang kota sana, dari suara dan tingkahnya kaya perempuan, bukan mengejek yah, cuma ya gitu aja, dan suka kpop!
Yang kedua, dia itu pendiem tapi tontonannya itu film yang apasi ngomongnya bunuh-bunuhan gitu, pshycopath? Pokoknya isi filmnya itu membunuh orang dengan cara yang diluar nalar gitu, genrenya pun dewasa, waktu itu aku ikut nonton aja sampe mual-mual gila, sadis banget, dan karna genrenya dewasa otomatis ada adegan itunya dong.
Sama kami diskip-skip, terus sampe ke menit berapa kami kira adegan lagi membunuh eh ternyata lagi ngewe dari belakang!" Penekanan pada kata ngewe membuat Seulgi dan jimin menjadi pusat perhatian.
Seulgi yang sadar akan tingkahnya melirik kanan dan kiri melihat para pembeli yang berbisik-bisik mungkin menggosipinya, ia terlalu semangat bercerita pada Jimin hingga kelepasan.
"Lanjutin, udah ngga usah peduliin orang lain." Jimin dengan begitu tenang merasa seperti tidak dipermalukan Seulgi, santai mengambil batang rokok berikutnya.
"Em--ekhem! Ya-ya-gitu-aish malu." Seulgi menunduk menyembunyikan muka memerahnya yang malu akan tingkahnya sendiri. "Ngga usah malu, ayo lanjut ceritanya."
"Dan yang ketiga, kami kira dia yang paling waras, eh ternyata sama aja! Dia itu cerewetnya minta ampun, dan mudah banget cerita tentang kehidupan pribadinya pada kami yang notabenenya orang baru kenal, silsilah keluarga sampai kehidupan asmaranya kami sudah tau!" Seulgi memijat keningnya jika kembali mengingat teman-teman PKL-nya.
"Dari ketiga itu ngga ada yang tertarik sama kamu?" Seulgi menggeleng, "engga ada, ya kamu pikir apa yang bakal buat mereka tertarik sama aku yang kelebihan lemak dan minyak ini."
"Kamu semok." Celetuk Jimin begitu santai. "Oooh, jadi karna aku semok kamu deketin aku, huh?!" Seulgi beralih memakan roti kesukaannya karna eskrim yang sudah tandas.
"Salah satunya." Jujur yang selalu Jimin lakukan pada Seulgi. "Di Jakarta sana juga banyak yang semok, udah kamu pacarin?"
"Engga bisa, dari awal aku maunya kamu." Pandangan Jimin tajam menatap Seulgi yang mendecih tak percaya.
"Aku ngga mau kamu."
"Aku ngga peduli, Seul." Suara Jimin begitu dalam membuat Seulgi memalingkan wajahnya kesamping.
"Udahlah! Ngga usah bahas itu lagi."
"Kabur aja terus." Jimin menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi menyesap rokok dengan rakus, membuat suasana menjadi hening diantara mereka berdua.
****
Hallo?!
Kayaknya chapter ini chapter paling mesum dan paling panjang, deh😭😭😭😭
Sampai jumpa di ending?! Bye!😚
To be continued....