❃.✮:▹G A T A◃:✮.❃
Ternyata benar, berekspetasi terlalu tinggi hanya akan membuatmu jatuh.
Sepertinya, ekspetasi tentang makan malam yang ia dambakan, tidak sejalan dengan apa yang ia harapkan.
Makan malam itu, dimana semua orang kembali menghakimi. Dimana saat Mamanya melontar kata yang tak pernah ingin ia dengar.
Dimana saat semua orang berusaha membuatnya semakin patah.
Kali ini, entah drama apa lagi yang Jihan ciptakan. Entah apa yang sudah gadis itu ucapkan hingga membuat Mama murka.
Makan malam yang ia harapkan, berujung dengan penyiksaan tanpa akhir.
Sebuah tongkat bisbol sekali lagi menghantam punggungnya sebelum benda itu terlempar begitu saja.
Nafas Mama memburu, kemudian wanita itu terisak.
"Salah apa saya dulu? Salah apa? Mengapa saya melahirkan anak seperti kamu, Gata?"
Kirana bersimpuh. Di samping Gata yang terbatuk-batuk.
"Selama ini kurang apa Mama? Mama hanya ingin hidup bahagia. Ingin menjaga keluarga baru Mama dengan baik. Tapi kenapa kamu selalu datang mengganggu, Gata?"
Isakan Kirana membuat Gata berusaha untuk duduk. Namun sulit. Punggungnya sudah mati rasa. Ia kemudian kembali jatuh tengkurap, dengan gerakan tangan yang ingin meraih Kirana.
"Ma ...."
"Jihan selama ini baik sama kamu. Dia nggak pernah berbuat apa-apa ke kamu. Tapi kenapa kamu selalu mengganggu dia? Bahkan kamu sampai menyeret Alvarendra juga. Mau kamu apa, sih, Gata?!"
"Ma ...."
Gata ingin menyampaikan banyak hal. Ingin mengatakan, bahwa apa yang Mamanya pikirkan saat ini, sepenuhnya salah.
Ia tidak pernah menyeret siapa pun untuk membenci Jihan. Termasuk Alvarendra.
"Nyesel saya melahirkan kamu!!"
Ini kata-kata yang tak pernah Gata harapkan keluar dari mulut Mamanya.
Sakit. Seperti ada sebilah pedang yang memotong hatinya secara perlahan.
"Nyesel karena saya sudah membesarkan anak tidak berguna seperti kamu!"
"Ma ...."
Gata juga tidak pernah minta untuk dilahirkan.
Namun hanya batuk keras yang berhasil ia keluarkan.
Luka sabetan di punggungnya belum sepenuhnya sembuh. Kini luka itu ditambah dengan luka baru.
Darah mengotori seragam yang masih Gata kenakan. Kendati demikian, tak membuat hati Kirana merasa goyah.
Dengan susah payah, ia berdiri. Menatap Gata dengan posisi yang sama. Anak itu hanya membuka mulut, namun tidak ada satu pun kata yang ke luar.
"Bermimpilah terus, Gata! Bermimpi untuk mendapat kasih sayang dari saya!"
Kirana sudah tak sudi. Tak sudi untuk menatap wajah itu lama-lama.
Setelah ia mengatakan demikian, ia berlalu pergi.
Pintu gudang terkunci, meninggalkan Gata yang terbaring tak berdaya di dalam sana.
Di depan pintu, Jihan sudah menunggu. Wajah gadis itu sembab. Dengan lingkaran hitam di bawah mata.
Hati Kirana mencelos. Kemudian ia bawa Jihan ke dalam dekapan. Mengusap punggung gadis itu untuk memberi tenang.
"Maafkan Gata, ya, sayang? Mama sudah memberi dia hukuman. Setelah ini, dia tidak akan berani macem-macem sama kamu lagi."
Jihan terbatuk sekilas, sebelum menjawab. "Iya. Makasih, Ma. Makasih karena Mama selalu belain aku."
"Kamu anak Mama, jadi wajar Mama belain kamu."
Kedua wanita itu kemudian saling memeluk satu sama lain. Melupakan fakta, bahwa seseorang di dalam sana sedang berjuang antara sadar dan tidaknya.
Air mata Gata tumpah ruah saat Kirana baru saja ke luar dari sana. Semua tubuhnya sakit, sulit untuk digerakkan. Punggungnya panas, karena luka yang hampir mengering itu kembali terbuka.
Tapi ada luka paling sakit yang kini ia rasakan.
Itu luka di hatinya.
"Ma ... sakit ...."
Ia tidak ingin lemah. Tidak ingin menangis. Tapi kali ini semuanya benar-benar menyakitkan.
Pintu itu tertutup rapat. Kini ia berharap Alvarendra atau pun Cakra datang. Kemudian membawanya pergi sejauh mungkin.
Tempat ini gelap dan pengap, ia ketakutan.
Lantai ini terlalu dingin untuk menjadi tempat tidurnya malam ini.
Ia ingin seseorang datang. Membawanya pulang. Pulang kemana saja.
"Ma ... tolongin Gata ...."
Dengan sisa kesadaran yang ia punya, ia coba untuk bertahan sebentar lagi. Setidaknya, ia ingin tahu siapa yang akan membuka pintu itu untuknya.
Akan tetapi, saat malam semakin larut, pintu itu tidak juga disentuh oleh orang lain. Tidak juga terbuka untuknya.
Mungkin, Mama lupa?
Atau mungkin, Mama sedang membuat kejutan untuknya?
Pasti. Mamanya pasti lupa.
Tidak apa. Ia akan istirahat sejenak. Mungkin setelah ia membuka mata, Mama sudah ada di sini, tengah memeluknya.
■□■□■□■□■
"Hari ini Gata nggak masuk?"
"Gue nggak tau. Tuh anak dari semalem nggak bisa dihubungi."
Alvarendra merenung khawatir. Gata tak pernah seperti ini. Hilang kabar sampai sulit di hubungi.
Lalu saat fikirannya tak henti memikirkan kemana perginya Gata, Jihan baru saja tiba. Gadis itu tersenyum menyapa seperti biasa.
"Dimana Gata?" Seingatnya, kemarin Gata bilang akan menginap di rumah mamanya. Jadi, Alvarendra langsung melontar tanya seperti itu kepada Jihan.
"Mana gue tau."
"Jangan bohong! Dia pasti ada di rumah lo. Kemana dia? Cepetan bilang!"
Karena paksaan Alvarendra, entah mengapa Jihan juga ikut terpancing emosi. "Gue udah bilang, gue nggak tau!"
"Jihan, tolong kasih tau Gata dimana. Soalnya kemaren dia bilang bakal pergi ke rumah lo." Cakra juga ikut menyahut. Ia sudah khawatir, sangat, dengan keadaan Gata.
"Ck, harus berapa kali gue bilang? Gue nggak tau dimana dia!"
"Bohong!" Alvarendra maju lebih dekat dengan Jihan. Sampai Jihan harus bergerak mundur beberapa langkah. "Cepet bilang sama gue, dimana dia?!"
Alvarendra tidak suka kekerasan, apalagi terhadap wanita. Namun Jihan pengecualian. Gadis itu tengah berbohong, ia tahu.
Cakra menahan bahu Alvarendra. Meminta cowok itu untuk berhenti membentak Jihan. Karena percuma, gadis itu sepertinya enggan buka suara.
"Lihat aja Jihan, kalau sampe gue tau lo bohong, maka siap-siap aja."
Bukannya takut, Jihan justru terkekeh. "Huh! Capek-capek gue akting di depan lo, ternyata nggak guna juga." Kemudian ia mengibaskan rambut. "Gata memang ada di rumah gue. Kenapa?"
"Kenapa dia nggak bisa dihubungi? Dia baik-baik aja, kan?" Bukan Alvarendra, melainkan Cakra yang bertanya.
"Kalau gue bilang, dia nggak baik, gimana? Dia sekarat."
"Mulut lo terlalu brengsek Jihan!" Alvarendra kelepasan. Ia membentak Jihan sampai membuat tatapan semua orang beralih pada mereka.
Raut wajah Jihan berubah mendung, siap menangis saat itu juga. Cakra buru-buru menarik Alvarendra untuk menjauh. Ia tidak ingin menimbulkan keributan di pagi hari seperti ini.
Jihan memang terlalu pandai. Disaat semua orang mengalihkan tatapan mereka padanya dan juga Alvarendra serta Cakra, gadis itu tau-tau berubah menjadi gadis lemah.
Cakra menarik Alvarendra sampai ke ujung koridor kelas mereka. "Tenang, Al. Jangan kepancing sama Jihan. Karena gue yakin, Gata pasti baik-baik aja."
Namun Alvarendra menggelengkan kepala dengan senyum tertahan. "Di rumah orang tuanya, Gata nggak akan pernah baik-baik aja."
■□■□■□■□■
Entah sudah berapa lama ia tertidur, Gata tak tahu. Karena saat kedua matanya terbuka, ia hanya melihat langit-langit kamar yang biasa ia tempati saat pergi ke rumah Mama.
Gata mendesah lega. Ternyata ia belum mati. Semalam ia sangat takut, takut jika tidak bisa membuka matanya lagi.
Kemudian tangannya tergerak mencari benda pipih yang selalu ia bawa. Dan ia menemukan benda itu tergeletak di atas nakas. Dengan kondisi layar pecah.
Ia hidupkan benda itu. Untung masih bisa menyala. Seketika, deret notifikasi dari Alvarendra dan Cakra memenuhi layar.
Mungkin, saat ia pergi nanti, satu-satunya orang yang paling kehilangan adalah Alvarendra dan Cakra.
Setidaknya masih ada mereka berdua yang akan merasa kehilangan. Yang mungkin akan menangis di pemakaman.
Grup Pembawa Berkah, aamiin
Alvarendra Bramantyo
P
P
P
Ga, dimana?
Cakra Bumantara
Ga, jangan buat khawatir
Lo dimana?
Alvarendra Bramantyo
Kalau sampe malem lo nggak bales, gue bakal samper ke rumah mama lo
Gata lantas melirik ke arah jam dinding. Masih pukul sebelas siang. Artinya, Alvarendra dan Cakra masih ada di sekolah.
Me
Hello epribadeh
Gue baik-baik aja
Masih sehat walafiat
Aamiin
Kemudian ia matikan ponsel. Tidak menunggu balasan dari keduanya. Kini fokusnya menatap kamar. Kamar yang menjadi tempatnya untuk pulang.
Pintu terbuka dari luar. Gata tersentak kaget. Takut, jika yang membuka pintu itu adalah Mamanya.
Namun salah, seorang wanita dengan rambut sebahu yang tergerai berjalan masuk ke dalam. Wajah itu sangat mirip dengan Jihan.
Wanita itu adalah Silvi, anak sulung di keluarga baru Mamanya. Wanita yang juga baru bertunangan beberapa hari lalu itu.
"Kak Silvi?"
"Bagus deh kalau kamu sudah bangun." kata Silvi tanpa ekspresi. Benar-benar raut wajah yang tak pernah bisa Gata definisikan.
"Kak Silvi yang nolongin aku?"
"Bukan. Satpam depan yang bawa kamu keluar. Saya mana sudi."
Mendapat jawaban demikian, Gata justru tersenyum lebar. "Makasih, Kak."
Silvi diam. Hanya menatap Gata beberapa detik. Hatinya bimbang. Selama dua puluh empat tahun hidupnya, ini pertama kalinya ia bertemu sosok seperti Gata.
Sosok yang masih mampu mengukir senyum di segala keadaan.
(Mau heran, tapi dia Sunghoon 😌)
Dunia Khayalan,
30 Agustus 2021