∞
"Taeyong"
Pria yang dipanggil namanya berbalik. Tampak sang manajer berdiri di hadapan mejanya sambil membawakan tas laptop.
Taeyong mengangkat alis. "Kenapa?"
"Udah nerima email dari Dohyuk Sajangnim?"
Melirik ke atas sebentar, Taeyong mengangguk tanpa beban. "Udah"
"Trus kenapa ga dijawab?"
Kali ini Taeyong membalas tatapan serius dari sang manajer, "kenapa emangnya? Saya belum ada rencana buat syuting drama baru" akunya singkat. Manajer bernama Ju Ahn tersebut menghela nafasnya kasar.
"Mau sampai kapan kamu nurutin rencana kamu? Ini tuh kerjaan, dan kamu ga bisa seenaknya nunda-nunda atas kemauan kamu sendiri"
"Ya tapi ini hidup saya, yang kerja saya juga, yang nentuin mau syuting atau engga saya. Jadi kalau saya mau istirahat lebih lama kenapa Noona ngelarang??" Taeyong membalas tak kalah lantang dan berani. "Saya udah putuskan waktu itu, saya bakal hiatus sampai perasaan saya tenang kembali!"
Si manajer Ahn terkekeh sarkas, "tenang kembali ya?" Kemudian rautnya berubah arogan, "kamu mau lebih tenang?? Gimana mau cepet tenang kalo tiap hari kamu datengin makam Yuri?? Yang ada kamu makin ga bisa tenang!!"
"Kenapa Noona sok tau tentang itu?" Taeyong berujar seraya mengangkat dagunya, "Noona gatau apa-apa tentang saya" tegasnya. Setelah itu dia beranjak dari sofa berada di dekat jendela balkon tersebut, bersiap keluar ruangan.
"Mau ke mana?"
Taeyong tak menjawab. Pria itu hanya tak acuh dan lanjut berjalan sebelum hilang dari pandangan. Manajer Ahn lagi-lagi membuang nafas lelah, mengusak poni ke belakang seraya memijat pelipisnya.
Di lain tempat, Taeyong masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesin kendaraan roda empat tersebut dan melaju ke luar area gedung agensi. Tidak ada yang tidak tahu ke mana arah mobil itu pergi, bahkan satpam saja sudah hafal rutinitas sehari-hari Taeyong yang tak bisa dihilangkan sejak kepergian Yuri tersebut.
Mengunjungi rumah abu.
Taeyong tak pernah sekalipun melewatkannya— sesibuk apapun dirinya. Ah sebenarnya tidak sesibuk itu. Semua orang tahu Taeyong mendadak malas bekerja sepeninggal sang adik.
Adik?
Memangnya panggilan apa lagi yang pantas disematkan untuk Yuri, dari Taeyong?
Jika andaikan waktu itu, Yuri tak diangkat anak oleh Ayahnya, mungkin Taeyong dan Yuri akan menjalin hubungan kekasih sekarang.
Lantas apa bedanya dengan 'adik'? Toh, mereka sama-sama masih saling menyayangi, saling bertemu, saling bertukar canda. Tak ada perbedaan sama sekali dengan 'kekasih'.
Beda.
Nyatanya itu sungguh sangat berbeda.
Jika mereka tetap menjalani kehidupan sebagai kakak-adik, dengan masa lalu yang masih menggantung sejak saat itu, keduanya akan menjadi canggung— kaku untuk mengungkapkan perasaan masing-masing. Mereka hanya akan menjalaninya dengan berpura-pura baik-baik saja, padahal, hatinya tak merasa baik-baik saja dengan hubungan seperti ini.
Sedangkan bila mereka menjalani hidup sebagai sepasang kekasih,
mengutarakan perasaan cinta pun tak ada masalah.
Mau seberapa banyak mereka mengungkapkan rasa sayang, rindu, lemparan kata-kata manis, skinship yang lebih dari biasanya? Tak akan jadi hal tabu dan memalukan bagi keduanya. Mengapa? Karena mereka adalah sepasang kekasih, dan itu yang memang dilakukan oleh sepasang kekasih kebanyakan.
Taeyong sangat mencintai Yuri.
Bukan sebagai seorang adik, tetapi sebagai seorang perempuan.
Yuri adalah cinta pertama Taeyong, demikian pula yang dirasakan si gadis semasa hidup.
Namun kala mengetahui sang Ayah telah mengikutsertakan Yuri ke dalam keluarga kecilnya beberapa tahun yang lalu, Taeyong terus berusaha mengubah mindset dan perasaannya pada gadis itu.
Harus. Taeyong tidak mau sampai menjalin hubungan terlarang hanya demi hasratnya sendiri.
Karena Yuri sudah resmi menjadi adik angkatnya, maka Taeyong harus menjadi sosok kakak laki-laki yang baik untuknya. Menjaganya, merawatnya, melindunginya, dan mengiringi perjalanan hidupnya hingga Yuri akhirnya bertemu dengan sosok laki-laki yang akan mendampingi masa depannya kelak.
Taeyong serius bertekad. Tapi tentu yang namanya takdir, terkadang memang tak sepantaran dengan kemauan.
Taeyong susah payah berniat melupakan gadis itu, namun Yuri malah semakin masuk dan memenuhi kepalanya. Taeyong hampir putus asa.
Sampai pada ia bertemu (kembali) dengan seorang gadis imut setelah beberapa hari sebelumnya juga sudah pernah berpapasan, kendati pertemuannya tak mengenakkan, Taeyong berhasil dibuat tegun oleh gadis berambut merah muda tersebut. Siapa yang menyangka bahwa ia adalah putri dari pengusaha yang akan bekerjasama dengan perusahaan ayahnya?
Dan entah saja, Taeyong merasa ingin terus tersenyum tiap berada di dekat gadis itu.
Jadi, namanya Yena, ya?
Namun bunga-bunga yang baru mekar tersebut tiba-tiba sedikit melayu— setelah Taeyong mengetahui bahwa si gadis ternyata sudah punya tambatan hati sendiri. Tak tahu mengapa, Taeyong jadi tak bersemangat mendengar hal tersebut.
Sampai pada suatu waktu, ketika ia mengetahui Yuri mengaku tengah memperhatikan Hyunsuk— kekasih gadis impiannya, Taeyong seketika terpikirkan sesuatu.
Bagaimana jika ia membantu Yuri mendapatkan Hyunsuk? Maka ia akan mendapatkan hati Yena, iya 'kan?
Terdengar jahat? Memang. Taeyong juga tak paham kenapa sampai memikirkan tindakan konyol begitu. Akan jadi apa nama baiknya jika ia benar-benar melakukan hal tersebut?
Tapi lagi-lagi, Taeyong melakukannya juga.
Taeyong tetap mengusik kehidupan tenang Yena dan Hyunsuk meskipun ia tahu, ia seharusnya tak melakukan itu.
Untuk Yuri. Dan tak ada alasan logis lain yang bisa diutarakan.
Dasar pengecut.
Tapi nyatanya Taeyong menjadi seperti itu bukan semata-mata hanya demi membantu Yuri mendapatkan Hyunsuk. Kalian harus tahu,
...kehadiran Yena dalam hidup Taeyong sudah hampir 90% mengubah perasaan dan hatinya.
Ya, Taeyong telah jatuh cinta. Lagi. Tapi pada gadis yang lain.
Gadis yang pada awal bertemu sudah berani mengacungkan telunjuk tepat di hadapan wajahnya.
Maniknya, jari mungilnya, rambut merah mudanya, bibir majunya, suara madunya,
Taeyong tak bisa melupakan itu semua.
Taeyong lupa pada Yuri? Tidak. Taeyong masih sayang pada Yuri. Tapi sebagai seorang adik. Hal normal yang sudah sepatutnya ia lakukan sejak gadis itu resmi menjadi bagian dari keluarganya.
Hati Taeyong kini sepenuhnya berlabuh pada Yena— kendati masih sepihak.
Pun Taeyong tahu Yena kelihatan sekali kalau membenci lelaki itu, Taeyong tak gentar. Ia tetap melaju dan terus mendekati Yena padahal sudah hafal bagaimana marah dan kesalnya gadis itu padanya.
Lalu, kenapa Taeyong masih mengunjungi makam Yuri? Bukankah ia sudah melupakannya?
Karena Yuri adalah adiknya.
Taeyong mencintai Yena sekarang. Tapi dia juga cinta pada Yuri.
Sebagai adik. Tidak lagi menggantung seperti saat dulu.
Setidaknya, Taeyong tahu bahwa Yuri merasakan hal yang sama padanya.
"Yena?"
Taeyong menyipitkan mata ke depan sambil memperlambat laju mobil sewaktu menangkap sosok gadis tengah berdiri di tepi jalan.
Sementara Yena, ia berdecak saat tahu mobil itu milik siapa. Terlebih ketika mengetahui mobil tersebut berhenti di dekatnya, ia langsung memalingkan wajah. Mendecak malas.
Taeyong keluar dari mobil. Lekas menghampiri si gadis yang sibuk menatap mobilnya sendiri terparkir di sana. mogok.
"Yena? Kamu ngapain di sini?"
"Mogok" jawab Yena singkat tanpa membalas tatapan lelaki itu.
"Boleh saya cek?"
Yena mendongak ragu-ragu, kemudian mengangguk kaku setelah diam beberapa sekon. Taeyong di tempatnya tersenyum, berjalan ke hadapan mobil yang dikendarai gadis itu dan membuka kap-nya pelan.
Keheningan melanda setelahnya. Taeyong fokus mengecek keadaan mobil dan Yena memfokuskan diri dengan menghitung kendaraan lain yang melintas. Gadis itu lalu beralih sejenak pada si pemuda yang menutup kap mobilnya kembali seraya menghela nafas.
"Akinya harus diganti. Kamu punya cadangan?"
Yena menggeleng.
Taeyong menanggapi dengan kekehan, "saya punya kenalan dari bengkel, tapi dari sini jauh jadi mungkin agak lama nyampe kesini" ungkapnya membuat Yena mendecih.
"Ih Ayah katanya udah dibenerin gimana sih!" Ia menggerutu sembari menghentakkan kaki ke tanah. Mengundang tawa kecil lagi dari lelaki itu.
"Jangan gitu. Dia ayah kamu"
Yena tak menjawab. Tiba-tiba menunduk dan menyembunyikan wajahnya, malu.
Geleng-geleng, Taeyong bersiap kembali ke mobil usai menghubungi temannya yang merupakan seorang montir tersebut. "Saya udah minta orangnya kemari. Mobil kamu tinggal di sini aja, kamu mau ke mana saya anter"
"Gausah. Gue tunggu di sini aja"
"Tempatnya jauh, Yena. Bisa sampe dua jam datengnya"
"Gapapa gue bisa nunggu di dalem mobil" eyel Yena. "Kalo ntar mobil gue diderek gara-gara dikira parkir sembarangan gimana?"
Taeyong diam sambil mendengus. Memikirkan cara supaya gadis itu mau pergi bersamanya.
Melihat sekeliling, hingga pandangannya menetap pada sekelompok laki-laki di pinggir sungai, ia kemudian tersenyum samar.
"Kamu yakin mau sendirian di sini?" tanyanya kembali pada Yena. "Kalo orang-orang itu liat kamu sendirian, bisa-bisa kamu diapa-apain."
Yena ikut melirikkan mata pada sekelompok laki-laki tadi. "G-gampang itu. Gue bisa ngatasin. Udah lo pergi aja" Lagi-lagi ia menolak.
Taeyong akhirnya berdecak. "Yena"
"Udah gue gapapa di sini lo pergi sana— EH?!"
Ucapan dari Yena terpotong saat tiba-tiba Taeyong menarik tangannya kencang. Dibawa menuju mobil lelaki itu.
Sampai pintu ditutup pun Yena masih melotot dan tak berkata apa-apa. Pikirannya mendadak kosong. Taeyong masuk ke dalam, duduk di kursi kemudi di sebelah gadis itu.
"Lo apa-apaan?!"
Si pemuda hanya mengendikkan bahu, "saya kenapa?"
"Lo ngapain bawa gue?!"
"Ya habisnya kamu ngeyel terus, udah dibilang jangan berdiri sendirian malah ngotot— "
"Ih yaudah biarin kali ini kan urusan gue bukan elo ihhh!!" Yena balas seraya berusaha membuka pintu mobil yang sudah dikunci. Ia menatap Taeyong lagi, "buka gak?!!"
Tak merasa takut sama sekali, Taeyong justru menggeleng yakin "ga." Menuai tawa sarkas dan tak habis pikir dari si gadis.
"Buka anjir gue mau keluar!!"
Bukannya melaksanakan, Taeyong malah geleng-geleng sambil tertawa. Ia kemudian menyalakan mobil dan melesat meninggalkan mobil milik Yena yang senantiasa terparkir di tepi jalan besar.
Yena tak melepas tatapan dari mobil matic berwarna putih tersebut, bahkan ketika itu semakin jauh dan akhirnya hilang setelah Taeyong berbelok.
Ia kembali menghadap ke depan tanpa melihat Taeyong sama sekali. Mukanya berubah kusut dan suram, setelah itu mengalihkan pandangan ke luar jendela dan mengacuhkan pria di sebelahnya.
"Kamu udah makan?"
"Belom" jawab si gadis datar tanpa menoleh. Diam-diam Taeyong tersenyum geli. "Kamu mau kemana?"
"The Shilla "
Taeyong mengangguk sekali, lantas melakukan mobilnya kembali ke depan dan mendahului beberapa kendaraan lainnya. Sementaran Yena masih diam, ia mendadak kesal karena Taeyong memaksanya untuk diantarkan. Kenapa harus memaksa sih? Yena bisa pergi sendiri dan memesan taksi. Atau ia bisa menelepon Chaewon untuk datang.
Iya, Yena baru akan melakukan itu tadinya— sebelum Taeyong datang.
"Eum, Yena?"
"Hm"
Taeyong melirik si gadis sekilas, "karna jalannya searah, boleh saya mampir sebentar?"
Nah. Ini yang Yena khawatirkan sejak tadi. Mampir-mampir.
Memperlambat keadaan. Yena tidak suka— ah bukan, Yena tidak nyaman.
"Ke mana?"
Taeyong senyum tipis, "ada. Bentar lagi juga sampai" Setelah itu belok ke kiri dan masuk ke area sebuah bangunan. Mobil itu diparkirkan di halaman dekat pintu masuk. Usai mematikan mesin, Yena dapat merasakan Taeyong tengah menatapnya sambil melepas sabuk pengaman. "Kenapa?" tanya pria berahang tegas tersebut. Yena gelagap. Lekas memalingkan wajah dan melepas sabuknya pula.
Yena tahu tempat apa ini. Dan entah mengapa ia merasa sedikit gugup.
Terlebih saat sabuk pengamannya terasa sangat sulit dilepas, dirinya mengumpat berkali-kali di dalam hati.
"Sini" Yena menoleh cepat dan langsung bersitatap dengan Taeyong yang sudah mendekatkan tubuhnya guna membantu melepaskan sabuk tersebut. Maniknya membola sebentar karena terkejut, namun tak lama ia palingkan kembali ke arah lain. Sementara itu di hadapan wajahnya, Taeyong curi-curi pandang sedikit-sedikit.
Melihat wajah Yena sedekat ini, sudah lama sekali tak dirasakannya. Terakhir kali kapan, ya? Sewaktu berciuman di atas tebing?
Ah bukan berciuman. Lebih tepatnya, ia yang mencium Yena dengan paksa.
"Sudah" Taeyong menjauhkan tubuhnya kembali. Yena berucap kaku.
"Makasih."
Taeyong tersenyum, "sama-sama. Jadi mau ikut?" tanyanya yang dibalas anggukan dari si gadis.
"Ya kali gue ga masuk. Ga sopan."
Taeyong tertawa kecil. Benar juga.
Keduanya pun turun dari mobil, Taeyong berjalan lebih dulu ke dalam dan Yena mengekor di belakangnya. Mereka berhenti di sebuah ruangan petak tempat abu kremasi Yuri disimpan bersama benda-benda kenangan lainnya.
"Yuri" sapa si pemuda sembari meletakkan buket di hadapan foto mendiang. "Oppa dateng lagi"
Yena menyusul di sebelah pria itu. Tersenyum canggung. "Hai" sambungnya pula. "Apa kabar?"
Taeyong yang menjawab seraya terkikik pelan. "Dia baik."
"Maafin gue ya, yang waktu itu," lanjut si gadis nyaris berbisik, "gue akuin gue salah." Kemudian Yena menunduk.
"Yuri bilang dia udah maafin kamu"
Yena terkekeh, "emang lo bisa denger dia ngomong apa?" omelnya membuat pemuda di sebelahnya tertawa lagi. "Udah belom nih? Gue harus ke Shilla sebelum jam dua siang"
Taeyong mengangguk menyelesaikan tawanya sebelum menjawab, "iya iya. Izinin saya berdoa sebentar"
Yena lantas menipiskan bibir. Canggung lagi.
Benar juga. Berdoa. Kenapa Yena bisa lupa.
Sontak melihat pria itu memejamkan mata dan menyatukan genggaman tangannya, Yena mengikuti, melakukan hal yang sama.
Dalam hati ia berucap, semoga Yuri beristirahat dengan tenang di sana.
Tak sampai lima menit, Taeyong membuka matanya kembali. Disusul Yena kemudian. Lelaki itu tersenyum pada si gadis, hendak mengajaknya keluar.
"Yok"
Yena mengangguk singkat dan mengikuti langkah Taeyong lagi sampai ke mobil.
Aneh, kali ini Yena tidak menggerutu?
Mobil berjalan kembali, meninggalkan pekarangan rumah abu. Di tengah perjalanan, keduanya terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing.
Hingga pada saat Taeyong menyeletuk pelan, Yena menoleh.
"Saya gabisa lewatkan seharipun buat ga datengin makam dia" Pria itu terkekeh malu. Yena hanya menanggapinya dengan senyum tipis, menghadap ke depan lagi.
"Itu wajar. Lo sayang sama dia" jawabnya, "gue pun kalo jadi lo bakal gitu juga."
Taeyong tertawa. "Kamu sayang sama dia?"
"Kalo gue jadi lo. Didengerin baik baik kalo orang ngomong."
Lagi-lagi si pria malah membalas dengan gelak tawa, "iya bercanda, Yena."
Setelahnya keadaan kembali lengang. Taeyong sibuk mengemudi dan Yena sibuk memandangi jalanan dari kaca jendela.
Tak sepenuhnya menikmati pemandangan sebetulnya. Yena hanya merasa ragu tentang kalimat yang ingin ia keluarkan.
"Yuri itu orang baik"
Dan entah mengapa Taeyong bisa tahu apa kalimat yang akan gadis itu keluarkan.
Ia segera menoleh. Tersenyum kecil.
"Iya, gue tau."
"Kalo bukan karena perasaan dia sama Hyunsuk, mungkin kalian bisa temenan sejak event di kampus waktu itu," lanjut Taeyong lagi. Yena mengangguk setuju.
"True." Kemudian ia diam sebentar sebelum melanjutkan, "tapi sayang dia lebih milih buat jadi musuh ketimbang temen."
Taeyong menatap wajah itu dari samping. "Seberapa besar rasa sayang kamu sama Hyunsuk?"
Pertanyaan yang dilontarkan oleh pria itu berhasil membuat Yena menoleh, membalas tatapan matanya seraya tersenyum teduh.
"Lebih besar dari rasa sayang lo ke Yuri," ungkapnya lembut namun tegas. "Seberapa besar rasa sayang lo ke Yuri?"
Taeyong mengerjap satu kali, "gak kehitung." Jawaban pria itu membuat senyum Yena makin merekah. Ia lega sebab Taeyong paham apa maksudnya.
Lain dengan si lelaki, yang keburu menurunkan dagu dan rautnya berganti lesu. Kemudian menghentikan mobilnya tiba-tiba.
Yena agak tersentak, "kok berhenti?"
Tapi Taeyong tak menjawab. Lelaki itu malah diam selama beberapa saat sebelum berkata, "Yena, apa saya masih punya kesempatan?"
Yena mengernyit bingung, "kesempatan apa?"
Taeyong menoleh pada gadis itu, "kesempatan buat bisa sama kamu" ujarnya membuat Yena sedikit terbelalak. Kaget.
"Hah?"
"Kamu tau" kekeh Taeyong, "saya suka sama kamu, Yena. Apa saya udah ga punya peluang lagi buat dapetin kamu?"
"Lo juga tau gue udah punya Hyun— "
"Iya saya tau"
"Trus kenapa lo masih nanya punya peluang apa engga? Lo udah tau jawabannya apa kan?"
Taeyong tak menjawab kali ini. Ia terdiam dan tunduk lagi. Sampai jeda beberapa detik, ia mendongak kembali, "boleh saya berjuang lagi?"
Yena hanya menyeringai kecil, "coba aja." Ia berujar santai, "tetep pada akhirnya lo bakal gagal. Karna gue ga akan pernah lepasin Hyunsuk, dan Hyunsuk juga ga akan pernah lepasin gue."
"Kalo saya berhasil?"
"Hah?" Yena mengerutkan dahi. "Apa?"
"Kalo saya berhasil berjuang dan dapetin kamu sampe kamu lepasin Hyunsuk, kamu bakal nerima saya kan?"
"Gue kan udah bilang tadi— "
"Tapi saya pengen ngubah itu." Taeyong memotong, sedikit memajukan wajahnya mendekat dan membuat si gadis mundur. "Kalo takdirnya kamu dan saya gak akan pernah sama-sama, maka saya bakal ubah takdir itu dan bikin supaya kita bisa sama-sama" tegasnya kemudian. Yena menatap tak habis pikir pada lelaki tersebut.
"Kalo gitu lo udah gagal di garis awal" jawabnya pelan. Giliran Taeyong yang mengerutkan alisnya tak paham.
Namun belum sempat bertanya, Yena sudah berucap duluan, "karna satu hal yang perlu banget lo tau, gue paling benci sama orang yang sok-sokan mau mengubah takdir."
-
mine - slowmotion 2.O
-
"Gabisa Ma, Ryujin baru sampe apart, udah terlanjur rebahan dan Mama harus tau Ryu tuh capekkkk bangettt!" Ryujin mengomel sambil menjatuhkan diri di atas sofa. Di seberang sang Mama merengek.
"Ih Ryu kok gitu. Ayokkk ah temenin Mama!!"
Ryujin berdecak. "Ish Mama kenapa sih jadi kayak orang mabuk gini?! Ryu capek! Gamau! Mama ngajak Papa Taehoon aja sana!" Setelah itu langsung mematikan sambungan. Tanpa memedulikan akan seberapa panjang mamanya akan mengomel pula.
Gadis itu merebahkan kepalanya kemudian. Membuang nafas kasar.
Hari ini sungguh melelahkan. Tapi Ryujin lega dan puas sebab tugas dan presentasi laporan proposalnya berjalan dengan lancar di kampus. Meskipun adu debat sedikit dengan salah satu mahasiswa lain, ia senang bisa mendapatkan nilai lumayan tinggi dan pulang cepat.
Ryujin ingin tidur siang, tapi ia tidak merasa mengantuk. Jadi, ia harus melakukan apa?
"Oh" monolog gadis bersurai pendek tersebut seraya bangun. Meraih tasnya di nakas dan mengambil sesuatu di dalam.
Sampai ketika ia menemukan benda yang ditemukannya di loker meja kerja Pak Hong kemarin, ia memiringkan kepalanya sejenak. Memikirkan mengapa ia membawa itu pulang.
"Papa nyariin ga ya?" gumamnya hendak memasukkan tape itu kembali— namun berhenti setelah ingat bahwa ada logo Yayasan Munrei di benda itu.
Mengapa ini disimpan di meja kerja pribadi kalau milik yayasan? Lagipula'kan, Pak Hong sudah lama resign dari Munrei?
Ryujin diam sambil menatap dvd player-nya yang ia letakkan di bawah meja televisi.
Haruskah ia periksa?
∞
wiz*teum terus diberi ujian hidup😔😔😔💔
get well soon buat wony, dan sehat terus buat yuding (HARUS!!!!)
AKU GALAW😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭