*
*
*
*
*
Hari-hari berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah mendekati akhir pekan lagi sejak terakhir aku menghabiskan akhir pekan di kampung halaman. Sangat menyenangkan mengingat ada Mingyu pula di sana. Sebenarnya aku ingin ke sana lagi, bertemu Mingyu tapi aku tidak enak jika terus-terusan lepas tanggung jawab terhadap pekerjaanku. Aku sudah terlalu sering tidak kerja akhir-akhir ini.
Aku melirik Bibi Jung yang sedang menyemprot bunga. Wanita paruh baya itu terlihat sangat bahagia. Aku ikut bahagia dibuatnya. Namun kebahagiaan tak berlangsung lama karena tiba-tiba pintu depan dibuka dengan sedikit kasar. Sore-sore seperti ini, siapa sih yang berperilaku kasar?
Adalah sosok pria mungil nan putih pucat. Sebut saja Jihoon.
"Di mana ponselmu?" Tanyanya to the point. Tentu saja pertanyaan itu ditujukan padaku karena matanya jelas-jelas menatap lurus ke arahku.
"Kau ini benar-benar ya! Apa gunanya punya ponsel kalau kau tidak bisa dihubungi?" Belum sempat menjawab, si pria pendek itu justru lebih dulu mengomel. Bibi Jung bahkan sampai melongo dibuatnya.
"A-ada di tas." Jawabku gugup.
"Ayo cepat ikut aku." Ucapnya yang terdengar penuh dengan kekesalan. Pun pria itu berlalu begitu saja. Keluar dari toko tanpa berkata apa-apa lagi bahkan kepada Bibi Jung. Oh, Mungkin pria itu tak melihat sosok Bibi Jung yang memang sedang berada agak di pojok.
Bibi Jung memberi isyarat untukku segera keluar mengikuti si Jihoon. Aku mengangguk, sedikit berlari mengejar pria itu. Takutnya dia tambah marah.
Astaga, pria itu jalannya cepat sekali sih? Aku benar-benar berlari sekarang.
Sampainya di dalam café, dia menunjuk arah kiri bahkan tanpa menoleh. Setelah itu berjalan lagi menuju area khusus karyawan dan menghilang di sana. Aku hanya bisa geleng-geleng melihat tingkahnya yang mudah bad mood seperti gadis sedang datang bulan itu.
Oh ya, dia menunjuk sebelah kiri kan? Pun aku segera mengalihkan atensiku pada bagian kiri. What the!!!
Hey, apa-apaan ini? Aku tidak sedang salah lihat kan?
Dia yang sedang duduk di sana hanya tersenyum.
Aku yang sedang terheran-heran ini memilih untuk mendekat. Bertanya langsung sepertinya lebih baik daripada hanya menduga-duga alasan pria itu ada di sini.
"Kau ... Bagaimana bisa ada di sini?"
"Hehe, kau terkejut ya? Aku ingin memberimu kejutan. Kau senang?"
Terkejut? Iya. Senang? Iya juga, tapi sedikit merasa tidak tenang.
"Kau kabur dari rumahku?"
Mingyu menggeleng kencang. "Tentu saja tidak. Mana mungkin aku kabur dari sana? Asal kau tahu ya, di sana itu sangat menyenangkan. Aku sangat betah tinggal di sana."
Aku memutar mata jengah. "Lalu apa yang kau lakukan di sini?"
"Kau ini tidak peka sekali sih? Aku rindu padamu." Ucap si Mingyu sambil bibirnya sedikit mengerucut. Ah iya, aku lupa jika selama lima hari ini selain kami tak bisa saling bertemu, kami juga tidak bisa saling telepon atau bahkan bertukar pesan karena Mingyu tak punya ponsel.
"Kau kan bisa pinjam ponsel orang rumah untuk menghubungiku." Ucapku sok santai dengan raut wajah yang kubuat seolah mengejeknya. Tak sampai di situ, aku juga meraih minuman Mingyu kemudian menyeruputnya.
"Hey, itu minumanku!" Protesnya.
Lagi, aku memutar mata jengah. "Dasar pelit."
"Biar saja." Jawabnya tak acuh sambil merebut kembali minuman rasa cokelatnya. "Asal kau tahu ya, aku tidak enak jika pinjam ponsel ke mereka. Aku sungkan."
Sungkan apanya? Biasanya dia tidak punya sungkan. "Ya, ya, ya terserah kau saja. Lalu sekarang rencanamu apa?"
Mingyu yang semula berwajah penuh kekesalan karena minumannya kucuri kini mengubah raut wajahnya. Seketika berubah menjadi wajah berbinar.
"Aku ingin jalan-jalan denganmu lalu makan malam lalu aku menginap di tempatmu."
Aku membuka mulutku lebar-lebar mendengar penjelasannya. Hey? Dia masih waras kan? Well, jika sekedar jalan-jalan lalu maka malam sih tak masalah. Namun menginap? Yang benar saja? Ada Yeowon di sana.
Eh, sebenarnya jalan-jalan lebih berisiko sih. As you know, Mingyu kan sedang dalam pelarian. Biasa saja orang suruhan ayahnya menemukannya kemudian menyeret Mingyu pulang? Ah sudahlah. Tak apa-apa. Ada Nyonya Kim.
"Tidak." Tolakku tegas.
Wajah Mingyu kembali layu. "Kau ini sudah tidak cinta padaku ya? Kenapa semudah itu menolak?"
Aku menghela napas panjang. Gemas!
Aku memilih bangkit dari dudukku, membuat Mingyu terkejut. "Daripada jalan-jalan yang tidak berguna, sebaiknya aku bekerja kan?" Aku berbalik.
Mingyu mengejar.
"Kau ini jahat sekali sih? Aku sudah jauh-jauh ke sini tapi kau justru mengabaikanku dan memilih bekerja. Aku ini manusia Chaeyeon-ah. Aku punya perasaan. Jangan terus-terusan mengabaikanku." Ucap Mingyu panjang lebar sambil terus mengejarku hingga kini kami sudah berada di luar café.
Aku langsung menghentikan langkah begitu Mingyu selesai dengan kalimatnya. Bukan karena gemas tapi lebih mengarah pada rasa takut karena nada bicara Mingyu terkesan sangat serius. Apakah dia marah?
Aku tak berani berbalik. Namun pria itu tak kehabisan akal. Kini berdiri di depanku. Mau tak mau aku mendongak untuk menatapnya.
Mati aku. Wajahnya kenapa seperti itu? Kenapa terlihat serius seperti itu?
"Ka-kau marah padaku?"
Tidak ada jawaban. Dia hanya menatap, membuatku salah tingkah.
Kualihkan pandangan sambil mengusap tengkuk. Bagaimana ini?
"Kau sungguh tidak ingin jalan-jalan denganku?"
Aku kembali menatapnya. "Bu-bukan begitu." Aduh, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana jika sudah seperti ini. Biasanya Mingyu tidak begini. Jika aku menolak, dia akan terus memaksa dengan cara merengek yang manja. Namun sekarang ini beda. Dia terlihat sangat serius.
"Kau sungkan dengan Bibi Jung?" Oh well, dia melunak.
Aku mengangguk singkat. Ya, aku memang sungkan jika sering berkeliaran saat jam kerja. Namun yang lebih aku takutnya adalah Mingyu yang ketahuan oleh ayahnya.
"Apa Bibi Jung pernah melarangmu?"
Aku menggeleng. Memang tidak pernah, tapi paling tidak aku harus tahu diri kan?
"Kalau begitu kita kencan di toko bunga saja. Aku akan menyuruh Bibi Jung pulang." Mingyu kembali merajut langkahnya, membuatku gelagapan karena yang dia katakan adalah 'menyuruh Bibi Jung pulang'. Hey hey hey, dia pikir dia itu siapa seenaknya menyuruh pemilik toko untuk pulang?
"Mi-Mingyu-ya," Aku berlari mengejarnya yang bahkan sudah berada di dalam toko itu.
Aku belum terlambat kan?
"Astaga Mingyu, aku merindukanmu."
Oh well, Mingyu mendapat sambutan hangat dari Bibi Jung. Benar-benar hangat karena wanita paruh baya itu juga memberikan pelukan.
"Ehem." Aku menginterupsi mereka. Tak betah berlama-lama melihat pacarku dipeluk seperti itu.
Bibi Jung tersenyum singkat padaku kemudian kembali lagi menatap Mingyu yang berada di hadapannya. "Ingin mengajak Chaeyeon jalan-jalan ya?"
Eh?
"Awalnya begitu, tapi Chaeyeon tidak mau." Ucap Mingyu dengan nada bicara sok imut. Menjijikkan.
"Waeyo? Chaeyeon-ah, kenapa tidak mau?" Bibi Jung bertanya penuh selidik padaku.
Sialan. Jika seperti ini, kesannya seperti aku yang salah. Kenapa aku justru dipojokkan seperti ini sih?
"Sudahlah Bibi, tak apa-apa. Mungkin Chaeyeon lebih nyaman di sini."
Bibi Jung tersenyum penuh arti. "Arraseo arraseo, aku paham." Tanpa banyak bicara lagi, Bibi Jung pergi ke belakang.
Kemudian kembali lagi ke depan dengan tas tangan yang dijinjingnya. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil menepuk pundakku ringan sebelum keluar dari toko.
Oh my God, apakah yang aku lihat ini nyata? Mingyu benar-benar mengusir pemilih toko?
"Kenapa diam di situ? Tidak bekerja?"
Aku mengalihkan pandangan pada Mingyu. Menatapnya penuh selidik.
"Mwo?" Tanyanya polos.
Lupakan. Sebaiknya aku kembali ke balik meja dan duduk manis sambil menunggu pelanggan di sana. Biar saja Mingyu melakukan apa pun yang dia kehendaki seperti biasanya.
*
*
*
"Chaeyeon-ah, sudah waktunya tutup kan?"
Tak kujawab. Lebih memilih memotong pita untuk kupasangkan pada bunga pesanan besok.
"Baiklah, aku akan membalik tulisannya."
Aku melirik Mingyu yang sedang berlari kecil menuju pintu depan. Benar saja, pria itu membalik tulisan dari yang semula 'open' menjadi 'closed'.
"Sudah." Ucapnya riang.
Ya terus?
"Ayo pulang. Kita makan malam di tempatmu saja ya? Aku akan memasak."
Pria ini kenapa sih?
"Ayo cepat." Kini dia menarikku dengan tarikan ringan ala anak gadis.
Baiklah Mingyu, baik. Kita pulang sekarang.
*
*
*
Aku dan Mingyu sama-sama berisik. Saling menyeruput dan mengunyah makanan yang ada di mangkuk masing-masing. Malam ini Mingyu memasak samgyetang untuk kami. Seperti biasa, masakan Mingyu tidak pernah mengecewakan.
"Enak?"
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Masih sibuk mengunyah, sama sekali tidak ingin melewatkan kelezatan daging ayam berbumbu ginseng. Bahkan kuahnya pun kuteguk habis. Sungguh sangat enak.
"Kapan-kapan buatkan yang seperti ini lagi ya?" Aku meminta sambil meringis.
Mingyu hanya tersenyum. Kuanggap itu sebagai iya. Yehey, senang sekali rasanya memiliki kekasih seperti Mingyu. Setelah tadi Mingyu yang memasak, kini giliran aku yang membereskan ini.
"Biar aku saja."
"Tidak perlu. Kau kan sudah memasak, biar aku saja."
"Tidak apa-apa. Kau pasti lelah kan, beraktivitas seharian?" Mingyu meraih mangkuk dan beberapa peralatan yang ada di tanganku.
Ya sudah kalau dia memaksa. Sebaiknya aku mandi saja. "Ya sudah, kalau begitu aku mandi dulu ya?"
"Eh, kau tidak mengajakku?"
"Mwo? Yak!"
Mingyu tertawa lepas.
Sialan!
TBC
___________
2022-11-17