Under Sunset In Skyline [BL]

By outstoryers

21.5K 2.2K 63

BINTANG Antares Rifki Pradana, dulu pernah pernah menjadi salah satu korban perundung SMP. Kisahnya terlupaka... More

PEMBUKA
BAB 1: BINTANG
BAB 02: Hari Itu
BAB 03: Masih Menjengkelkan
BAB 04: Masih Di Sekolah
BAB 05: Keran Bikin Onar
BAB 06: Malam Itu
BAB 07: Rucita
BAB 08: Pelik
BAB 09: Pengakuan
BAB 10: Berani
BAB 11: Kenapa Begini
BAB 12: Saat Itu
BAB 13: Terbaik
BAB 14: Sabar
BAB 15: Bulan Ini
BAB 16: Dekat
BAB 17: Outbond
BAB 18: Dua hati
BAB 19: Mangata
BAB 20: Selamat Datang
BAB 21: Langit Toska
BAB 22: Bawah Langit
BAB 23: Murung
BAB 24: Nesya?
BAB 25: Adik Kelas Yang Baik
BAB 26: Mendebarkan
BAB 27: Blueberry
BAB 28: Simulasi
BAB 29: Pacar?
BAB 30: Maaf
BAB 31: Nekad
BAB 32: Ditembak
BAB 33: Malam Berdua
BAB 34: Nangka
BAB 35: Kenapa Membenci
BAB 36: Tenang
BAB 37: Kenapa
BAB 38: Tolong
BAB 39: Kembali Lagi
BAB 40: Manis
BAB 41: Malam Menegangkan
BAB 42: Kemeja Merah
BAB 43: Tanya
BAB 44: Tak Hadir
BAB 45: Maaf
BAB 46: Teman
BAB 47: Memalukan
Bab 48: Miris
BAB 49: Suram
BAB 50: Rindu
BAB 51: Rindu Berat
BAB 52: Datang
BAB 53: Senja Cakrawala
BAB 54: Pelik
BAB 55: Holliday
BAB 57: Under Sunset In Skyline
BAB 58: Pantai dan Sekolah
BAB 59: Melupakan
BAB 60: Lengkara
BAB 61: Kemurungan
BAB 62: Ibu
BAB 63: Kamu
BAB 64: Pesantren
BAB 65: Hujan
BAB 66: Dia
BAB 67: Luka
BAB 68: Kangen
BAB 69: Tahu
BAB 70: Secara Halus
BAB 71: Sampai Jumpa Semuanya
BAB 72: Akhir Dari Kita
PENUTUP

BAB 56: Izin

117 24 0
By outstoryers

Berpelesir berduaan dengan motor ninjanya milik Gilang. Terus ketawa riang sambil liatin jalan yang ramai. Kali ini, setelah reda, meski aspal masih basah oleh hujan dan airnya mengalir dari selokan yang kecil meluap air ke jalan hingga bikin aliran layaknya sungai.

Senjanya tak hadir hari ini, langitnya redum sedang murung dengan menangis menumpahkan isiannya ke bawah. Meninggalkan kesedihan dari berbagai wilayah. Seperti jalan aspal ini yang digilas ban motor ninja milik Gilang.

Gagah memang dan rasanya percaya diri dengan mengendarai motor itu. Hingga tak sadar dari balik tawaan Bintang, punggungnya kotor karena cipratan air yang tergilas ban.

Sebal memang untungnya menepi dan akhirnya Gilang menerima omelan dari prianya yang kesal dengan punggungnya yang kotor. Seraya beraut ngambek dan berdiri membelakangi Gilang yang sedang menepuk punggung bajunya yang kotor cokelat.

"Maaf, aku lupa pas-" Belum memberi penjelasan, Bintang menyelanya. "Kenapa enggak dipasang itunya. Jadi kotor, kan. Mana enggak bawa baju lagi." Kesalnya, tuhkan ngambeknya mirip cewek.

Gilang memasang wajah menyesal pun maaf dengan kejadian ini. Namun melihat prianya yang terus saja menggerutu bikin dia ketawa ngakak. Dia membersihkan dengan mengucur air dari botol mineral.

"Terus gimana? Aku dingin," Kata Bintang benar-benar sebal. Tak henti mengomeli Gilang terus.

Gilang menurunkan tawanya lalu celangak-celinguk melihat sekitar. Rupanya dia berhenti di pinggir jalan yang agak jauh dengan pusat toko untuk beli baju. Hanya ruko dan minimarket di pinggiran yang dia temukan di sini.

"Tahan dulu, ya, aku cariin toko baju," Imbuh Gilang lalu menunggangi motornya lagi.

Bintang mendengkus seraya duduk lagi di jok belakang. Dia pegang punggungnya yang basah dan saat menoleh kausnya kotor.

Motornya jalan lagi menyusur jalan yang ramai kendaraan. Bintang terus memegang punggungnya yang dirasa cipratan air dari ban mengenai punggung tangannya.

"Buruan!" Rengek Bintang di telinga Gilang yang mengiyakan seraya memacu motor.

***

Gilang menginap hari ini. Suara asik ramai dari meja makan dapur. Obrolan dari Lina dengan Gilang yang datang untuk menginap di rumah. Cerita Lina tentang putranya yang punya hobi aneh dengan menangkap kecoa sebagai hewan peliharaan lalu dikumpulkan ke dalam toples kecil.

Makannya telah selesai mereka melakukan bincang itu. Serasa ramai pun tak sunyi rumahnya. Tak seperti lalu yang sunyisenyap dari segala arah. Kini ada sosok baru di sini. Membuyarkan keheningan di meja makan.

"Bu, Bintang kemarin disuruh gombal malah nyerah," Adu Gilang pada Lina.

Bintang menyikut pinggangnya.

"Masa? Lah, payah sekali kamu. Masa gombal kecoa kamu bisa tapi cewek enggak," Ejek Lina sambung tawa.

Gilang nyengir puas sementara Bintang teringin mencekiknya sekarang juga. Tidak peduli di depan ibunya tapi ... Bintang urun, imannya masih tebal enggak boleh gitu pamali.

Dia lebih baik memilih diam menikmati buah apel yang manis sekali dibandingkan ikut bercengkrama dengan ibunya. Pun, Gilang tak akan membela kendati keduanya sekubu.

"Tidurnya di kamar samping jangan di kamar kamu yang sempit, ya." Tutur Lina pada Bintang yang menganguk lalu mengambil apel merah di wadah bening langsung menarik lengan Gilang menuju kamarnya.

Lina membereskan piring sehabis makan bersama dengan putranya pak Geri, iya, putra dari pelanggan setia yang selalu memborong sayurnya.

"Mending di sini," Gilang menghentikan langkah Bintang di ambang pintu saat dia memangku selimutnya hendak ke kamar sebelah.

Gilang mengusap kasur Bintang yang dia duduki untuk bersamanya. Dia tak ingin pindah.

"Sempit. Nanti tidurnya gimana?" Kelik Bintang.

Gilang senyum lalu menarik lengan Bintang untuk duduk bersama di kamar sempitnya. "Biar bisa peluk-pelukan. Biar anget," Bisiknya ke telinganya.

Bintang menaruh telapak tangannya pada wajah Gilang yang punya mimik beda. Dia jadi bergidik kalau melihatnya begini. Segeranya pintunya ditutup lalu Gilang sudah siaga di kasur dekat dinding.

Bintang melapas kausnya menampakan tubuh polosnya di depan Gilang. Ini kali pertama dia melihat Bintang begini.

"Maaf, aku sering gini kalau tidur. Suka gerah. Hehe." Papar Bintang lalu menarik selimutnya menutupi sedada.

Gilang tidur mendekatkan dirinya pada badan Bintang agar lebih rapat.

Dia tengok Bintang yang sudah memejamkan matanya untuk tidur. Dia menyingkap selimut yang menutupi dada Bintang hingga menampakkan badannya yang putih. Gilang menyamping badan lalu dia dipeluknya amat erat.

Bintang ikut menyamping badan menenggelamkan wajahnya ke dada Gilang. Rasanya hangat juga nyaman.

"Selamat tidur, ya," Bisik Gilang di telinganya. Bintang membuka matanya sejenak memberi senyum untuk Gilang lalu memejamkan matanya lagi secara bersamaan.

Ufuk timur menampakan raja yang berbinar kirananya yang hangat. Bundar dan rasanya hangat bilamana tersentuh kulit. Jauh dari sebelumnya, kumandang adzan melantun menjelang fajar. Bintang bangun untuk salat. Memandang sejenak Gilang yang tidur meringkuk menghadapnya. Dia kecup cuping telinga dia lalu senyum riang seakan mendapatkan sesuatu yang membahagiakan.

Langkah kaki menjiplak di lantai keramik tersorot lampu Oren dari atap. Berbarengan derit pintu kamarnya yang membuka menampakan dia dengan rambut semrawut.

"Enggak ke mesjid?" Ucap Lina saat hendak menunaikan salat di kamarnya dengan siaga di sejadah pun dengan mukena yang dikenakan.

Bintang berhenti di ambang pintu ibunya yang membuka. Beliau selalu begitu saat bintang bangun untuk salat subuh. "Di rumah dulu, soalnya Gilang takut nyari." Paparnya lalu Lina menoleh ke belakang dengan senyum angukan.

Bintang mensucikan diri di kamar mandi untuk mengambil wudhu lalu kembali ke kamarnya menggelar sejadah di sisi Gilang yang tidurnya lelap.

Gilang jari jemarinya merayap dari kasur ingin mendekap bintang namun tidak digapai. Dia bangun menatap sekitar mendapati bintang yang sedang salat. Takut menganggu dia bangun dan duduk di sudut merhatikan pacarnya.

Bintang selesai dia senyum pada Gilang yang membalas senyumannya.

"Pagi," Ucap bisu Gilang lalu bintang tersipu malu dengan buru-buru melepas pecinya dan meliat rapi sejadah lagi.

Tawa itu terdengar saat Bintang membuat teh di dapur lalu membawanya menuju teras duduk di tepinya. Mataharinya memuncul naik pelan hingga menguar cahaya hangat. Suara kokokan ayam dan kicauan burung gereja bertengger di kabel dan terbang dengan koloninya.

"Beli bubur, Bin, buat sarapan," Lina menaruh rantang tingkat di sisi bintang.

Dia menganguk lalu mengenakan sandalnya untuk berangkat. Gilang menunggu di dalam kendati dia tamu dan harus diam meskipun dia tak mau pengin ikut. Lina melihat pertengkaran keduanya seperti adik kakak hingga terbersit kalau keduanya adalah saudara kembar. Lina tersadar, "Kita masuk, Gi, minum hangat di dalam." Ajakn Lina membuat Gilang menurut.

"Kemarin bintang ke Jakarta, loh, tumben-tumbenan," Ucap Lina memulai suasana.

Gilang duduk di sofa panjang empuk dengan agak canggung kendati kurang  terbiasa dan dia harus mencari kata yang sopan. Dia jadi malu-malu padahal di ekskul dia jagonya public speaking.

"Anter barang, ya, Bu?"

Lina menganguk lalu membuka tutup camilan di toples kaca. "Mangga, dicaneut, (silakan dinikmati,)" Tutur Lina lalu ke dapur membuat teh.

"Ditampi, Bu," Ucap Gilang tahu sedikit bahasa Sunda.

"Bintang kemarin galau. Enggak mau makan, diem di kamar," Ucap ibunya ketawa kecil.

"Kenapa katanya, Bu?"

"Enggak tahu. Galaunya kayak gadis, diem di kamar terus ngigo maaf maaf gitu," Papar Lina.

Gilang manggut-manggut lalu menyuruput tehnya.

"Seneng ibu kamu main sering ke sini, rumah jadi ramai," Ucap Lina saat mengocek tehnya dengan sendok.

Gilang senyum, "Makasih."

"Kamu mau jadi kakak bintang? Dia kesepian. Biasalah mungkin dia galau kangen adiknya,"

Gilang melengak.

"Bintang punya adik?"

Lina senyum lalu menyeruput tehnya sedikit. "Dia kembar, Gi. Sayang waktu itu Tuhan kehendak lain, adiknya sakit terus meninggal delapan bulan. Hubungan batin kembar katanya kuat, bintang ikut sakit terus kata orang pintar, harus ganti nama katanya berat, ibu ganti jadi bintang," Lina bercerita masa lalu bintang. Gilang terdiam dia bingung dan baru tahu kalau dia kembar.

"Namanya dulu ... Bintang apa?"

"Yudi, dan kakaknya Yuda," Imbuh Lina lalu duduk lagi di sofa.

"Harus gimana lagi, sudah kehendak, Gil," Lina tampak sedih namun beliau bancang.

"Ibu seneng bintang akrab dengan kamu. Kamu punya sikap seorang kakak," puji Lina.

Gilang senyum tak tahu harus apa. Dia jadi pemalu.

"Bintang seekskul sama kamu, dia enggak nakal?"

Gilang menggeleng kepala, "enggak, Bu, bintang baik jadi anggota pavorit saya, juga semuanya,"

Lina senyum riang. "Syukur begitu. Libur mau ke mana?"

"Awalnya mau ke Jakarta sama keluarga ... Boleh ajak bintang Bu?"

Lina terdiam lalu senyum setuju, "Boleh saja. Kalo dia enggak bikin kamu kerepotan,"

Gilang senang.

"Makasih, Bu, enggak akan ngerepotin kok bintangnya Gilang suka,"

Lina menganguk lalu sadar pada putranya yang beli bubur lama.

Ramai di meja makan dapur. Ada tiga orang sekarang. Dengan membawa keriangan pada rumah ini. Gilang membuat rumah ini adiwarna. Sunyi berubah ramai penuh cerita lagi. Penuh tawaan lagi.

Kali ini Lina dan Gilang sekubu membuat putranya cemberut diam saat ibunya cerita soal kegalauan dia saat lalu. Gilang tak menyadari kalau Bintang galau karena dia bukan karena cewek. Dia melahap buburnya tenang gayanya wibawa pura-pura tak dengar.

Continue Reading

You'll Also Like

23.1K 2.4K 16
DI TENGAH GELAPNYA MALAM DAN HIRUK PIKUK KOTA, SEORANG REMAJA DUDUK DI BANGKU TAMAN KOTA. GERIMIS IA TIDAK PERDULI, IA MENANTI "JANJI" YANG TAK KUNJU...
377 48 9
Belum nemu deskripsi bagus
27.4K 2.2K 26
[FINISHED DESEMBER 2015] "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat awan pada hujan yang menjadikannya tiada. " Ini adalah kisah tentan...
3.2K 243 14
Cerita Nyata... nama disamarkan. namun inisial tetap sama. tidak diperjual-belikan. tolong hargai penulis dan tokoh didalamnya dengan menjadi pembaca...