YANG NUNGGU ALTHEO UP ADA GAK? MAKASIH BANYAK BAGIAN YANG UDAH NUNGGU😍
SENENG GAK ALTHEO UP?
MAU ADA REUNI PARA PARA IBU SAMA BAPAK YANG DULU GAK???
JANGAN LUPA RAMEIN PART 5!!!!!
SELAMAT MEMBACA!
Sedikit tidak tenang memang meninggalkan Lovata seorang diri di dalam apartemen dalam keadaan sakit, tapi Zean tetap meninggalkan gadis itu. Alasannya karena sang mami, sepertinya Zean harus rajin mengunjungi Zea agar wanita mungil itu tidak terus menerus memikirkannya hanya karena dirinya tidak pernah pulang.
Zean juga akan sering membawa Lovata jika gadis itu sudah kembali sehat seperti biasanya. Ini juga akan mempermudah jika nanti Zean mendapat urusan penting yang harus meninggalkan gadis itu lebih lama dari biasanya.
Gerbang terbuka otomatis, Zean melajukan motornya masuk ke pekarangan rumahnya. Bisa Zean tebak Rangga berada di rumah karena Zean melihat mobil yang sering lelaki itu pakai masih terparkir rapi di garasi.
Pemandangan yang sangat malas Zean lihat, kemesraan kedua orang tuanya. Zean berdehem keras berharap pasangan suami istri itu menyadari keberadaannya. Zean sama sekali tidak iri, toh ia bisa melakukannya dengan Lovata.
"Masih inget rumah?" Sindir Rangga tanpa menolehkan kepalanya karena hafal betul suara anak sulungnya.
"Kamu ih! Gak boleh gitu," kesal Zea memukul lengan kekar Rangga.
"Mami tungguin dari kemarin kamunya gak ada terus," ucap Zea beranjak dari sofa dan memeluk Zean yang tingginya hanya sebatas atas dada Zean.
"Lepas, Amoora," dengan sekali tarikan pelukan keduanya terlepas membuat Zean memutar bola matanya malas.
Sedangkan Zea sudah menatap suaminya dengan tatapan berlagak galak, tentu saja di mata Rangga tidak ada apa-apanya.
"Aku gak suka, ya, Al anak aku, masa aku gak boleh peluk," cerocos Zea kesal. Kejadian seperti ini bukan sekali dua kali, tetapi setiap kali Zea ingin memeluk Zean atau sebaliknya.
"Peluk aku lebih enak," gumam Rangga santai tidak merasa bersalah.
Zea kembali beranjak dari sofa, menghampiri Zean yang sudah duduk di seberang, "Tata ke mana? Gak kamu ajak?" Tanya Zea setelah duduk di samping Zean.
"Mami pengen ketemu padahal," sambungnya berucap.
"Sakit, gak boleh dibawa ke mana-mana," ujar Zean.
Bola mata Zea melotot, "Sakit? Kok bisa? Terus kamu tinggal sendiri?" Perihal putranya tinggal bersama seorang gadis dalam atap yang sama Zea sudah mengetahuinya. Awalnya Zea berpikir yang tidak-tidak, namun Rangga menjelaskan semuanya.
"Sebentar, aku cuma mau liat keadaan mami," ucap Zean.
"Kamu 'kan bisa hubungi papi atau nggak Gara, gak usah maksain ke sini, kasian Tata sendiri-"
"Jadi lo tinggal sama cewek bang?!" Seorang lelaki berseragam putih biru itu bertanya lantang tanpa menatap sekitar.
"Gara," peringat Zea menatap putra bungsunya.
"Assalamualaikum, mami cantiknya Gara, Gara pulang nih, gak bolos kok nggak," ucap Gara panjang lebar. Bocah itu duduk di atas lantai lalu menidurkan kepalanya di pangkuan sang mami.
"Cape banget tau mi," adu Gara seperti anak TK.
"Abis ngapain emang?" Tanya Zea mengusap rambut lebat putranya.
"Papi tuh, masa Gara gak dibolehin bawa motor, naik angkot terus pulangnya," adunya kesal.
"Ada sopir 'kan? Kenapa naik angkot?"
"Gengsi lah, dikira ntar anak apaan di anter jemput sopir," ujar Gara kesal.
"Bang Zean aja waktu SMP dibolehin bawa motor sama papi, giliran Gara gak boleh, gak adil banget 'kan papi," Zea menatap Rangga dan Zean bergantian. Memang benar apa yang dikatakan Gara, tetapi Zea pun tidak tahu apa alasan kenapa Rangga mengizinkan Zea boleh membawa motor waktu masih SMP.
"Bener 'kan papi emang gak sayang sama Gara, pilih kasih aja terus," cerocos Gara sedangkan Zean malas mendengar adiknya selalu melontarkan kata-kata itu.
"Apa karena Gara bukan anak yang papi pengen?" Tanya Gara menatap Rangga dengan tatapan serius kali ini.
Tentu saja pertanyaan itu membuat Rangga langsung menatap putra bungsunya tidak suka.
"Iya 'kan? Papi pengennya anak kedua tuh cewek, makanya waktu tau yang keluar Gara, papi gak-"
Bugh
Satu bantal kecil melayang mengenai wajah Gara, "Gak usah berlebihan," ucap Rangga menatap Gara tak suka.
"Mau apa-apa tinggal bilang, gak usah ngomong kayak gitu, siapa yang ajarin?" Rangga menatap putra bungsunya tajam.
"Halah, Gara bilang pengen bawa motor ke sekolah aja gak di izinin terus," cibir Gara kesal.
🦋🦋🦋
Miring kanan, miring kiri, terlentang, tengkurep, sudah semua posisi tidur Lovata coba namun gadis itu masih belum bisa memejamkan matanya. Hari mulai sore dan Zean masih belum kembali membuat Lovata kesal setengah mati.
"Jahat banget sih sama Tata," gumam gadis berpakaian seperti pagi itu. Meski tidak mandi sedari pagi, gadis itu masih terlihat cantik dengan wajahnya yang natural.
"Bilangnya sebentar, tapi gak pulang-pulang."
"Theo!!!" Lovata menggeram kesal sambil menyebut nama lelaki itu.
"Awas aja kalo Tata telfon terus Theo gak angkat, Tata diemin Theo sampe besok lagi," gadis itu terus mengoceh sendiri. Posisi yang tadinya tidur terlentang kini sudah duduk, Lovata mengambil ponsel untuk menghubungi Zean.
Kontaknya pun hanya ada nama Zean yang tersimpan, tidak ada lagi siapapun. Termasuk teman sebangkunya, Lovata tidak punya.
"Kalo gue udah ada disini mau ngapain, hm?" Ponsel yang tadinya berada dalam genggaman Lovata, kini terlepas. Gadis itu terlihat lucu dengan ekspresi wajahnya.
"Masih mau diemin gue sampe besok?" Zean menaikan satu alisnya menatap gadisnya lekat.
Zean menahan kening Lovata kala gadis itu ingin memeluknya, "Gak usah peluk-peluk, jawab dulu."
Lovata mencebikan bibirnya kesal, "Gak jadi Tata diemin!" Ketus gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Orang mau peluk juga masa gak boleh," gumam Lovata pelan.
"Mana sini, cantiknya gue belum gue peluk," ucap Zean sembari menarik tubuh Lovata, memeluk gadis itu bak guling, sangat erat.
"Ayo keluar," ajak Lovata mendongakkan kepalanya, dagunya menempel di dada bidang Zean.
"Tata mau beli ayam pedes."
"Punya uang emang?" Tanya Zean dibalas gelengan polos oleh gadis cantik itu.
"Pake uang Theo, nanti Tata ganti deh," kata Lovata membuat alis Zean kembali terangkat.
"Abis lulus nanti, Tata cari kerja-"
Tuk
"Ih! Apa sih!" Reflek Lovata menyentuh bibirnya yang baru saja di sentil oleh Zean.
"Siapa yang bolehin lo kerja?!" Tanya Zean sekaligus memberi gadis itu tatapan galak.
"Gak ada, Theo juga pasti izin-"
"Gak! Gue gak akan pernah izinin!" Tukas Zean.
Dahi Lovata mengerut, menatap Zean aneh, "Kenapa sih? Tata mau kerja kok gak dibolehin," cibir gadis itu.
"Lo gak tau siapa gue?" Lovata menggeleng polos.
"Gue bisa kasi apapun yang lo mau, gak harus cape-cape lo kerja," ucap Zean kembali menatap Lovata.
"Bilang, apa yang kurang, hm?"
"Bilang, Ta!" Desak Zean.
"Theo kenapa sih?" Lagi-lagi gadis itu kembali melontarkan pertanyaan yang sama.
Zean mendengus kesal, "Lo yang kenapa! Badan kecil sok-sokan mau kerja, mau kerja apa lo, hah?!"
"Udah ih, orang Tata lulusnya aja belum," ucap Lovata. Gadis itu masih belum mengerti ucapan-ucapan yang Zean lontarkan.
"Ayo keluar, Tata pengen keluar, bosen disini terus," gadis itu berdiri dan langsung duduk di pangkuan Zean.
"Kayak gini? Gak malu?" Tanya Zean menatap pakaian Lovata yang masih mengenakan piyama.
"Tata 'kan nunggu Theo, Theo gak ada, Tata gak mandi," sahut Lovata santai.
"Ta."
"Apa?" Lovata semakin merapatkan tubuhnya membuat Zean memejamkan matanya. Sabar!
"Gue cape, besok aja, ya?" Bujuk Zean. Tangan kekarnya terangkat membereskan rambut Lovata yang nampak awut-awutan. Lalu beralih mengusap pipi mulusnya.
"Keluarnya?" Tanya Lovata, Zean menganggukkan kepalanya.
"Yaudah gapapa, Tata mau mandi," ujar Lovata. Dengan perasaan sedikit kecewa Lovata turun dari pangkuan Zean lalu berjalan ke arah kamar mandi.
Hatinya merasa kesal, setiap kali Lovata meminta keluar pasti Zean tidak mengabulkannya.
"Tata gak boleh cengeng, masa gara-gara gak jadi keluar Tata nangis," monolog gadis itu setelah berada dalam kamar mandi.
"Nanti Tata jelek ih kalo nangis, terus nanti Theo marah-marah," kedua tangannya mengucek matanya agar air matanya tidak turun.
"Gak bisa, Tata pengen nangis, hiks..." Isak tangis lolos begitu saja dari bibir mungil gadis itu.
Mungkin karena sedari tadi Lovata sudah menahan kesal, sekarang bertambah kesal karena Zean tidak mau mengajaknya keluar.
Akhirnya Lovata keluar dari kamar mandi hanya mengenakan bathrobe berwarna biru muda. Lovata melihat Zean tengah asik dengan ponselnya. Berjalan ke arah lemari, meski Lovata tahu ia tidak akan bisa mengambilnya sendiri karena lemari milik Zean lebih tinggi dibanding tinggi tubuhnya.
"Bisa ambil sendiri emang?" Zean datang memeluk Lovata dari belakang. Melilitkan tangan kekarnya di perut rata Lovata, menghirup rakus aroma sabun yang menempel di leher putih gadisnya.
"Mau gue ambilin apa ambil sendiri?" Tanya Zean sengaja memancing gadis itu agar berbicara.
"Theo jangan dijilat," gadis itu menggerakkan kepalanya saat merasakan Zean menjilat lehernya.
"Kenapa? Gak enak?"
"Geli," Zean terkekeh. Bukannya melepaskan justru Zean semakin mencium dan menjilati habis leher putih nan wangi gadisnya membuat Lovata menjerit karena merasa geli.
Agar gadis itu tidak bisa pergi dari kungkungannya, Zean semakin mempererat pelukannya. Mudah saja karena tubuhnya lebih besar dari tubuh gadisnya.
"Tata mau pake baju, kenapa ganggu terus?" Kesal Lovata.
"Mau gue pakein?" Tawar Zean berniat menggoda gadis cantik itu.
"Boleh, ambilin bajunya kalo gitu," ucap Lovata membuat Zean mendengus lalu langsung melepas pelukannya.
"Liat sini," Lovata menurut, gadis itu melupakan bahwa kedua matanya masih terlihat memerah.
"Nangis?" Tanya Zean. Sebetulnya tanpa bertanya pun Zean sudah tahu, hanya saja ia ingin mendengar jawaban gadis itu.
"Siapa? Tata nggak nangis tuh," elak Lovata sembari memutar bola matanya ke arah lain.
"Dari kapan berani bohong?"
"Tata gak bohong!" Tukas Lovata masih enggan untuk jujur.
"Oke," Zean berbalik badan berniat ingin meninggalkan gadis itu.
"Tata mau keluar, Theo!!!" Jerit gadis itu membuat langkah Zean terhenti.
"Nangisnya depan gue," tantang Zean kembali menatap gadisnya lekat. Sedangkan Lovata yang ditatap seperti itu merasa takut sendiri, gadis itu melangkah maju menghampiri Zean yang masih berdiri di depan pintu kamar.
"Pake bajunya yang bener, kita keluar," ucap Zean sembari mengusap punggung Lovata karena gadis itu memeluknya lebih dulu.
"Boleh?" Zean menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Zean memang tidak benar-benar berniat menolak ajakan gadisnya, membuat gadis itu kesal memang salah satu hobinya.
"Beli ayam pedes?"
"Gak pake pedes," ujar Zean membuat bibir mungil gadis itu mengerucut.
"Yaudah gak jadi."
"Oke-"
"Nggak-nggak, jadi kok jadi, hehe," gadis berambut sepunggung itu lacis masuk ke dalam kamar mandi untuk mengganti bajunya.
Zean menatap pintu kamar mandi yang baru saja tertutup, ia masih tidak menyangka akan menyukai gadis semacam Lovata, gadis lugu, manja, tetapi yang Zean sukai adalah gadis itu tidak keras kepala. Dan Zean suka itu.
Kecantikannya yang membuat Zean enggan untuk membawa gadis itu ke tempat umum, karena Zean tahu akan ada banyak pasang mata yang mengarah kepada gadisnya, dan Zean tidak mau. Bagi Zean, hanya dirinya yang boleh melihat semuanya, termasuk wajah cantik gadis itu.
"Kenapa?" Tanya Zean ketika melihat gadis itu keluar dari kamar mandi sudah berderai dengan air mata.
"K-kalung Tata putus," adu Lovata sembari memperlihatkan kalungnya yang sudah terputus menjadi dua.
"Hiks... Gak kuat ini gimana, Theo kalung Tata," gadis itu semakin menjerit histeris membuat Zean bukannya merasa kasihan tetapi justru terlihat menggemaskan.
"Gapapa, kita beli lagi," ucap Zean menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"T-tapi itu mahal, Theo kasih waktu ulang tahun Tata, hiks... Maaf Theo..." Isak tangisnya kembali terdengar.
"Nangis terus gak jadi pergi," ancam Zean. Dan benar saja, gadis itu langsung berhenti menangis, hanya isak tangis kecil masih terdengar di telinga Zean.
"T-tapi, Theo-"
"Jadi pergi? Gak pake nangis kalo gitu," sela Zean memotong ucapan gadisnya.
"Udah?" Lovata menganggukkan kepalanya. Kedua tangannya mengusap-usap pipinya yang basah karena air mata.
"U-udah, ayo keluar," ucap Lovata dengan suara terputus-putus.
"Tapi Theo nunduk dulu," pinta gadis itu dan Zean menurut, menyamakan tingginya dengan tinggi Lovata.
Cup
Cup
Dua kecupan di pipi Zean berhasil Lovata lakukan, gadis cantik itu kembali memeluk Zean karena malu dengan perlakuannya barusan. Lovata melakukan itu sebagai permintaan maaf karena merasa bersalah tidak bisa menjaga pemberian dari Theo-nya. Padahal bagi Theo tidak masalah, toh gadis itu pasti melakukannya tidak sengaja.
"Kurang, sayang," bisik Zean tepat telinga gadisnya.
GIMANA PART LAMANYA?
KURANG SERU?
KURANG SREG?
APA MAU KE KONFLIK AJA? WKWK
VOTE BANYAKIN!!!
SPAM KOMEN!!!
LANJUT KAPAN NICH?
SEE U CUYUNG🦋❤