Dret... dret...
Handphone Retno yang berada di dashboard mobil Bimo bergetar. Secara berbarengan Retno dan Bimo menoleh. Nama Pandu muncul di layar handphone membuat jantung si pemilik handphone berdegup kencang. Mata Retno melirik ke arah Bimo dengan tatapan takut. Tapi tau apa yang dilakukan Bimo?. Saat Retno akan mengangkat panggilan Pandu, Bimo mengambil handphone Retno. "Mas..." tegur Retno merasa tidak suka.
"Saya sekarang lagi ngomong sama kamu."
Retno tidak habis pikir dengan balasan Bimo. "Kan gak ada salahnya kalau saya jawab panggilan Mas Pandu dulu." Entah kenapa perasaan Retno mulai tidak enak saat melihat ekspresi Bimo yang sangat tidak suka. Apakah mungkin Bimo sekarang sudah mulai berani possesif padanya?.
Penuh tatapan tegas, Bimo menjawab. "Saya sebenernya gak suka kamu harus ngomong berdua sama Pandu di depan saya." Pernyataan Bimo yang mulai jujur dan gamblang.
Malas berdebat dengan Bimo, Retno memilih mendengus dan memakan mie gorengnya banyak-banyak. Pusing dengan segala sikap Bimo dari awal hingga sekarang. Bimo sendiri sepertinya tidak berniat mengembalikan handphone milik Retno, bahkan Bimo tanpa sepengetahuan Retno mematikan handphone Retno saat pemiliknya sedang sibuk memakan mie goreng.
Berbeda dengan Bimo yang sibuk berpikir bagaimana caranya agar Pandu berhenti menghubungi Retno, Retno malah sibuk berpikir bagaimana caranya mematikan perasaan yang memang kesal namun bahagia saat Bimo ternyata tidak benci padanya dan mempunyai perasaan untuknya. Rasa malu yang sempat ada dulu karena ditolak langsung menguap. Namun jelas saat melihat sikap posesif yang Bimo tunjukan baru saja padanya, Retno merasa ngeri dan harus menghentikan Bimo yang kata Lina benar adanya kalau Bimo lama kelamaan akan muncul perasaan ingin memiliki. Tidak sekedar tulus untuk menjaga Retno.
"Mas.., apa sebenarnya tujuan Mas Bimo bilang semua ini sama aku?. Ini kan sebenernya... maaf ya aib keluarga Mas Bimo." Tanya Retno dengan perkataan yang berusaha dijaga sebaik mungkin karena pertanyaannya mengandung hal yang sangat privasi dan sensitif.
Bimo tidak langsung menjawab, Bimo diam untuk beberapa saat. Dirinya berpikir bagaimana menyampaikan apa yang sebenarnya ada dalam pikiran dan hatinya. "Retno, boleh saya ngomong apa adanya?." Tanya Bimo meminta ijin terlebih dahulu.
"Boleh, tapi aku gak jamin kasih jawaban yang mengenakkan."
"Gak masalah." Balas Bimo. Dirinya yang memegang handphone Retno dengan sebelah tangan tidak berniat memberikan handphone itu dulu saat ini pada Retno. Bimo menunduk, menghindari tatapan Retno. Bersiap untuk memberikan jawaban yang Bimo yakin akan membuat Retno terkejut kembali. "Kalau mengikuti ego dan perasaan sendiri, saya jujur tentang itu semua agar kamu mau mempertimbangkan saya."
Benar, Retno terkejut. Bahkan sangat terkejut. Perkataan Lina benar lagi.
"Ya, tapi Mas Bimo tau sendiri kan posisi kita berdua gimana?. Mas Bimo sendiri yang dulu meminta aku menata hidup dan bahagia. Jangan egois, Mas." Balas Retno tidak bisa menahan lagi emosinya.
Bimo yang awal mulanya berkata dengan sangat pelan mulai mempertahankan opininya. "Saya tau, kamu pasti bingung karena apa yang saya bilang waktu itu. Tapi kalau kamu tau, bukan itu yang sebenarnya saya pengen. Mana ada orang yang mau perempuan yang disukainya menikah sama orang lain."
"Terus kenapa Mas Bimo bisa berubah pikiran?. Aku udah mau nikah beberapa minggu lagi."
Raut wajah tidak suka itu kembali muncul di wajah Bimo saat Retno menyinggung rencana pernikahannya. "Saya semakin gak bisa sembunyiin perasaan saya saat saya lihat kamu sama Pandu. Saya juga mulai sadar, kalau kali ini mungkin saya harus mementingkan perasaan saya sendiri. Saya bisa egois untuk sekali ini saja demi kebahagiaan saya. Saya gak mau mengalah lagi."
"Tapi sekarang ini udah telat Mas Bimo." Bantah Retno.
Tubuh Bimo menyamping dan menghadap pada Retno. "Bukankah tidak ada kata terlambat buat siapapun yang mencari kebahagiaannya?. Saya tanya, kamu lebih memilih saya atau Pandu?. Kalau kamu memilih saya, saya akan serius dan kamu bisa tunggu saya."
Tertegun Retno mendengar ucapan Bimo yang menawarkan kepastian. Retno semakin takut dengan hatinya yang akan goyah karena tawaran itu. "Mas Bimo, mendingan jangan kita terusin lagi obrolan ini. Omongan Mas Bimo makin ngaco. Aku udah ngerasa gak ngomong sama Mas Bimo." Retno mengubah posisi duduknya dengan piring yang masih ada di pangkuannya. "Udah aja mas."
"Retno..." Tidak disangka tangan Bimo meraih tangan Retno. Tatapan mata Bimo bahkan mengunci mata Retno. "Tolong jawab pertanyaan saya, kamu pilih saya atau Pandu?" Tanya Bimo dengan tegas dan seolah menuntut.
Kalau bisa memilih, Retno ingin menghilang saja dan tidak menjawab pertanyaan itu sekarang. Entah kenapa Retno sulit menjawab pertanyaan yang seharusnya bisa dengan mudah Retno jawab saat itu didepan Bimo. Anehnya Retno hanya bisa diam dan tidak berkata apa-apa.
"Diamnya kamu memberikan saya harapan setidaknya 40%." Tebak Bimo lagi memberikan sebuah senyuman simpul lalu tanpa sadar dan atas dorongan seta wajah Bimo semakin mendekat dan kemudian bibirnya menempel pada bibir Retno dengan tangan Bimo yang masih memegang satu tangan Retno.
Dan bodohnya Retno, dirinya hanya diam dan membiarkan Bimo mencium bibirnya yang padahal Pandu saja belum satu kali pun menciumnya.
Ironis.
**
Setelah insiden ciuman itu, Retno dan Bimo saling diam selama diperjalanan pulang. Bukan memikirkan dosa yang telah mereka perbuat, disaat seperti itu yang ada dipikiran mereka hanyalah perasaan campur aduk dan pikiran menebak-nebak kenapa keduanya bisa sebahagia itu. Hati Bimo berbunga-bunga bukan main. Perempuan yang dicintainya semenjak dulu bisa di gapainya saat ini. Berbeda dengan Retno yang didominasi oleh perasaan bersalah pada Pandu karena sudah melakukan hal tadi. Andai saja kakaknya tau, mungkin Retno akan habis dimarahi olehnya.
"Saya akan jaga Yudha, kalau kamu perlu apa-apa kamu bisa telepon saya." Bimo menyerahkan handphone yang tadi di ambilnya saat ada telepon dari Pandu masuk.
Retno tersadar dari lamunannya kemudian menoleh. "Makasih. Mas Bimo tolong rahasiakan apa yang terjadi tadi."
Hati Bimo sedikit tersentil. Walaupun memang benar akan berabe jadinya kalau sampai ada orang lain tau, tapi Bimo merasa tidak suka saja saat mendengar Retno mengatakan hal itu. "Iya. Kamu tenang saja." Balas Bimo pelan.
"Tolong hal itu jangan sampai terjadi lagi. Aku tau, aku memang bukan wanita baik-baik, tapi Mas Bimo gak bisa seenaknya sama aku. Mas Pandu aja belum pernah lakuin hal itu." Ucap Retno tegas kemudian turun dari mobil Bimo dan masuk ke dalam rumah kakaknya.
Mungkin karena sehabis melakukan dosa, Retno terkejut saat masuk rumah melihat ada Leni—-Ibu Wulan di ruang TV. "Retno darimana saja?. Tante khawatir."
Wajah Retno pias, "ada apa tante?. Bang Yudha?." Tanya Retno khawatir denagn kondisi Yudha. Takut ada berita penting, berhubung tadi kan handphonenya di matikan oleh Bimo dan belum dinyalakan sampai sekarang.
"Enggak, tadi tante kebangun terus liat pintu kamar kamu kebuka. Niatnya tante buat nutupin pintu, tapi tante kaget waktu liat kamu gak ada di kamar. Kasur kamu juga masih rapih." Jelas Ibu Wulan.
Hembusan nafas penuh kelegaan dikeluarkan oleh Retno. "Maaf ya tante aku bikin tante khawatir. Aku tadi..." Retno berpikir sejenak. "Aku cari nasi goreng keluar. Laper tengah malem." Lanjut Retno memberikan alasan.
"Oh gitu.. tante kira kamu keluar sama Nak Bimo soalnya mobilnya gak ada, sementara mobil kamu ada."
Deg... degup jantung Retno langsung terasa sangat cepat.
"Aku pake taksi tante, lagi capek nyetir. Gak tau kalau Mas Bimo, mungkin ke rumah sakit." Balas Retno berusaha sebisa mungkin terlihat natural dan tidak ada apa-apa.
Ibu Wulan tersenyum lega. "Ya udah kamu istirahat ya. Tante juga mau tidur lagi." Retno dan Ibu Wulan pun berjalan menuju kamar masing-masing.
**
Pada saat Retno bangun dari tidur, dirinya baru sadar kalau ternyata handphone miliknya masih belum dinyalakan. Semalam karena terlalu takut akan ketahuan dan capek jadi Retno belum sempat menyalakannya. Tepat ketika sudah dinyalakan ada berbagai chat masuk. Termasuk dari Bimo dan Pandu. Chat dari Pandu dibuka lebih dulu oleh Retno.
From : Pandu
Kamu gak angkat pasti udah tidur ya?.
Aku baru sampei di Jakarta, mau beresin dulu kerjaan abis itu tidur.
Jujur, aku sebenernya gak tenang ninggalin kamu di Bandung sendiri. Sebisa mungkin pokoknya aku beresin cepet kerjaan ku disini. Nanti aku kesana lagi.
Selamat tidur Princess.
I Miss you..
Malam hari tadi hati Retno ketar-ketir ketakutan karena telepon Pandu, pagi ini perasana Retno rasanya seperti teriris-iris. Pandu seperhatian dan sebaik ini, bahkan malam menyangka Retno tidak mengangkat teleponnya karena sudah tidur. Retno berdoa untuk jangan sampai dirinya lepas kendali dan bertindak bodoh melepaskan apalagi kehilangan laki-laki seperti Pandu.
From : Bimo
Dari dulu saya tidak pernah menganggap kamu wanita tidak baik. Kamu adalah wanita yang paling baik yang saya hargai dan cintai. Maaf kalau apa yang saya lakukan semalam membuat kamu merasa seperti itu. Saya baru pertama kali mengungkapkan perasaan saya.
Selamat istirahat, Retno.
From : Bimo
Selamat pagi Retno.
Konyol terdengarnya, tapi saya merindukan kamu.
Melihat chat yang dikirimkan oleh Bimo perasaan Retno berubah lagi tidak karuan. Retno merutuki dirinya sendiri yang ternyata sangat labil. Bisa-bisanya berubah dengan sangat cepat. Untuk menjaga hatinya tetap teguh pada Pandu, Retno pun menelepon Pandu.
Dering pertama teleponnya langsung di angkat Pandu.
"Assalamualaikum. Pagi, mas." Sapa Retno pertama sambil berpindah duduk ke kursi yang ada didekat jendela. Menatap pemandangan samping rumah yang sangat hijau oleh tumbuhan milik Wulan.
"Walaikumsalam. Pagi juga sayang." Balas Pandu dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"Baru bangun tidur mas?."
"Iya... kedengeran ya?. Untung kamu telepon, kayaknya kalau enggak aku bakal bablas aja." Jujur Pandu dengan tawa kecil. "Aku malem ngerjain kerjaan sampei jam dua pagi. Keingetan kamu tau gak?."
Perasaan bersalah muncul terus menerus, apalagi mendengar hal itu dari Pandu. Pada saat jam segitu yang ada di ingatannya yaitu ciumannya dengan Bimo. Ya Tuhan, Retno memperingati hatinya. "Oh ya?." Tanya balik Retno dengan pelan dan lemas. "Maaf ya malem aku udah tidur jadi gak bisa angkat telepon sama bales chat mas."
"Iya gak apa-apa. Aku dari berangkat lagi ke Jakarta lagi sampei malem pas ngerjain kerjaan gak tenang, keinget kamu terus gak tau kenapa. Aku takut ada apa-apa, makanya aku malem telepon kamu. Tapi dipikir-pikir lagi, kangen mungkin ya." Pandu mengatakannya dengan nada penuh malu. Terdengar sekali. Khas Pandu.
Dalam hati Retno berkata, apa mungkin Pandu teringat padanya itu bukan karena kangen, tapi lebih pada sebuah firasat?. Retno takut. Berusaha setenang mungkin Retno mendukung pernyataan Pandu. "Iya mungkin itu karena mas kangen aku."
"Kamu kangen gak sama aku?." Tanya balik Pandu menggoda Retno.
"Apa sih mas?. Udah ah, ayo siap-siap terus pergi ke kantor. Aku juga mau pergi liat kondisi Bang Yudha." Retno berusaha mengalihkan pembicaraan. Pandu seperti sedang menyiksanya jika seperti ini. Tapi entah kenapa, tidak biasanya Pandu malah tidak menyerah untuk menggoda Retno.
"Ayo.. sebentar aja bilang. Kamu kangen aku gak?. Abis itu aku baru mau mandi."
Retno tidak mengerti dengan keanehan Pandu ini. Benar-benar tidak biasanya. "Mas udah ah. Ayo mandi."
"Gak mau. Ayo bilang cepetan sekarang, biar aku sama kamu mandi."
Tidak bisa mengalihkan pembicaraan lagi. Retno akhirnya berbohong. "Iya mas, aku juga malem kepikiran mas. Aku kangen sama Mas Pandu."
Pandu langsung berteriak, yes. "Ya udah kalau gitu. Bye sayang. Sampei ketemu lagi."
Telepon berakhir dan setelah itu Retno semakin tidak bisa menghindar dari rasa takut dan bersalah.
Setelah Retno memilih mencuci mukanya dengan air dingin kemudian mandi. Berharap kalau pikirannya bisa normal dan sehat kembali. Saat Retno sedang dandan memakai lipstik —- yang kemarin dibeli bersama Pandu, tiba-tiba ada telepon masuk dari Bimo. Hati Retno berdebar-debar lagi. Dirinya takut kalau menerima telepon itu. Bukan apa-apa Retno takut tidak bisa menjaga hatinya. Sampai dering telepon dari Bimo pun berakhir dan disusul oleh chat yang masuk.
From : Bimo
Retno, Yudha sudah sadar.
**
Part ini lebih sedikit dari biasanya ya?.
Ayo di komentari biar aku cepet up lagi lanjutannya.
Terima kasih.