Lihat memori, lihat judul2 KBM-ku mo ngakak. WAKAKAKAKAKAKAK
Isinya sama, cuma judulnya emang disesuaikan sama platform. Lol
Aku tersenyum melihat Mas Reza yang wajahnya begitu mirip Mas Bram. Hanya lebih pendek, gempal, dan sedikit lebih gelap. Mungkin karena pengaruh sering bepergian ke mana-mana.
Mas Bram menggerakkan tangannya memperkenalkan kakak kandungnya itu. "Ini anak pertama keluarga Bimantara, Reza Fazuar Bimantara."
Aku mengatupkan tangan di depan dada membalas uluran tangan Mas Reza. Ipar bukan mahram. Aku tidak boleh bersalaman dengannya. Itu yang diingatkan Mas Bram tadi pagi.
Namun, Mas Raza justru mengerutkan kening heran. Tak tahukah dia kalau ipar bukan mahram?
Aku mengulurkan tangan pada istrinya. Namun, justru dia berbalik membalasku dengan mengatupkan tangan di dada. Kali ini aku yang mengerutkan alis bingung. Apa dia membalas perlakuanku pada suaminya? Aneh sekali pasangan ini.
Namun, Mas Bram keburu mendorongku menjauh dari wanita itu seolah memahami kebingunganku. Mami memilih maju menggantikan posisi Mas Bram. Pantas saja Mas Bram jarang membicarakan keduanya. Berbeda denganku yang sering menceritakan tentang Mbak dan Ibu.
Mbak Laura, itu yang Mami katakan saat memperkenalkan kami. Wanita dengan tubuh semampai itu kuperkirakan lebih tinggi dariku yang saat ini mengenakan heels lima senti. Tubuhnya sintal dan baju yang dikenakannya hari ini seksi sekali. Berbeda dengan Mami yang tampil anggun dengan gamis model kebaya putih berenda.
Laura memamerkan bahu mulus, juga sedikit paha yang tersingkap dari rok ketat pendek dua jari di atas lutut. Bahkan dia tidak malu menggunakan lower V neck style yang memperlihatkan lekuk payudaranya yang berukuran cukup besar. Riasan wajahnya sangat sempurna dan mungkin lebih heboh daripada riasan yang kukenakan. Seolah Mbak Laura lah yang akan menikah hari ini. Rambutnya digulung ke atas memperlihatkan leher panjang dan seksinya. Memang, kalau kuperhatikan, banyak mata pria di ruangan ini memandangnya penuh kekaguman. Padahal hanya keluarga dekat, tapi ternyata cukup banyak. Mungkin sekitar tiga puluh orang tamu.
Mungkin ini alasan pernikahan yang benar-benar Islami harus memisahkan tamu laki-laki dan tamu perempuan. Akan tetapi, rencana Mas Bram ini ditolak tegas oleh Mami dan kabarnya atas bujukan Mas Reza. Aku pun bisa maklum. Memang tidak mudah untuk menjalankan sunnah jika ada keluarga yang jelas-jelas masih tidak berjilbab padahal muslimah. Apalagi Mas Bram statusnya adik yang biasanya harus menurut pada kakaknya.
Namun demikian, jujur, aku masih penasaran kenapa PT Sakana justru diserahkan pada Mas Bram sebagai anak kedua. Padahal, biasanya anak sulung laki-laki lah yang akan mewarisi perusahaan keluarga. Apa ada hubungannya dengan istrinya? Aku berusaha mengenyahkan rasa penasaranku sejenak. Tidak ada gunanya berpikir lebih jauh. Itu tidak akan mengubah kenyataan kalau Mas Bram dianggap lebih kompeten mengurus perusahaan.
Kami pun duduk di meja makan dengan aneka hidangan yang begitu mewah dan meriah. Perlahan aku pindah dari kursi roda ke kursi makan yang lebih tinggi dibantu oleh Mas Bram. Sebenarnya nyerinya sudah tidak separah awal-awal. Aku pun sudah bisa berjalan-jalan. Namun, Mas Bram benar-benar ingin memastikan aku tidak terlalu lelah di hari istimewa ini. Dia masih dengan setia mendorong kursi rodaku setelah kami resmi menjadi suami-istri.
Kami pun mulai menikmati hidangan. Berulang kali Ibu memberiku kode untuk memulai pembicaraan tentang rencana mengundang Mas Adnan pada Mas Bram. Aku merasa rikuh. Haruskah aku membicarakan ini sekarang? Memang di meja utama, hanya ada aku, Mas Bram, Mami, dan ibuku. Keluarga lain termasuk Mbak berada di meja yang berbeda. Kami bisa bebas bicara di sini.
Kulirik Mas Bram yang entah kenapa justru lebih sering memandangku daripada hidangan di hadapannya.
"Apa ada yang aneh di wajahku?" bisikku cemas. Aku khawatir ada lipstik menodai gigiku.
Mas Bram tersenyum penuh arti sambil mengangguk. "Aku baru sadar satu hal tentang wajahmu."
Tanpa sadar aku langsung meraba wajahku cemas. Berharap tidak ada sesuatu menempel di tempat yang bukan seharusnya.
"Ternyata, kamu jauh lebih cantik dari yang biasa aku lihat sesekali. Sekarang aku bisa sepuasnya memandangimu tanpa perlu khawatir lagi seperti sebelum kita menikah."
Wajahku langsung merona dan aku pun menunduk. Mas Bram tiba-tiba menjepit lembut daguku dengan telunjuk dan jempolnya serta mengangkatnya sedikit. "Kamu nggak usah malu. Aku cuma ngomong apa adanya."
"Ehem...." Suara deham Mami Lena hanya membuat Mas Bram menoleh sedikit dan mengangkat bahu seolah tak bersalah. Aku tak terlalu memperhatikan bagaimana reaksi semua orang di meja lain apa mereka juga memerhatikan hal tadi, karena aku sibuk menunduk malu.
"Oh, iya Nak Bram," tiba-tiba Ibu angkat bicara. "Soal mengundang Adnan. Apa tidak sebaiknya tidak perlu diundang saja saja? Jujur, Ibu khawatir."
Baru saja Mas Bram hendak membuka mulut, Mami Lena memberi isyarat kecil agar dirinya saja yang bicara. Mas Bram pun hanya mengangguk tipis mempersilakan.
"Bu, saya mengerti sekali rasa marah dan dendam yang Ibu rasakan karena wanita sehebat Raya diperlakukan demikian oleh Adnan." Kalimat pembuka Mami langsung mampu membuatku tersentuh. Wanita itu menyesap jus jeruknya sedikit sebelum melanjutkan kalimatnya. "Memang dengan tidak mengundang Adnan, semua akan terkesan baik dan mudah. Namun, percayalah, ke belakangnya tidak akan semudah itu."
Ya ... aku sudah bercerita pada Mami Lena tentang semua keburukan dan kenekatan Mas Adnan jika ingin merebut Daffa.
"Lebih baik, perkara ini diselesaikan di tempat terbuka, di depan banyak orang. Keluarga Bimantara tidak boleh memiliki skandal. Segala bentuk kejadian yang bisa menimbulkan kesalahpahaman, harus segera diperbaiki secepatnya. Begitu pula dengan hubungan Adnan dan Raya."
"Tapi, bagaimana kalau justru Adnan mengamuk dan merusak pesta? Apa nanti justru nama baik keluarga Bimantara akan rusak?" Ibu masih merasa sangat tak yakin. "Risikonya terlalu besar kalau mau mengundang Adnan." Dari ekspresinya, Ibu jelas mengkhawatirkan banyak hal. Beliau sampai tidak banyak menyentuh makanan yang terhidang di hadapannya karena bimbang. Kebencian juga kekhawatiran bergumul menjadi satu.
"Bram sudah mempersiapkan semuanya seperti biasa. Ibu dan Raya tenang saja." Mami melirik Mas Bram memintanya bicara.
"InsyaAllah, Bram sudah mempersiapkan semuanya. Seminggu lagi masalah dengan Adnan akan tuntas." Mas Bram bicara dengan nada penuh percaya diri.
"Boleh Ibu tahu rencananya seperti apa?"
Bram hanya tersenyum dan menyesap minumannya. "Ibu tidak perlu memikirkannya. Kalau Bram beritahu sekarang, Ibu bisa stres dan nanti malah tensinya naik lagi."
Ibu tampak mau membuka mulut ketika Mas Bram memotong.
"Bram tidak akan gegabah. Bram tidak akan melakukan sesuatu yang bisa melukai Raya. Ibu tidak usah cemas. Jadi, Bram mohon percayakan semuanya pada Bram. Ya?"
Ibu mengalihkan pandangannya ke arah Mami yang justru mengangguk mendukung ucapan Bram. Ibu akhirnya menarik napas dan mengangguk setuju.
Kini, tinggal aku yang dipenuhi was-was.
23 Agustus 23
Btw, ini Bab terakhir yang ada draft-nya. Mulai besok start dr nol vote-nya. Ahahahaha
Ada yang julid sama Shirei krn Shirei dianggap ga sukses ceritanya. View dll kecil pdhl follower banyak.
Sini atuh, jangan pakai anonim kalau mau nge-julid. Padahal, Shirei nggak pernah senggol-senggol author lain. Kok disenggol-senggol. lol Ketawain aja.
Anyway.... mohon doanya.... TITIK BUTA [cerita aksi yg di Joylada] mau diikutkan ini. Doakan yang terbaik , yaaaa!
vote : 249