Sayup-sayup suara azan pertama merambat dari corong-corong pengeras suara masjid menembus udara dingin yang menyelimuti sebuah rumah di tengah hutan. Di depan halaman bangunan tua beraksitektur kolonial itu tampak terbujur 8 mayat dengan posisi mengenaskan. Masing-masing mengenakan pakaian serba hitam dengan tubuh kekar yang sudah kaku dan mulai membusuk.
8 jam sebelum itu…
“Hei, coba pikirkan ini!” bisiknya kepada gadis cantik yang sedang bersamanya di bukit itu, sembari tangannya menunjuk ke langit. “Bintang… termasuk salah satu nama surat yang ada dalam Al-Qur’an. Kamu tahu kan, di dalam surat itu Allah bersumpah dengannya?” ujar pemuda itu semangat. “Pastilah bintang memiliki keutamaan, sehingga Allah bersumpah dengan menyebut Demi Bintang,” tutur sang pemuda disusul angin dingin sepoi-sepoi membelai rambutnya yang ikal. “Bahkan Nabi Ibrahim sempat menganggap bintang sebagai Tuhan,” Lanjut pemuda itu sembari meraih sesuatu di dalam sakunya sebelum ia melanjutkan, “Tapi ada yang lebih menarik.. benarkah bintang merupakan alat melempar setan?” tanya pemuda itu tepat saat di langit terlihat jelas sebuah bintang jatuh.
Sepasang mata sahabat perempuannya yang teduh terpana melihat pemandangan yang langka itu. Sang pemuda belum sempat menyadari hal itu, namun ia sudah melanjutkan pemikirannya, “Tapi menurutku, kebanyakan kita mengenal bintang hanya sebagi benda langit yang bercahaya yang hanya dimanfaatkan sebagai penunjuk arah. Padahal, seperti yang pernah kubaca dalam ensiklopedi, ada 70 sekstiliun atau 7×10 pangkat 22 bintang di semesta ini, “ungkapnya sambil menghela nafas. “Pernahkah kamu memikirkan hal itu?” seru sang pemuda. “Itu pun baru perkiraan saja. Sementara jumlah yang sesungguhnya… hanya Allah yang Maha Mengetahui,” tutupnya dengan tangan teatrikal terbuka lebar ke langit dan senyum puas seakan ia baru saja berkeliling angkasa.
Di bawah keindahan gemerlap langit berbintang, diwarnai kecantikan wajah gadis yang sama sekali belum menunjukkan ekspresi apa pun itu, akhirnya menyadarkan sang pemuda betapa wajah sahabatnya begitu indah―mengalahkan indahnya pemandangan langit malam itu. Namun ia tersadar untuk segera mengajukan satu pertanyaan serius.
“Sekarang, jika ada satu saja bintang yang menghilang dari sekian banyaknya bintang yang ada, apakah menjadi masalah bagimu, Astrid?” Sembari memberikan gadis itu sebuah benda yang sejak tadi ia genggam.
Seketika gadis itu menoleh kepadanya. Ada keanehan, karena sebenarnya sejak tadi Astrid Prisilia Alisha juga menanyakan hal yang sama dalam pikirannya. Siapakah yang akan merasa kehilangan jika ada satu bintang yang hilang?
…
Itulah kenangan Rio tiga tahun lalu pada acara Malam Keakraban Mahasiswa Baru di tepi Danau Telaga Dewi puncak Gunung Singgalang.
Kini, berkali-kali dalam hatinya menanyakan hal serupa. Sebagaimana berkali-kali dia menahan maki atas pria misterius itu. Pria tegap yang tak pernah mau mengabulkan permintaannya sekadar untuk memberikan alat tulis.
Oh, biarlah hancur tubuh ini kalian pukuli, aku masih sanggup menahannya. Tapi aku sudah tidak tahan lagi ingin menulis.
“Pak…”
Hampir-hampir Rio merengek minta diberikan alat tulis. Namun pria misterius itu hanya meninggalkan suara langkah kaki yang semakin menjauh.
Sembari tersandar lemas, ia perhatikan lagi baju yang melekat di badannya. Bentuk dan aromanya membuat ia merasa sudah terlalu lama berada di sini.
Tapi mengapa para pengecut sial itu belum melakukan apa-apa terhadapku? Apa sebenarnya yang mereka inginkan? Jangankan memukul, bahkan mereka belum berbicara sepatah kata pun padaku.
Mungkinkah mereka hendak menyiksaku dengan sunyi? Membiarkanku mati kesepian di kamar busuk ini?
Tapi, apa salahku sehingga mereka mengunciku di kamar pengap seperti ini? Apakah ini karena aksiku waktu itu?
Sesekali Rio masih mengucek-ngucek matanya yang sampai saat ini masih terasa perih. Rasa perih yang mengingatkannya pada kejadian siang itu.
…
“Hei, Rio…!” Seorang gadis bermata coklat muda menyapanya dengan napas setengah ngos-ngosan. “Kamu baik-baik saja, kan?” gadis itu bertanya sambil mengatur napasnya. “Dari tadi aku mencari-cari kamu.” Tampak keringat mengalir di sela-sela jilbab cokelatnya.
“Astrid..? Kamu, kok..? Kamu sedang apa di sini?” tanya Rio cemas bercampur senang, karena bisa melihat wajah cantik Astrid juga hadir dalam demonstrasi akbar itu.
Sambil tersenyum Astrid menjawab, “Bukan mahasiswa namanya kalau hari ini tidak turun ke jalan.”
Kata-kata Astrid memang sederhana, namun berhasil membuat Rio bertambah semangat. Sebenarnya bukan hanya kata-katanya, melainkan melihat senyum anak Direktur harian terkemuka itu. Manis sekali.
Hingga, tiba-tiba suara tembakan beruntun mengejutkan mereka. Para demonstran tampak panik. Seketika suasana semakin kacau, membuat Rio dan Astrid terpisah di antara lautan massa pendemo.
Yang ia ingat, saat itu suasana semakin memanas. Polisi berusaha mendesak mundur dengan menembakkan gas air mata ke barisan demonstran.
“Bangsat..!” seru Rio sambil berlari maju. Seorang mahasiswa lainnya sempat mencoba menghentikan Rio dengan menarik jaketnya. Namun Rio justru semakin mempercepat larinya. Ia mencoba meraih salah satu tabung gas air mata yang sudah menyala itu untuk dilemparkannya kembali ke arah petugas. Sayang, Rio kalah cepat dengan reaksi gas yang sudah menggigit matanya duluan. Terlalu perih hingga Rio tak sanggup membuka matanya. Memaksanya tersungkur merangkak di jalan menahan perih.
Sambil meraba-raba aspal dan trotoar, Rio mencoba kembali ke barisan mahasiswa. Lalu dengan sigap seseorang datang dan menggiring Rio ke suatu tempat. Semula Rio mengira orang itu akan membawanya ke rumah sakit, karena ia merasa seperti masuk ke dalam mobil ambulan. Ternyata Rio salah, dan dia semakin yakin bahwa itu bukan ambulan saat Rio sadar sudah berada di ruang pengap ini.
Tampak lagi dua ekor kecoa beringsut di belakang kakinya. “Andai aku bisa berubah menjadi kecoa. Aku bisa langsung kabur dari tempat sial ini,” ujar Rio dalam hati sembari melihat kecoa itu merayap, hilang.
Seakan sudah satu bulan lamanya Rio berada di kamar sempit dan kotor itu. Ia jelas tak tahu bahwa mahasiswa sudah tidak lagi berdemonstrasi di luar sana. Karena kebijakan wajib vaksin sudah dicabut. Namun jelas ia terkenang ucapan sahabatnya, Jimi, siang itu.
“Jim, jika kebijakan itu berhasil kita hilangkan, apakah negeri ini bakal berubah menjadi lebih baik?” tanya Rio serius.
“Itu tidak pasti, hanya kemungkinan. Namun yang jelas kita berusaha, Rio,” ujar Jimi lebih serius lagi.
Jawaban Jimi itu membuat Rio semakin siap. Seakan ia tak peduli negara ini bakal jadi seperti apa. Yang penting berjuang, berjuang dan berjuang. Bahkan saat itu tak terpikir olehnya apakah masih bisa melihat hari esok atau tidak.
Sebelumnya mereka sepakat masing-masing membawa botol kosong untuk dijadikan bom molotov. Rio sendiri meminta bibi menyiapkan satu ransel penuh botol-botol kosong dari rumahnya. Sambil melihat bibi menyiapkan botol, Rio membayangkan betapa indahnya nanti saat molotov itu melayang ke barisan aparat. Tak peduli bangsa ini mau federasi atau bahkan disintegrasi, Rio sudah tak peduli. Yang pasti kebenciannya kepada pengurus negara ini kian memuncak.
Mana ada yang tidak muak dengan pemerintahan yang busuk yang tidak pernah peduli dengan rakyatnya.
Lihat saja, akan aku ledakkan molotov ini di depan kalian, bangsat! Akan aku hanguskan kezaliman kalian!
Tapi, sewaktu di rumah, botol-botol itu sempat membuat ayahnya curiga.
“Untuk apa itu, Rio?” tanya ayah dengan suara khas militer.
“Untuk bisnis,” jawab Rio sekenanya sambil berlalu.
“Hei, kau jangan macam-macam, Rio.” Ayah mulai memperingati dengan wajah yang memerah serta mata yang membelalak seperti berebut mau keluar.
Membuat Rio merasa jengkel. Saking jengkelnya, hampir-hampir ia bawa kabur pistol revolver ayahnya yang disimpan di ruang kerja. Bagi Rio, perkataan seperti itu sudah terlalu sering terucap dari mulut seorang jendral purnawirawan seperti ayah. Padahal Rio berharap, ayah lebih banyak memberi semangat. Sebagaimana yang dulu sering dilakukan ayah kepadanya.
Ya, Rio sangat ingat. Suatu hari, ayah mengajaknya memancing. Sambil mengajarinya cara memasang umpan, ayah bercerita, “Rio, nenek moyang kita adalah pejuang. Kita ini dilahirkan di tanah perjuangan, Nak. Kamu sejak lahir sudah memiliki darah pejuang. Kamu ini keturunan pejuang, Rio. Maka ingat, kamu harus menjadi seorang pejuang pula. Meneruskan tradisi nenek moyang kita.” Begitulah ayah dulu, selalu motivasi anaknya.
Namun itu dulu. Sekarang ayah sudah jauh berubah. Bukan hanya ayah, bahkan Rio merasa seluruh keluarganya sudah berubah.
Hal itu jugalah yang membuatnya tidak betah di rumah. Bukan karena tak ada fasilitas yang memadai di rumahnya. Bahkan lihat saja motor Harleynya yang menganggur di garasi lantaran jarang Rio bawa. Apalagi sejak mogok kemarin, ia lebih suka ke mana-mana naik angkutan umum. Baginya naik angkutan umum terasa lebih merakyat. Satu kali Rio meminjam mobil Porsche Andra untuk mengajak Astrid makan siang di restoran, tapi Astrid akhirnya memaksa untuk makan bakso pinggir jalan.
Studio musik―impian para anak muda―dibiarkan Rio begitu saja. Sudah lama alat-alatnya tidak ia sentuh karena Rio jarang pulang. Hanya beberapa kali gitar elektrik impor, hadiah dari teman ayahnya, ia bawa main ke kampus. Selebihnya Rio dan band The Star lebih sering latihan di studio rental.
Kalau perabotan di rumahnya jangan ditanya. bunda Rio, sang pengusaha sukses yang super sibuk, paling rajin mengoleksi perabotan lux. Namun belakangan Rio merasa bunda tidak sempat lagi memperhatikan dirinya yang masih ingin bermanja-manja. Sampai-sampai bundanya tidak tahu kalau Rio sudah pernah mencicipi narkoba.
Padahal hanya ada dua orang anak yang dilahirkan bunda, Rio dan si bungsu, Andra, adik perempuan Rio yang cantik tapi cerewetnya minta ampun. Setiap kali Rio pulang pasti Andra selalu merecokinya. Entah apa, pokoknya ada saja yang dipermasalahkannya.
Pernah suatu hari Rio menyuruh Andra memakai jilbab ke kampus.
“Iya, pakailah jilbab ke kampus, biar kamu makin cantik!” seru Rio sambil membayangkan wajah cantik Astrid yang selalu berjilbab.
Namun seperti biasa, Andra selalu menjawab, “Tenang Rio, semuanya butuh proses.”
Benar, memang semua butuh proses. Bahkan mungkin saat ini bunda dan Andra sedang memproses rasa khawatir, cemas, dan was-was menjadi satu. Karena sudah dua minggu Rio tidak pulang. Mungkin juga tidak. Mungkin Andra saat ini sedang asik membahas tren model pakaian terbaru bersama teman-temannya. Mungkin bunda sekarang sedang sibuk melayani orderan berlian ketimbang pusing memikirkan Rio. Namun yang pasti saat ini Rio merindukan mereka, terutama bunda. Tampak bintik air mulai menggenang di sudut mata Rio saat ini.
Memang, kepada bundanya Rio lebih sering diam seribu bahasa. Setiap kali bunda bertanya, “Rio, kamu ini kenapa? Ada masalah apa? Cerita dong sama Bunda!”
Selalu dijawabnya, “Tidak kenapa-kenapa.” Atau hanya dijawab dengan sekadar menggelengkan kepala. Rio terlalu malas bercengkrama dengan bunda. Sebab baginya sama saja, semua yang dilakukan kedua orang tuanya hanyalah basa-basi. Ia merasa seolah orangtuanya sebenarnya tidak peduli dengan kehidupannya. Rio merasa mereka sama sekali tidak peduli anaknya bakal jadi apa. Itu semua berawal dari keringnya perhatian mereka dari apa yang Rio cari-cari selama ini. Sehingga dia harus mencarinya sendiri.
Ia mendatangi semua tempat. Hutan, gunung, sungai, danau, laut. Gedung bertingkat, jalan raya, gang sempit, parit-parit. Bahkan tempat pembuangan sampah pun ia datangi. Siapa tahu yang ia cari ada di sana. Ia mencari dirinya sendiri.
Namun bagi orang tua Rio malah sebaliknya. Justru yang tampak adalah Rio sedang berontak kepada mereka. Pernah satu kali Rio menanyakan pada Astrid, ”Menurut kamu, apakah aku terlihat seperti pemberontak, Astrid?”
Satu pertanyaan serius. Namun dengan sebuah senyuman Astrid malah balik bertanya, “Menurut kamu sendiri bagaimana?”
Hingga akhirnya Rio meyakini…
Baik, aku memang pemberontak. Memang aku sedang berontak. Bukan cuma kepada orangtuaku, tapi aku berontak kepada semua orang. Aku juga berontak terhadap sistem di negeri ini. Aku berontak kepada semua hal. Aku berontak kepada dunia!
P E M B E R O N T A K…!
Bagaikan mantra, satu kata ini kian mengiang-ngiang di kepalanya. Mengingatkan Rio pada para tokoh legendaris yang pernah mencerahkan peradaban manusia namun mati dengan tuduhan pemberontak.
Tiba-tiba imajinasi Rio terbang tinggi demi sebuah puisi. Kali ini Rio benar-benar tidak tahan lagi. Seakan ia sedang sakau. Hasrat ingin menulisnya pun melonjak.
Duh, aku benar-benar tak tahan lagi. Harus bagaimana sekarang? Rio semakin gelisah.
Dengan apa lagi aku bisa menulis? Sungguh, aku tak tahan lagi.. jerit Rio dalam hati sembari menggigit ujung jarinya, berharap segera luka dan mengalirkan darah untuk dijadikan tinta. Namun ternyata Rio tak setangguh itu.
“Hoi…!!!” kali ini Rio tak bisa menahan emosinya.
Ia pun berteriak lagi.
“Tahi anjiiing… kaliaaan…! Aku cuma minta alat tulis… Tapi…
Dasar kalian… Anjiiing…!”
“Hoi…!!!” Rio semakin teriak sekuat-kuatnya.
“Anjing kalian semuaaa...!!
“Baabiii….!!!”
Wah, gila. ujar Rio dalam pikirannya.
Namun pria di balik pintu sangat memahami teriakan Rio menandakan saat ini ia sudah sangat stres. Di saat yang sama Rio justru merasakan sensasi yang lumayan enak di tubuhnya setelah teriak-teriak barusan. Rasanya seperti baru selesai konser 5 benua, pikir Rio.
Entah ada orang yang mendengar atau tidak, Rio tak tahu. Tapi memang ada sedikit beban yang terangkat setelah ia teriak tadi. Berteriak memaki pria-pria itu merupakan salah satu hal yang sudah lama ingin ia lakukan. Seakan inilah yang sebenarnya ia butuhkan, dan akhirnya bisa ia lepaskan meski hanya lewat celah kecil tempat untuk melihat yang ada di pintu besi kamar lembab ini.
“Hoi…!!!” Rio pun mulai berteriak lagi sekuat-kuatnya. Namun kali ini bukan untuk memaki. Tapi sekadar untuk mengurangi kegelisahannya berada di sini.
Wah, lama-lama aku bisa ketagihan berteriak juga. Ah, masa bodoh.
Rio bersiap untuk teriak lagi. Namun kali ini berbeda. Rio tampak menarik napas panjang. Lalu mulai berteriak sekuat-kuatnya…
Oh, bawalah aku selalu ke langit biru
Biarkan aku di sini, biarkan aku nikmati
Belaian sinar mentari hangatkan jiwaku ini
Kan ku cumbu indah wajah mu puaskan rasa hatiku
Oh…
Rio masih berteriak…
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
Di sana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diam
Aku siapkan untukmu
P E M B E R O N T A K A N …!
Tiba-tiba terdengar suara langkah mendekat. Kemudian suara anak kunci diputar, membuat Rio seketika terdiam.
Rupanya si pria tegap membawakannya makanan. Entah ini sudah jam makan malam atau waktunya sarapan, Rio sudah tak tahu lagi. yang pasti ini kesempatan lagi baginya untuk minta alat tulis.
“Pak. Tolong, Pak! Saya mohon, to…tolong pinjam…kan sa…”
Penjaga itu membanting pintu, kemudian menguncinya cepat, lalu pergi dengan meninggalkan suara langkah kaki yang terdengar semakin menjauh, dan menghilang.
SUNYI. Rio cuma bisa terbengong menatap jatah makanannya yang lagi-lagi membuatnya mual. Ia benar-benar tidak selera makan. Saat ini seleranya hanya ingin menulis. Ya, hanya untuk menulis satu puisi.
AKU INGIN MENULIS… P…U…I…S…I…
AKU INGIN… M...E...N...U...L...I...S…
AKU… I…N…G…I…N…
A…K…U… Rio mulai mengantuk.
…
BAM…!!!
Suara pintu dibanting membuat Rio terbangun. Seorang lelaki berbadan besar masuk dan langsung menendanginya sambil berkata.
“Bangun..! Bangun kau..!!”
Lelaki itu terus menendangnya bertubi-tubi, memaksa Rio bangun.
“Hei, Pak. Ada apa ini sebenarnya?” Suara Rio serak dan pandangannya masih kabur. Bagaimana tidak, belum sepenuhnya sadar sudah langsung ditendangi tanpa diberi kesempatan sekadar mengucek-ngucek mata. Namun sesaat kemudian pandangannya semakin kabur setelah sebuah pukulan mendarat tepat di mata kirinya dan sebuah pukulan lagi hinggap di mata kanannya.
Lelaki berbadan besar itu sigap menangkap kedua tangan Rio lalu memborgolnya. Kemudia ia mengunci tangan Rio ke sebuah rantai lalu menariknya. Rio pun tak lagi menginjak lantai.
“Siapa namamu?” lelaki itu bertanya dengan suaranya khas militer. Sejenak mengingatkan Rio pada ayah.
“…Namaku Agung Satrio...!” jawabnya lantang. “Kalian sebenarnya mau apa, hah?” Rio balik bertanya.
Sebuah tinju pun mendarat lagi. Kali ini tepat di perut Rio.
“Ugh…” Rio mengerang kesakitan. Belum pernah ia merasakan perutnya ditinju sesakit ini.
“Mengapa kau di sini?” tanya si badan besar.
“Hah… Bukannya kalian yang membawaku ke sini, anjing..!?” Rio histeris.
Lelaki itu melancarkan tinjunya ke perut Rio–lagi.
“Ugh…” Rio kembali mengerang kesakitan.
“Mengapa kau di sini…?!” si Badan besar mengulangi pertanyaannya.
“A..a..aku… Ah..!! Ugh…!!”
Belum lagi selesai bicara, dua upper cut sudah mendarat secepat kilat di kepala Rio. Membuatnya merasa sangat pusing. Seolah kepalanya melayang jauh meninggalkan leher. Darah pun mulai berceceran di wajah Rio.
Belum sempat normal rasa kepala Rio, si badan besar menambahkan sebuah tendangan keras ke arah kemaluan Rio.
“Ugh..hhhff….” Tampak Rio menggelatar menahan rasa kesakitan. Ia pun sulit bernapas.
“Aku bukan tipikal manusia epistemik. Jadi, kau katakan saja mengapa kau di sini!” Si Badan besar mengulangi.
Rio jelas tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Bukan hanya karena ia sedang kesulitan bernapas dan berjuang mengendalikan rasa sakit yang tak tertahankan, tapi Rio benar-benar tidak tahu mengapa dia ada di sini.
Rio semakin gelisah. Bingung dan marah, bercampur rasa sakit yang tak tertahankan. Entah bagaimana perasaannya saat ini.
“Kau membuang-buang waktuku saja.” Seru si badan besar sambil memberi bonus sebuah tinju tepat ke kepala Rio. Membuat tubuh dan juga pikiran Rio terayun-ayun. Sekarang tubuhnya sudah sangat lemah. Wajahnya kian banjir darah. Perasaannya pun semakin gelisah tak menentu. Rio merinding―krisis.
Diwarnai kegoncangan seperti itu, sayup-sayup dari kejauhan Rio mendengar suara yang selama ini selalu ia abaikan. Tubuhnya sudah semakin lemah hingga suara sayup itu terdengar begitu pelan. Namun pendengarannya masih bisa memastikan bahwa itu suara azan.
Rio mencoba menghayati suara tersebut―begitu damai.
Tanpa sadar, perlahan Rio bisa menarik napas lagi. Napasnya pun mulai teratur. Sembari menghayati merdunya suara azan di luar sana, ia pun menarik napas panjang―sepuasnya. Tiba-tiba ia merasa rindu untuk salat. Bukan sekadar salat, melainkan sholat berjamaah ke masjid di mana suara azan pertama sebelum Subuh berkumandang saat ini.
Namun hati Rio berkata, sudah terlambat. Lagi pula bagaimana aku bisa keluar dari sini?
Di sela-sela suara azan itu batin Rio menangis.
Ya Allah…
Ampuni aku...
Dalam keadaan seperti ini baru aku mengingatMu.
Ya Allah… ke mana saja aku selama ini?
Mengapa selama ini aku tidak menyahut panggilanMu?
Ya Allah…
Benar-benar aku rindu bersimpuh di hadapanMu..
Ya Allah… izinkanlah aku salat sekali lagi. Aku berjanji, jika aku bisa keluar dari tempat ini, aku akan rajin salat… ke masjid.
Tiba-tiba Rio sepeti mendapat akal.
“Hei, Pak..!” Ucap Rio lemah berlumur darah. “Turunkan aku..!”
“Tidak!” Tegas si Badan besar. “Kau jawab dulu, mengapa kau di sini…?!”
“Aku tak tahu...” Jawab Rio lemas.
“Apa katamu, aku kurang dengar?” ejek si Badan besar.
“Aku bilang..” Rio semakin lemas. “Aku tak tahu...”
“Bagus. Jadi kau tak tahu mengapa kau ada di sini, ya?” si Badan besar tersenyum puas. Seolah itulah jawaban yang diinginkannya sejak tadi. “Kalau begitu kau dengarkan baik-baik―mengapa kau ada di sini!” Ucap si Badan besar sembari meninju rusuk Rio.
“Ugh..” Rio semakin mengeletar menahan sakit.
“Dengar! Kau ada di sini karena kau telah menjadi korban, sebagaimana pemuda-pemuda tolol lainnya. Korban dari sebuah ambisi buta, hingga kalian tak sadar menjadi robot yang digerakkan secara sistematis dari balik layar.” Ucap si Badan besar bagai sedang berpidato.
“Sekarang kau di sini karena tuduhan melawan pemerintah. Juga melakukan provokasi radikal dan tindak terorisme. Namun kau tak perlu khawatir,” si Badan besar sediki terkekeh. “Karena kami akan membebaskanmu dan juga melindungimu jika kau mau bekerjasama.” Si badan besar membicarakan hal yang sama sekali belum bisa Rio mengerti, terutama soal terorisme. Namun Rio kini terlalu lemah untuk sekadar interupsi.
Si badan besar pun melanjutkan, “Kau tahu, bundamu telah mencemaskanmu. Ia telah membuat laporan kehilangan atas dirimu.
Jurus si Badan besar berhasil melemahkan mental Rio. Mendengar kata ‘bunda’ membuat perasaan Rio luluh. Karena sebenarnya Rio juga ingin segera menemui bundanya. Ia merasa bersalah atas perilakunya selama ini.
Rio pun mengumpulkan sisa-sisa tenaganya untuk bertanya. “Bagaimana caranya?” Bisik Rio. “Bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari sini?”
“Kau cukup menandatangani surat ini.” Ujar si Badan besar sambil menunjukkan sebuah kertas. Tampak jelas sebuah logo bergambar burung, bertuliskan CIA.
C..I..A..? Rio bertanya dalam hati sementara tubuhnya masih tergantung dan wajahnya bermandikan darah. Mengapa CIA minta aku bekerjasama dengan mereka? Batin Rio penasaran. Namun ia terlalu lemah untuk menanyakannya.
“Kau tahu, kami telah lama menjalankan sebuah program khusus untuk anak muda penuh semangat sepertimu. Kami ingin kau menjadi salah satu agen kami, di sini. Yang pasti kami punya penawaran menarik untukmu.” Si Badan besar bergegas keluar memanggil seseorang.
“Untuk sementara kau diam di sini, dan tolong―jangan pernah kau berteriak lagi!” seru si Badan besar sambil membanting pintu.
“Ta…tapi, turunkan a…”
“BAM..!!” Pintu dibanting. Si Badan besar tak menghiraukan permintaan Rio.
“Hei…! Kau akan menyesal, bangsat…!” Dengan sisa-sisa tenaganya Rio berteriak. “Kau tidak tahu aku ini siapa, hah…! Dasar anjing kau…!” Umpat Rio.
Pintu kembali terbuka dengan cepat. Si Badan besar langsung masuk tanpa berkata apa-apa lagi. Hanya tangan dan kakinya yang berbicara.
Sekarang Rio benar-benar babak-belur. Wajahnya yang putih sekarang sudah merah-basah oleh darah. Pandangannya sudah semakin kabur.
Tiba-tiba…
“DOR!!!”
Rio sudah tidak bisa melihat apa-apa lagi. Namun tampak bayangan si Badan besar roboh.
Mata Rio kini kian tak bisa melihat, hanya telinganya mendengar suara tembakan. Seketika sesosok bayangan mendekatinya. Sepertinya bayangan tersebut mengacungkan sebuah benda kearahnya. Hingga…
“DOR!!!”
Sebuah tembakan lagi membuat Rio terjatuh. Rio terlepas dari rantai yang menggantungnya sejak tadi. Seorang pria sigap menghampirinya.
“Rio, kamu tidak apa-apa?” Bisik sang pria misterius itu. “Aku Bayu, ajudan ayahmu.” Pria itu menjelaskan.
Rio terlalu lemah untuk berkata-kata. Menyadari hal itu, Bayu segera mengangkat Rio keluar. Namun tiba-tiba seorang lelaki berbadan tegap lainnya masuk.
“Hei..!”
Bayu pun taktis membidik pistolnya ke arah lelaki itu.
“DOR!!!” Seketika lelaki itu tumbang.
Bayu menggendong Rio, membawanya keluar dari tempat itu.
Angin dingin seketika menyapa tubuh Rio yang kian lemah. Ternyata di luar sudah hampir Subuh. Tampak pula 8 mayat berbadan tegap terkapar di tanah. Bayu menggendong Rio menyusuri hutan di belakang rumah tadi. Hingga tak lama kemudian mereka tiba di sebuah pohon besar tempat Bayu menyembunyikan motornya.
Dari kejauhan sana terdengar suara ribut orang-orang berlarian setelah terdengar semacam perintah,”Cari sampai dapat, hidup atau mati!”
Bayu bergegas membuka sabuk dan mengikatkan tubuh Rio ke tubuhnya sebelum ia menyalakan motor. Sesaat kemudian mereka pun melaju di tengah gelapnya hutan pinus. Hingga mereka berbelok melintasi jalan desa. Tak lama kemudian mereka menyebrangi jembatan. Selepas itu mereka sudah melaju kencang di jalan raya. Hingga satu jam berlalu, mereka pun masih terus melaju.
Angka di speedometer menunjukkan 119 Km per jam. Diterpa deru angin kecang, Rio mulai tersadar. “Eh.. ke mana kita?”
“Tenang, Rio.” Jawab Bayu. “Aku akan membawamu ke tempat aman.”
Tiba-tiba Rio teringat seseorang. “Em.. bagaimana kabar Bunda?”
“Bundamu baik-baik saja. Dia sangat mengkhawatirkanmu.”
“Bagaimana kau bisa menemukanku?” Tanya Rio heran.
“Ah, terlalu sulit untuk diceritakan sekarang. Yang jelas kini kau harus bersembunyi, dan kau juga harus menggunakan identitas baru.” Terang bayu. “Aku akan bantu mengurus semuanya.”
“Tapi, kenapa?” Rio masih bingung dan penasaran.
“Sudahlah. Nanti kalau kau sudah tenang akan aku ceritakan. Sekarang, katakan kau ingin nama barumu siapa, Rio?”
Rio terdiam. Rambut ikalnya diterpa angin sembari ia menatap ke arah langit. Lalu Rio tersenyum kecil sembari berkata, “Bintang.”
Setengah jam kemudian Bayu bergegas mengarahkan motornya ke jalan desa yang berliku-liku. Lalu berbelok ke jalan yang lebih kecil lagi. Hingga satu jam kemudian mereka tiba di halaman sebuah rumah, tepat di samping sebuah masjid.
Saat itu suara azan subuh terdengar begitu jelas tatkala seorang pemuda tengah mengingat akan janjinya.
Bayu pun menyapa pemuda itu sambil tersenyum, “Selamat datang di rumah pamanku.. Bintang.”
bersambung…