Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Aku?" Pria itu menghentakkan tongkatnya ke tanah. Langit merah runtuh dan berganti menjadi hitam. Jutaan gagak bertengger di pohon-pohon yang sudah kering dan mati. Aroma busuk mulai menerobos masuk, hingga membuat Harits muntah. Pria itu berjalan mendekat ke arah Harits. "Aku adalah apa yang kalian sebut dengan--kematian."
"Kematian?" Harits memicingkan matanya, tetapi ketika menyadari sebuah kemungkinan, matanya terbelalak.
"Malaikat maut yang kau temui dulu levelnya jauh di bawahku. Merenunglah, pikirkan semua dosamu. Orang yang paling kuat adalah mereka yang bisa mengendalikan dan bijak dalam menggunakan kemampuannya. Kau yang sekarang ini hanyalah orang bodoh."
Hartis berusaha beradaptasi dengan lingkungan ini. Jangankan untuk berdiri. Untuk bernapas saja rasanya sulit.
"Kemampuan arwah itu bertingkat. Semakin tua eksistensi arwah itu, mereka akan membuka potensi-potensi yang selama ini tertidur ketika masih hidup. Beberapa arwah yang ada di dunia kalian itu lemah, meskipun yang berlevel tinggi. Itu karena perbedaan dunia. Kemampuan mereka dibatasi karena membutuhkan energi untuk mempertahankan wujud mereka," lanjut pria itu. "Bagaimana jika kau yang merasa kuat itu, berada di perbatasan dua alam? Sejujurnya, makhluk-makhluk yang kau bunuh itu, mereka kuat di alam mereka sendiri." Pria itu memutar tubuhnya dan berjalan pergi.
"Hey, tunggu!" Pandangan Harits mulai kabur. Pria itu menghilang ditelan kabut tebal.
"Tuan Yama sibuk. Aku yang akan menanimu bermain, bocah."
Harits menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya seorang anak kecil sedang menyeringai ke arahnya. Bocah? Siapa yang bocah?!
"Jika kau berhasil menyentuhku, aku akan memulangkanmu," lanjut bocah itu masih dengan seringainya.
"Oke. Ini akan cepat." Harits yang sudah merasa beradaptasi dengan Alam Suratma, kini berjalan ke arah bocah itu.
Melihat Harits yang berjalan dengan indahnya bocah itu menggeleng. "Kau terlalu santai, bocah. Perhatikan sekelilingmu."
Mata-mata merah menyala itu membuat Harits merinding. Makhluk-makhluk ini tidak memiliki hawa keberadaan dan tak terdeteksi aura membunuhnya, tetapi Harits paham bahwa mereka lapar.
"Ayo cepat! Sebelum kau jadi santapan mereka."
***
"Nad, aku sama Deva keluar dulu ya, mau cari makan. Kamu mau nitip apa?" tanya Melodi yang berdiri di depan pintu kamar Nada.
"Enggak mau nitip apa-apa."
"Yaudah, kalo tiba-tiba pengen apa nanti chat aja, aku beliin."
Nada mengacungkan jempol andalannya.
Ketika suara motor Melodi terdengar dan menjauh, Nada segera turun untuk mengambil segelas air. Namun, baru saja ia hendak mengambil gelas, tiba-tiba Nada menyenggol gelas lain hingga terjatuh dan pecah.
Firasatku kok enggak enak, ya?
Gemerincing lonceng berbunyi, membuat Nada menoleh. Abet datang membawa beberapa bungkus makanan. "Pada ke mana?"
"Melo sama Deva beli makan."
"Yah, padahal udah aku beliin. Jadi sayang-sayang nih. Harits ada?"
"Harits--keluar. Enggak tau ke mana." Nada menatap puing-puing kaca yang berserakan di lantai. Ia mengambil sapu dan mulai membereskan pecahan-pecahan itu, hingga gerombolan orang bersama dengan Deva dan Melodi datang ke Mantra. Deva berlari naik ke atas, kemudian turun membawa kunci mobil.
"Mas Abet, bisa bawa mobil?" ucapnya dengan nada ngos-ngosan.
"Kenapa? Itu ada apaan rame-rame?" tanya Abet heran.
"Pas mau ke Indongaret, ada rame-rame, aku sama Melodi penasaran dan coba lihat situasi. Ternyata Harits tergeletak. Menurut pengakuan orang sekitar, dia teriak-teriak sendiri terus tiba-tiba jatoh dan enggak sadarkan diri. Detak jantungnya lemah banget. Ini mau ke rumah sakit, tapi aku enggak bisa bawa mobil. Kalo, mas Abet bisa, tolongin dong, daripada minta tolong warga, enggak enak."
Abet segera mengambil kunci mobil dan berlari. "Ayo!" Mereka berdua menyusul Melodi di depan dan segera memasukan Harits ke dalam mobil. Nada hanya terdiam dan tak mampu bergerak. Gadis itu hanya menatap mobil Deva yang perlahan menjauh dan hilang dari pandangannya. Hingga keadaan menjadi sepi kembali.
Gemerincing lonceng di pintu membuat Nada yang sekarang sedang duduk merenung jadi menoleh. Dilihatnya Jaya yang baru saja datang. "Pada ke mana? Kok tumben belum prepare."
"Semua lagi bawa Harits ke rumah sakit."
"Mas Harits kenapa?!"
Nada hanya menggeleng. Matanya berkaca-kaca. Jay segera menghampiri gadis itu dan duduk di sebrangnya. "Kok mau nangis?"
"Harusnya aku sadar, Harits pasti punya masalah. Makanya dia begitu."
"Begitu gimana?"
Nada menceritakan yang terjadi sebelumnya.
"Menurut saya, ya. Kamu enggak seharusnya deket dan manja ke mas Har," ucap Jaya.
"Kenapa?"
"Dia suka kamu," jawab Jaya singkat. "Dan kamu suka cowok lain. Saya ada di samping dia, waktu dia reject video call dari kontak yang namanya Faris Nugroho. Firasat saya aja sih, dia kenal sama Faris dan tau tentang hubungan kalian. Karena cemburu, dia reject."
"Harits nge reject video call dari Faris?"
"Kamu jangan bilang-bilang. Nanti saya ditonjok," balas Jay sambil tersenyum. "Saran saya aja, kamu jangan ngasih dia harapan kalo kamu emang enggak suka."
"Kamu sendiri sebaiknya jangan suka sama Melodi. Dia udah punya pacar," balas Nada.
"Suka itu adalah sebuah rasa, ia enggak bisa ditahan dan diatur sedemikian rupa. Saya suka Melodi, tapi saya tau dia punya Deva. Saya enggak berusaha buat deketin dia, saya pun sadar siapa saya di mata dia, tapi perkara perasaan ... saya masih suka, dan itu pilihan saya untuk berada di sini walau pun hati saya sakit lihat mereka bersama," balas Jay sambil tersenyum.
"Kamu juga jangan bilang-bilang, ya ...." Nada tampak murung. "Aku lagi ada di fase yang membingungkan. Di satu sisi aku suka Faris, tapi perlahan Harits bikin aku merasa nyaman. Aku merasa Harits itu orang yang paling baik, tapi dia enggak nunjukin dirinya itu baik dan justru terlihat jahat. Dia itu banyak musuhnya dan sedikit temennya. Dia enggak mau ngebebanin orang lain di sekitarnya, dan memilih untuk sendirian. Aku--enggak mau lihat dia yang begitu. Dia punya hak untuk bahagia juga."
"Tapi kamu kesel sama dia? Terus ngambek?"
"Ya abis dianya kelewatan. Ngelempar uang begitu."
"Menurut saya, dia baru pertama kali jatuh cinta. Cemburu, sakit hati, baru pertama kali ada di dalam kamus kehidupan dia. Wajar kalo mas Har begitu," ucap Jay. "Kamu jangan curang. Pilih salah satu, kalo emang suka sama Faris, jaga jarak sama mas Har, tapi kalo mau sama mas Har, ya--sebaliknya." Jay berjalan ke arah dapur meninggalkan Nada. Ia mulai mengecek stok bahan dan mulai merapikan beberapa toples kopi.
Nada merasa apa yang diucapkan Jaya ada benarnya. Ia sempat kesal dan melarang Jaya suka pada Melodi, tapi Nada pun sadar, bahwa perasaan itu bukanlah sesuatu yang bisa dikontrol bebas. Yang kita kontrol itu sikap kita, bukan perasaannya.
***
"Mau pulang enggak? Kok lari terus? Lagi juga, kan di dunia sering bunuh setan, kenapa di sini malah kabur si?" ucap bocah kecil yang sedang duduk di atas kepala Genderuwo raksasa.
Itu bocah ngomong sembrangan! Cara keluarnya harus bisa nyentuh dia, tapi dianya ada di atas sana.
Entah apa yang terjadi, Harits tak mampu memanggil buku hitamnya. Ia juga tak bisa menggunakan atma. Jadi hanya satu yang bisa dia lakukan, yaitu lari.
"Cuma jago kandang, cemen wuuuuu."
"Bangsat!"
"Cuma bisa ngomong kasar, culun wuuuu."
"Kidy! Seenggaknya kasih handicap dong. Turun, hadapin dia langsung," ucap seorang pria yang sedang duduk merokok. Di sampinyanya ada seorang pria tampan yang tedang tersenyum menatap Harits.
Siapa mereka?! Sejak kapan ada di situ?
"Oke, oke." Bocah yang dipanggil Kidy itu melompat dari kepala Genderuwo hingga kakinya menapak di tanah yang penuh dengan genangan darah. Ia memberikan kode pada Harits untuk maju. Harits berlari ke arahnya. Ia hendak memukul Kidy, tetapi Kidy menghindar dengan mudah dan menghilang.
Ke mana bocah itu?!
Kidy mencolek Harits dari belakang, lalu mundur beberapa langkah sambil tertawa.
Bocah ini licin juga rupanya.
Harits dan Kidy masih bermain kejar-kejaran untuk menentukan nasib Harits. Sejujurnya Harits berada di ambang kematian. Ia koma.
***
Jaya, Melodi dan Deva malam ini berada di Mantra, sementara Abet dan Nada berada di rumah sakit. "Tinggal aja, Mantra butuh barista, mas Abet."
"Kamu enggak apa-apa?"
"Biar aku jaga Harits dulu. Nanti kalo Mantra udah close, baru gantian lagi."
"Yowes, tak tinggal sek, yo." Abet pergi meninggalkan Nada sendirian.
Nada, gadis itu masuk ke dalam ruangan Harits yang sedang berbaring tak sadarkan diri. Detak jantung pria sangat lemah. Mata Nada berkaca-kaca menatap Harits tepat di depan wajahnya.
"Rits, maafin aku ...."
"Aku seneng ada yang suka sama aku, dan aku hanya berusaha menjaga perasaan kamu, tapi tanpa sadar itu justru nyakitin kamu. Kedepannya, kita akan membangun jarak, aku sadar, ada yang nunggu aku di Bandung, dan aku enggak bisa berpaling."
"Aku pernah bilang, kalo aku itu tau kamu lebih dari siapa pun. Aku tau kamu itu orang yang baik, bahkan yang paling baik yang aku pernah kenal, tapi kamu itu aneh! Kamu justru nyakitin diri sendiri demi orang-orang disekitar kamu. Kamu enggak mau mereka merasa berhutang, terus kamu bertingkah seolah-olah kamu adalah pembawa masalah, padahal sebaliknya, kamu yang nyelesain masalah-masalah mereka."
"Kalo kamu denger aku, aku berharap kamu bangun. Meskipun seisi dunia ini adalah musuh kamu. Yang harus kamu tau--aku selalu ada di sisi kamu. Aku tunggu kamu, jadi--jangan lama-lama buat aku nunggu. Kita ini, temen, kan?" Air matanya menetes tepat mengenai mata Harits. "Kalo kamu punya masalah bilang, oke? Aku selalu ada kalo kamu merasa butuh seseorang untuk mendengarkan keluhan kamu. Kamu enggak sendirian."
***
Kidy menatap langit hitam yang perlahan hujan.
Hujan?
Sejujurnya, tidak pernah ada hujan di Alam Suratma.
"Nyahahaha ...."
Kini bocah itu menatap Harits yang sedang tertawa pilu. "Apa yang lucu?"
"Emang enggak boleh lama-lama," ucap Harits dengan senyum tipisnya. "Ada yang nunggu di luar sana."
"Terus, gimana caranya buat bisa pulang?" tanya Kidy.
Harits merubah raut wajahnya dari ceria menjadi tegas. Ia menatap Kidy dan berlari dengan tujuan yang jelas. Kidy hanya tersenyum sambil berjalan mundur, tapi tiba-tiba ia terjatuh dengan kaki yang putus. Di belakangnya terbentang benang-benang tajam tak kasat mata yang mampu membelah bagaikan pedang. Kedua temannya bersiul mendapati Kidy yang terjatuh.
"Ini Alam kematian, enggak perlu buku buat manggil salah satu temen, kan?"
Seorang anak kecil yang usianya tak beda jauh dari Kidy sedang berdiri di belakangnya. Bocah yang menjadi kartu AS Harits saat bertarung menggunakan buku. Arwah dari salah satu Ashura keluarga Wijayakusuma yang merupakan mantan anggota Peti Hitam dan Katarsis, peyandang gelar Widyatama.
"Sejak kapan dia ada di situ?" tanya Kidy.
"Kesombonganmu membuatmu buta dan terlalu santai," ucap Harits menyentuh pundak Kidy. "Terimakasih atas pembelajaran yang berharga ini. Ucapkan terimakasih saya untuk pria berpakaian hitam tadi, setidaknya kedepannya saya akan lebih menghargai nyawa sesama. Saya-pergi dulu." Harits menghilang dari Alam Suratma.
Kesadarannya mulai kembali, Harits segera bangun. Namun, wajah Nada yang sedang menangis masih berada di depannya, sehingga kepala serta bibir mereka berbenturan. Mereka berdua sama terkejutnya. Harits pun tak menduga ada sebuah wajah di depan wajahnya. Begitu juga Nada, ia tak menduga Harits akan bangun secepat itu.
Keduanya saling berpandangan dengan wajah memerah, tetapi Nada langsung beranjak dan pergi keluar ruangan. Sementara Harits masih terdiam tanpa kata.
.
.
.
TBC