Panjang lagi dooong!
🐳🐳
"Jadi lo udah buka usaha ini 3 tahun?" tanya Gagah sembari menoleh ke kanannya. Sava duduk tepat di sampingnya karena mereka sedang makan daging asap.
"Kurang lebih," jawab Sava. Ia balas menatap Gagah lalu mengernyit mendapati lelaki itu diam melihatinya. "Kenapa?"
Gagah nyengir saja lalu menyuap lagi makanannya. "Makan lo rapi amat. Pura-pura dibelepotin harusnya di pipi. Entar gue pura-pura lap. Romantis pasti tuh."
"Geli banget," cibir Sava tidak terima.
"Kata siapa?" tanya Gagah tidak terima. "Itu namanya bentuk perhatian. Sekecil apa pun noda yang ganggu muka cakep lo itu gue tau."
"Buaya."
"Eh, sembarangan." Meski begitu Gagah tertawa. "Emang muka gue kayak buaya?"
"Nggak."
"Terus? Suara gue?"
"Iya."
"Suara buaya emang gimana?"
"Kayak lo." Sava menatap Gagah dengan alis terangkat. "Bener kan?"
Memang lelaki tempatnya salah dan dosa kalau begini. Gagah meneguk minumannya karena hilang akal lagi buat menyanggah. "Perasaan gue gini-gini aja, apa muka gue keliatan bercanda ya?" gumamnya.
Mereka diam beberapa saat meski keduanya sudah menyelesaikan makan. Gagah yang lebih dulu memulai lagi. Ia memutar stool agar menghadap Sava. "Kenapa lo percaya sama gue, Sav?"
Mendengarnya membuat Sava ikut memutar stool agar mereka berhadapan dengan lutut yang saling beradu. "Ada Boja di luar."
"Boja?" Gagah ingat pria kekar tinggi besar kelebihan otot itu. "Boja kayak kamboja," gerutunya sedikit sebal.
"Iya, Kamboja."
"Apa?!" Gagah melotot sebentar, tapi lalu tawanya terdengar. "Kalo cewek masuk akal namanya. Lah cowok tinggi besar kayak dia namanya Kamboja?"
"Iya," jawab Sava lagi meyakinkan. "Nama panggilan."
"Bukan nama asli?"
Sava mengedikkan bahu. "Nggak tau nama aslinya."
"Astaga." Gagah masih tertawa. "Sekalian ditanem biar ototnya berakar di tanah tuh. Kalo nama panggilan beneran parah dia, udah nggak sabar memendam diri di tanah kayaknya. Gue harus maafin dia cepet-cepet karena pukulannya waktu itu. Takut dia keberatan di alam sana karena gue belum maafin dia. Sampein ya, Sav. Gue maafin dia walaupun pukulannya bikin bokap gue ngira gue hamilin anak orang. Sialan emang si bunga kuburan itu."
Terdengar tawa yang lain. Tentu saja Sava tertawa geli mendengar ucapan Gagah yang tidak ada hentinya itu. "Nanti bilang sendiri."
"Nggak." Gagah menggeleng. "Males liat mukanya. Sok oke. Pengin gue tonjok balik tapi entar tangan gue yang patah pasti."
"Katanya nggak marah?" cibir Sava.
"Kesel aja gue." Gagah berdecak. Ia kembali serius menatap Sava. "Jadi kenapa lo ngebolehin gue ke sini?"
"Karena ada Boja," jawab Sava lagi.
"Boja pernah ke sini juga?"
"Enggak." Sava menggeleng kuat-kuat.
"Kirain. Beneran gue tanem entar kalo ke sini."
"Cuma lo."
Gagah pasti salah dengar tentang ini. "Cuma gue?"
Sava mengangguk lalu meraih cangkir lagi dan menyeruput minumannya. Ia sudah mengganti dengan teh hangat karena Gagah melarangnya mengonsumsi kafein untuk malam ini.
"Setuju kalo itu." Gagah tersenyum lebar. "Emang harusnya cuma pacar lo yang boleh masuk sini."
"Pacar apaan?" Sava mendengus.
"Pelukan tadi buat peresmian."
"Aneh."
"Gue udah biasa dibilang aneh jadi nambah denger dari lo gue udah kebal. Emang lo mau peresmiannya pake apa?"
"Apa lo, Gah," sentak Sava sebal.
"Tapi lo takut ikan ya." Suara Gagah merendah.
"Geli aja." Sava bergidik. "Ikan yang lo tunjukkin waktu itu nakutin banget."
Oh, jadi itu. "Lo geli sama si benjol?"
Sava mengangguk. "Sisiknya ngeri. Benjolnya juga." Ia memejam sejenak seolah mengingat foto yang Gagah tunjukkan.
"Jadi kalo ikannya kayak ikan cupang, lo nggak takut?" Gagah mulai merasa ada angin segar.
"Kalo kecil nggak nakutin."
"Oke, gue jual si Louhan ntar."
"Eh, nggak usah." Sava menggeleng kuat. "Gue nggak apa-apa. Nggak separah itu. Cuma kalo lihat ikan besar deket-deket nggak bisa."
"Ck. Hubungan itu bukan cuma tentang gue, atau apa yang gue senengin aja. Kita cari jalan tengah. Kalo lo geli sama ikan gede, gue akan pelihara yang kecil aja. Lo nggak usah berjuang banyak-bayak. Biar gue aja yang gerak. Ngerti?"
"Kita ... beneran hubungan?" Sava meyakinkan.
"Udah nggak ada Louhan atau ikan besar lain di antara kita, Sav. Jadi nggak ada alasan gue buat nggak sama lo."
"Maksud gue." Sava menata kalimatnya. "Lo nggak main-main sama keputusan lo?"
"Emang lo main-main?" tanya Gagah balik. Melihat Sava menggeleng, ia meneruskan. "Gue mimpiin lo sering banget waktu itu. Ini malu-maluin tapi gue omongin ke lo. Banyak kebetulan yang bikin kita ketemu terus. Gue nggak tau kenapa. Terlalu dini banget kalo misal gue bilang udah suka lo dari awal. Alasan yang kedengerannya omong kosong kan? Makanya kalo lo mau, kita sama-sama menyamankan diri di hubungan kita. Kalo lo nggak nyaman, ngomong aja."
Sava memang percaya Gagah tipe lelaki yang seperti itu.
"Gue nggak pernah maksa orang buat ada di samping gue terus kalo nggak mau. Gitu juga gue nggak akan ngasih harapan ke cewek yang nggak gue mau. Di umur gue yang segini gue ngerti gimana hubungan yang sehat, Sav. Lo tenang aja. Jangan takut gue deketin banyak cewek di waktu yang sama. Gue nggak kayak gitu."
Sava masih memperhatikan raut wajah Gagah yang begitu serius saat mengatakannya.
"Gimana, Sav? Acting gue bagus nggak?" tanya Gagah disertai cengiran tidak jelas.
"Gagah." Sava memukul pelan lengan lelaki di depannya.
Gagah tuh paling malas bersikap serius begitu. Kayak hidupnya banyak beban padahal ia tidak mau orang-orang tahu apa yang sedang ia rasakan. Gagah terbiasa bersikap seolah tidak pernah bersedih. Jadi menunjukkan keseriusan beberapa saat yang lalu membuatnya geli sendiri.
"Percaya sama gue." Gagah meraih tangan Sava yang tadi memukulnya, lalu ia tepuk pelan punggung tangannya. "Om Aji juga kayaknya sefrekuensi sama bokap gue. Udahlah ngerti banget gue cara hadapin bokap lo. Tinggal kasih tebakan singkatan, udah brodi pasti."
Sava tersenyum. "Emang mau ketemu Papa?"
"Iya lah. Biar seneng mereka karena prasangkanya jadi kenyataan."
"Kenyataan apaan."
"Astaga, lo lupa gue bilang tadi kalo pelukan menandakan peresmian hubungan kita?"
"Lo sama Citra juga pelukan kayaknya tadi."
Gagah menepuk dahinya pelan. "Gue lupa kalo cewek punya SoC handal dengan kapasitas memori 340982748 terabyte. Bisa mengingat kejadian 100 tahun sebelum masehi sampai 2000 tahun ke depan."
Sava terkekeh walau ia tidak tahu maksudnya. "Bahasa kerjaan lo nggak usah dibawa ke gue. Nggak ngerti."
Gagah berdecak. "Iya, yang lo ngerti teknik meliuk-liuk di tiang gitu kayak lagi main film Bollywood. Keren amat lo, Sav. Bisa kaki di kepala, kepala di kaki dong."
"Gue bukan ubur-ubur, Gah." Sava heran dengan kosakata Gagah, ada-ada saja.
"Ubur-ubur kan lembek, Sav. Beda lah. Lo itu ... apa ya?"
Gagah masih diam seolah berpikir dan Sava menunggunya dengan sabar. Sebelum getar ponsel terdengar di meja. Punya Gagah.
"Apaan ini si bos arwana nelepon," gumam Gagah lalu menerima panggilan itu. "Iya, Gus? kenap—Apa?!"
Sava sedikit terkejut mendapati teriakan gagah meski tidak terlalu keras, soalnya kontras dengan sikap hangat lelaki itu sedari tadi. Wajah Gagah bahkan memucat dan bisa ia lihat kalau lelaki itu mengatur napasnya yang mendadak terdengar lebih keras.
"Sav," panggil Gagah pelan, lalu turun dari stool. Wajahnya terlihat panik. "Sorry, apa lo nggak marah kalo gue pergi sekarang?"
Sava mengerti kekhawatiran Gagah walau ia tidak mau bertanya lebih lanjut. "Iya, nggak apa-apa."
"Adek gue masuk rumah sakit," jawab Gagah jujur.
"Anin?"
Gagah mengangguk.
"Lo pulang aja. Nggak apa-apa."
Gagah teringat banyak perempuan yang juga mengatakan hal yang sama.
"Pergi aja jenguk adik kamu. Nggak apa-apa kita nggak jadi dinner."
Tapi nyatanya abis itu ngambeknya bikin Gagah ingin menghilang dari bumi.
"Kalo kamu lebih pilih antar adik kamu ke kampus daripada nemenin aku di rumah, kita putus."
Itu serius, Gagah langsung diputusin.
"Kamu ngapain ambil rapor adik kamu? Kan ada papa mama kamu. Mending nemenin aku belanja."
"Apa sih udah SMP masih ulang tahun ulang tahun? Nggak mau lah aku dateng ke acara anak kecil."
"Gah, pulang aja. Anin sakit kan?"
Ucapan Sava menyadarkan Gagah lagi. Astaga, ingatan tentang mantannya sungguh mengganggu. Gagah masih ingat jelas ia memprioritaskan pacarnya lebih dari siapa pun. Hanya saja ada saat genting di mana ia memang harus memilih keluarganya kan?
Sayangnya mantan Gagah tidak ada yang bisa mengerti. Dan ia takut nanti Sava juga begitu karena ia tidak yakin sanggup melepas Sava semudah ia membiarkan para perempuan itu pergi.
"Beneran?" tanya Gagah ragu.
Giliran Sava yang mengernyit bingung karena pertanyaan Gagah. Sudah jelas adiknya lagi sakit kenapa Gagah malah di sini dan seolah ia tidak mengizinkan pergi?
"Iya," jawab Sava akhirnya.
"Lo nggak marah?"
Kebingungan Sava makin menjadi. "Nggak."
Gagah mengembuskan napas pelan. Semoga benar setelah ini Sava tidak marah. Karena Gagah pernah berjanji ke dirinya sendiri kalau mendapati sifat mantannya yang sama dan tidak mau menerima keluarganya, akan ia putuskan saat itu juga.
Sedangkan Gagah tidak bisa membayangkan bagaimana melepas Sava.
***
Sava tersenyum ke banyak perempuan yang ikut kelasnya hari ini. Ia sudah sering begini, menerima kata terima kasih dari mereka yang baru ia latih. Ia bahkan sudah pernah menerima beberapa rekan selebritis yang mengambil kelas di tempatnya.
Sava tidak pernah berangan muluk-muluk. Ia hanya menjalankan hobi menyalurkan ilmu sekaligus mengajarkan mereka hidup sehat dengan berolahraga. Ya, meskipun apa yang Sava santap hampir setiap hari sama sekali tidak menunjukkan hidup sehat.
Setelah selesai bebersih, Sava keluar dari kamar mandi dan melihat ke arah kotak obat. Semalam ia tidak meminumnya sebutir pun. Tidak, ia tidak memiliki rasa traumatik atau apalah itu. Ia hanya susah tidur. Itu juga bukan tanpa alasan.
Gagah mengiriminya pesan semalam, melarangnya minum obat karena katanya nanti bisa sisikan. Sava tersenyum mengingatnya.
"Beneran, Sav. Minum obat itu terus-terusan ntar ngembarin si Louhan, emang lo mau punya benjol segede itu?"
Sava mengeluarkan kekehannya. Gagah itu ... ada saja cara membuatnya geleng-geleng kepala.
Meraih ponsel di meja, Sava membuka ruang obrolannya dengan Gagah. Ia menggigit bibir bawahnya ragu, sebelum menekan telepon. Beberapa kali ia dengar tanda tersambung, sebelum seseorang di sana menjawab.
"Iya, Sav? Ngapain telepon gue? Kangen?"
"Bukan." Sava memutuskan untuk duduk. "Adek lo udah baik-baik aja?"
Terdengar suara Gagah seperti menguap. "Kecapekan mungkin dia. Abis datengin kondangan di luar kota. Demamnya tinggi banget semalem. Ini udah melek soalnya gue anterin ikan tadi."
Astaga. Sava tersenyum saja.
"Kalo lo kangen, entar gue jemput. Kita makan siang bareng. Bosen gue di kantin rumah sakit. Kalo mau pesan antar kasihan adek gue jadi pengin padahal belum bisa makan. Mana dia maksa gue makan ikan. Kurang ajar emang padahal baru bisa melek."
Kali ini Sava tertawa. "Gue yang ke situ aja boleh?"
"Apa?"
"Gue ke situ," ulang Sava, merasa heran dengan Gagah kenapa hal seperti ini saja bikin kaget.
"Lo mau?"
Sava tidak mengerti kali ini. "Gue boleh jenguk?"
"Eh. Iya. Boleh-boleh. Gue jemput ya. Gue baru inget mobil lo gue bawa semalem. Sekalian gue kembaliin soalnya mobil gue kayaknya udah beres."
"Gue ke situ sama Boja aja."
"Serius?"
"Iya, Gah."
"Oke, Sav. Hati-hati ya. Bilangin Boja, jangan ngebut. Kalo bikin lo lecet, gue siapin kuburannya di samping babi."
"Babi?" tanya Sava bingung. Gagah kayaknya ngelindur.
"Hati-hati."
Daripada makin pusing, Sava akhirnya mematikan panggilan. Ia bersama pria kekar yang memang dipanggil Kamboja itu sudah dalam perjalanan. Ia sempat mampir membeli buah-buahan tadi sebelum turun di depan rumah sakit.
Tidak butuh waktu lama juga Sava mengetuk pintu pelan. Ia mengernyit saat seorang lelaki membukakan pintu. Mungkin pacarnya Anin, pikirnya.
"Kak Sava?" pertanyaan itu membuat Sava tersenyum kecil dan mendekat ke Anin yang terbaring di ranjang. "Repot-repot ke sini, Kak. Nanti sekalian nitip seret pulang itu si penggila ikan," tunjuk Anin pada Gagah yang berbaring di sofa. Sepertinya tidur lelap.
Sava terkekeh. "Gagah khawatir banget semalam itu sampai agak bingung."
Anin mencibir. "Drama dia mah. Udah hafal, Kak."
Kakak beradik ini, bisa-bisanya interaksi mereka begitu unik. Dulu Sava juga ingin punya adik, sayangnya ia ingat banget saat masih SD waktu itu mamanya keguguran dengan kondisi parah. Terlalu berbahaya untuk mengandung lagi. Makanya Sava jadi anak tunggal.
"Udah tidur lama dia?" tanya Sava.
Anin malah menoleh ke lelaki yang duduk di samping ranjang. "Bang Gagah udah lama belum tidurnya tadi?"
Bagus menggeleng. "Baru aja, Nin. Semalem juga nggak tidur sama sekali."
"Masa?" Anin membelalak.
Bagus mengangguk.
Melihat itu membuat Sava menoleh ke Gagah yang berbaring membelakangi mereka. Sekejap lalu ia berpaling ke Anin. "Cepet sembuh ya. Jangan kecapekan."
Anin tersenyum dan mengangguk. "Makasih ya Kak udah dateng. Sekalian itu Bang Gagah dibangunin, kalo disuruh pulang sama Kak Sava mungkin mau. Kayak paus terdampar tidur di situ."
Kali ini Sava tertawa. Memang sebelas dua belas kakak beradik ini. Ia akhirnya menghampiri Gagah dan duduk dekat kepala lelaki itu.
"Gah." Sava menepuk pelan pipi Gagah.
"Hm."
"Pulang."
"Nggak."
"Pulang. Disuruh Anin."
Gagah berbalik dan mengucek matanya. "Anin udah bangun emang?" tanyanya dengan suara serak.
Sava hanya mengedikkan dagu ke arah Anin. Gagah segera mengerti dan bangkit duduk. Setengah lunglai ia menghampiri adiknya. Tangannya terulur dan menjentikkan jari telunjuknya ke dahi Anin tiba-tiba.
"Aduh," keluh Anin kaget karena dahinya disentil. "Lo apa-apaan sih? Awas ya ikan lo gue balikin ke toko entar."
Gagah nyengir. "Nah, kalo gini gue udah bisa pulang." Ia menoleh ke Bagus. "Nitip Anin bentar, Gus. Nanti Papa sama Mama ke sini juga."
"Iya, Bang."
"Oh ya, jangan lupa bantuin lelang si Louhan ya, Gus. Calon istri gue takut Louhan soalnya."
Bisa-bisanya, tapi Sava hanya tersenyum kecil melihati dua orang di sana menggoda mereka.
Gagah dan Sava akhirnya berpamitan terlebih dulu dan keduanya berjalan menuju basement.
"Kuat nyetir?" tanya Sava saat mereka dalam mobil.
"Kuat dan tahan lama gue mah. Nggak ngecewain." Gagah malah menjawab ngaco. Untung Sava hanya berdecak saja dan tidak menanggapi.
"Ke tempat gue aja? Lebih deket ke sana."
Gagah mau nolak tapi ucapan Sava benar juga. Tidak lucu kan nanti kalau ia tepar di tengah jalan saking ngantuknya?
Akhirnya mereka sampai di tempat pusat olahraga punya Sava. Di dalam lift, berkali-kali Gagah menahan kantuknya. "Sofa bed lo udah kebayang di kepala gue, Sav. Pengin rebahan rasanya."
"Sabar," jawab Sava singkat.
"Salah gue juga." Gagah makin meracau tidak jelas, rambutnya acak-acakan. Padahal mereka hampir sampai di ruangan Sava. "Apa Anin kecapekan masak terus tiap pagi sore ya? Gue nggak pernah bantuin sih. Iya, pasti dia juga kecapean urus rumah. Mama sama Anin yang sering urus rumah, gue malah terima beres. Kerjaan cuma ngantor terus tidur. Kacau gue emang jadi abang."
"Lo nggak salah," hibur Sava.
"Iya tapi besok gue mau bantu dia di dapur lah biar nggak kecapekan. Walaupun gue bisanya nyuci sayur doang sih, lebihnya diomelin. Padahal gue niat bantuin tapi katanya ganggu."
Sava tersenyum mendengar gerutuan Gagah. Mereka sudah membuka pintu dan dalam sekejap Gagah menjatuhkan diri di sofa bed.
"Numpang tidur," gumam Gagah.
Sava tidak menjawab. Ia mengambil bantal tapi saat kembali, Gagah sepertinya sudah lelap. Jadi ia letakkan saja di atas kepala lelaki itu. Ia berdiri menatapi Gagah yang berbaring menghadap sandaran sofa.
Sava memutuskan duduk di lantai dan bersandar di kaki sofa bed. Ia keluarkan ponsel untuk mengecek jadwalnya hari ini. Tapi pikirannya tertuju ke satu hal. Ia membuka instagram dan mencari akun milik seseorang.
Followers-nya lumayan. Sava tebak Gagah memang cukup disukai banyak orang, melihat dari pengikutnya yang kebanyakan perempuan. Ia menggulir. Hanya ada beberapa foto saja hingga ia bisa menyelam sampai paling bawah.
Ada dua anak sama-sama nyengir ke kamera. Dua-duanya pakai braces. Sava bisa menebak itu pasti Gagah dan Anin saat masih anak-anak. Tertulis caption happy birthday buat adik yang selalu mau disuruh-suruh katanya. Sava terkekeh melihat ucapan-ucapan Gagah yang absurd itu.
Sampai di sebuah foto lagi, Sava termenung. Saat Gagah wisuda. Foto keluarga yang bisa menerbitkan senyumnya saat melihat. Ia terdiam beberapa saat. Senyum Gagah itu jarang ia lihat. Tatapnya begitu tulus dan tidak dibuat-buat.
Sava tidak bodoh untuk bisa lihat bahwa Gagah lelaki baik-baik. Satu-satunya lelaki yang menghampirinya dengan kata maaf padahal kesalahan bukan padanya. Hal yang membuat hati Sava tersentuh karena bahkan tidak pernah mendapat sesuatu semengharukan itu.
Bagi banyak orang pasti itu hal sepele. Sava pernah hidup dengan lelaki superior yang inginnya tidak pernah bisa dibantah. Egonya melebihi apa pun di dunia ini. Jadi saat Sava mendapati Gagah datang dengan permintaan maaf membuatnya kagum sekaligus kaget. Ternyata masih banyak laki-laki baik di dunia ini.
"Wah, ada fans dadakan."
Sava tersentak mendengar itu. Bisikan yang ia dengar tepat di telinga membuatnya sontak menurunkan ponsel. jantungnya berdetak kuat karena terkejut.
"Emang terakhir post setahun yang lalu, Sav," jelas Gagah tanpa diminta.
Sava masih diam tapi bisa menyadari kalau Gagah memutar tubuh dan menghadpa ke arahnya.
"Gue mau nambahin feed tapi nggak pengin foto sendirian. Lo mau gue ajak foto?"
Sava menghela napas pelan sebelum berbalik. Ia tepat menghadap pada wajah Gagah yang terlihat sayu tapi tidak mengurangi tingkat ketampanan baginya.
"Tolong usapin kepala gue, Sav. Agak pusing." Gagah menarik pelan tangan Sava agar hinggap di kepalanya.
"Gini?" Sava nurut saja mengusap-usap kepala Gagah. Rambutnya jadi makin berantakan.
"Enak bener diusap doang udah sembuh gue." Gagah terkekeh. Ia memperhatikan wajah Sava yang tepat di hadapannya. "Lo bisa jamin umur gue panjang, Sav? Jantung gue nggak aman kayaknya lihat yang cakep tiap hari."
Sava segera menarik rambut Gagah membuat lelaki itu merintih.
"Jangan dijambak gitu." Gagah berdecak. "Sekarang usap aja. Jambaknya besok kalo udah nikah."
"Gah!"
"Serius, Sav. Mau lo jadiin gue tiang buat muter-muter waktu pole dance juga gue nurut. Lo apain aja gue nggak keberatan."
Sava merasa sebal dan akhirnya kembali berbalik membelakangi Gagah.
"Gue punya ide buat anak kita," gumam Gagah sembari berpikir. "Namanya Lou."
"Louis?"
"Louhan."
"Gagah," keluh Sava makin habis kesabaran. Ini laki tidak ada seriusnya sama sekali dalam hidup.
"Bercanda. Oh ya, minggu depan ikut gue reuni ya?"
"Nggak tau," jawab Sava jujur. Ia sering ada jadwal tambahan.
"Nggak kasian liat gue dateng sendirian?"
"Oh, jadi niatnya itu."
Gagah tertawa mendengar nada sebal yang kentara. Ia bangkit duduk dan menurunkan dua kakinya ke lantai, tepat di samping kanan kiri tubuh Sava. Lalu ia makin menunduk dan melingkarkan tangan ke sekitar bahu Sava. Diturunkan pelan kepalanya untuk mengecup puncak kepala perempuan itu. Sekejap ia menyamankan diri dengan menyandarkan pipinya sana.
"Pokoknya gue harus nikah sama lo, Sava. Nggak mau tau."
🐳🐳
Gagah kebelet gaes. Beneran!