Raffa menggenggam telapak tangan Wendi berharap ibunya itu mau membuka mata. Sudah 24 jam lebih wanita itu masih betah memejamkan mata ketimbang melihat Raffa yang berhasil memperoleh nilai ulangan yang sesuai harapan.
Cklek
Hassan baru saja membuka pintu ruang rawat Wendi. Selama ini Hassan selalu menemaninya, walau berulang kali Raffa meminta agar Hassan tidak perlu repot-repot menemaninya sampai rela menginap di rumah sakit.
Raffa merasa tidak enak kepada sahabat dekatnya itu.
"Omong-omong di mana Zidan?"
Raffa menatap Hassan dengan dahi mengerut. "Kenapa kau mencari adikku? Tidak seperti biasanya?"
"Hanya ingin memastikan jika dia tidak menggangguku. Kau tahu sendiri bukan, bayi itu tidak menyukaiku."
Raffa tertawa renyah. "Itu karena kau jelek. Bayi tidak pernah salah dalam menilai sesuatu yang dilihatnya."
"Ayo cari makan. Kau belum makan sejak semalam, aku tidak ingin melihat ibumu bersedih saat melihat tubuh anaknya tinggal tulang."
"Hei gendut!" pekik Raffa tak terima. Hassan hanya terkekeh lalu berjalan mendahului.
"Raffa, bagaimana keadaan ibumu?"
Raffa meminum air putihnya dengan tidak bersemangat. "Masih belum sadarkan diri. Aku takut jika Tuhan mengambilnya dariku."
"Huss ... jangan berbicara seperti itu. Doakan yang terbaik untuknya dan jangan berpikiran negatif. Aku yakin ibumu akan sembuh. Ayo senyum, aku merindukan senyumanmu."
Raffa menghela napasnya panjang. Ia mengabaikan ucapan dari teman beda kelasnya yang bernama Yoga Atmadja. Raffa tidak bersama Hassab karena lelaki berkulit tan itu sedang menjalani hukumannya lantaran telah membolos jam pelajaran guru killer. Alhasil guru bernama Jelinda itu menghukumnya dengan menyuruh Hassan mencabuti rumput belakang sekolah serta mengerjakan sepuluh soal matematika 50 kali.
"Hah ... hah ... hah, melelahkan ...."
Hassan duduk di samping Raffa diiringi napas yang tersengal-sengal. "Mengapa hari ini cuacanya begitu terik? Perawatanku sia-sia jika matahari sudah merusak segalanya huhuu~" Hassan mengipasi dirinya menggunakan telapak tangan yang terkibas.
"Kau perawatan?" tanya Yoga shock.
"Iya, memangnya kenapa? Aku melakukan ini juga karena teman-teman selalu mengataiku hitam. Padahal 'kan tidak terlalu hitam. Apakah mereka katarak?" dengkus Hassan menyambar minuman Yoga tanpa permisi.
"Heh, itu punyaku!"
"Minta sedikit, aku haus."
Yoga kembali memprotes Hassan yang meminum airnya hingga menyisakan sedikit di dalam botol. Hassan hanya berkata omong kosong.
"Tck! menjengkelkan!" decak Yoga.
Raffa menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Kedua orang ini jika sudah disatukan hanya ada pertengkaran di dalamnya. Meski begitu, mereka bisa membuat mood Raffa sedikit membaik disaat kesedihan selalu bersamanya.
Ponsel Raffa berdering. Lekas dirinya segera memeriksa nama si penelepon, kemudian menggeser ikon hijau untuk menyambungkan.
"Halo Raffa, maaf menganggu. Aku hanya ingin memberitahu jika ibumu sudah siuman. Cepatlah kemari, dia mencarimu."
"Baiklah aku segera kesana."
Telepon dimatikan oleh Raffa sepihak. Ia bergegas mencari jaket kemudian berlari keluar rumah. Ia begitu bahagia mendengar ibunya sudah siuman.
Tangannya dengan lincah bergerak mencari nomor Hassan untuk memberitahunya. Tak butuh waktu lama akhirnya telepon tersambung.
"Hassan! Ibuku sudah siuman!"
"Astaga benarkah? Tunggu, aku akan menyusulmu."
Raffa langsung mematikan sambungan telepon. Sebelum ke rumah sakit, ia berniat ke rumah gurunya yang bernama Naya, karena wanita itu berbaik hati mau menjaga Zidan selama dirinya disibukkan oleh pekerjaan sekolah.
Kini dengan Zidan di gendongannya, Raffa berlari kecil melewati lorong-lorong rumah sakit. Sampailah di depan pintu ruang rawat Wendi, ia menggeser pintu itu dan melihat ibunya sedang duduk bersandar pada sandaran bed pasien.
"Ibu."
Wendi menoleh. Tersenyum lebar melihat dua orang kesayangannya berada di depan mata. Raffa menurunkan Zidan di atas kasur, memeluk Wendi disertai tangisannya.
"Mengapa ibu keras kepala! Lihat, ibu menutupi ini semua dariku karena ibu takut merepotkanku? Ibu, aku ini anakmu, seharusnya jika kau sakit sudah menjadi tugasku untuk merawatmu. Aku tidak berdaya melihat Ibu terbaring lemah seperti ini."
Wendi senang jika Raffa mengkhawatirkannya. Ia juga tidak bermaksud merahasiakan penyakitnya dari Raffa. Hanya saja ia benar-benar bingung mengatakan langsung kepada Raffa. Wendi tidak ingin melihat senyuman Raffa luntur karena penyakit ganasnya yang menyerang.
"Maafkan ibu telah membuatmu cemas."
Raffa menggeleng. "Ibu harus sembuh! Demi apapun harus sembuh!"
"Bubu hayus cembuh." Zidan ikut berseru setelah memerhatikan kedua orang dewasa yang membuatnya kebingungan.
Wendi terkekeh geli. Ia mencubit gemas pipi gembul Zidan sehingga si empu tergelak. "Iya, ibu akan sembuh, tapi kalian berdua tidak boleh mengkhawatirkan ibu. Dalam keadaan apapun jangan pernah!"
"Raffa."
Hassan datang sedikit membuka pintu dengan kencang. "Syukurlah jika bibi sudah siuman. Apa ada yang sakit?" tanyanya panik.
"Astaga anak ini, bisakah mengetuk pintunya dulu sebelum masuk? Kau hampir membuat Zidan terkejut."
Hassan menyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Nak, bisakah kau membawa Zidan keluar dulu? Bibi ingin mengatakan sesuatu pada Raffa."
Hassan melirik Zidan yang memandangnya tak suka. Ya, bayi itu menampilkan wajah kesal kepadanya. Mau tidak mau Hassan mengangkat tubuh mungil Zidan, membuat bayi itu menjerit.
"Anggg, Ffa! Bubu!" rengeknya meminta tolong. Raffa menangkup pipi gembil Zidan agar menatapnya.
"Nono sama kak Hassan dulu ya? sebentar saja." Zidan berhenti memberontak. Melihat itu Raffa pun senang. Hassan membawa Zidan keluar dari ruang rawat, menyisakan Wendi dan Raffa yang saling terdiam.
"Raffa, ibu ingin melihatmu terus bahagia, tersenyum, gembira, saat ibu tidak ada nanti."
Senyuman Raffa langsung luntur. Ia memandang Wendi yang menatapnya sendu. Ayolah, mengapa ibunya berkata seperti itu, ini tidak lucu!
"Ibu ...."
"Tidak ada harapan lagi untuk ibu hidup. Kanker tetaplah kanker yang menyebabkan kematian pada si penderita."
Raffa menggeleng tak setuju. "Tidak! Jangan berbicara seperti itu. Ibu akan sembuh percayalah padaku!"
Tiba-tiba darah keluar dari hidung Wendi. Wanita itu memegangi kepalanya yang terasa nyeri seakan dihujam oleh ribuan pisau tajam. Raffa panik, ia menekan tombol di dekat ranjang pasien guna memanggil dokter. Raffa mengambil beberapa lembar tisu guna menghapus darah yang keluar.
"S-sakit," rintihnya.
Raffa semakin cemas. Airmatanya sudah tak bisa lagi ditahan. Ia menangis sambil berusaha menghentikan darah yang terus keluar. "Kumohon bertahan, bertahan, Bu. Sebentar lagi dokter kemari."
Tak selang beberapa saat Leo beserta beberapa suster datang. Wajah dokter muda itu terlihat panik. "Keluarlah dulu, biar kami yang mengurus," titah salah satu suster kepada Raffa. Dengan sangat tidak rela ia berjalan keluar dari ruang rawat.
Ibunya dipasangkan ventilator yang mana membuat Raffa semakin dilanda kepanikan. Hassan berusaha menenangkan Raffa saat pujaan hatinya itu menangis sesenggukan.
"A-aku takut San ...."
"Sssst, percayakan semua pada dokter. Tolong hapus air matamu."
Karena itu membuat hatiku sakit melihatnya.
Hampir 30 menit para medis menangani Wendi. Raffa berdiri di depan pintu berharap setelah ini Leo membawakan kabar bagus untuknya. Benar, pintu ruang rawat Wendi langsung terbuka di mana Leo memandangnya sendu.
"Kak! Katakan apa ibuku baik-baik saja?"
Leo menelan ludahnya beberapa kali. Ia menunduk sejenak lalu menggeleng. "Ibumu ... dia ... tiada."
Dunia serasa berhenti berputar. Raffa menatap Leo dengan tangan mengepal kuat. Napasnya memburu bersamaan bulir airmata yang satu persatu turun.
"IBU!!!"