Kalau kemarin Kala colong cerita Hanan, sekarang giliran gue, si ganteng Alevandra Matthew Koesnaidi from Cibinong ambil alih.
Dua minggu pasca Hanan berangkat ke Amerika, gue dan anak-anak berencana akan mengunjunginya. Bayangin, baru dua minggu, cuy. Sesayang itu kami semua pada Hanan. Nggak mikirin tabungan kita semua akan amblas buat kesana doang. Tapi nggak papa, tujuannya kan buat temu kangen merangkap liburan juga.
Gue dan anak-anak sengaja info ke Hanan seminggu sebelum keberangkatan, karena semenjak stay di USA dan punya anak, Hanan jarang nimbrung di grup. Karena perbedaan waktu serta kesibukannya sebagai bos dan bapak baru kali ya, yang membuatnya nggak selalu on the phone.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba, kami sengaja kumpulnya dibandara biar nggak ribet. Penerbangan masih 50 menit lagi, tapi gue sampai duluan dibanding yang lain. Gue kembali memeriksa barang-barang yang gue bawa sembari menunggu anak-anak di salah satu coffee shop. Dari awal, kami nggak worry perihal hotel karena kami yakin Hanan akan siapkan kamar untuk kami semua, hehe. Lumayan cuy, buat motong budget, jadi tinggal beli tiket sama siapkan uang jajan disana. Kan nggak mungkin, numpang makan terus-terusan dirumah Hanan, tapi kalau disuguhin terus ya, syukur wkwk.
"Mas, titip tas gue bentar, ya." ucap Dani yang langsung ngibrit nggak tau kemana.
"Napa tuh, anak?"
"Buset si Dani langsung kabur beneran."
Jo datang dengan segala tetek-bengeknya yang cukup banyak.
"Napa dia? Lo berdua berangkat bareng, ya?"
"Iya kita berangkat bareng, Mas. Naber tuh bocah daritadi, sian banget gara-gara semalem makan mie ayam nuang sambel nggak pake Bismillah."
"Goblok. Udah tau mau perjalanan jauh, malah makan macem-macem."
"Makanya. Bentar gue beli obat diare dulu, Mas. Titip tas, ya."
Tak berselang lama, Kala dan Mas Samu datang bersamaan.
"Kok pada barengan sih, anjir?"
"Ketemu didepan. Btw, bawaan lo banyak banget Mas, mau minggat?" tanya Kala menunjuk koper disekeliling gue.
"Punya Jo ama Dani ini. Dani mencret tuh gara-gara mie ayam. Si Jo nyari obat di minimarket."
"Yah, gue bawanya minyak telon bukan balsem."
Sedikit informasi, sekarang Kala ketularan suka minyak telon gara-gara pacarnya doyan pake gituan. Jelas gue nyinyirin lah awalnya, tapi balasannya lebih menohok,
"Mending gue nyimeng telon daripada lem rubah."
Tipikal Kala, omongannya pedas tapi ada benarnya.
Kemudian gue melihat duo termuda di The First Place menghampiri kami dengan wajah Dani yang cukup pucat.
"Lo gimana sih, Dan? Malah makan yang aneh-aneh mau pergi jauh."
Sebentar lagi kita akan melihat mode emak-emaknya Kala.
"Iya Mas, sorry. Semalem gue tanding main pedes-pedesan sama Satrio."
"Ide lo, Jo? Lo kan doyan pedes." tuduh Kala.
"Emang enak bener dah nuduh orang. Gue nggak tau Mas, pas gue dateng tuh bocah dua mukanya main merah-merahan sama kuah mie ayam. Nih Dan, minum dulu."
"Mau gue kerokin, nggak? Ke musholla bentar."
Liat sendiri, kan? Hahaha.
"Mas, gue kan kristen. Jangan ngaco lo."
"Yaelah, emang keliatan muka orang kristen?"
"Ya nggak, sih. Tapi gue nggak enak. Udah nggak papa kok, minum ini udah cukup."
"Yaudah nih, balurin diperut lo biar anget."
Kala memberikan telon favoritnya. Kenapa gue yakin? Karena ia sudah menjajah semua jenis telon dan yang menjadi favoritnya yang ini.
"Mas, gue laki. Masa pake telon? Nggak bakal mempan di gue."
"Bacot. Kalo nggak sakit, udah gue ajak gelut lo. Udah sakit masih banyak protes."
Cih, bicara kayak gitu seolah-olah ia jago.
"Iya Dan, udah pake aja. Tadi di minimarket adanya ini."
Jo menunjukkan salah satu jenis balsam dengan tutup berwarna biru.
"LO KIRA GUE ENCOK MAS, PAKE GITUAN!!"
.
Setelah menempuh perjalanan terpanjang di hidup gue selama naik pesawat, kami semua akhirnya sampai di negara yang menurut sebagian orang negara impian mereka. Selagi menunggu supir nya Hanan-Oh iya, kami semua dijemput atas usulan Hanan, katanya biar nggak ribet dan nyasar. Padahal ada maps, tapi balik lagi. Menghemat budget, wkwk.
Gue melihat Kala sedang menelepon Hanan untuk mengkonfirmasi bahwa kami sudah sampai, sedangkan Jo dan Dani terlihat meletakkan kepala mereka dimasing-masing pundak Mas Samu.
"Pada mau beli cemilan, nggak? Kata Hanan sekitar 20 menitan perjalanan kesini."
"Mau cemilan nggak lo pada?" tanya Mas Samu menengok pundak kanan kirinya.
"Nggak laper, Mas."
Dani menjawab dengan mata tertutup.
"Yaudah, beli apa aja, Kal. Takutnya nanti pada laper."
"Okay. Heh, jangan pura-pura nggak denger lo. Ayo buruan." seruan Kala memukul pundak gue
Sial, nggak bisa menghindar gue.
.
Karena rombongan kami terdiri dari lima orang, gue pikir bakal dijemput pakai Limousine, ternyata dipecah dua mobil. Tadinya mau salim ke Bapaknya Hanan kalau beneran pakai itu.
Perjalanannya pun nggak memakan waktu lama seperti yang diberitau Hanan, gue baru mau tidur bentar saja sampai nggak jadi.
Seperti dugaan gue, rumah keluarga Hanan disini sama seperti di Jakarta. Terlihat nggak terlalu besar dari depan tapi menjorok ke belakang, yang paling penting halaman belakang segede gaban sebab Om Ferdian suka main golf dan Tante Tamara suka menanam bunga.
"Halo, Om-om semua." sapa Ifa menyambut kami dengan Abang Khai digendongannya.
Rumah boleh di Beverly Hills, tapi pakaian tetap daster. Keren juga nih, ibu-ibu.
"Eh, cuci tangan dulu lo semua. Di mana dapur, Fa?"
"Pake hand sanitizer disitu aja, Kak."
Disaat yang lain heboh rebutan gendong Abang, gue malah sibuk memperhatikan interior dirumah ini yang menurut gue suit them well banget. Kalau Dita ikut, kayaknya bakal happy banget. Soalnya Dita suka rumah tipe begini. Jadi pengingat gue juga, buat kerja lebih giat lagi biar bisa wujudkan keinginannya itu. Lagi liat-liat lukisan diatas perapian, teriakan Kala menginterupsi kegiatan gue.
"Dan, itu disenderin aja ke dada lo. Takut lehernya kecengklak nanti."
"Abangnya nggak mau, Mas."
"Nggak papa Kak, suka begitu dia."
"Sini gantian."
"Lah anjir, baru gendong udah gantian aja."
"Hush, omongannya dijaga."
"Lagian udah minta rolling aja. Baru lima menit gue, Mas."
Ya Tuhan, awas saja sampai Abang nangis gara-gara berisik.
"Lo sendirian, Fa? Hanan pulang jam berapa?" tanya gue mengalihkan Ifa yang cengar-cengir liat tingkah Om-om Abang.
"Iya sendiri Kak, Ibu lagi belanja. Mas Hanan biasa sampe rumah jam tujuh. Gimana flight tadi, Kak? Pegel, nggak?"
"Pegel banget! Nggak kebayang waktu lo lagi hamil terus flight selama itu."
"Hahaha iya, gue cranky banget pas itu. Untung ada Mas Hanan sama Ibu. Eh iya, bentar ya Kak, gue ambil minum dulu."
Tak lama kemudian, suara tangisan Abang terdengar.
"Nah kan, lo pada apain tuh anak orang?"
"Ini Mas Kala ribet banget! Harus begini lah, begitu lah." adu Dani.
"Tau! Orang gue pengen ajak bercanda malah diomelin." adu Jo.
"Ya Allah, itu bocah udah nangis bukannya buruan kasih Ibunya malah sempet-sempetnya bacot."
Nah kan. Omelin, Mas. Ribet banget tuh, anak-anak lo.
"Ada apa, Nak? Kok nangis?"
"Ini Mas Kala, Fa."
"Gue lagi."
"Nggak papa, kok. Sini sama Ibun, Nak. Kalo pada mau mandi atau istirahat, kamarnya yang itu ya, Kak. Bebas mau pilih yang mana. Sorry gue tinggal ya, mau mandiin Abang dulu."
"Okay makasih, Fa."
.
Membicarakan perihal next single terasa berbeda kalau formasi lengkap. Diam-diam Hanan menulis dua lagu (diluar yang dikirim ke Kala, Jo dan Dani). Namun, belum sempat dikirim ke kami. Selain membicarakan lagu baru, kami juga bercerita mengenai pekerjaan, kehidupan percintaan, jokes receh sampai ngomongin teman kost Dani yang hamidun duluan. Gini nih, kalau ngumpul. Kebanyakan gosipnya dibanding seriusnya. Disaat asik ngerumpi, tangisan Abang terdengar.
"Bentar, ya." pamit Hanan menuju kamarnya. Tak berselang lama, Hanan kembali berserta Abang digendongannya.
"Kenapa, Nan?" tanya Kala.
"Biasa. Kebangun tengah malem karena nggak nyaman popoknya udah penuh."
Hanan menjawab seraya membawa Abang menuju ruang tamu yang tak jauh dari tempat kami duduk.
Gue merasa aura Hanan benar-benar berubah setelah memiliki anak. Sehabis nikah sikapnya masih sama, tengilnya masih ada dan magerannya apalagi. Namun begitu bertemu setelah punya buntut, aura ke-bapak-an nya keluar. Gue dan yang lain sengaja nggak beranjak dari tempat duduk karena nggak mau mengganggu momen sepasang ayah dan anak tersebut.
.
Menghabiskan semalam suntuk membicarakan semua hal, pagi ini gue dan anak-anak (minus Hanan) berniat mengajak Abang untuk jalan-jalan sekitaran rumah. Kami semua belum berani bawa jauh, karena selain takut, belum tentu diizinin juga sama Ifa. Dengan menggunakan stroller dan berbekal susu serta mainan Abang, kami berangkat.
"Jangan nakal sama Om ya, Nak."
Justru yang berulah malah Om-om nya Abang, Fa.
"Jangan dibikin nangis anak gue." perintah Hanan.
"Iye, elah."
Ada bokap nyokapnya Hanan tapi si Kala berani banget jawab begitu.
"Asik juga ya, tinggal disini."
Jo membuka suara sembari melihat dan mengabadikan pemandangan sekitar.
"Asik, lah. Makanya beli, dong. Bapak lo kan kaya."
"Kalau nggak mau tinggal disini, minimal lo beli satu. Buat dikontrakkin."
Sialan si Kala. Bahasanya kontrakkin.
"Mau gue tanyain nggak Jo, ke bapaknya Hanan?"
Mas Samu bertanya seraya merapikan topi Abang yang meleset. Btw, Abang digendongan Kala. Nggak tau kenapa, anaknya ngide mau gendong. Padahal Abang tenang-tenang saja di stroller.
"Nggak usah, Mas. Bukit Town House udah cukup buat gue. Rumah-rumah disini mah, buat orang yang duitnya kelebihan banyak."
Sibuk ngerumpi, tiba-tiba Kala bilang tangannya pegal. Si Jo berinisiatif mau gendong, eh, baru berjalan lima menit,
"Asem. Baru beberapa menit gendong udah diberakin Abang."
WKWKWKWK.