Cerita ini dalam proses editing. Nikmati selagi belum banyak yang berubah. SETIAP CHAPTER DALAM CERITA WAJIB DI BACA URUT! Yang ketahuan, maaf, TERPAKSA AKU BLOCK.
Playlist "My Lieutenant General" on Spotify :
1. Gymnopedie No.1 - Erik Satie
2. Million Years Ago - Adele
Bagian ini sedikit lebih panjang daripada biasanya. Athena juga masih membutuhkan support kalian. Dengarkan playlistnya juga ya!
***
Bentuk kegembiraan hari ini lebih dari cukup. Xavier dan Athena seolah lupa dengan jet lag, mereka melanjutkan obrolan di ruang makan sekali lagi untuk menyantap makan malam lalu melanjutkannya lagi nyaris tengah malam. Nenek dan kakek Xavier memutuskan untuk lebih dulu kembali masuk ke dalam Villa, terlalu lelah dan mengantuk karena tenaga mereka sudah habis untuk tertawa.
Tersisa Hugh, Rieta, dan Matteo. Mereka bertiga duduk bersama dengan Athena dan Xavier di sofa ruang keluarga. Api di perapian menghangatkan udara di ruangan. Mengusir angin-angin malam dan menggantikannya dengan kehangatan keluarga yang menyenangkan. Bunyi gemeletuk apik yang membakar kayu menjadi menyenangkan apabila diiringi oleh obrolan dan tawa-tawa.
"Berapa hari kalian akan berada di Italy?" Matteo melihat Athena dan Xavier bergantian. Setelah itu bertanya pada Xavier, "Dan dimana kali ini kau akan ditugaskan?"
"Kau tidak tahu? Apa Zio dan Zia belum mengatakannya padamu?" Xavier mengernyit sembari melihat Matteo, Rieta, dan Hugh.
"Aku sudah pensiun."
Mata Matteo membulat terkejut. Tubuhnya menegang. "Apa katamu? Pensiun?"
Ketika Xavier hanya berekspresi datar, Athena tersenyum penuh arti sembari menoleh ke arah Xavier yang duduk di sampingnya. "Bukan pensiun dalam artian yang sebenarnya. Xavier tidak akan berpergian dan ditugaskan ke negara internasional lagi. Itu apabila dia menerima pekerjaan baru sebagai Direktur Intelijen di Pentagon."
"Tunggu dulu." Matteo terlihat bingung saat melihat Xavier dan Athena. Tak kalah terkejutnya dengan Matteo, Rieta beserta Hugh kini mengernyitkan dahi.
"Pentagon menawariku posisi sebagai Direktur Intelijen Militer yaitu Defense Intelligence Agency. Tapi aku belum menyetujuinya," jawab Xavier, sambil terenyum tipis.
"Apa kalau kau mengambil pekerjaan itu, kau tidak perlu pergi kemana-mana?" Rieta melihat Xavier dengan sorot penuh harapan. Athena tersenyum simpul saat menemukan kekhawatiran di balik ekspresi Rieta.
Xavier mengangguk pelan. "Bisa dikatakan begitu."
"Jadi kau pensiun sekaligus tidak pensiun?" Matteo menyipitkan mata penasaran. Wajahnya beralih melihat Athena karena gadis itu tertawa kecil.
"Pekerjaan di Pentagon berbeda. Jam kerjanya tidak terlalu panjang kalau dibandingkan dengan apa yang selama ini Xavier lakukan. Dia akan lebih banyak mengandalkan komunikasi dan urusan kenegaraan."
Hugh kemudian menatap Athena dan membuka suara, "Athena, bagaimana denganmu? Apa kau juga akan kembali bekerja?"
Sekali lagi, pertanyaan Hugh seharusnya sangat sederhana. Tetapi entah mengapa, Athena perlu terdiam selama beberapa waktu untuk memikirkannya. Ia pun sudah memiliki jawabannya di dalam kepala tetapi bibir memutuskan untuk terkatup hampir lama karena merasa ragu. Athena lalu membuka bibirnya, hendak menjawab. Tetapi hati kecil selalu berbisik beberapa kali dan mempertanyakan hal yang sama padanya, "Kembali bekerja?"
Pertanyaan itu menghasilkan keraguan yang tidak seharusnya terjadi. Athena mengernyit bingung, pada dirinya sendiri. Ia kemudian memaksakan diri untuk menggeleng dan memberi senyuman. "Tidak."
Obrolan malam itu terlalu menyenangkan untuk terselip oleh perasaan keraguan dan ketidaknyamanan lainnya. Pembicaraan mereka usai ketika Rieta dan Hugh tampak puas dengan berita baru dari Xavier. Mereka berwajah sumringah, hampir menutupi gurat lelah. Melalui sorot kepedulian Rieta, dia menatap Xavoer dengan tulus. Athena tahu apa arti tatapan itu, Rieta dan Hugh senang karena kali ini Xavier akan baik-baik saja meski tetap menjadi seorang prajurit. Rieta berkata, "Aku senang sekali, selamat untukmu, Sole."
Xavier ikut tersenyum. Sorotnya hangat sekali ketika beradu pandangan dengan Rieta lalu mengangguk pelan sebagai isyarat terima kasih. Namun udara di tengah malam memang terasa dingin dan menusuk kulit. Api di perapian masih menyala ketika obrolan malam hari itu berakhir. Semua orang akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing. Mereka bisa melanjutkan obrolan di esok hari.
Sepanjang berjalan di koridor Villa, Athena terus tersenyum. Xavier membimbingnya menuju kamar tidur miliknya ketika lelaki itu dulunya masih tinggal di Italy. Di sepanjang koridor yang Athena lewati, banyak pigura-pigura menggantung di dinding. Penuh dan menghiasi. Di potret keluarga Langdon, Athena sempat menemukan foto orang yang familier yaitu ketika Xavier masih kecil sedang bermain di pantai dan berlari-larian di kebun anggur. Athena tertawa kecil, "Masa kecilmu menggemaskan sekali."
Berhenti dari langkahnya, Xavier menoleh. Athena sedang berjalan lambat rupanya sambil memandangi potret-potret. Xavier hanya tersenyum tipis. Athena lalu menunjuk salah satu potret, "Kenapa fotomu tidak banyak?"
"Aku tidak terlalu suka dipotret."
"Tapi sebagian besar di foto-foto itu, ekspresimu sangat sumringah dan kamu banyak tersenyum sambil melihat ke arah kamera." Athena mengernyit bingung saat berjalan mendekati Xavier. Ia masih berjalan mengikuti kemana Xavier pergi hingga mereka berdua berhenti di depan pintu kayu berwarna coklat. Sesekali ia menoleh ke arah belakang dimana pigura masa kecil Xavier tergantung.
Apa yang dikatakan lelaki itu berbanding terbalik sekali. Pertanyaan Athena tidak mendapatkan jawaban dari Xavier. Lelaki itu justru bersiap membuka pintu dan tersenyum. "Ini kamar tidurku. Jangan berekspektasi terlalu besar dengan isi di dalamnya, aku jarang menempatinya sejak pindah ke Amerika-"
"Tunggu." Athena menahan tangan Xavier. Ia berbalik untuk kembali melirik banyaknya pigura yang menggantung di dinding lantaran pertanyaannya belum terjawab. Semua pigura itu memajang foto Xavier ketika masih kecil, letaknya berurutan sebelum foto-foto Matteo saat masih bayi.
Maka Athena segera mengerti apa yang sedang terjadi. Berhasil menganalisanya. "Xavier, apakah yang mengambil semua foto-foto itu adalah ibumu?"
Xavier terdiam. Tidak menjawab sama sekali.
Kemudian Athena tersenyum simpul. Tangannya menunjuk semua pigura lalu beralih menatap Xavier dengan sorot tulus. "Semua ekspresi di foto itu, adalah ekspresi bahagia saat kamu masih kecil dan memperoleh masa kanak-kanak yang menyenangkan. Kamu tersenyum lebar di kamera karena ibumu yang memotretmu, bukan begitu? Semua foto itu banyak diambil saat kamu berusia dua hingga lima tahun. Setelah kamu berusia enam tahun, fotomu tidak terlalu banyak."
Semua jawaban Athena benar ketika Xavier meresponnya dengan senyuman samar. Xavier akhirnha melirik pigura-pigura foto miliknya. "Ya. Semua foto itu diambil saat ibuku masih hidup. Setelah itu aku merasa jika difoto dan tersenyum di depan kamera tidak menyenangkan lagi."
Jawaban tersebut sudah cukup. Athena mengerti apa yang sedang Xavier rasakan dan ia mengangguk. Senyuman tulus ia berikan untuk Xavier, sembari menggaet lengannya yang keras. Kali ini tubuh Athena sudah berbalik, memunggungi masa lalu dan melihat pintu yang ada di depannya. "Baiklah, ayo buka pintunya. Aku ingin melihat kamar tidurmu."
Maka Xavier tersenyum lebih lebar. Wajahnya merunduk sebentar untuk memberikan kecupan di kepala Athena. Ia membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan menunjukan pada Athena isi kehidupannya. Xavier melepaskan genggamannya dan membiarkan Athena berkeliling sepuas hati. Berjalan ke sana dan kemari. Xavier lalu membuka tirai jendela balkon kamarnya karena ia tahu Athena sangat menyukai pemandangan danau yang ada di luar.
Sementara Athena asyik mengelilingi kamar Xavier. Interiornya klasik, khas dengan arsitektur bangunan Italia dengan pilar-pilar tinggi. Kamar tidur Xavier tidak terlalu besar dan luas seperti kamar tidur di mansion mereka tetapi Athena juga amat menyukainya. Ada perapian besar yang sedang menyala, menyalurkan udara hangat ke seisi ruangan. Sofa-sofa berada di dekat perapian yang membelakangi pintu balkon. Ada ranjang berukuran besar dengan empat tiang kayu dan kain tipis menjuntai dari sudut-sudutnya. Terlihat nyaman dengan sprei bersih berbahan sutra berwarna putih dengan corak rumit yang samar-samar. Tempat tidurnya terletak di tengah, terapit dengan dua meja kayu dan lampu nakas.
Tas-tas Athena dan Xavier sudah diletakkan di walk in closet. Athena memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi, menyegarkan tubuh dan mengusir rasa lelah dan sisa jet lag dengan air hangat. Ketika ia keluar, Xavier sedang berdiri di pinggiran balkon kamar. Lelaki itu sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur. Penampilannya juga terlihat lebih segar dan rupanya Xavier menyelesaikan mandi lebih lebih dulu di ruangan lain. Athena lalu berjalan mendekat dan berdiri di samping Xavier, ikut memandang pemandangan yang sama.
"Mengapa kamu tidak mengatakan padaku kalau kamu sudah menyewa penginapan?"
Ketika Xavier menoleh dna ingin menjawab, keningnya justru berkerut. Penampilan Athena hanya menggunakan gaun sutra tipis berwarna oranye sepanjang lutut. Angin malam di dataran tinggi terlalu kencang dan dingin sampai Xavier bisa melihat lekukan tubuh Athena dari luar kain sutra saat angin bertiup. Gaun malam yang tipis tersebut juga sama sekali tidak mampu menghalau udara dingin. Dan Xavier terdiam beberapa saat untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan Athena. "Aku khawatir kau tidak akan nyaman untuk menginap di sini."
"Bagaimana bisa aku tidak merasa nyaman?" Athena tersenyum, menoleh sekilas ke arah Xavier. "Semua orang sangat menyenangkan dan hangat. Sama sepertimu, aku juga sangat merindukan nenek dan Rieta. Dan aku senang akhirnya bisa bertemu Matteo, dia orang yang menyenangkan dan suka bercanda."
Athena tertawa kecil. Mata birunya mendapatkan pantulan gelap dari langit malam saat melihat pemandangan danau yang tenang. "This is incredible. Aku tidak pernah melihat pemandangan seindah ini sebelumnya. Semua kesukaanku, berkumpul menjadi satu. Gunung, bunga, tanaman-tanaman hijau."
Maka Xavier tersenyum. Kalimat tersebut telah membuktikan bahwa dugaannya salah. Maka Xavier mendekat, mendekap untuk memberi kehangatan melalui lengannya yang kuat dari belakang. Xavier merengkuh sedikit wajah Athena ke samping agar ia bisa menatap wajah cantiknya sembari berbisik, "You look incredible too."
Senyuman Athena menjadi sedikit redup untuk mengulum bibirnya karena merasa tersipu. Seluruh tubuhnya meremang. Bukan karena angin malam, melainkan karena gelitik rasa bahagia yang begitu hebat menyerangnya. Athena lantas menyandarkan kepalanya di dada bidang Xavier yang selalu nyaman untuknya. Ia menoleh dan bertanua, "Apakah kamu senang hari ini?"
Xavier tersenyum dan menyandarkan dagunya di pucuk kepala Athena. "Aku sudah lama sekali tidak pulang ke Italy. Lebih dari tiga tahun."
Gadis itu mengangguk mengerti. Tangannya mengusap-usap lengan kekar Xavier yang sedang melintang di perutnya. "Saat-saat itu... pasti tidak mudah untukmu. Aku juga bisa melihat betapa rindunya dirimu dan semua orang saat menyambutmu datang. Kamu tahu? Aku ikut senang dan hampir menangis saat Nonna memelukmu."
Kemudian Xavier melirik Athena untuk mencari kesungguhan kalimatnya. Gadis itu hanya memandang ke depan. Xavier pun terdiam, menunggu lanjutan kalimatnya. "Mereka sangat merindukanmu dan jika bisa, mereka ingin kamu tetapi di sini dan memohon agar kamu tidak kembali ke Amerika. Tetapi mereka bukanlah orang yang egois dan memikiki kepercayaan penuh pada keputusanmu. Semua orang yakin kalau kamu akan baik-baik saja. Rieta pun sangat menyayangimu dan saat dia memelukmu, dia seperti sedang melepas rindu dengan anak kandungnya. Kamu juga sangat menyayanginya, bukan?"
Athena lalu memiringkan kepalanya ke samping untuk melihat wajah Xavier. Menelisik ekspresinya. Lelaki tampan itu sedang tersenyum samar. Dahi Xavier kemudian bersandar di bahunya. "Rieta sudah seperti ibuku sendiri. Dia dan Hugh merawatku dari kecil, bahkan sebelum Matteo lahir. Aku adalah orang yang beruntung karena memiliki mereka."
Pengakuan itu membuat sudut bibir Athena tersenyum. Darahnya berdesir kencang, terasa hangat saat membayangkan kehidupan Xavier yang tidak jauh berbeda darinya. Tidak memiliki seorang ibu. Maka Athena membalikkan tubuhnya untuk memeluk Xavier dengan erat. Ia pun tidak perlu mengatakan kalimat apapun, karena satu-satunya yang Xavier butuhkan sejak dulu adalah pelukan hangat dari orang terkasih yang peduli dengannya. Cukup lama Athena mempertahankan posisi itu, ia membiarkan Xavier bersandar padanya untuk memperoleh kenyamanan dan mengusir kesedihan.
"Bagaimana denganmu hari ini? Apa kau lelah?" Xavier berbisik dari ceruk lehernya.
Athena lantas mengangguk dan terkekeh. "Aku sangat mengantuk. Hari ini sangat melelahkan."
Maka pelukan tersebut berakhir karena Xavier membawa Athena masuk ke dalam kamar tidur. Xavier menutup jendela besar kamarnya, merapatkan dua tirai dan mematikan penerangan utama. Ia sedikit meredupkan lampu yang ada di atas meja nakas namun tetap mempertahankan api di perapian. Lalu berdua, berbaring bersama di ranjang yang besar. Mereka saling berpelukan, sama seperti malam-malam sebelumnya ketika akan tidur. Xavier selalu membentangkan lengannya, membawa Athena untuk tidur di antara pelukannya.
"Xavier?"
"Apa?" Xavier menundukkan wajah, melihat kelopak mata Athena yang sedang terpejam. Ia lalu meraih satu untaian rambut pirang Athena yang lembut dan harum.
"Kamu belum memberitahuku kalau kamu punya nama panggilan. Matteo dan semua orang memanggilmu dengan sebutan Sole hari ini. Jadi... apa artinya?"
Xavier sedang memainkan untaian rambut Athena ketika gadis itu bertanya. Untaian rambut itu ia lilitkan di antara dua jarinya, bermain-main, lalu membawanya untuk menyapu di wajahnya sendiri. Xavier teramat suka merasakan betapa halus dan lembutnya rambut Athena. Aroma jeruk dari shampoo, tercium begitu manis sekaligus menyegarkan ketika bercampur dengan aroma alami dari tubuh Athena. Xavier tersenyum simpul dan menjawab, "Sole berarti matahari. Itu adalah nama kecilku."
"Mengapa seperti itu? Apa kamu dulu suka berjemur di bawah matahari?" Athena tertawa pelan. Ia membuka matanya dan mendongak untuk menatap Xavier.
"Aku suka berjemur dan bermain di pantai Capri dengan Matteo." Xavier tertawa halus dan memalingkan wajahnya dari Athena. "Aku bahkan tidak perlu menjelaskannya karena kau sudah langsung tahu."
"Kalau begitu, mulai hari ini aku akan memanggilmu Jenderal Sole." Athena tersenyum dan tertawa jenaka.
Senyuman Xavier segera lenyap. Ia menatap Athena dengan sorot tajamnya. "Aku sudah berkali-kali mengatakan padamu dan jangan memanggilku seperti itu."
"Baiklah, aku akan memanggilmu Letnan Jenderal Sole Langdon saja. Atau Mr. Sole? Mana yang kamu sukai?" Berikutnya Athena tertawa kencang. Tubuhnya bergerak menjauh dari Xavier ketika ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terpingkal melihat ekspresi masam dan tatapan garang di wajah Xavier.
Lelaki itu menggeram kesal tetapi juga mendengus geli dengan tingkah Athena. Lengannya berada di posisi yang sama untuk selanjutnya merengkuh Athena kembali merapat dalam pelukannya. Kali ini Xavier berbaring miring, tangannya memastikan agar Athena tidak menjauh lagi darinya dengan memeluk pinggul gadis itu.
"Seharian ini aku sudah membiarkanmu bersama Matteo mengejekku habis-habisan. Sekarang aku juga membiarkanmu menertawaiku. Kapan kau akan puas?"
Mana sanggup Athena Wilson itu terus menggoda dan membuat Xavier kesal? Tetapi ia jauh lebih senang karena bisa melihat Xavier lebih banyak tertawa dan tersenyum hari ini. Semua orang pun tahu, gurauan dan ledekannya hari ini tidak pernah membuat Xavier kesal karena lelaki itu tersenyum untuk meresponnya. Sama seperti saat ini, Xavier sedang tersenyum kecil ketika mengatakan kalimat tersebut. Maka Athena mengangguk, membalas pelukan Xavier lebih erat dan menjulurkan tangannya untuk mengusap punggung Xavier yang tegap.
"Terima kasih sudah membawa ku ke Italy. Aku sangat senang." Athena tersenyum, ia menatap dua mata hijau Xavier bergantian. Setelah itu kepalanya merunduk, bersandar di dada Xavier yang bidang dan hangat. Terlalu nyaman, Athena mendesah senang melalui hembusan napasnya. Senyuman tipis masih tersungging sebagai bukti bahwa ia teramat menikmati momen yang berlalu.
Skenario yang menyenangkan.
Xavier membasahi bibirnya sendiri. Ia menyimpan senyuman lalu menunduk melihat Athena yang sedang memanggil alam mimpi. "Akulah yang harus berterima kasih padamu. Jika kita tidak pernah bertemu dan menikah, aku tidak akan pernah pulang ke Italy dan entah berada di belahan dunia yang mana sekarang. Hidup atau sudah mati."
Kemudian wajah Athena mendongak. Matanya sudah terbuka lebar namun tetap menatap sayu ketika menopang tubuhnya di atas dada Xavier. Sebelah tangannya lalu membingkai sisi wajah Xavier yang mengagumkan akibat pantulan api dari perapian. "Jangan pernah menyesal dan merasa egois. Kalau kamu ingin tahu, mereka sebenarnya tidak pernah keberatan dengan pilihanmu sebagai anggota militer. Yang lebih membuat mereka bahagia yaitu melihatmu bisa hidup dengan baik sampai saat ini."
Skenario itu memang menyenangkan, Xavier tersenyum dan ia bersyukur dalam hati. Ketika akhirnya ia bisa kembali ke Italy, ia kembali bersama Athena. Saling bergandengan tangan, tersenyum bersama. Skenario itu lengkap disertai malam hari yang menyenangkan. Juga untuk pertama kalinya, Xavier tidur dengan nyenyak bersama Athena. Berpelukan. Di Italy.
***
Hari-hari selama di Italy dihabiskan oleh Athena untuk mengenal lebih dalam tentang keluarga Xavier. Angan-angannya saat berada di dalam pesawat jet, benar-benar terwujudkan. Rencana kegiatannya bertambah menyenangkan ketika Hugh mengajaknya berkeliling di perkebunan anggur milik keluarga Langdon yang paling terkenal di dunia. Athena sempat berfoto dengan Xavier, tepat dimana lelaki itu mengambil foto ketika masih kecil. Athena berniat akan membingkainya dalam pigura dan menggantungnya di dinding mansion.
Namun menghabiskan waktu selama lima hari di Italy rasanya masih belum mampu untuk membayar kerinduan yang Xavier rasakan. Athena bisa melihatnya di kedua mata Xavier. Ia pun masih ingin berlama-lama menginap di Varenna. Duduk bersantai di kebunnya yang indah di pagi, sore, dan malam hari. Tak kenal waktu. Pemandangan di Italy memanglah indah, tetapi apabila dibandingkan dengan kebersamaan dan kehangatan yang di dapatkan bersama keluarga Langdon, semua itu tidak ada apa-apanya.
Tetapi satu hal yang masih tidak Athena mengerti. Terlepas dari kemampuannya untuk mengerti karakter manusia, ia masih tidak mengerti mengapa hanya Xavier saja yang memiliki sikap angkuh, dingin, dan susah untuk di dekati ketika semua anggota keluarganya begitu ramah dan hangat. Persis seperti apa yang sedang terjadi pada hari kelima, mereka berdua menghabiskan waktu seharian dengan Matteo di sebuah bar yang ramai yang terletak di sekitar pinggiran pantai. Seperti tourist guide, Matteo mengusulkan bar tersebut kepada Athena dengan rayuan-rayuannya. Xavier tidak banyak berbicara sementara Athena dan Matteo sudah membicarakan banyak hal sampai wajah yang memerah karena terlalu banyak tertawa terpingkal.
"Apa kau sudah pernah pergi ke Italy sebelumnya?" tanya Matteo. Dia sedang meneguk bir dari botolnya.
Athena menggeleng, "Dulu, aku mengambil gelar sarjana dan masterku di Prancis. Aku menghabiskan waktu cukup lama di sana tapi entah apa yang terjadi, aku tidak pernah berpergian ke kesini padahal Italy dan Prancis bersebelahan."
"Prancis?" Matteo mengangkat satu alisnya.
"Kenapa?" Athena bertanya dengan senyuman miring.
"Dia pernah jatuh cinta dengan gadis Prancis." Xavier menyahut lalu mendengus sinis sebelum meneguk martini nya.
Maka Athena tertawa kecil. Bibirnya menyeringai saat tubuhnya condong dan mendekati Matteo yang duduk di hadapannya. "Gadis Prancis? Wow, Matteo. Ceritakan padaku, apa kalian masih berpacaran sampai sekarang?"
"Pacaran? Dia bahkan tdak pernah menyatakan perasaannya." Xavier mendengus sekali lagi. Bibirnya tersenyum miring saat melirik Matteo.
"Mengapa begitu?" tanya Athena, ia melihat Xavier dan Matteo bergantian.
"Karena gadis Perancis itu menyukai pria lain dan hanya menganggap Matteo sebagai kakaknya."
"Xavier, kenapa kamu tahu segalanya?" Athena mengernyit dan menunjukkan ekspresi aneh.
Sementara Xavier Langdon itu hanya tertawa. Ia lalu meletakkan gelasnya dan mengusap sudut bibir yang basah. Sedangkan Matteo buru-buru menghela napas kesal dan menyipitkan matanya ke arah Xavier. Matteo beralih melihat Athena, menjawab, "Dia bukan gadis Prancis. Dia orang Amerika, sama sepertimu yang sempat tinggal di Prancis. Dia juga seumuran denganmu."
"Apa dia juga memiliki rambut pirang dan mengambil major yang sama denganku?" Athena tertawa kecil dan mengeluarkan gurauannya. Tetapi Matteo itu tidak tertawa sama sekali. Pandangannya beralih ke arah lain dan membayangkan suatu hal.
"Tidak. Dia tidak berambut pirang. Rambutnya berwarna hazel, seperti mataku."
"Huh, 'seperti mataku'." Xavier meledek, dengusan gelinya keluar saat menirukan kalimat Matteo. Athena buru-buru memberikan pelototan dan melemparkan sorot penuh ancaman padanya. Hal tersebut tidak mengurangi lirikan jahil Xavier kepada Matteo, tetapi cukup untuk membungkam bibirnya yang usil.
Ketika Matteo sedang sibuk melamun entah memikirkan apa, sudut mata Athena melihat dua orang berdiri tak jauh dari meja mereka. Seorang pria dan seorang perempuan. Selagi Athena mengajak Xavier dan Matteo membahas banyak hal, ia tidak bisa berhenti untuk diam-diam melirik dua orang tersebut. Orang asing itu juga melakukan hal yang sama terhadap mereka bertiga. Maka Athena pun terpaksa, mengedarkan pandangannya dari atas hingga bawah, ujung kepala hingga kaki. Mencari detail terkecil untuk menemukan penyebab mengapa orang-orang asing itu tidak berhenti memerhatikan mereka sejak tadi.
Kedua orang asing tersebut terlihat seperti sepasang kekasih. Cantik dan tampan. Wajah mereka khas orang Italy. Gadis itu berambut hitam, menggunakan bikini yang terbuka dan sering tersenyum sambil memotret dirinya dengan kamera ponsel. Tubuhnya tinggi dengan lekukan indah. Cantik dan terawat, gigihnya juga rapih. Athena cukup mengerti kalau gadis itu adalah seorang model majalah dari penampilan luarnya dan bagaimana caranya berjalan. Sementara sang pria, lebih banyak tersenyum dan mengajak gadis itu berbicara. Penampilannya kasual dengan celana pantai dan kemeja linen berwarna hitam. Aksesoris di tubuhnya terlihat mahal. Athena lalu menyipitkan mata saat tidak sengaja melihat tato dengan lambang palu dan lampu penambang. Maka saat itu ia bertanya dalam hati, mengapa seorang model dan pengusaha pertambangan sedang melihat ke arah mereka terus menerus?
Kemudian saat itu juga, pertanyaan Athena terjawab. Dua orang asing yang ia perhatikan sejak tadi tahu-tahu berjalan mendekat sambil bergandengan tangan. Gadis model majalah itu tersenyum lebar sekali sebelum membuka bibirnya untuk menyapa. "Xavier?"
Athena mengangkat alisnya. Menatap penuh selidik.
"Sophie? Anderson?"
Rupanya dua orang asing itu bukanlah orang asing mencurigakan seperti apa yang tadi Athena pikirkan. Matteo menoleh sebelum menyebutkan nama-nama itu. Gadis bernama Sophie dan pria bernama Anderson tertawa kecil. Xavier pun juga menoleh bersamaan dengan Matteo.
"Matteo?! Astaga!" Sophie yang cantik itu berseru. Matteo berdiri dan memeluk Sophie dengan akrab. Dia juga melakukan hal yang sama dengan Anderson, layaknya dua kawan yang tidak pernah bertemu. Saat itu juga Xavier berdiri, tersenyum tipis. Dia menyapa Sophie dan memeluk Anderson. Interaksi dan kedekatan keempat orang Italia itu membuat Athena persis seperti patung pajangan yang ada di pintu masuk Villa. Tapi dengan segelas mango frappe di tangannya.
"Siapa ini?" Anderson menoleh ke arah Athena, memberikan senyuman lebar.
Xavier pun tersenyum lebih lebar saat menoleh dan merangkulkan tangannya di bahu Athena. "My wife."
"Athena Langdon." Kalimat tersebut adalah isyarat bahwa Athena harus berdiri untuk memperkenalkan dirinya. Bergantian Athena menjabat tangan Anderson dan Sophie. Tetapi sudut mata yang terlalu peka dan terbiasa cepat untuk menganalisa situasi, bisa dengan mudahnya menemukan senyuman Sophie yang meredup. Tidak ada ketulusan karena sudut matanya tidak berkerut. Tersenyum palsu.
"Oh, apa yang sebenarnya terjadi?" Athena tersenyum dalam hati.
"Sejak kapan kau ada di Italy, Xavier?" tanya Sophie. "Aku sudah lama sekali tidak melihatmu di sini."
"Beberapa hari yang lalu." Xavier menjawab dengan senyuman samar. Satu tangannya masih menggenggam gelas martini lalu meneguknya sedikit demi sedikit.
"Apakah kalian berempat teman akrab?" Athena melihat empat orang di depannya bergantian. Anggukan kepala Matteo menjawab pertanyaannya.
"Ya, kami semua adalah teman di satu sekolah yang sama sebelum Xavier pindah ke Amerika." Anderson memutuskan untuk menjawab sebelum dia memperhatikan penampilan Athena yang sederhana. Hanya bergaun putih dan rambut yang tergerai.
Anderson lalu tersenyum miring dan berbicara kepada Xavier, "Apa kalian berdua sedang berlibur di Italy? Ataukah sedang berbulan madu? Omong-omong, aku tidak pernah mendengar berita bahwa pewaris utama Langdon sudah menikah. Kau memang hobi sekali menyembunyikan sesuatu padahal kami berdua ini temanmu."
Athena menahan senyum lalu melirik Xavier yang hanya tersenyum dan mendengus, tidak banyak berbicara. Tidak pernah selama hidup Athena, ia melihat orang yang begitu mudah ditebak selain Anderson dan Sophie. Kedua orang di depannya saat ini sedang mempertanyakan hal pribadi. Maka ia pun paham bahwa Anderson dan Sophie memiliki hubungan yang jauh lebih dalam dengan Xavier dan Matteo, lebih dari teman akrab.
Dugaannya sah ketika apa yang terjadi berikutnya dan untuk pertama kalinya, Xavier menunjukkan sikap posesif secara terbuka. Lengannya melingkar kuat dan pasti di pinggul Athena, merengkuh dirinya semakin dekat dan rapat. Athena hanya terdiam, membiarkan dirinya larut dalam pertunjukan yang sedang berlangsung.
"Apa yang kalian lakukan di sini jauh-jauh dari Capri ke Varenna?" Xavier tidak menjawab pertanyaan Anderson, beralih memberikan pertanyaan untuk Sophie dan Anderson.
Sophie akhirnya tersenyum lebih lebar sambil menyelipkan rambutnya salah tingkah. Dia hendak berkata tetapi Anderson menyelanya lebih dulu. Pria itu melakukan hal yang sama seperti yang Xavier lakukan pada Athena. Merangkul Sophie erat lalu menatap kekasihnya. "Aku menyusul Sophie kemari setelah dia selesai pemotretan dan aku mengajaknya berlibur."
Anderson kemudian menoleh ke arah Matteo yang sejak tadi tidak banyak berbicara. Terlihat tidak peduli. "Bagaimana denganmu? Aku dengar kalian baru saja mengembangkan resort di Puglia."
Matteo tersenyum tipis dan mengangguk. "Begitulah. Aku juga baru kembali dari Canada."
Obrolan bersama orang-orang yang Athena sempat duga adalah orang asing dan mencurigakan itu masih berlanjut hingga mereka keluar dari bar. Athena hanya terdiam, sibuk menelisik profil Sophie dan Anderson. Rasanya seperti sudah lama sekali ia tidak membaca profil orang secara diam-diam. Berbekal dengan sedikit pengetahuan bahwa Sophie dan Anderson adalah teman Matteo dan Xavier, Athena sudah meyakini bahwa keempat orang Italia yang sedang berbincang dan mengenang masa muda mereka sekarang dulunya memang tidak terpisahkan. Cara berbicara, sorot mata yang ditunjukkan, serta seberapa dalam mereka saling mengenal, membuktikan semuanya.
Sementara hanya ada satu hal yang masih Athena pertanyakan dalam hati dan kepalanya. Ia pun bingung harus berperan sebagai analis profil atau seorang perempuan saat mengartikan sorot mata Sophie ketika menatap Xavier. Tampak sedang menatap penuh pesona. Sophie mengagumi dan merindukan Xavier. Perempuan itu tidak ragu untuk tersenyum dan berbicara panjang lebar seolah-olah ungkapannya sejak lama telah terpendam.
Kemudian perasaan mengganjal hadir dengan iringan akal sehat. Athena hampir tidak percaya sekaligus yakin bahwa yang saat ini ia rasakan adalah perasaan cemburu. Untuk pertama kalinya, ia melihat dan menyaksikan langsung bagaimana Xavier adalah sosok lelaki penakluk wanita tanpa perlu repot melakukan hal yang berarti. Xavier tidak banyak menunjukkan ekspresi, hanya berbicara seperlunya kecuali menyakut soal pekerjaan. Juga menjawab pandek kalimat-kalimat Sophie maupun Anderson. Tetapi sosoknya memang begitu hebat untuk membuat semua perempuan terperangah. Auranya membuat siapapun bergetar.
Tetapi mata hijau itu sangat hangat ketika menatap Athena. Mengalahkan sinar mentari di sore hari saat ini. Ia tersenyum saat Xavier sesekali menatapnya. Mereka berlima mengobrol sembari berjalan beriringan mendekati bibir pantai. Sesekali bahasa Italy diucapkan, Athena tidak mengerti tetapi berusaha larut dalam pembicaraan. Pria-pria itu sedang membicarakan soal bisnis dan pekerjaan. Sophie hanya terdiam mendengarkan dan Athena menimpali beberapa kali sambil tersenyum menikmati langit senja di kaki langit.
Burung-burung camar berterbangan di atas kepala dan mengeluarkan suara khasnya. Asyik menjahili kepiting. Anderson tiba-tiba menoleh, menatap Athena lama-lama lalu tersenyum. "Rambutmu indah sekali."
Senyuman Athena yang tersungging pada saat itu seketika lenyap. Wajahnya berubah pucat. Suara lain berbisik di telinganya dengan kalimat yang sama. Kaki Athena lantas lemas ketika angin bertiup kencang, menggoyangkan rambutnya yang tidak terikat. Seluruh tragedi dan memori menyakitkannya di Gharco seperti terlukis di atas awan. Melayang dan menjadikannya mendung. Ketika Athena merapikan rambut-rambutnya, saat itu juga tangannya gemetaran. Irama detak jantung terdengar berdentum keras seperti gemuruh petir ketika badai. Athena bergeming dengan napas yang tercekat. Tangan gemetaran turun dari rambutnya.
Pujian Anderson seharusnya mendapatkan respon yang baik, tetapi semua orang tidak mendengarnya dari Athena. Mereka menatap Athena dengan ekspresi aneh. Gadis itu hanya terdiam, seperti patung. Xavier mengerutkan alisnya. Baru menyadari, bahwa tidak ada senyuman di wajah Athena ketika Anderson memberikan pujian.
"Athena? Ada apa?" Xavier bertanya pelan. Tangannya mencoba membingkai wajah Athena untuk menyadarkan gadis itu dari lamunan dan pandangan kosongnya.
Pertanyaan Xavier berhasil membawa akal sehat Athena berkumpul menjadi satu untuk menepis memori menyakitkan di dalam kepalanya. Athena mengerjap, ia membasahi bibirnya sendiri dengan gugup ketika melihat Anderson. "A-ah, terima kasih."
Ketika awan terasa mendung bagi Athena, awan milik Sophie sudah bergemericik hujan. Tangannya terkepal ketika menemukan perhatian yang Xavier berikan pada istrinya. Perasaan yang sudah lama terpendam memperparah hujan gelisah di hidupnya. Ingatan masa lalu mereka membayang-bayang. "Hei, Xavier, apa kau ingat saat kita masih sekolah? Dulu kita semua sering bermain di pantai ini sampai-sampai kau mendapatkan panggilan Sole. Apa orang-orang masih memanggilmu Sole? Dulu kau sangat menggemaskan, suka bermain di pasir dan berjemur."
Celetukkan Sophie beserta ocehannya untuk memamerkan kedekatan antara dirinya dengan Xavier sudah Athena hiraukan. Hampir masa bodoh. Ia sama sekali tidak bisa fokus dan sisa-sisa kecemasan masih mendentumkan irama jantungnya. Athena tahu, berekspresi cemburu seharusnya lebih baik dilakukan daripada menunjukkan ekspresi pucat karena mengenang tragedi menyakitkan dan mendapatkan trauma di saat yang tidak tepat.
Aroma garam laut mendadak membuatnya sesak napas, mual, pening, dan berkeringat dingin. Ombak yang membentur dan membasahi batu karang sudah tidak menyenangkan lagi untuk dilihat. Athena memalingkan wajah, teringat betul pemandangan tersebut sama persis dengan pantai Gharco.
Rasa syukur Athena tunjukkan melalui helaan napasnya ketika Xavier mendekap dan membawanya pergi dari wilayah bibir pantai. Perbincangan itu entah sejak kapan sudah berakhir, Athena tidak tahu. Yang ia tahu matahari sudah mulai terbenam ketika mereka menyebrangi Danau Como menggunakan open boat. Malam ini Xavier mengemudikannya dan melajukan dengan cepat. Membelah angin malam yang terasa dingin. Matteo sedang duduk di hadapan Athena sebelum berdiri dan duduk di sampingnya.
"Kau sepertinya sangat suka udara dingin. Tapi angin malam di perairan seperti ini tidak bagus untukmu yang belum terbiasa." Matteo memberikan kepeduliannya sembari meletakkan selendang di bahu Athena. Gadis itu tersenyum lalu merapatkan selendang di tubuhnya.
Ketika perahu sudah merapat di dermaga dan mesin perahu sudah dimatikan, Xavier turun lebih dulu untuk membantu Athena naik ke dermaga. Matteo berjalan mengikuti di belakang mereka dan saat itu Villa sudah sepi. Tidak ada nenek dan kakek Xavier maupun Rieta dan Hugh. Semua orang sudah beristirahat dan menggulung diri di bawah selimut yang hangat. Matteo kemudian berjalan ke lain arah, memutuskan untuk beristirahat di kamar tidurnya.
Malam hari itu sepulang dari pantai, Athena tidak berhenti memikirkan apa yang sempat terjadi padanya sembari berdiam diri sejenak di bawah rintik hangat dari pancuran air. Berpikir panjang. Dahinya berkerut. Berkali-kali ia mendesah keras dan mempertanyakan banyak hal pada dirinya sendiri, "Mengapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa rasanya begitu sesak?"
Dan saat itu ia hampir saja memberikan tontonan tidak menyenangkan kepada pemilik hatinya. Xavier hampir saja melihat serangan kecemasan dan sisi lain darinya. Tidak mau. Athena tidak mau memperlihatkan itu semua kepada Xavier. Sudah cukup dengan penyakitnya, tidak ada hal lain yang pantas untuk dibagikan hingga membuat Xavier ikut terluka.
Perenungan pun harus segera berakhir. Athena bergegas keluar dari kamar mandi setelah dirasa kegelisahannya tidak terlalu berat untuk dirasakan. Tubuhnya sangat lelah dan keinginannya hanya satu yaitu langsung berbaring di ranjang yang empuk. Athena sudah berjalan menuju ranjang tetapi terpaksa urung saat melihat Xavier duduk di depan perapian dan memutuskan untuk mendekatinya. Mempersiapkan senyuman terbaik. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Pertanyaan itu diberikan tepat ketika Xavier sedang menoleh dan menatap Athena. Ia menjawabnya ketika gadis itu duduk di sampingnya. "Apa yang terjadi padamu di pantai tadi saat Anderson memuji rambutmu?"
Senyum terbaik Athena bahkan belum tersungging sempurna dan lenyap begitu saja saat Xavier mempertanyakan apa yang terjadi tadi sore. Terkejut dan gelisah, Athena hanya terdiam. Ia berpikir sejenak dan menelan ludahnya sendiri.
"Ada apa?" Deja vu. Xavier mengernyitkan kening ketika melontarkan pertanyaan yang juga ia berikan ketika pertama kalinya ia melihat botol-botol obat milik Athena saat berada di Meksiko. Maka detik itu juga, Xavier menggeser duduk dan mendekatkan tubuhnya. Lalu tangannya merengkuh wajah Athena agar gadis itu memperhatikan dua sorot keseriusan dari matanya.
Athena tersenyum kecil. Menggeleng. "Di pantai? Tidak ada. Aku hanya melamun saat itu."
"Jangan berbohong." Xavier menggeleng pasti. Tangannya masih mempertahankan agar dagu Athena tetap terarah padanya. Ia memastikan gadis itu menatapnya supaya Xavier bisa yakin bahwa Athena memang sedang tidak berbohong.
Kemudian saat itu juga, keresahan yang sudah terpendam terlalu lama akhirnya Athena tunjukkan. Tidak sanggup. Gadis itu sudah tidak mampu untuk menahan diri lebih lama lagi. Napasnya yang tenang kini berubah menjadi memburu cepat dan debaran jantungnya berdetak kencang. Tetapi tetap dalam keras kepalanya, Athena memalingkan wajah ke samping. Menghindari tatapan Xavier.
"Athena. Jangan." Xavier mengernyit tidak suka. Rahangnya mengeras. Sekali lagi ia merengkuh wajah Athena untuk menatapnya.
"Ceritakan padaku. Ada apa?"
Pertanyaan sederhana itu hebat sekali dampaknya. Athena menggigit bibirnya sendiri, mati-matian menarik napas sedalam-dalamnya dan mencoba untuk tersenyum. Ia menatap Xavier sembari tersenyum tipis. "Siapa Sophie dan Anderson?"
Xavier mengernyit tidak mengerti.
"Apakah dulu kamu menyukai Sophie?"
"Sophie? Kenapa kita tiba-tiba membahas Sophie sekarang?" Xavier menghembuskan napas dengan ekspresi bingungnya yang masih tetap bertahan.
Terpaksa. Topik tersebut Athena lontarkan meskipun ia sudah tahu kebenaran dari pertayaannya. Tidak ada lagi yang bisa ia temukan dalam kepalanya untuk mengalihkan pertanyaan Xavier tentang kejadian tadi sore. Sungguh, apabila harus memilih, Athena lebih baik mendengarkan masa lalu Xavier daripada harus mengingat dan menyebutkan keresahannya.
Xavier akhirnya menghela napas. "Aku dan Sophie pernah dekat. Dulu. Usiaku terlalu muda untuk mengerti soal cinta dan perasaan."
Keheningan yang terjadi serta ekspresi tidak terbaca di wajah Athena semakin membuat Xavier bingung. Penjelasan singkat miliknya seharusnya mendapatkan respon kesal maupun cemburu meski ia tahu bahwa Athena seharusnya lebih dari tahu tanpa perlu Xavier menjelaskan panjang lebar.
"Apa aku harus menjelaskannya saat kau sudah mengerti semuanya?" Xavier bertanya sambil menahan senyuman miring. Mendadak lupa pertanyaan awalnya pada Athena.
"Aku juga ingin mendengarnya darimu." Athena mengerutkan bibirnya, teringat dengan sorot mata Sophie tadi sore. "Aku tidak pernah tahu tentang masa lalumu di sini."
"Masa lalu adalah masa lalu. Itu bukan apa-apa, aku bahkan tidak ingat sama sekali." Xavier menghela napas panjang-panjang sembari menyisir rambutnya ke belakang. Ia kemudian menoleh untuk menelisik ekspresi Athena yang hanya terdiam.
"Sophie sangat cantik, dia pasti seorang model majalah yang sukses." Athena tersenyum simpul lalu menoleh. "Bagaimana dengan Anderson?"
"Dia dan Sophie sangat dekat. Dua orang itu selalu bersama sejak dulu dan tidak terpisahkan."
"Ah, jadi cintamu sempat bertepuk sebelah tangan karena Sophie memilih Anderson yang selalu menemaninya?" Athena mencoba mengartikan sambil tersenyum.
Xavier tidak menanggapi sama sekali, ia sedang menggerakkan kepalanya. Tampak kelelahan dan seluruh saraf di lehernya menjadi tegang. Lantas Athena mengulurkan tangannya, memberikan sentuhan dan pijatan lembut di leher Xavier. Spontanitas Xavier memejamkan mata dan menundukkan kepalanya.
"Tetapi Sophie sepertinya memiliki perasaan suka padamu sejak dulu."
Lidah Xavier tiba-tiba berdecak ketika mendengar kalimat dengan nada santai itu terucap. Ia cukup tahu apa yang sedang terjadi dengan Athena. Maka ia menegakkan lehernya. Pijatan gadis itu berhenti saat Xavier menoleh. "Lalu apa? Itu tidak akan merubah perasaanku padamu jika itu yang kau khawatirkan."
Detik itu juga Athena tertawa halus. Tangannya mendorong bahu Xavier menjauh dan wjahnya berpaling ke arah lain. Aneh dan ganjil, dibalik tawa itu Xavier tahu bahwa Athena sedang menyembunyikan sesuatu. Gadis itu memang ahlinya dalam hal berbohong. "Kau tertawa? Kau sangat unik, Athena Langdon. Seharusnya kau cemburu."
Xavier mendengus geli saat menyebut nama belakang Athena yang baru. Ia menyebutnya dengan bangga seperti saat sore tadi ketika di bar. Setelah itu ia merengkuh wajah Athena untuk mencium bibirnya. Maka mata Athena terpejam, menyambut ciuman Xavier yang selalu menyenangkan. Gadis itu membalas lumatan Xavier. Tangannya terikat, mengusap leher Xavier yang terasa tegang. Secepat tiupan angin, Athena dengan mudahnya terbuai dan larut dalam suasana. Xavier selalu saja mampu menghibur hatinya yang gelisah dan sedih.
"Kau belum menjawab pertanyaanku." Xavier mengakhiri ciumannya tetapi tetap tidak menjauh dari wajah Athena.
"Pertanyaan yang mana?" Athena berbisik, masih larut dalam sisa-sisa sensai yang menyenangkan.
"Ada apa denganmu saat di pantai? Kau tiba-tiba saja terdiam dan wajahmu pucat. Apa kau sakit?"
Keresahan Athena hampir pergi tetapi pertanyaan tersebut mengurungkannya. Justru memperkuat, irama detak jantung Athena semakin kencang sembari menggigit pipi dalamnya. Frustrasi. Xavier tidak kunjung juga melupakan soal itu. Athena menggeleng putus asa. "Tidak ada yang terjadi, Xavier."
Kemudian Xavier mengeraskan rahangnya. Sekali lagi mendengus tidak suka dan menarik tangan Athena. Ia memberikan sorot tajam, memastikan gadis itu tahu bahwa saat ini keseriusannya bukan main. "Jangan berbohong denganku, Athena. Kita sudah sepakat untuk berbagi tentang segalanya."
Athena mengerjap. Bibirnya terbuka, hendak berkata tetapi ragu.
"Tidak apa-apa, katakan padaku." Xavier mengangguk pelan, memperbolehkan Athena untuk mengatakan apapun yang ingin gadis itu katakan.
Dan Athena kira, ia sudah jauh lebih baik saat Xavier mempertanyakan hal tersebut. Kecemasannya jauh lebih baik dibandingkan saat berada di pantai. Saat ini ia sudah bisa berpikir dengan benar tetapi mulai merasa lelah karena terus menerus menghindar dari pertanyaan Xavier. Maka ia mencoba untuk tersenyum kecil. Athena meraih tangan Xavier yang berada di bahunya.
"Ketika Anderson mengatakan sesuatu tentang rambutku... aku teringat dengan Alessandro Savino. Dia pernah... mengatakan hal yang sama saat hari pertama penyamaranku di Gharco."
Namun napas Athena tercekat.
Rupanya, menyebutkan kenangan menyakitkan tersebut tidak semudah ketika Athena menyebutkannya dalam hati. Kecemasan yang ia kira tidak terlalu berat dibandingkan dengan kecemasan yang dirasakan saat di pantai, rupanya jauh lebih parah dan menyakitkan. Teramat sesak, dadanya terhimpit oleh perasaan tidak mengenakkan.
Kening Xavier sudah terlipat dalam sembari menatap Athena khawatir. Jauh lebih khawatir ketika selanjutnya gadis itu memalingkan wajah untuk mengalihkan pandangan darinya. Lantas Xavier tidak membutuhkan hal apapun untuk menahan dirinya merengkuh Athena. Xavier memeluknya erat-erat.
"Maaf. Aku... aku masih belum bisa melupakannya." Athena melirih susah payah di pelukan Xavier. Jemarinya sudah meremas kaus Xavier sampai kusut. Matanya terpejam dan sibuk sekali menenangkan ritme pernapasannya. Dorongan untuk mengeluarkan isi hati terasa begitu kuat.
Mata Xavier terpejam kesal. Dalam hati sedang merutuki dirinya sendiri. "Kenapa kau meminta maaf? Sejak kapan ini terjadi padamu?"
Sosok yang berada di antara lengannya itu sedang bergetar karena ketakutan. Xavier bisa mendengar napas Athena yang tersengal. Xavier cukup mengerti tanpa Athena menjelaskan semuanya. Serangan trauma. Inilah yang sedang terjadi dan untuk ke sekian kalinya Xavier menyaksikannya. Sepanjang malam selama berada di rumah sakit, Athena juga mendapatkannya meskipun sedang berada di alam mimpi. Pun terjadi ketika Xavier mencoba menyentuhnya di malam pernikahan.
Sementara Athena Wilson itu sudah meneteskan air matanya, jatuh membasahai kaus Xavier. Tidak bisa lagi ia menahan lalu melampiaskan semuanya. Dada semakin terasa sesak dan Athena tidak bisa bernapas dengan benar. Kedua tangannya memeluk tubuh Xavier erat-erat, mencari perlindungan yang selalu ada untuknya.
"Aku sangat menyedihkan, bukan? Hanya aku satu-satunya yang masih seperti ini." Athena sudah menahan isakan, tubuhnya berguncang pelan. Menyesal karena pada akhirnya ia selalu membagikan kesakitannya pada Xavier dan emaksa lelaki itu ikut merasakannya.
Kepala Xavier kemudian menggeleng. Pelukannya semakin erat ketika tubuh Athena masih berguncang karena menangis tertahan. "Aku tidak mengerti mengapa kau berpikir seperti itu sementara yang harus kau lakukan cukup mengatakan semuanya padaku. Aku ada di sini. Semuanya sudah berakhir, Athena. Aku membunuh bajingan itu dengan tanganku sendiri."
Xavier mendesis menahan amarah tetapi tetap tidak mengurangi usapan dari tangannya di punggung Athena untuk menenangkannya. Gadis itu juga berusaha keras untuk menghentikan tangisannnya, mencoba tegar. Kepala Athena mengangguk kecil. "Aku tahu. A—aku hanya teringat dan rasanya sangat tidak nyaman."
Saat itu juga Xavier merasa dirinya begitu bodoh. Terlepas dari kemampuannya yang tidak bisa membuat Athena melupakan kejadian menyakitkan itu, ia pun seharusnya mengetahui lebih cepat apa yang sedang terjadi. Janji-janjinya untuk berada di samping Athena masih belum ia tunaikan dengan benar dan sekarang apa yang sedang terjadi, ia hampir terlambat mengetahui segalanya. Teramat tersiksa, Xavier menggeleng pelan pada dirinya sendiri ketika melihat Athena menangis dan memeluknya erat. Karena rupanya, dibalik senyuman dan tawanya yang riang, gadis itu menyimpan sejuta kesedihan di dalam hatinya.
Xavier tidak pernah tahu apa-apa.
Kemudian pelukan itu terurai sejenak. Xavier ingin merengkuh wajah Athena dengan sebelah tangannya. Ibu jarinya menghapus air mata yang memilukan sebelum mengecup kedua mata indah Athena bergantian. "Mulai sekarang, katakan padaku setiap kau merasa tidak nyaman dan gelisah. Aku akan ada di sini dan aku sudah berjanji. Sekalipun aku sedang berada di ujung dunia aku akan tetap berlari dan berdiri di sampingmu. Always remember that. You're not alone."
Dua mata biru yang berkilau indah yang baru saja Xavier kecup bergantian itu sedang mengerjap sedih bercampur haru. Bibir Athena bergetar, menahan tangis dan mencoba untuk lebih tegar. Athena mengangguk kecil dan Xavier merasa hatinya menjadi remuk ketika melihat kesedihan di wajah Athena tidak kunjung pergi.
Entah Xavier harus bertanya pada siapa ketika dirinya sendiri hampir terlambat. Ia tidak tahu harus melakukan apa untuk menyenangkan Athena yang beberapa hari ini sudah mendampingi dan berada di sisinya. Gadis itu menggandeng tangannya saat melepas kerinduan dengan keluarga. Tetapi apa yang terjadi? Coba lihat. Xavier justru tidak tahu bahwa Athena diam-diam memendam semuanya. Ia abai dan tidak memperhatikan dengan benar apa yang sebenarnya Athena Wilson itu butuhkan.
Kekasih hatinya yang tangguh itu mengatasi kesedihan seorang diri dengan susah payah. Jemari lentiknya mengusap air mata dengan terburu-buru setelah itu memeluk Xavier dengan erat. Selalu saja berusaha tampak tegar untuk orang lain. Untuk sementara waktu, Xavier hanya tahu bahwa malam hari itu Athena hanya memerlukan pelukannya. Gadis itu sudah terlalu lama larut dalam keresahan serta ketakutan dan memperparah dengan menyembunyikannya. Isak tangis pilu sudah berhenti beberapa lama kemudian, Xavier bersyukur tidak mendengarnya lagi. Napas yang tersengal sudah menjadi teratur. Wajah Xavier tertunduk dan menatap lama-lama Athena yang sedang terpejam dalam dekapannya. Setelah itu Xavier meraih tubuhnya dalam gendongan lalu merebahkannya dengan hati-hati di atas ranjang yang nyaman. Ia turut merebahkan diri di samping Athena.
Berdua, berbaring di bawah selimut yang hangat. Dan seperti malam-malam sebelumnya, Xavier merengkuh dan mengecup bibir Athena penuh kasih lalu berakhir memberikan kecupan di keningnya. "Tidak boleh ada mimpi buruk."
To Be Continued....
Aku mau tahu, sejauh ini setelah Athena dan Xavier menikah, apa yang kalian pikirkan? Komen ya :)