CERPEN

By NanasManis98

545K 45.5K 2.8K

Kumpulan beberapa cerita..... LIST : ⬇️ 1. CERPEN : CITRA✔️ 2. CERPEN : ODIT✔️ 3. CERPEN : AURORA✔️ 4. CERPEN... More

SALAM MANIS
CERPEN : CITRA
CERPEN : CITRA
CERPEN : CITRA
CERPEN : CITRA
CERPEN : CITRA
CERPEN : CITRA
CERPEN : CITRA
CERPEN : CITRA
CERPEN : CITRA
CERPEN : CITRA
CERPEN : CITRA
CERPEN : ODIT
CERPEN : ODIT
CERPEN : ODIT
CERPEN : ODIT
CERPEN : ODIT
CERPEN : ODIT
CERPEN : ODIT
CERPEN : ODIT
CERPEN : ODIT
CERPEN : ODIT
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : AURORA
CERPEN : FREYA
CERPEN : FREYA
CERPEN : FREYA
CERPEN : FREYA
CERPEN : FREYA
CERPEN : FREYA
CERPEN : FREYA
CERPEN : FREYA
CERPEN : FREYA
CERPEN : FREYA
CERPEN : KALEA
CERPEN : KALEA
CERPEN : KALEA
CERPEN : KALEA
CERPEN : KALEA
CERPEN : KALEA
CEPREN : KALEA
CERPEN : KALEA
CERPEN : KALEA
CERPEN : KALEA
CERPEN : KALEA
CERPEN : KALEA
CERPEN : KALEA
CERPEN : KALEA
CERPEN : KALEA
CERPEN : UNA
CERPEN : UNA
CERPEN : UNA
CERPEN : UNA
CERPEN : UNA
CERPEN : UNA
CERPEN : UNA
CERPEN : UNA
CERPEN : UNA
CERPEN : UNA
CERPEN : SHARMA
CERPEN : SHARMA
CERPEN : SHARMA
CERPEN : SHARMA
CERPEN : SHARMA
CERPEN SHARMA
CERPEN SHARMA
CERPEN SHARMA
CERPEN : SHARMA
CERPEN : SHARMA
CERPEN : SHARMA
CERPEN : SHARMA
CERPEN : SHARMA
CERPEN : SHARMA

CERPEN : CITRA

6.6K 647 14
By NanasManis98

Part 8
_____

Citra senantiasa menatap ke arah pintu. Menunggu kedatangan Arga. Pria itu tidak membalas chat, juga tidak menjawab panggilannya. Ingin menghubungi lagi, tapi ia merasa sungkan karena sedari tadi menghubungi Arga.

Tapi Arga telah mengatakan akan datang.

Menghela nafas pelan. Ia mengalihkan tatapannya dari pintu. Tatapannya tertuju ke arah beberapa anggota keluarganya yang mengerumuni Dairah dan Faras. Mereka tengah berbahagia karena Dairah telah mengandung.

Kalau saja Citra tau acara keluarganya ini untuk merayakan kehamilan Dairah, ia tidak akan datang.

Bukan karena Citra cemburu atau karena masih mencintai Faras, hanya saja ...

Citra tersentak saat ada yang mengecup pipinya. Ia menoleh menatap Arga yang tersenyum. Pria itu mengusap lembut perutnya. "Maaf ya baru dateng, tadi agak lama di rumah Om Iyo."

Citra tersenyum seraya mengangguk pelan. "Em ... kamu udah makan? Mau kuambilin?" Tiba-tiba merasa gugup. Meski sering mendapatkan perlakuan manis dari Arga. Ya tentunya hanya di depan keluarganya saja.

Tapi, entah kenapa akhir-akhir ini meski mereka hanya berdua, sikap Arga tidak sedingin seperti awal pernikahan mereka.

"Gak usah kamu, Yang. Biar aku aja." Tangan Arga beralih mengusap kepalanya.

"Makin lengket aja nih pasangan ini. Gak ada yang bisa ngalahin, ya?" sahutan Tante Sunny membuat mereka menoleh.

"Iya dong Tan. Harus ngalahin kemesraan Tante Sunny dan Om Badhri," sahut Arga seraya tertawa pelan. Karena memang Om Badhrika dan Tante Sunny adalah pasangan yang paling romantis di keluarga Janitra tersebut.

Kemudian Arga pamit dengan lembut pada Citra untuk mengambil makanan.

Citra menatap Arga lalu tersenyum hampa.

Kalau saja apa yang dilakukan Arga di depan keluarganya bukan akting, pasti ia sangat bahagia.

"Tapi Cit, biasanya suami itu kalau udah punya anak perhatiannya pindah anak. Apalagi nanti anakmu perempuan, kan?" Citra beralih menatap Tante Sunny, memaksakan senyumnya. "Kamu mau tips dari Tante gak biar Arga kayak Ommu yang selalu nempel. Kalau gak lihat Tante semenit aja pasti langsung di cari."

"My Sunshine!"

Mereka menoleh ke arah Om Badhrika yang mencari Tante Sunny.

Citra tersenyum geli, Tantenya itu segera pamit. "Nanti ya Tante kasih tipsnya. Ommu bakalan kayak anak kecil kalau gak lihat Tante."

Citra menatap Tante Sunny dan Om Badhrika. Tersenyum menatap mereka.

Walaupun Tante Sunny memberikannya tips. Hubungannya dengan Arga tidak akan seperti Om dan Tantenya tersebut.

Citra menatap Arga yang makan seraya mengobrol dengan Hansa.

Bisakah Citra melepas pria itu setelah ia jatuh hati?

"Ngelihatinnya gitu amat, Mbak." Citra tersentak, menatap Sauki yang tertawa geli menatapnya. Ia mendengus pelan mendengar panggilan, 'Mbak' dari adik sepupunya itu--anak dari Om Badhri dan Tante Sunny. Mereka beda setahun dan Sauki senang menjahili dirinya dengan memakai panggilan, 'Mbak'.

"Apa sih lo ketawa mulu? Lo make?" tatapan Citra lamat pada Sauki yang memutar bola mata malas.

"Gue bukan Patra. By the way, tuh anak kabarnya gimana?"

Citra mengendikkan bahu tak acuh. Ia tidak peduli pada Patra dan bahkan enggan menganggapnya sepupu lagi.

"Kapan lo balik?"

"Balik ke mana nih?"

"Ke alam lo," ujar Citra ketus membuat Sauki tertawa.

"Lusa mungkin. Mau bujuk Eyang dulu biar gue dibeliin pesawat jet pribadi."

"Kirain mau bujuk Eyang biar dikasih 15% saham Janitra Group?" balas Citra sarkas membuat Sauki tertawa.

"Itu mah cuma lo yang boleh minta deh. Bahkan lebih dari 15%, Eyang bakal kabulin."

"Makanya jadi cucu perempuan!" ejek Citra tertawa. Mengejek Sauki. Citra satu-satunya cucu perempuan dan kasih sayang Bayanaka Janitra sepenuhnya untuknya. Sehingga kerap kali sepupunya yang lain, bahkan Erik sendiri sering melayangkan protes karena Eyang mereka tidak bersikap adil. Tentunya protes mereka hanya pada orang tua karena tidak berani pada Eyang.

"Ya udah. Gue mau transgender aja deh."

"Gila!" Keduanya tertawa. Kedatangan Arga menyentak perhatian mereka.

"Jangan deket-deket ama bini gue!" Arga langsung duduk di tengah-tengah antara Citra dan Sauki. Membuat Sauki mendengus kesal dan pindah duduk di sofa lain.

"Posesif!" desis Sauki membuat Arga tertawa pelan.

"Makanya bro, cari cewek biar ada yang diposesifin. Iri kan lo?" ejek Arga pada Sauki yang mencebik kesal. Citra ikut tertawa pelan. Sesekali ia melirik tangan Arga yang melingkar di pinggangnya sehingga mereka duduk berdempetan.

"Cit, dia posesif banget, kan?" Mendapat pertanyaan mendadak seperti itu membuat kepala Citra mendadak kosong, ia hanya mengangguk pelan saja. "Emang sih nih anak posesifnya gak ketulungan. Gue inget banget pas kelas sebelas dulu, waktu itu Shali mau ikut lomba debat dan sekelompok sama cowok. Dia ngamuk sampe ..."

Perkataan Sauki berhenti saat tersadar, ia meringis pelan dan meminta maaf pada Citra. Lalu merasa heran karena Citra hanya tersenyum tipis. Sejak kapan Citra sekalem ini? Lalu ia menatap Arga yang tatapannya tajam membuatnya menyengir kaku.

Citra pamit untuk ke kamar mandi. "Citra, lo gak marah, kan?"

"Enggak kok. Tenang aja. Gue gak bakal nyuruh Eyang biar lo gak dapet jet pribadi," sahut Citra tertawa pelan lalu melangkah dengan pelan seraya memegang perutnya.

"Ga, lo marah ya?" Kini Sauki beralih pada Arga.

"Iya. Gue marah. Gue bakal nyuruh Citra bujuk Eyang biar dia gak ngasih lo jet pribadi."

"Arga, gue kira kita temen," ujar Sauki lesuh membuat Arga akhirnya tertawa. Merasa terhibur dengan ekspresi memelas Sauki.

Sementara itu Citra yang telah dari kamar mandi ke area dapur. Menemukan ART dan menyuruhnya untuk membuat teh hangat.

"Tunggu sebentar ya Non." Citra mengangguk, ia menarik kursi makan dan duduk di sana. Menatap kue gulung, menarik wadahnya. Hendak mengangkat potongannya, tapi suara seseorang mengurungkan niatnya.

"Kue itu buatan Mbak lho." Citra menoleh dan menatap Dairah yang tersenyum ramah padanya. Citra balas tersenyum. Senyumnya terlihat kikuk.

"Ini krim vanilla atau keju, Mbak?" tanya Citra mencoba berbasa basi pada Dairah.

"Vanilla."

"Gak kemanisan kan, Mbak? Soalnya aku gak suka kue yang terlalu manis." Citra hendak menyentuh potongan kue tersebut, tapi saat mendengar perkataan Dairah membuatnya berhenti.

"Gak. Mas Faras juga gak suka yang manis, makanya Mbak bikin kuenya gak terlalu manis."

Citra hanya mengangguk pelan, suara tapak kaki membuatnya menoleh dan ia menyesal.

Sosok Faras menghampiri Dairah. Keduanya menunjukkan kemesraan. Bahkan dengan sengaja Faras mengecup pipi Dairah membuat Dairah merona malu.

"Mas ih, ada Citra," ujar Dairah pelan mencubit pelan perut Faras. Tersenyum canggung pada Citra karena menyaksikan kemesraan mereka.

Faras menatap Citra sekilas. "Gak pa-pa. Dia bukan anak kecil lagi. Kalau mau dicium juga, bakal minta ke suaminya, kan?"

Citra terdiam menatap lamat Faras yang terkikik bersama Dairah. Tangannya meremas ujung dress yang dipakaianya. Tatapannya turun ke arah tangan Faras yang senantiasa mengusap perut Dairah.

Ia beralih mengusap perutnya. Pelupuk matanya kini digenangi air.

Rasanya sakit sekali ....

"Ini Non tehnya." Kepala Citra menegak, ia berterima kasih pada ART yang membuatkan teh untuknya. Lalu ia menatap Faras dan Dairah, pamit pada dua orang itu.

Mengangkat cangkir teh tersebut. Tangannya yang bergetar sehingga cangkir tersebut jatuh dan pecah.

Dairah terkejut dan segera menghampiri Citra. "Dek, kamu gak pa-pa?"

Dengan pelan Citra menepis tangan Dairah lalu menggeleng. Ia meringis pelan merasakan betisnya yang terkena cipratan teh panas tersebut.

"Kenapa kamu ceroboh sekali?" gumam Faras, pria itu berjongkok. Hendak mengusap betisnya yang kini memerah akibat panas, tapi ia segera menghindar.

Pria itu mendongak, hingga tatapan mereka bertemu. "Gak usah sok perhatian," ujar Citra dingin.

Dairah menatap bingung Faras dan Citra. Merasakan sikap dingin Citra pada Faras. Seorang ART membereskan pecahan cangkir dan satunya lagi mengepel lantai yang basah. Beberapa anggota keluarga datang untuk melihat apa yang terjadi. Begitupun Arga.

"Kamu kenapa?" tanya Arga menunjukkan ekspresi kekhawatiran.

"Betisku kena teh panas," ujar Citra manja, bahkan kini menangis. Bukan karena rasa panas akibat teh tersebut, bahkan ia tidak lagi merasakannya. Hanya saja ....

Air mata yang sedari tadi ia tahan tidak bisa lagi ia tahan.

Mami serta Eyang Uti menenangkannya. Mendudukkan dirinya di kursi. Arga bersimpuh di hadapan Citra, mulai mengompres betis Citra yang memerah.

"Harusnya kamu yang bawa teh itu!" Mami mulai mengomel pada ART yang menunduk, meminta maaf.

"Citranya aja yang manja, masa bawa cangkir teh aja gak becus?" celetuk Arumi, Mamanya Faras membuat Mami mendelik kesal.

"Maksud Mbak apa ngomong begitu?" balas Mami sengit.

"Yah kamu terlalu manjain dia. Makanya bawa cangkir teh aja gak bisa."

Wajah Mami memerah karena marah merasa Mama Faras menyebut dirinya tidak becus mendidik anak. Terlalu memanjakan Citra.

Semenjak Bayanaka mengalihkan perusahaan real estate dari Faras ke Arga, Arumi seakan memusuhi orang tua Citra, Erik dan tentunya Citra. Merasa tidak begitu adil. Apalagi tentang kasus yang menimpa Patra. Ia di larang kerasa menemui putranya tersebut.

Padahal hubungan mereka dulunya sangat baik. Mama Faras bahkan ikut memanjakan Citra.

"Seperti Mbak Arum kan yang manjain Patra, makanya kelakuannya kayak gitu ..."

"Maksud kamu apa?!!" Dua wanita tersebut sudah saling maju, tapi segera Eyang Uti melerai. Berujar tegas agar kedua menantunya tidak bertengkar.

"Kalian bukan anak kecil lagi! Kalian bakal punya cucu, kenapa kalian bertengkar seperti anak kecil?! Apa kalian tidak malu dengan anak dan menantu kalian?!"

Mami langsung meringis, sementara itu Mama Faras berlalu pergi.

"Udah mendingan?" tanya Arga lembut kembali mendongak menatap Citra. Tangannya terulur untuk mengusap pipi Citra yang basah. Wanita itu mengangguk pelan. "Ya udah kita pulang sekarang, mau?" Lagi-lagi Citra mengangguk.

Arga menatap Mami dan Eyang, keduanya mengangguk pelan dengan arti mengizinkan mereka pulang. Tanpa kata Arga meraih Citra. Menggendong wanita tersebut.

Citra memeluk leher Arga dan bersandar di dada Arga. Merasa begitu nyaman.

Dairah menatap kepergian Citra dan Arga, lalu menatap suaminya yang tatapannya tertuju pada kepergian dua orang itu juga. "Mas," panggilnya pelan membuat suaminya itu tersentak, lalu mengajaknya keluar, tidak lupa mereka pamit pada Eyang dan lainnya.

●•••●

"Ayah berantem sama Arga, ya?"

Dera mengalihkan tatapannya dari layar laptop pada Rere yang membawa secangkir kopi untuknya. Istrinya itu terlihat sendu. Ia melepas kacamatanya lalu mengusap kedua matanya yang terasa gatal karena terlalu lama menatap layar laptop.

Rere duduk di sofa yang berada di ruang kerjanya tersebut.

"Kenapa kamu nanya seperti itu?"

"Tadi aku nelpon dia, ngomong kalau dia ada waktu, bisa gak kalau kita makan malam bersama lagi. Dan jawabannya, dia malas ketemu kamu. Kalian kenapa lagi sih?"

Dera memijat pelipisnya. Kepalanya terasa ingin pecah. Pikiran tentang pekerjaan juga nasib putranya yang malang.

"Anak yang dikandung Citra bukan anaknya Arga." Butuh beberapa detik bagi Rere mencerna hingga wanita itu terlihat terkejut luar.

"Ma-maksud Mas apa?"

"Setelah kupikir-pikir, gak mungkin Arga lakuin hal itu, Re. Dan semalem aku nanya dia langsung buat mastiin dugaanku." Dera meremas rambutnya frustasi. Sementara Rere kini menangis.

"Bukannya dari awal Arga sudah ngomong kan, Mas? Kenapa Mas gak percaya?" tanya Rere lemah. Mengingat Arga yang awalnya kekeh tidak mengakui jika putranya itu yang menghamili Citra. Rere pun merasa bersalah karena tidak mempercayai Arga karena terlanjur kecewa dan tidak menyangka jika Arga berbuat seperti itu. "Terus sekarang gimana Mas? Aku gak mau kalau Arga hidupnya menderita. Dia tanggung jawab padahal bukan dia yang berbuat. Dia menikah bukan dengan perempuan yang dia cintai."

Terjadi keheningan beberapa saat hingga Dera kembali bersuara.

"Kalau Arga dan Citra pisah, besar kemungkinan Arga bakal menjalin hubungan dengan Shalita lagi, Re."

"Ya udah memangnya kenapa?" ujar Rere menatap protes Dera yang terlihat tidak suka. "Sampai kapan sih Mas gak mau berdamai dengan masa lalu? Shalita memang anaknya Mas Sabian, tapi Shalita gak tau apapun, Mas. Lagian dari kecil Shali diasuh kakaknya Mas Sabian dan istrinya."

Rere menarik nafasnya pelan lalu menghembuskannya. "Kamu juga gak mau berdamai dengan masa lalu tentang Mbak Randa."

Tatapan Dera melemah, lalu menunduk. "A-aku ngerasa bersalah Re. A-aku gak benci Randa." Suara Dera berubah parau. Hal yang ia pendam selama ini.

Selama ini Dera enggan membahas tentang Randa bukan karena membenci wanita itu, tapi karena perasaan bersalah. Sejak mengetahui Randa memilih bunuh diri, Dera baru tersadar jika keputusan Randa bunuh diri pastinya juga karena dirinya. Ia yang menutup akses agar Randa tidak bertemu dengan Arga. Menyembunyikan sosok Randa dari Arga.

"Mas ..."

Rere berdiri lalu memeluk Dera yang kini menangis tersedu-sedu. Meluapkan perasaan bersalah yang ia  pendam selama ini.

Dan keesokan harinya Dera meminta bertemu dengan Biantara. Bicara empat mata pada pria tersebut.

Biantara terdiam di tempatnya. Lalu menatap tajam Dera. "Maksud kamu apa?!"

"Saya tau ini terlambat, Mas. Dan waktu itu saya kalut dan kecewa makanya saya gak percaya dengan apa yang dikatakan Arga kalau bukan dia yang hamilin Citra. Juga karena waktu itu Mas tiba-tiba desak saya, suruh Arga tanggung jawab."

Kedua tangan Biantara terkepal kuat. Kepalanya tiba-tiba pusing.

Kenapa Citra berbohong?

"Suruh Arga ke sini!"

Segera Dera menghubungi Arga,  berulang kali hingga Arga menjawab panggilannya. Menyuruh putranya tersebut datang ke restoran tempat ia berada bersama Biantara.

Tidak berapa lama Arga datang dengan perasaan penasaran. Kenapa Ayah dan mertuanya terlihat frustasi?

"Jawab yang jujur Arga, anak yang dikandung Citra bukan anakmu?!" tanya Biantara sesaat setelah Arga duduk.

Arga tersentak, tapi kemudian memasang ekspresi tenang. Ia menatap Ayah yang menunduk dalam terlihat begitu lemah. Lalu ia kembali menatap Biantara. "Iya Pi," ujarnya pelan.

Biantara menghembuskan nafas kasar. "Kenapa kamu gak ngomong dari awal?!" bentak Biantara. Marah, dan tentunya merasa bersalah karena kesalahan putrinya, Arga yang sama sekali tidak bersalah terseret. "Siapa yang sebenarnya menghamili Citra?!"

Arga mencengkeram pahanya. Kedua tangannya gemetar. Ia membalas tatapan Biantara.

"Harusnya Mas Tara nanya Citra, kan?" Dera menyahut. Membuat keduanya menoleh.  

Biantara mengangguk pelan, ia mengeluarkan ponselnya, bersiap menelepon Citra, tapi segera Arga mencegah.

"Pi jangan sekarang," ujar Arga lirih menatap Biantara penuh pengharapan. "Citra sedang hamil. Baru beberapa hari ini kondisinya membaik. Beberapa bulan kemarin, dia frustasi dengan semua ini. Tolong, jangan membuat dia banyak pikiran lagi. Pikirkan kondisi Citra, dan juga cucu Papi."

Biantara menghela nafas kasar, ia meminta maaf pada Arga karena kelakuan Citra. Menyeret Arga dalam kubangan masalah tersebut.

"Bisa kamu kasih tau Papi siapa ayah dari anaknya Citra?"

"Biar Citra yang ngomong sendiri Pi. Itu bukan hakku," jawaban Arga membuat Biantara mengangguk. Arga menatap lamat mertuanya tersebut. Meski berusaha tetap tenang, tapi wajahnya yang mengeras bukti jika Biantara sangat marah.

Usai perbincangan tersebut, Arga pamit lebih dulu pulang.

Langkahnya berhenti saat Ayah memanggilnya. Ia menoleh menatap Ayah.

"Harusnya kamu gak ngomong seperti tadi, Ga? Kamu gak bahagia kan dengan pernikahan kamu?"

Arga tidak langsung menjawab, ia menatap Ayah yang terlihat sendu.

"Aku gak mau ada yang kayak Bunda ...," ujar Arga lirih. "Dan aku gak mau menyesal kayak Ayah ataupun kayak Om Sabian."

Dera terpekur, ia menatap kepergian Arga.

>>>>>>THE NEXT PART 9<<<<<<

Continue Reading

You'll Also Like

54.9K 130 11
cerita pendek hot,harap bijak dalam membaca. Semua tokoh dan gambar aku ambil foto di pinterest. Dan maaf banyak typo dan kata kata yang kurang pas...
Selingkuh By Me

Short Story

2.5M 12.4K 34
cerita pendek bahkan cerita bersambung dari sumber asli dan terpercaya, cerita nyata, normal, perselingkuhan dan sex, nama disamarkan ya.
156K 12.1K 21
Laura Amalia, gadis 17 tahun yang tidak menyangka bahwa dia akan bertransmigrasi ke tubuh bocah 12 tahun. Semuanya berubah. Dari abai, menjadi candu...
222K 10.5K 24
Mencerita seorang kenzi yang harus menanggung kesalahan kembaran nya yang menghilang entah ke mana