Faza tengah menyapu di sekitar sofa saat mendengar suara pintu yang terbuka. Gadis itu lantas menoleh dan melihat Tama yang baru saja masuk dengan membawa dua kantong kresek berukuran besar dengan logo salah satu supermarket. Dahinya berkerut saat melihat laki-laki itu membawa dua kantong besar tersebut menuju ke dapur tanpa menatapnya sama sekali.
Ia tetap melanjutkan menyapu tanpa mengikuti suaminya ke dapur. Tak lama, suara laki-laki itu terdengar memasuki telinganya saat dirinya baru saja selesai menyapu.
“Bahan-bahan kebutuhan dapur, tinggal kamu simpan. Saya di kamar, kalau kamu butuh bantuan panggil saja.” Hanya itu kalimat uang yang diucapkan Tama sebelum masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya rapat.
Setelahnya Faza langsung berjalan menuju ke dapur dan mendekati dua kantong besar yang berada di atas meja makan. Saat membuka, kedua matanya membulat sempurna melihat isi dari kantong tersebut. Laki-laki itu benar-benar berbelanja kebutuhan dapur dengan jumlah yang banyak dan lengkap.
Tak menunggu waktu lama, gadis itu langsung memindahkan isi dari kantong tersebut ke dalam kulkas dan lemari penyimpanan makanan. Hingga kedua tempat penyimpanan yang semula kosong itu kini telah terisi penuh dengan semua barang yang dibeli Tama tadi.
Faza jadi berpikir, kenapa Tama tiba-tiba belanja sebanyak ini? Apakah laki-laki itu tahu jika bahan-bahan kebutuhan dapur mereka telah habis? Tidak mungkin jika Tama tiba-tiba saja berbelanja banyak seperti ini tanpa alasan.
Bukan saat ini saja Faza dibuat heran. Tadi malam pun juga, dirinya ingat jika ia mengatakan pada Tama untuk meletakkan piring dan gelas makan malam di wastafel untuk ia cuci. Namun ketika dirinya keluar dari kamar, tak didapati piring dan gelas di wastafel. Laki-laki itu telah mencucinya sendiri.
Tadi pagi pun sama. Jika biasanya setelah sarapan Tama akan meninggalkan pirinya begitu saja di meja makan, tadi saya pulang sekolah ia tak mendapati piring dan gelas itu di meja makan maupun di wastafel. Lagi-lagi Tama telah mencucinya sendiri.
Atau mungkin saja laki-laki itu mencucinya sendiri karena dirinya sudah lebih dulu berangkat. Ya, ia tadi berangkat lebih pagi ke sekolah dan langsung memesan makan di kantin. Di dapur sudah tak ada yang bisa ia makan karena bahan-bahan telah habis. Ia membeli makanan pun dengan sisa uang yang ia miliki.
Gadis itu memang belajar untuk lebih berhemat sejak menikah. Tama tak pernah memberikan uang untuknya, jadi ia hanya mengandalkan uang pemberian ayahnya sebelum dirinya pindah ke apartemen dan juga sedikit uang tabungannya yang makin berkurang juga jumlahnya.
Ayahnya bahkan juga sempat memberikannya sejumlah uang kala dirinya berkunjung ke rumah orang tuanya beberapa hari lalu. Pria itu tahu jika kehidupan rumah tangga putrinya tidak seperti pasangan pada umumnya. Maka dari itu Pak Surya memberikan sejumlah uang untuk anaknya demi menghemat uang tabungan Faza.
***
Malam harinya masih sama seperti tadi malam, Faza hanya memanggil Tama untuk makan malam dan setelahnya gadis itu kembali ke kamarnya. Bahkan laki-laki itu melihat jika Faza kembali ke kamarnya tanpa membawa makan malamnya seperti kemarin. Mungkinkah gadis itu sudah makan lebih dulu tadi? Di meja makan pun tidak ada makanan lain selain makanan untuk dirinya.
Setelah menyelesaikan makan malamnya, Tama lantas mencuci piringnya dan kembali ke kamar. Begitu duduk di depan meja belajar, pikirannya tak bisa fokus pada buku di hadapannya. Laki-laki itu terus memikirkan sikap Faza yang ia sadari mulai berubah sejak kemarin.
Tidak banyak memang, tapi itu cukup terlihat menurutnya. Dirinya jadi menduga-duga, apa kiranya yang terjadi pada gadis itu. Mungkinkah istrinya itu tengah ada malasah? Apakah ia harus melakukan sesuatu? Atau setidaknya bertanya padanya?
Tama menggeleng memikirkan hal itu. Mereka tidak sedekat itu meskipun sudah hampir satu bulan mereka tinggal bersama. Dan ia rasa akan terlalu canggung dan aneh jika dirinya yang hampir tidak pernah berbicara tiba-tiba saja memulai obrolan terlebih dahulu bersama Faza.
Sementara ini ia biarkan saja dulu. Jika memang sikap gadis itu masih berlanjut seperti ini untuk beberapa hari ke depan, mungkin ia akan memutuskan untuk bertanya. Meski kemungkinan itu juga masih ia ragukan sebenarnya.
Di sisi lain, Faza tengah duduk dengan tatapan kosong menatap bukunya di atas meja belajar. Semangat belajarnya seolah menguap begitu saja, entah ke mana. Pikirannya pun kini sibuk memikirkan satu hal sejka kemarin.
“Apa yang gue lakuin ini bener? Apa gue berdosa bersikap kaya gini sama suami gue?” gumamnya pelan sambil membalikkan halaman buku di hadapannya.
Memang, sejak kemarin hanya itu yang terus berputar di pikirannya. Menghantui dirinya hampir dalam setiap hal yang ia lakukan.
“Tapi gue juga butuh waktu buat sendiri dulu. Ya Tuhan … semoga aja ini gak buat gue berdosa sama suami sendiri,” ucapnya lagi dengan suara pelan.
Sebenarnya alasan dibalik sikapnya yang tiba-tiba berubah adalah ucapan ayah mertuanya dua hari lalu. Entah kenapa, setelah mendengar ucapan pria itu dirinya jadi merasa ingin menjaga jarak dengan Tama untuk sementara waktu.
Kalian sama-sama terpaksa, kamu tau itu. Jadi jangan pernah berharap jika Tama akan mencintai kamu dengan mudah untuk saat ini.
Kalimat tersebut seolah menyadarkannya jika pernikahan ini memang bukan kehendak dirinya ataupun Tama. Mereka berdua sama-sama terpaksa menjalani hal ini karena tuntutan dari sosok Ranggadi yang sangat egois, bahkan kepada anaknya sendiri.
Faza bukan begitu saja menarik kesimpulan mengenai sifat ayah mertuanya itu. Karena berdasarkan cerita yang pernah ia dengar dari ayahnya, Ranggadi memang orang yang harus mendapatkan apapun yang ia inginkan. Meskipun itu dengan mengorbankan orang-orang di sekitarnya yang tidak bersalah. Seperti halnya Tama dalam pernikahan ini.
Tak terasa, setitik air mata mulai mengalir dari pelupuk mata gadis itu. Dengan segera ia menghapusnya dan setelahnya senyum kecut itu terbit di wajahnya.
“Lo harus kuat, Faza. Apapun yang bakal terjadi nanti, lo harus kuat. Jangan sampai jatuh cuma gara-gara kata-kata yang buat hati lo sakit. Anaknya Pak Surya harus kuat.” Kalimat itu ia ucapkan di sela senyumannya.
Berusaha menguatkan hati dan jiwanya untuk menghadapi ujian yang akan ia hadapi ke depannya yang ia yakini akan lebih berat dari sekedar kata-kata seperti yang ia terima kemarin. Entah kapan waktu itu akan terjadi, ia tetap harus menguatkan hatinya sejak saat ini. Ya, itu harus.
***
Suasana ramai di kantin saat jam istirahat memang akan selalu terjadi di semua sekolah. Dan seperti itulah Kiranya suasana kantin saat ini saat Faza tengah menikmati satu porsi soto ayam yang tadi ia pesan. Suara riuh di segala penjuru tak akan berakhir sebelum bel masuk berbunyi nanti.
“Eh yang relawan ultah kemarin jadinya udah ada yang maju? Apa ditunjuk sama si Vina?” Faza melirik pada Lani yang baru saja bertanya. Tidak berniat menjawab sebenarnya karena dirinya juga tidak tahu.
“Udah sih katanya. Si Vina sendiri yang maju. Kan dia sempet nanya di grup kan? Tapi gak ada yang mau, terus gue denger tadi ada yang bilang kalo dia sendiri yang mau. Kita tau lah kalo Vina orangnya juga suka ikut acara-acara gitu.” Sera dan Lani hanya mengangguk. Sedangkan Faza hanya diam mendengarkan.
“Padahal gue mau-mau aja sebenernya maju jadi relawan itu, asal satu acara sama Tama aja sih.” Ucapan Lani mengundang seruan dari Sera dan Tina. Kali ini Faza menggelengkan kepalanya mendengar kalimat tersebut.
“Inget lo udah punya cowok! Lagak lo kaya orang masih jomblo aja ngejar-ngejar cowok gitu.” Lani berdecak mendengar ucapan Sera yang jelas sedang menyindirnya.
“Gak perlu lo kasih tau juga gue inget kalo masih punya cowok. Lagian kan ….” Ucapan Lani terhenti begitu saja saat matanya tak sengaja menangkap keberadaan orang yang tengah ia bicarakan.
Tama, laki-laki itu berdiri di dekat meja yang berjarak dua meja dari yang mereka tempati saat ini. Cukup terlihat karena tubuh laki-laki itu yang menjulang. Seketika itu juga ketiga temannya ikut menatap ke arah yang sama.
“Anjir sih, tatapannya Tama kenapa bikin merinding gini sih? Tajem banget kaya omongan tetangga.” Sera berkata dengan arah tatapan yang tertuju pada Tama yang saat ini sedang duduk tepat menghadap ke arah meja yang mereka tempati saat ini.
“Auranya tuh beda ya dibanding sama cowok lain. Kaya ada sesuatu yang menarik kita buat ngeliatin dia gitu bawaannya. Gue curiga dia pake pelet.” Faza langsung tersedak kuah sotonya saat mendengar perkataan Tina mengenai suaminya.
Apa tadi katanya? Pelet? Ada-ada saja memang kelakuan teman-temannya ini. Dirinya yang sejak tadi diam seketika menarik perhatian ketiga temannya.
“Lo kenapa deh, Za? Makannya pelan-pelan aja, gue juga gak bakal minta kok. Kalem aja kali ah.” Setelah mengucapkan itu, Lani kembali menatap pada sosok Tama di depan sana. Pun dengan Tina dan Sera yang juga kembali menatap suami Faza itu.
“Eh anjir, dia ngeliatin ke sini woy!” pekik Lani dengan suara tertahan. Takut akan menimbulkan perhatian jika ia berseru kencang.
Faza yang baru selesai minum setelah tersedak tadi kini ikut menatap Tama yang ternyata juga tengah menatap ke arahnya. Tatapan tajam laki-laki itu seakan mengunci tatapannya. Namun Faza segera menggeleng dan mengalihkan tatapannya pada sisa kuah sotonya.
Entah laki-laki itu masih menatapnya atau tidak, Faza tidak peduli. Ia hanya sedang berusaha menghindari Tama untuk beberapa hari ini. Lagi pula ia juga tidak yakin jika Tama tadi memang tengah memandang dirinya. Mungkin saja orang lain yang ada di kantin ini.
“Za, gue rasa dia ngeliatin lo deh.” Sera bahkan sampai menggoyangkan lengan Faza agar gadis itu menatap pada Tama.
“Ngapain dia ngeliatin gue? Ngeliatin orang lain kali. Di depan itu kan juga ada orang, noh di belakang kita juga ada. Yakin banget kalo dia ngeliatin gue,” jawab Faza yang enggan kembali menatap Tama yang ternyata masih menatap ke arahnya.
“Tapi gue yakin dia ngeliatin lo kok. Di depan kita itu kan yang pas lurus ke Tama mejanya kosong, belakang kita juga gak mungkin deh.” Sera masih kukuh dengan jawabannya.
Dengan jawaban Sera itu Faza menatap sekitarnya. Memang benar, jika saat ini meja yang ada di depannya telah kosong. Dan saat ini benar-benar dirinya yang berada dalam satu garis lurus dengan Tama, meski terpisah dua meja di depannya.
“Lagian ya, Ser. Mau dia ngeliatin gue atau bukan, tetep aja gue gak berani bales natap dia. Lo gak serem ditatap setajam pisau belati gitu?” tanya Faza yang membuat ketiga temannya sempat mengiyakan ucapannya.
Sebelum kembali menyesap es jeruknya, Faza sedikit melirik pada sosok di depan sana dan laki-laki itu masih menatapnya juga hingga saat ini. Gadis itu buru-buru menundukkan kepalanya karena merasa takut akan tatapan tajam itu.
Ingin rasanya ia mengubah raut dingin itu menjadi wajah dengan senyuman. Namun ia sangsi bisa melakukan itu, sedangkan hanya dengan bertatap muka saja dirinya gugup dan takut.
o0o
8 November 2021