Setelah mengantar Zia sampai depan gerbang, Dara, Vinda, dan Kila langsung menuju kelas masing-masing.
Vinda lebih dulu sampai di kelasnya, ruangan itu memang berada di urutan pertama di deretan kelas XI MIPA. Kelas dengan papan yang bertuliskan XI MIPA 1 itu akan terlihat pertama kali oleh orang yang akan melewati bangunan MIPA.
"Duluan, ya."
Setelah melambaikan tangan, tubuh Vinda lenyap di balik pintu. Dara dan Kila melanjutkan langkah kaki mereka ke kelas paling ujung. Cukup jauh memang, tapi mengingat waktu masih bisa dibilang pagi mereka tidak mungkin terlambat.
Bisa dikatakan kelas XI Mipa 6 sangat jauh berbeda dengan kelas unggulan. Jika di kelas unggulan akan sepi karena penghuninya cenderung lebih memikirkan otak daripada perasaan, lain halnya dengan kelas Mipa 6. Kelas ini sangat ramai, normal seperti kelas pada umumnya.
Dengan kata lain, kelas itu jauh lebih waras daripada kelas unggulan. Alasannya tak lain adalah rata-rata siswanya tidak terlalu memikirkan isi otak mereka. Hal ini juga yang menyebabkan mengapa anak baru anak dimasukkan ke dalam kelas ini.
Kila mendorong pintu kelas dengan tangan, dia masuk kelas dengan diikuti Dara di belakangnya. Sudah cukup banyak siswa yang hadir di waktu itu.
Dara langsung duduk, membenamkan wajahnya di antara kedua lengannya. Kila yang melihatnya pun menautkan kedua alisnya. "Kenapa, lo? Sakit?"
Dara mendongak, memandang Kila sebentar lalu kembali pada posisi awal. "Gue ngantuk, haah," ucapnya sambil menguap di akhir kalimat.
Kila geleng-geleng kepala. "Bisa-bisanya, padahal kan lo tidur gasik loh?"
Dara mendengkus, "Gimana gue bisa tidur nyenyak, lo aja nonton film suaranya kenceng banget, astaghfirullah."
Kila terkekeh, "Emang keras banget ya?"
"Tau ah! Gue mau tidur bentar. Kalo ada guru bangunin, yak?" Dara mulai merapatkan kelopak matanya, tanpa menunggu jawaban dari Kila.
Kila mengacungkan jempol di depan wajah Dara. Walaupun sudah pasti Dara tidak melihatnya tapi ya sudahlah. Kila memutar posisi tubuhnya membelakangi meja. Ia mengajak ngobrol teman yang berada di belakang mejanya. Mereka terlihat sudah akrab.
Belum sempat jiwa Dara pergi ke alam mimpi, suara keras berhasil mengejutkannya.
"Woy warga kelas! Disuruh ke lapangan duluan sama Pak Broto," kata Anton-si ketua kelas.
Dengan cepat dan bersemangat seluruh siswa, keluar kelas. Kecuali Dara tentunya. Gadis itu berjalan dengan sangat lambat, seperti ulat hijau yang ada di teh pucuk. Seandainya baju olahraga Mawija berwarna hijau pasti akan susah membedakan antara Dara dengan ulat teh pucuk.
Dara itu anaknya mageran, tapi khusus untuk pelajaran olahraga saja. Kalau untuk pelajaran yang lain sih, Dara enjoy-enjoy saja. Hal ini tak jauh dari kelemahannya di bidang ini. Dara tidak bisa olahraga, memukul bola saja masih belum khatam. Sebab itu, Dara mengidap sindrom malas pelajaran olahraga.
Kila yang geram melihat pergerakan Dara akhirnya menyeretnya hingga sampai ke lapangan. Dara hanya menurut ketika tangannya ditarik dan diseret Kila. Gadis itu tampak pasrah dan tidak melakukan perlawanan apa pun.
Sesampainya di lapangan mereka langsung dikomando oleh Anton untuk berbaris. Dara dan Kila yang datang terakhir mendapat barisan di belakang. Setelah itu mereka melakukan pemanasan sebelum melakukan olahraga inti.
"Satu... dua... tiga... empat... lima... enam... tujuh... delapan...." Anton mengomando teman-temannya dengan suara lantang. Dia berdiri paling depan.
Setelahnya mereka mulai membubarkan barisan. Pak Broto, selaku guru olahraga mendekati kumpulan siswa itu. Lalu beliau mulai memberikan instruksi untuk kegiatan pembelajaran hari ini.
"Kalian latihan sendiri dulu. Udah pada bisa main kasti, kan?"
Serempak semua siswa menjawab iya, kecuali Dara. Gadis itu paham teknik-teknik untuk bermain kasti, hanya saja untuk praktek gadis itu sudah yakin. Yakin gagal maksudnya.
Dari dulu, Dara memang nol besar dalam olahraga. Saat disuruh berlari ia selalu berada di urutan terakhir, pada saat voli atau basket dia tidak bisa melambungkan bola sampai ke net lawan. Kalau tenis, ya sama saja. Tidak bisa.
"Dara! Lo ngapain begong?" tanya Ryn yang sedang memegang bola kasti untuk Dara pukul.
Dara menatap Ryn memelas, "Gue gak bisa."
Kila menggelang, "Alah, palingan alesan dia, masa kasti aja gak bisa. Dar! Lo pasti bisa, gue jamin."
Ryn mengangguk, meyetujui perkataan Kila. "Iya, tinggal pukul aja, Ra."
Dara mengumpulkan energi untuk memukul bola kasti. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya pelan-pelan. "Oke, gue siap."
Dara mengencangkan pegangannya pada tongkat kasti. Ryn mulai melambungkan benda bulat kuning itu. Benda itu mulai melayang mendekati Dara. Ia panik, dengan cepat dan keras ia menabrakkan tongkatnya ke bola.
Bola itu melambung ke arah yang salah, ke belakang. Benda itu melayang menuju ke pohon di tepi lapangan dan mengenai sesuatu dibaliknya.
Dara menutup mulutnya lalu tertawa garing. "Ehehe, sorry jauh banget."
"Santuy, Ra. Tapi lo yang ambil bolanya ya? Kaki gue sakit kalo dibawa ke deket pohon soalnya, hehe." Kila berceloteh tidak jelas. Apa hubungannya coba? Padahal kan ini tugasnya penjaga base dan itu tugas Kila.
"Lah, kan lo penjaganya. Lo yang ambil lah," ucap Dara, membela diri.
"Alah, cuman latihan doang. Itung-itung lo latian ambil bola, ya udah sana ambil," jawab Kila dengan santai.
Dara mendengkus kesal. Akhirnya gadis itu memilih mengalah daripada nanti makin panjang perdebatannya, dan yang paling gadis itu inginkan adalah cepat-cepat menyelesaikan pelajaran olahraga hari ini!
Dara mulai melangkahkan kakinya ke arah pohon yang disinggahi bolanya tadi. Sesampainya di sana Dara menemukan sosok yang pernah ia temui sebelumnya sedang memegang bola kastinya.
Cowok itu-cowok kemarin. Cowok yang dia kira bisu, cowok yang mau bertengkar saat di kantin, dan orang yang katanya bernama Delta!
Sedang apa dia di bawah pohon? Awal mereka bertemu Dara juga menemukannya di sana. Apakah cowok itu mempunyai kebiasaan yang aneh dengan berdiri di dekat pohon? Dan apakah dia tidak masuk kelas saat jam pelajaran berlangsung?
Dara segera menghilangkan semua pertanyaan di kepalanya. Tidak ingin Kepo dengan orang lain. Dara segera menghampirinya untuk mengambil bola kasti tadi. "Gue mau ambil bolanya."
Cowok itu mendongak menatap Dara. "Lo yang lempar?"
"Iya, kena lo ya?"
Dia mengangguk lalu menunjuk buku tebal yang sudah kotor dengan lumpur, tanpa bertanya pun Dara sudah tahu kalau buku itu masuk ke dalam kubangan di depan sana dan itu mungkin karena bola yang dipukulnya tadi.
"Eh sorry, janji gue bakal ganti. Lo belinya di mana? Biar gue beliin."
"Hape." Dia mengulurkan tangan.
"Hah? Lo mau hape gue, jangan dong. Nanti gue ganti, suer!"
"Nomor hape, buat jaga-jaga kalo lo kabur."
Bisa-bisanya dia perpikiran seperti itu. Dara tidak akan kabur juga kan, kalau pun kabur mereka satu sekolah, pasti akan mudah untuk mencari Dara. Mengingat ia sudah cukup lama, Dara jadi mengiyakan saja permintaan cowok itu. Dara mulai mengejakan 12 digit nomor miliknya.
Setelah selesai Dara baru kepikiran. "Gak lo apa-apain kan nomor gue?"
Cowok itu mengendikkan bahu.
"Heh yang bener!"
"Iya."
"Besok, abis pulang sekolah lo ikut gue," katanya lantas dia melirik jam tangan yang bertengger di pergelangan tangan kirinya.
Dara mengernyit, "Mau ngapain?" Dara berpikir sejenak, lalu dia bergumam, "Oh... buku."
Cowok itu mengangguk, lalu melempar bola kuning itu ke Dara sebelum beranjak pergi, mungkin ke kelasnya.
Dara dengan cepat menangkap bola itu, tidak sulit mengingat jaraknya tidak terlalu jauh. Dara dengan sedikit berlari kembali ke perkumpulan kelasnya.
Melihat kedatangan Dara, Kila pertama kali yang berkomentar. "Lama banget, dah."
"Lo gak ketemu monster kan?" tanya Kila kemudian.
"Lo gak diapa-apain sama monsternya kan?" tanya Ryn ikut-ikutan.
Dara menggeleng dengan pasti, "Enggak ada...." Dara menggantung kalimatnya. "Eh yang kalian maksud monster itu... Delta?"