Medali Loker 4 (Hiatus)

By holmeshinicha

19 13 0

Sebuah misteri yang hilang. Karin dihadapkan pada semua teka-teki di sekolahnya. Belum genap dirinya masuk ke... More

Mayat dari Danau
Murid Baru
Semprot and Semprul
Bayangan
Hilang?
Mayat Lagi?
Ada Penghuninya?
Hujan

Pergi?

1 1 0
By holmeshinicha

Roy melangkah memasuki gedung begitu selesai memarkirkan sepedanya. Arloji hitamnya menunjukkan pukul 7 kurang 5 menit. Dia memang bukan menjadi yang pertama tapi setidaknya dirinya masih berbaik hati untuk melaksanakan piket hariannya, tak seperti siswa lain yang cenderung acuh.

Suara para cewek terdengar dari dalam. Roy tak memedulikan itu dan segera memasuki kelas. Setelah menaruh tasnya, ia langsung menyandang gagang sapu.

Lantai kelas tampak kotor meskipun kemarin sore juga telah dibersihkan sebelum pulang. Mungkin karena efek lewat semalam jadi debu-debu berdatangan lagi.

Roy menyapu dari setiap sudut kelas. Butuh waktu lama hingga teman-teman yang lain datang. Masih didominasi para siswi, berkali-kali ia mendapat pujian dari teman cewek sekelasnya karena sanggup membersihkan lantai selama beberapa menit.

"Lo udah dari tadi nyapu, ganti ke Arslan aja! Keenakan dianya entar," saran Sonia—teman sebangku Naya yang kini tengah menemani Naya memeriksa buku absen. Kedua cewek itu memang sering datang lebih awal. Namun, yang paling istiqomah melakukannya ialah Karin dan Naya. Sonia hanya kadang-kadang saat tak terlalu malas.

Roy tak mau ambil pusing. Setelah membuang debu-debu yang ia kumpulkan, disodorkannya sapu ke teman sebangkunya yang kini asyik bermain ponsel. "Gantian!"

Arslan mengibaskan tangan sambil terus mendelik ke layar pipihnya. "Bentar dulu, Roy! Tanggung, nih!"

"Nyapu bentar nggak bikin Lo mati sekarang!" seru Sonia yang masih tak beranjak dari posisinya semula. Ditambah dengan tatapan nanar Naya di sebelahnya.

Arslan mengerang kesal. Ia mematikan ponsel dan menyimpannya dalam tas. "Lo baik amat, Roy. Mau gantiin posisi Aiden?" ucapnya tanpa bermaksud apapun. Arslan meraih gagang sapu Roy sambil terkekeh. Namun, sepertinya ucapan itu menjadi pusat perhatian otak semua siswa, tanpa terkecuali Naya dan Sonia. Sedangkan Roy memilih tak peduli.

Intan datang bersamaan dengan Valda. Keduanya langsung menuju tempat duduknya. Ekspresi keduanya yang ceria berubah masam. Sosok yang biasanya selalu stand by di kursi depan Intan tak terlihat. Hanya tas hijau saja yang menandakan keberadaannya beberapa saat yang lalu.

"Mana dia? Kok nggak keliatan batang hidungnya?" tanya Valda ingin tahu.

Intan mengedikkan bahu. "Tunggu aja di sini. Paling ke toilet atau nggak lagi nyari permen kaki." Valda mengangguk mengerti.

Namun, hingga bermenit-menit berlalu Karin tak kunjung terlihat. Bel berbunyi tepat saat Rena masuk ke kelas. Hampir terlambat tapi setidaknya ia tak menghilang seperti Karin.

"Ren, Lo lihat si Karin nggak?"

Cewek berkacamata itu melirik ke kursi samping. Ia terkejut dan baru sadar bahwa sosok yang biasanya selalu menyapa dirinya saat datang bersamaan dengan bunyi bel kini tak ada. Hanya tas lusuh yang teronggok asal di atas kursi. "Eh, di mana Karin?" tanya Rena refleks.

Intan mendengus. "Justru itu kami nggak tahu, makanya nanya elo."

Valda menatap jam dinding kelas. Seketika matanya membulat lalu ia segera menyediakan buku-buku dan alat tulis. "Gawat! Kalo Karin nggak dateng-dateng, nanti kita harus jawab apa pas Bu Anggi ngabsen?"

Intan langsung panik dan melakukan hal yang sama dengan Valda barusan. "Oh iya, hari ini 'kan ada tes lisan! Gue lupa belajar, gimana dong?"

Valda melipat kedua tangannya. "Sumpah demi apa si rajin Intan nggak belajar?" Alisnya menaik seolah ikut menyindir teman sebangkunya itu.

"Selamat Pagi!"

"Mampus, Karin!" seru Valda pasrah.

Sosok wanita berkacamata tebal memasuki ruangan dengan setumpuk buku dan tas clutch andalannya. Rena menelan ludah. Ia beringsut ke belakang. "Gimana, dong?" Intan hanya menggeleng lemah. Sedangkan pikirannya kacau dan tubuhnya menegang karena keteledoran dirinya tadi malam.

***

Karin berlari sekencang mungkin meski ia tahu sudah terlambat baginya untuk pergi ke kelas. Tapi ia tak peduli. Dia hanya berpikir bagaimana caranya agar dirinya secepat mungkin telah kembali ke kelas. Bahkan, ia tak memikirkan alasan apa yang ia katakan nanti saat Bu Anggi menanyainya.

Menjauh! Kakinya harus menjauh dari ruangan tak berpenghuni itu dan sebelum si pelaku menemukan fakta bahwa dirinya tak ada di kelas, Karin harus berusaha mengkondisikan bahwa dirinya bukan seperti yang orang itu kira.

"Biarkan saja! Kalau perlu hingga sekolah ini penuh darah pun!"

Berkali-kali Karin meneguk ludahnya. Padahal, ia sedang berlari dan memungkinkan kerongkongan jadi kering. Kata-kata mengerikan terus menghantuinya hingga kini.

Suara itu ... yang entah kenapa membuatnya semakin mual. Karin tak ingin berprasangka buruk jika harus menyangkut sekolahnya. Ia sangat berharap jika dugaannya salah. Meski di bagian lain dalam hatinya tak terima jika sosok senior yang lembut itu menjadi salah satu korbannya. Sosok yang pernah ia tolong lalu menghilang tanpa ada yang tahu pergi ke mana.

"Se–selamat ... p–pagi ...."

Karin mengusap peluh yang membasahi wajahnya. Semua mata menatapnya. Namun, hanya satu pasang yang mengintimidasi dengan aura menegangkan. Karin tahu apa akibat dari semua yang dilakukannya barusan.

"Karin Aditha!"

Karin mendongak. Tubuhnya menegang. Guru IPA itu tampak misterius namun sorot matanya mengisyaratkan kekecewaan, kemarahan, terkejut menjadi satu.

"Duduk ke bangkumu, sekarang!"

Perintah wanita berkacamata tebal itu bagaikan sengatan listrik yang menjalari tubuh Karin. Suaranya menggelegar bagaikan sambaran petir di tengah teriknya matahari. Tapi Karin jelas tahu bahwa cuaca hari ini teduh. Mendung namun tak hujan. Panas pun tidak.

Setelah jam pertama usai, pelajaran selanjutnya Karin jalani dengan biasa. Namun, pemikiran-pemikiran aneh dan mengerikan terus menghantui dirinya. Seabrek pertanyaan yang diberikan Bu Anggi tak berpengaruh apa-apa jika dibandingkan dengan ketakutan akan apa yang telah ia lakukan selama jam pertama tadi.

Karin berharap, sangat berharap bahwa Bu Anggi tak membicarakan apapun jika ada yang menanyainya sesuatu. Ia harap teman-temannya bungkam atau mengatakan keberadaannya dalam kelas meski terlambat. Karin sangat berharap. Kalau tidak, tamatlah riwayatnya.

"Woi, mau sampai kapan berdiri di situ?"

Suara bariton itu mengagetkan Karin sekaligus mengeluarkannya dari dunia bawah sadar. Sejenak, ia menegang. Suara yang didengarnya sewaktu di tempat itu juga terdengar berat dan mirip jenis bariton seperti ini. Hanya saja lebih dewasa.

"Gue lagi piket! Debu-debu ini mau gue buang! Mau ikut mereka?"

Karin beringsut dan melangkah menjauh dari pintu. Namun, tak tersihir oleh ucapan Roy barusan. Karin pergi keluar gedung. Rasanya ia tak bersemangat untuk pulang. Tapi jika tidak, maka hidupnya akan berakhir saat ini juga. Bisa jadi nyawa keluarganya terancam.

"Ahahaha! Saya bisa menjamin akan semuanya."

Karin menelan salivanya susah payah. Perutnya mulas dan mendadak nyeri di kepalanya. Pikirannya terbang ke tempat di mana ia melihat sosok bayangan samar.

"Ya! Polisi-polisi bodoh itu nggak akan sadar soal ini. Tenang saja!"

Ini sudah kedua kalinya ia melihat penampakan mayat di sekolah. Padahal, rasanya baru kemarin Karin mendaftar dan menjalani serangkaian tes. Tapi ia masih merasa semua ini hanyalah mimpi. Sebuah halusinasi yang sering terjadi oleh kebanyakan remaja yang keseringan menonton tayangan atau bacaan yang dramatis.

"Iya, saya sudah memperhitungkan semua."

Meskipun demikian, Karin yakin ia tak sedang berhalusinasi. Dia mual membayangkan semua dugannya adalah benar. Tapi dia juga tertawa jika itu semua salah.

"Mereka yang jadi penghambat harus dimusnahkan!"

Karin tak mengerti di mana kesalahan itu terjadi. Apa dosanya di masa lalu menjadi karma di masa kini?

"Biarkan saja! Kalau perlu hingga sekolah ini penuh darah pun!"

Karin berharap bencana seperti itu tak akan terjadi. Sekolah ini adalah tempat menuntut ilmu. Karin ingin belajar dengan nyaman tanpa ada unsur misterius yang seakan menjadi bayang-bayang abadi para penghuni sekolah.

"Ya, saya bisa memastikan itu!"

Kepastian adalah harapan yang menjadi nyata. Tapi ucapan orang itu tak akan menjadi nyata. Karin berharap begitu. Semoga, tapi bagaimana jika hal itu akan terus berlanjut di sini? Apa yang terjadi? Bagaimana caranya menghentikan semua kemungkinan-kemungkinan buruk yang terus melintas di benaknya? Karin tak ingin memikirkannya. Ia tak ingin itu terjadi. Jangan!

"Woi, Lo mau peluk gue sampai kapan?"

Eh? Kok suara cowok?

Karin mendongak. Pikirannya berputar-putar saat menyadari kedua tangannya melingkar di pinggang yang berbalut jaket kulit hitam milik Roy. Ia refleks melepasnya dan canggung seketika. Meminta maaf tapi bingung harus mengatakan apa terlebih dahulu.

"Lo tahu nggak sekarang Lo berdiri di mana?"

Karin menggaruk tengkuknya sambil menatap sekeliling. Gerbang parkir tampak lengang. Sepi tak ada sepeda selain milik Roy yang bertengger di samping Karin.

"Lo ngelindur sambil jalan?"

Karin terdiam. Ia merenungi kejadian beberapa saat. Terakhirnya kali yang diingatnya adalah ketika dirinya berjalan meninggalkan gedung koridor kelasnya. Setelah itu ia tak ingat apa-apa.

"Semprotan Lo udah abis?"

Karin terbelalak kaget sekaligus bingung dengan ucapan Roy barusan. "Semprotan?" ulangnya hati-hati.

"Lo kan si Semprot yang kalo ngomong bisa banjir di mana-mana gara—"

Pletak!

Buku tangan Karin mendarat tepat di kening mulus Roy. "Oh, jadi gini otak asli si Semprul? Boleh juga begonya!"

Roy melotot. Jarinya mengepal dan rahangnya mengeras. Napasnya tertahan ingin disemburkan begitu saja di depan cewek berkucir satu yang entah apakah masih bisa dikatakan rapi itu.

"Akhirnya, keluar lagi aura Semprot Lo!" Roy beringsut. Ia mengambil sepedanya. "Harusnya Lo berterimakasih sama gue yang udah nahan Lo biar nggak jatuh gara-gara kesandung!"

Karin termenung berusaha mencerna ucapan Roy barusan.

"Udah salah jalan, nyalahin orang yang nolongin pula! Dasar Semprot!"

Karin hanya berkedip. Masih tak mengerti apa yang terjadi. Meski nyatanya ia baru saja adu mulut dengan cowok yang telah pergi mengayuh sepeda itu.

***

Ada yang paham maksudnya?
Coba tebak, di next part kira-kira bakal bahas apa yaa? Vote and comment kuyyy!

Continue Reading

You'll Also Like

11.7K 1K 32
Baca & ikuti aja alurnya Ship di dalam cerita: - ginchi - rioncaine - risel - makomia - krowjaki - kelya (Kemungkinan akan terus ada ship baru yang m...
Death Peak By skype

Mystery / Thriller

19K 937 46
Valda Carlyle dan teman-temannya berkemah di puncak Gunung Yves, tempat indah yang ternyata menyimpan kengerian. Satu demi satu temannya menghilang...
24.8K 3.4K 23
"aku memutuskan pertunangan denganmu" teriak pria berambut pirang yang tak lain adalah pangeran. dan seorang gadis yang menangis di tengah tengah aul...
18.8K 1.6K 37
Kisah ini menceritakan perjuangan satu kelas siswa-siswi SMA yang terjebak di sekolah setelah menemukan buku aneh di laci temannya yang tiba-tiba men...