"Kau benar-benar harus berangkat?" Naruto mengambil tisu di atas washtafel counter dan memberikannya pada Hinata.
"Tentu saja." Hinata mengusap keringat dingin di pelipis dan lehernya lalu menarik napas dalam-dalam.
"Kau nampak sangat tersiksa." Naruto tak bisa berhenti khawatir, sejak pagi tadi istrinya mual dan muntah, menghebohkan seisi rumah, kepala pelayan bahkan terus datang ke kamar mengantar air hangat atau sup untuk meredakan mual si nyonya rumah yang tengah hamil.
Hinata merasa tubuhnya sangat lemas sekarang, jadi dia berpegangan pada pinggang suaminya sambil menyandarkan kepalanya yang terasa berputar.
"Istirahatlah di rumah, biar Manager resto yang mengurusnya." Naruto mengusap punggung istrinya.
"Kau tega sekali, aku sudah menunggu acara ini selama dua tahun penuh." Hinata tidak mau dan tidak bisa untuk tidak datang, sudah banyak hal yang dia lakukan untuk acara pembukaan resto ke empatnya ini. Ini adalah hari bersejarah untuknya dan perjalanan karirnya sebagai pebisnis.
"Baiklah, tapi jika kondisimu memburuk kita harus segera pulang." Ujar Naruto, dia tahu ini adalah acara yang sangat penting bagi istrinya. Wanita itu harus datang meski ada badai sekalipun, tapi kondisinya hari ini sangat memprihatinkan. Sebenarnya kondisi wanita itu belakangan ini memang kurang stabil, wanita itu bahkan nampak gelisah saat tidur.
Hinata lalu melepaskan diri dari suaminya dan melangkah keluar kamar mandi untuk bersiap. Ini jam 5 sore dan acaranya adalah jam 7 malam ini. Masih cukup banyak waktu untuknya bersiap.
...
Suasana resto fine dining bernuansa Eropa itu cukup ramai namun tak mengurangi keeleganan yang ada di dalamnya. Para tamu duduk di meja makan bundar yang masing-masing berisi empat orang.
Naruto menarik kursi untuk istrinya, sejak tiba beberapa waktu lalu dia terus merangkul pinggang wanita itu dan beberapa kali mengantarmya ke toilet karena mual.
Di meja itu sudah duduk Hiashi dan Kushina lebih dulu, acara pembukaan resto akan segera dimulai, dipandu oleh seorang MC yang telah berdiri di stage dekat mini orchestra yang akan memeriahkan malam ini.
"Kau butuh sesuatu yang lain?" Naruto bertanya pada istrinya, dia meletakan tas tangan milik wanita itu di atas meja.
"Tidak, terima kasih." Hinata lalu menghela napas pelan sambil mengusap perutnya yang entah kenapa terasa begitu tidak nyaman.
"Hinata apa kau sedang sakit?" Hiashi bertanya begitu karena melihat putrinya sejak tadi nampak lesu dan Naruto terus membuntutinya seperti ekor.
"Hanya sedikit kelelahan, Ayah." Ujar Hinata sesantai mungkin dia tak ingin membuat malam ini jadi tak menyenangkan.
"Jaga kesehatanmu ya." Kushina mengusap punggung tangan menantunya itu.
Hinata lalu mengangguk untuk menanggapi.
"Apa kabar Ayah?" Naruto menyapa ayah mertuanya dengan sopan sebagai tata krama di hadapan istrinya.
Hiashi menatap menantunya itu "baik, bagaimana denganmu Naruto?"
"Sangat baik." Naruto menjawab santai sekarang. "Lama tak bertemu denganmu, apa pekerjaan di kantor sedang sangat padat?"
"Tentu saja, semua sedang sibuk mengurus project baru itu." Jawab Hiashi dan membenarkan duduknya di kursi, menunjukan ketertarikannya pada obrolan dengan menantunya itu.
"Ah begitu." Naruto tersenyum simpul "tentu harus sibuk, kalian mendapat sepuluh persen keuntungan lebih besar." Ujarnya sebagai gumaman pelan.
Hiashi mengerutkan kening "apa yang kau maksud, Naruto?" Menantunya itu sudah berani membahas soal ini dengannya bahkan di depan Hinata?
"Ehm." Naruto meraih gelas air di atas meja lalu menenggaknya sedikit "bukan apa-apa. Hanya ingin tahu perkembangan projectnya saja."
"Khe." Hiashi mendecih. "Ini adalah kerja sama, bukan keluarga kami yang tengah bekerja padamu." Dia pikir Naruto cukup kurang ajar dengan menanyakan perkembangan project itu dengan nada yang tidak enak didengar.
Naruto lalu membenarkan jas hitam yang dikenakannya sambil menatap ayah mertuanya dan tertawa pelan "tentu, tentu aku tahu. Uzumaki tak sekaya itu untuk bisa mempekerjakan Hyuuga. Tapi kami cukup berhati besar untuk merelakan sepuluh persen keuntungan yang harusnya dibagi lima puluh - lima puluh sesuai kesepakatan."
Hiashi nyaris menggebrak meja, tangannya telah mengepal marah.
"Bisakah kita nikmati acaranya dan tak membicarakan bisnis?" Hinata mencoba menengahi.
"Ya, acaranya akan segera dimulai." Kushina menambahkan, dia jengah mendengar Naruto berdebat dengan ayah mertuanya.
Kedua pria itu lalu membuang wajah satu sama lain ke arah berlawanan dengan rahang yang mengeras, pertanda keduanya telah sama-sama menyimpan amarah yang teredam dalam dada.
...
Suasana meja itu kembali tenang dan tak memanas seperti tadi. MC membuka acara dan menyebutkan susunan acara malam ini dengan begitu bersemangat.
Hinata senang akhirnya resto ini dibuka secara komersil mulai besok. Malam ini rekan kerja, teman-teman, dan keluarga menghadiri acara ini, membuat Hinata sangat senang. Kemudian MC meminta Hinata selaku pemilik resto ini untuk memberi sambutan.
Dengan sigap Naruto membantu istrinya naik ke atas stage dan dia tersenyum simpul dengan bangga melihat istrinya berdiri di sana, meraih salah satu mimpinya yang sederhana jadi kenyataan.
Hinata mengerutkan kening, di tengah sambutan yang telah dia ungkapkan tiba-tiba saja rasa mual itu datang lagi. Jadi dia menjauhkan mic secara reflek dan membalikan badannya.
"Hinata." Naruto lalu berdiri dekat tangga dan bersiap membawa wanita itu turun. Dia membisikkan sesuatu pada MC yang kini berdiri di dekatnya. "Tolong sudahi sambutannya dan ambil alih, istriku sedang hamil dan mualnya cukup parah sejak pagi." Ujar Naruto secara spontan.
MC kembali naik ke atas stage dan mengambil alih kembali acara. "Nyonya maaf, aku lanjutkan acaranya." Dia meminta izin lebih dulu pada sang owner.
"Ya, tolong lanjutkan." Hinata lalu turun dari stage dan menghampiri suaminya yang sudah menunggu di bawah tangga.
"Mohon maaf untuk sambutan singkat dari owner kami yang sedang kurang fit karena kehamilannya, sehingga saat ini tengah mengalami mual yang cukup serius." MC berujar dengan cukup lantang "namun terima kasih padanya karena tetap berusaha menyajikan yang terbaik untuk acara malam ini."
Suara riuh lalu menyambut pengumuman mengejutkan bahwa Hinata tengah hamil.
Hinata menoleh ke arah stage kecil tempat MC itu berdiri, dia terkejut karena kehamilannya diumumkan begini padahal dirinya ingin merahasiakannya apalagi ada Ayah di jajaran kursi.
Naruto ikut terkejut, sial dia tak meminta ini diumumkan di depan umum, dasar MC amatir!
Hinata menarik lengan suaminya untuk bergegas pergi kembali ke meja karena para tamu mulai bertanya soal kebenaran kabar tersebut.
"Hinata, apa yang dikatakan MC tadi benar?" Hiashi bangkit berdiri dari kursinya dan menap anak perempuannya itu lekat-lekat, dia sangat terkejut.
Hinata semkain bingung karena ditodong pertanyaan yang paling dia takuti selama beberapa waktu terakhir. "Ayah, itu.."
"Iya, Hinata tengah hamil. Kupikir kau telah diberitahu." Kushina menjawab cepat sambil merangkul bahu menantunya. Dia justru terkejut, ayah Hinata tidak mengetahuinya.
"Kenapa ayah baru tahu?" Hiashi menaikkan nada bicaranya. Bagaimana bisa hal sepenting ini tak dibertahu padanya.
"I-ini." Hinata mencoba menjawab namun lidahnya kelu dan sebetulnya dia tak merasa sanggup untuk memberi informasi.
"Kami berencana memberitahunya malam ini." Naruto memotong ucapan istrinya yang nampak kebingungan dan shock.
Hiashi menatap tak suka pada menantunya itu. "bisa kita bicara sebentar, Naruto?" Ujarnya sebelum melangkah meninggalkan meja.
Naruto ikut bangkit berdiri dan mengikuti langkah ayah mertuanya itu namun Hinata sempat menahan lengannya dan menggeleng, memberi isyarat. "Biar aku bicara dengan ayahmu." Dia mengusap bahu istrinya lembut sebelum pergi.
...
"Jadi Hinata hamil?" Hiashi berdiri di bagian belakang resto, tepatnya di ruangan kosong yang sepertinya adalah ruang privat resto mewah itu.
Naruto berdiri di hadapan ayah mertuanya "ya, dia hamil."
Hiashi lalu melayangkan satu tamparan keras di wajah menantunya itu.
Naruto terkejut saat menerima pukulan, namun dia hanya mengusap sudut bibirnya setelah itu dan menunggu apa yang ayah Hinata akan ucapkan setelah ini.
"Kau mengingkari perjanjian itu?" Hiashi berujar marah.
"Kau juga mengingkari perjanjian itu, keuntungan 60% apa kau bercanda?" Naruto mendecih kesal.
"Kau benar-benar tidak tahu diuntung, Naruto!" Hiashi membentak keras pria muda itu.
"Apa kau berharap aku menepati perjanjian itu sedangkan kau mulai menjadikan Hinata sebagai senjata untuk memerasku?" Naruto kini tertawa, Hiashi masih berpikir bahwa dirinya naif atau apa?
Hiashi mengerti, Naruto merelakan umpan kecil untuk mendapatkan tangkapan yang lebih besar begitu? Dia menyetujui 60% keuntungan itu dan dia mengikat Hinata selamanya dengan memiliki anak? "Kau hanya memanfaatkan putriku untuk keuntunganmu, kau benar-benar brengsek."
"Seharusnya kau berkaca, siapa yang awalnya menawarkan pernikahan bisnis itu padaku?" Kini Naruto memutarbalikan ucapan ayah mertuanya itu. "Dan siapa yang awalnya mengingkari perjanjian itu?"
"Kau memutarbalikkan ucapanku, dan merasa bahwa dirimu benar sekarang?" Hiashi kini bertanya, tak ingin terjebak oleh lintah seperti Naruto.
"Aku hanya mengikuti permainan yang kau inginkan." Kini Naruto berujar. Seperti apa yang Kakashi katakan padanya waktu itu, dirinya tak boleh nampak lemah soal Hinata atau mereka akan jadikan ini sebagai senjata.
"Berhentilah mengatakan omong kosong, dan kau tak perlu merasa di atas angin." Hiashi tahu, putrinya tak sebodoh itu. Dia akan meminta Hinata agar segera bercerai dengan Uzumaki keparat ini begitu projectnya berakhir. "Aku akan membawa Hinata kembali, begitu project kita berakhir, kau camkan itu."
Naruto menarik sudut bibirnya "sebaiknya kau mulai merasa khawatir sekarang Hiashi, karena anakku nanti yang akan mengikat Hinata selamanya di bawah nama Uzumaki." Dirinya yakin Hiashi akan mulai menyesal karena memerasnya saat bulan madu waktu itu.
...
"Bisa kau hancurkan saja wajahku sekalian?" Naruto menahan lengan istrinya yang mengusap luka di sudut bibirnya akibat pukulan tadi dengan sangat kasar.
Hinata mencelupkan lagi handuk hangat itu di dalam baskom di pangkuannya. "Pasti kau bicara yang tidak-tidak sampai ayah memukulmu."
"Aku tidak bicara apa-apa, kau tahu aku sangat menghormati ayahmu." Naruto mencoba membela dirinya.
"Tidak, kau selalu menabu genderang perang tiap bertemu dengan ayahku." Hinata tahu betul, tiap kali mereka duduk untuk makan malam bersama Naruto dan ayahnya selalu terlibat percekcokan atau perang dingin yang membuat suasana menjadi mencekam.
"Sepertinya ayahmu tidak siap untuk memiliki cucu, dia tidak terima kalau akan jadi Kakek dan harus pensiun dari pekerjaannya." Naruto lalu membiarkan istrinya mengobati sudut bibirnya lagi.
"Kurasa ayahku hanya khawatir." Hinata berujar tak tenang, bagaimana dirinya harus bersikap setelah ini di depan ayah?
"Em, dia sangat khawatir." Naruto tahu alasan Hiashi begitu ketakutan, pria tua itu takut kalau putrinya akan terus terikat dengannya meski project mereka telah berakhir. Bagaimanapun juga dia tahu seberapa Hiashi sebenarnya tidak rela bahwa putrinya berakhir menikah dengannya, namun uang telah mengalahkan segalanya.
"Tapi sekarang semua orang tahu bahwa aku hamil, apa yang harus kita lakukan Naruto?" Hinata kini bertanya serius pada suaminya. Selepas acara berakhir semua teman, kerabat, dan keluarga bertanya soal kebenaran kabar kehamilannya yang tak sengaja disebutkan oleh MC acara.
Naruto terdiam cukup lama, dia mengingat pembicaraannya dengan Hiashi tadi. Sesungguhnya dia baru saja menyadari kalau anak ini akan menyelamatkannya dari kemungkinan pemerasan yang akan dilakukan keluarga Hyuuga padanya karena dia tak takut lagi kehilangan istrinya. Wanita itu akan terikat padanya jika saja anak itu lahir ke dunia.
Singkatnya, anak itu akan jadi penyelamat bisnisnya dan mungkin juga rumah tangganya dengan Hinata.
"Kau mungkin akan berpikir bahwa aku sangat plinplan, tapi setelah aku banyak memikirkannya belakangan ini. Aku ingin anak itu lahir, Hinata." Dia menatap mata istrinya saat mengatakan itu.
Hinata membeku, dia bahkan menjatuhkan handuk yang tengah dia pegang untuk mengusap sudit bibir suaminya. "Apa yang kau katakan?"
"Aku ingin kita memiliki anak itu." Kini Naruto berujar dengan yakin dan tanpa keraguan dia memohon pada istrinya. "tolong lahirkan anak itu untukku."
Hinata memalingkan wajahnya. "kau jangan gegabah." Dia tak mau mengambil keputusan secara terburu-buru.
"Hinata, aku ingin perjanjian pernikahan kita batal." Naruto rasa ini adalah momentum yang tepat. Kehadiran bayi itu, keselamatan perusahaannya, dan rasa yang mulai tumbuh di hatinya untuk wanita itu, dia tak bisa mengelak lagi, dirinya memang telah jatuh cinta pada Hinata. Dia suka semua yang ada pada wanita itu dan perpisahan mungkin akan sangat sulit untuknya.
"Apa alasanmu menginginkan anak ini?" Hinata menaruh curiga, ini terlalu tiba-tiba karena sebelumnya pria itu nampak ragu.
"Aku ayahnya, apa aku tidak berhak?" Kini Naruto bertanya balik.
"Aku bukan wanita bodoh, Naruto. Kau bicara begini setelah bertengkar dengan ayahku, kau mungkin merencanakan sesuatu yang aku tidak tahu." Hinata hanya mencoba berpikir realistis, semua hal terjadi karena suatu alasan termasuk permintaan tiba-tiba Naruto barusan. "Tolong jangan libatkan bayi ini dalam bisnismu dengan ayahku."
Naruto bergeming, tak menyangka kalau Hinata akan berkata begini. Wanita itu memang tidak mudah ditipu dan lebih dari itu, Hinata masih menaruh curiga padanya meski telah banyak hal kami lalui sejak pernikahan itu terjadi. "Kau masih menaruh curiga padaku, Hinata?"
Hinata menatap mata biru suaminya "aku sangat ingin mempercayaimu, tapi dari cara kita bisa bersama saat ini, aku selalu ragu."
Naruto menyentuh sisi kiri wajah istrinya, menelusuri wajah cantik itu dengan lembut. "Kalau boleh aku jujur, aku sesungguhnya sudah jatuh cinta padamu."
Hinata lalu menundukan pandangannya "andai aku tahu apa kau berbohong atau tidak."
"Tak apa jika kau belum percaya, tapi aku akan membuktikannya." Naruto lalu mengecup bibir istrinya lamat-lamat membuai wanita itu pada sebuah ciuman hebat yang ingin dia gunakan untuk menuntun wanita itu mencintainya juga.
Hinata hanya bisa memejamkan mata dan membiarkan pria itu menguasai isi kepalanya lagi, saat pria itu merebut baskom air di tangannya dan meletakannya di nakas sambil tetap menciumnya, dia tahu ini akan berlangsung lama.
Naruto mendekap punggung istrinya dan menjatuhkannya ke atas ranjang di mana mereka sejak tadi duduk bersisian di tepinya.
Hinata kini membalas pangutan pria itu sama lembutnya, entah untuk apa tapi suasana ini, dia menyukainya. Namun saat tangan kekar pria itu merabanya tubuhnya, dia harus menghentikannya.
Naruto melepaskan tautan bibirnya saat Hinata mendorong dadanya sebagai penolakan.
"Kau tidak bisa menyiksa wanita hamil." Hinata lalu mendorong pria itu untuk menyingkir dari atas tubuhnya, lalu dia bangkit duduk dan mengancingi gaun tidurnya yang sempat digerayangi oleh pria itu.
...
NEXT?