Angin malam musim dingin mulai menggigit. Asyik memangsa mereka yang lemah, entah secara fisik maupun akal. Menjadikan mereka sakit secara fisik, atau bahkan kejiwaan, saking dinginnya pengaruh kepingan salju.
Tahun ini, Esmephia Sonata merasa musim dingin telah mengikis kejiwaannya.
Penemuan akses jalan aneh di suasana yang aneh membuat Esme berulang kali menarik dan membuang napas. Mencoba untuk kembali waras seperti hari-hari monoton sebelumnya, tetapi keberadaan jalur rahasia kecil saja sudah mengubah sudut pandangnya akan dunia.
Mungkin setelah ini dia akan menjadi jauh lebih sensitif saat berjalan melewati rak buku tua. Atau mendadak bengong ketika berhadapan dengan lemari yang memiliki jumlah pintu berlebihan. Mungkin suatu hari sel memori di kepalanya akan berseru heboh, Oh! Coba tarik buku yang paling mencolok. Mungkin bakal ada jalur rahasia di balik lemari!
Saat ini, di loteng, Esme perlahan mengerjap begitu merasa sudah terlalu lama menatap ke arah jalan rahasia (dia lebih senang menyebutnya sebagai 'lubang' karena bentuknya tidak sekotak yang dia lihat di film-film).
Tidak hanya sekali-dua kali, Esme harus menggelengkan kepala karena otaknya terus-menerus memberikan gagasan gelap tanpa sebab. Seperti, "Ayo coba terjun dengan kepala lebih dulu."
"Jatuhkan ponselnya."
"Julurkan tangan ke bawah, lalu tunggu mulut monster menyambut tanganmu."
Wah, sudah gila. Esme bergidik, bergegas mundur sebelum saraf di sekujur tubuhnya sungguhan merealisasikan perintah sang komando pusat.
Berikutnya dia diam-diam melirik si pemilik netra hazel yang berdiri dekat dari tempatnya membungkuk. Mata safirnya berkedip cepat. Agak terkejut tidak melihat sorot mata bergairah di sana.
"Penemuan yang luar biasa, ya. Sepertinya di bawah sana ada negeri dongeng yang seseorang impikan."
Ah, ya. Bukan Esme namanya bila bisa menahan diri dari gatalnya mulut ingin berkomentar.
Oliver lalu melirik. Sadar bahwa sarkasme halus itu ditujukan padanya. "Kukira kita berada di fase saat logika lebih diutamakan ketimbang kegembiraan karena imajinasi menjadi nyata."
"Kau tersinggung?" kekeh Esme. "Asal kau tahu, aku tidak menjustifikasi kesukaanmu pada negeri dongeng. Lagipula, tidak ada salahnya kekanakan di penghujung usia belasan tahun. Walau harus kuakui"—Esme mengangkat ponselnya menjauh dari tepi lubang dan mematikan senternya—"dalam kasus ini, kita memang harus sedikit dewasa."
Seraya beranjak duduk di tepi lubang setelah memastikan cermin tua Oma Mandalyn tidak goyah di tempat, Oliver bertanya, "Ada gagasan?"
"Sedikit seram. Kau ingin dengar?"
"Kenapa tidak?" Pemuda itu mengangkat bahu. "Silakan."
Esme memiringkan kepala. Berulang kali menatap lubang dan tangga loteng yang tertutup tak jauh di belakangnya secara bergantian. Hati kecilnya memang bersorak karena menemukan jalan rahasia, tetapi akal sehatnya menginterupsi kebahagiaannya dengan cara memunculkan berbagai gagasan berdasarkan logika.
Selain itu, berkonspirasi adalah salah satu hobinya, dan dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
"Yah, kalau dipikir baik-baik, kenapa bisa ada jalan rahasia di loteng yang mengarah ke bawah pada lantai tiga rumahmu? Jangankan sampai sana, jalan rahasia di tengah loteng saja sudah tidak masuk akal." Esme mengetuk-ngetuk dagu. "Lantai tiga rumah ini diisi oleh kamar-kamar tidur dan satu toilet. Menurutmu, bentuk jalannya bakal seperti apa kalau dilihat dari lorong langsung? Bakal ambruk? Berkelok-kelok menembus lorong? Transparan? Tertanam di dalam dinding? Atau apa?"
Oliver menekuri tuturan Esme tanpa mengalihkan pandangannya dari potongan kayu tak rata di tepi lubang. "Kalau menembus lorong, bentuknya pasti mirip seluncuran."
Esme mengangguk. "Dan kalau memang tidak tembus ke mana-mana—"
"—maka jalan ini mengarah ke mana?"
Dua remaja tanggung di dalam loteng kini beradu tatap. Membiarkan hening menyelinap masuk di antara mereka. Gagasan mengerikan yang meluncur dari mulut mereka sontak menulikan diri dari realita. Dengan lembut menggiring sepasang remaja itu menuju ke dalam pemikiran yang tidak mampu dicapai logika.
Meskipun lagu terus mengalun dari ponsel Feodora, liriknya tidak lagi tertangkap telinga. Kecepatan lagunya seolah terjun ke tingkat paling rendah dan kedengarannya sama sekali tidak menyenangkan. Tekanan di dalam loteng berubah.
Rasanya mencekik.
Esme belajar dari film dan buku yang pernah dia nikmati, bahwa setiap rumah besar pasti memiliki atmosfer aneh pada salah satu ruangannya. Namun, dia tidak pernah menyangka bahwa rumah omanya sendiri masuk ke dalam kategori tersebut.
Dia juga mulai mengenali perbedaan suasana keadaan nyata yang familier nan monoton dengan suasana baru yang asing.
Kali ini, rasanya loteng yang Esme pijak tidak seperti loteng yang dia kenal.
"Oliver," dia berucap pelan, "ada yang tidak beres."
"Aku tahu." Oliver bergumam, mendongak ke sana kemari seakan sedang memastikan sesuatu. "Ada yang perlu kuperiksa. Bisa kau berjanji padaku untuk tetap tenang?"
Tanpa meraba dengan tangan kosong pun Esme tahu kerutan di keningnya bertambah. Ucapan Oliver tidak seperti karakter banyak omongnya yang biasa. Rasanya terdengar seperti orang lain yang bicara demikian.
Juga, Esme tidak bisa mengelak bila salah seorang kaum adam sudah merendahkan suaranya ketika bicara. Dia paham soal itu, walau nyatanya sedikit menyebalkan.
"Kalau keadaannya menjadi sedikit gila, tolong izinkan aku memanggil Peter." Esme diam sebentar lalu menambahkan, "Atau polisi."
Oliver menyeringai. "Tidak perlu sampai memanggil polisi. Oh, iya, boleh pinjam ponselmu?"
"Kau ingin turun ke bawah sana tanpa menyiapkan alat-alat dengan lengkap? Hanya bermodalkan tekad?" Esme melotot, mendadak sangsi. "Seperti orang-orang tolol di film horor?"
"Tidak ada salahnya menjadi orang-orang horor di film tolol."
"Terbalik." Mata safir itu berputar, lalu kepalanya menggeleng-geleng. "Memangnya ponselmu di mana?"
Oliver berkedip cepat, mengusap tengkuk dengan canggung. "Di ... bawah?"
Esme mendecakkan lidah. Yang benar saja.
"Dasar orang cerdas," sindir Esme seraya memberikan ponselnya setengah hati. "Aku bukan maniak elektronik, tapi akan kupukul kau kalau sampai ponselku terjun bebas."
"Tidak akan." Oliver terkekeh, menggenggam ponsel Esme dengan santai dan penuh percaya diri. "Kau percaya padaku, 'kan?"
Bibir merah delima Esme terkulum. Pertanyaan itu menimbulkan perasaan gamang di hatinya. Namun, tentu saja, Esme menepis semuanya tanpa terkecuali. Toh, walaupun dia tidak begitu menyukai dongeng dan negeri khayalan sejak ibunya mulai sibuk dengan pekerjaan dan pahitnya realita, menemukan jalan rahasia yang tidak masuk akal di dalam rumah adalah sebuah petualangan baru baginya.
Esme masih menyukai petualangan. Pemuda yang tengah menatapnya lurus-lurus ini bisa menjadi sumber petualangan barunya.
Dengan kata lain, suka tidak suka, Esme harus percaya padanya—selama masih menginginkan petualangan.
"Kalau aku tidak percaya padamu," kata Esme, "ponselku tidak akan berpindah tangan sekarang."
Pemuda jangkung itu menyeringai girang, lalu mengacungkan ibu jarinya dengan penuh percaya diri. Tanpa ragu dia sorotkan lagi cahaya senter ke dalam lubang bertangga yang gelap gulita itu. Dia rapatkan jaket denim yang melekat pada tubuhnya, lalu mulai menurunkan kaki dan bersiap mengarungi kegelapan.
Dari tempatnya duduk, Esme dapat melihat ekspresi Oliver mengeras seolah tengah berhadapan dengan musuh bebuyutan di dalam sana.
Sebelum gadis itu menyampaikan pesan untuk berhati-hati di bawah sana, Oliver lebih dulu menatapnya tepat di mata. Agak lama dan ... cukup lama, sebenarnya.
Bila rajin, Esme akan menghitung berapa lama pemuda itu diam menghabiskan waktunya hanya untuk menatapnya lamat-lamat.
Baru saja ingin sungguhan menghitung, Oliver terlanjur menghela napas lebih dulu.
"Tetap di atas, oke?"
Esme balas menatapnya agak lama, lalu akhirnya bersedia untuk memberikan anggukan kecil.
Masih dalam liputan atmosfer aneh yang sama, Esme menyaksikan gerakan pemuda itu dengan teliti. Bagaimana dia menurunkan kakinya dengan mantap, hanya berbekal senter ponsel yang daya sinarnya tidak seberapa, tanpa ragu membungkuk menembus kegelapan—Esme menyaksikan itu semua sambil menghitung kira-kira berapa jumlah anak tangga di bawah sana.
Satu, hitungnya dalam hati, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, de—
"WHOA!"
"Oliver?!"
Teriakan terdengar. Bunyi debum datang. Keheningan menyusul.
Esme diam-diam merutuk dan menyumpahi mulutnya di saat yang sama karena telah refleks menjerit padahal tidak berniat begitu sedikit pun.
Bukan dia yang turun langsung ke dalam lubang itu, bukan juga dia yang terperosok sampai menimbulkan bunyi heboh, tetapi degup jantungnya berpacu dengan kecepatan luar biasa. Getarannya menggedor-gedor telinga sampai Esme yakin dia tuli sesaat.
Hanya sampai tujuh, pikirnya sambil membungkuk lebih dekat, berusaha menekan degup jantung berlebihan. Kukira bakal lebih dalam dari itu.
"Hei, Oliver?"
Hening adalah yang pertama kali menjawab panggilan Esme. Butuh beberapa detik lamanya sampai dari kegelapan pekat terdengar jawaban, "Ya?"
Esme mengembuskan napas keras-keras. Lega bukan main. Agak gusar mengubah posisi duduk, bersikeras untuk mencari tahu apa yang terjadi di bawah sana. "Kau oke?"
"Aku oke." Dia diam sebentar, lalu, "Tetap di atas."
"Aku tidak turun."
"Instingku bilang kau sedang mencondongkan tubuh ke lubang."
Esme merengut, bergerak mundur dan meniup helaian rambut yang menjuntai saat menunduk. "Tidak."
"Sebaiknya begitu."
"Apa ada sesuatu di dalam sana? Harta pusaka? Buku harian usang? Laci makanan rahasia?" Bergegas Esme mengubah topik. Berharap Oliver berhenti menyuruhnya seenak jidat bak anak anjing, dan siapa tahu tebakannya yang terakhir sungguhan ada.
Nahas, Oliver menjawab, "Tidak juga. Di sini gelap. Sepertinya penerangan kecil tidak cukup."
Esme ber-oh datar, lalu tiba-tiba mengerutkan kening. Merasa ada yang aneh saat dia sadar Feodora tidak kunjung datang. Lagu yang disetel bahkan terdengar semakin melambat sampai tidak jelas nadanya. Atmosfer seisi loteng sama sekali tidak menyenangkan bagi Esme.
Berdalih khawatir dirinya terkena caplok makhluk aneh dari suasana aneh, gadis itu kembali membungkuk mendekati lubang. Dia sendiri bahkan terkejut lantaran merasa lebih nyaman ketika dekat dengan lubang daripada jauh-jauh dari sana.
"Apa kau tidak merasa aneh?"
Esme menunggu beberapa detik sampai Oliver merespons, "Apa?"
"Kau jatuh sampai menimbulkan bunyi keras, kita berteriak, tapi tidak ada tanda-tanda seseorang akan naik ke atas sini."
"Lalu?"
"Itu aneh, dasar makhluk tidak peka. Kenapa kau tidak naik ke atas sini dan ikut merasakan suasana anehnya juga?"
"Sebentar lagi. Jangan dekat-dekat dengan lubang, Esme. Kuperingatkan kau."
"Oh, kau bahkan tidak melihatku."
"Ya, tapi aku tahu."
"Dan bagaimana kau bisa tahu?" Esme mengerling jengkel. Semakin mencondongkan tubuhnya ke arah lubang, lantaran penasaran mengapa cahaya senter ponselnya tidak terlihat sedikit pun. "Kau ingin bilang kalau instingmu setajam hewan?"
"Wah, aku tidak akan menyangkal. Instingku memang setajam itu."
"Konyol. Kau percaya dengan dongeng saja sudah lucu, apalagi insting hewan." Esme mendengkus, mendadak tinggi hasrat untuk mencemooh. "Dunia yang kaupikir indah itu terlalu imajiner, terlalu banyak hal positif. Semua yang kauinginkan ada di sana, tidak perlu bersusah payah mengejar kekayaan. Utopia kekanakan yang membuatmu lupa bahwa realita jauh lebih pahit—semakin dewasa, kau akan semakin tidak mengerti jalan pikiran anak-anak yang terlalu polos. Semuanya konyol. Bahkan Negeri Ajaib yang sejak dulu dipuja-puja pun tidak akan pernah ada."
Keheningan datang melesat, mendarat di dalam loteng, mengisi spasi jauh antara Esme dengan pemuda yang masih asyik berlama-lama di dalam lubang.
Bila memang Oliver mengiranya marah, Esme akan meralatnya. Bukan, dia bukan marah. Gadis itu hanya jengkel—jengkel yang berlebihan, jengkel yang meluap-luap, jengkel yang membuatnya merasa harus mengatakan kalimat jahat keras-keras.
Esme tidak marah.
Setidaknya, dia tidak merasa marah.
"Kau takut?"
Esme mengernyit. Tidak menjauh dari lubang. "Takut apa?"
"Yah, takut aku mendadak hilang, mungkin?"
Oh, tolong jangan sampai Oliver tahu bahwa Esme sedang menahan diri sebisa mungkin untuk tidak tertawa mengejek.
"Kau bilang begitu seolah yang ada di kepalaku hanya ada nama Oliver Theoderick."
"Mungkin memang sebenarnya iya."
"Omong kosong." Esme mengerling, semakin membungkuk mendekati lubang. Gemas sendiri karena dilarang untuk turun ke bawah sana. Padahal di dalam hatinya ada jiwa bertualang yang sedang meronta-ronta meminta izin untuk dibebaskan. "Kau yakin tidak membutuhkan bantuan apa-apa? Aku bisa menjadi rekan yang berguna, asal kau tahu. Mungkin kau bisa sedikit memberiku jalan dan aku akan—UWAH!"
Kejadian itu terjadi secepat kilat. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dia alami sebelumnya saat dia hendak ke dapur.
Tangan ramping Esme tergelincir, merobohkan segala bentuk pertahanan yang semata-mata diciptakan agar dia tidak terjun dan menghantam anak tangga pertama.
Pujian Clara benar adanya—Esme memiliki telinga yang bagus. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga daya dengarnya. Putri bungsu Clara itu bahkan yakin bahwa dia mendengar suara Oliver memanggil namanya tepat sebelum benda keras tiba-tiba menampar wajahnya sekaligus menahan bobot tubuhnya yang sudah siap terjun ke dalam lubang gelap gulita.
Setelah diam sebentar dengan degup jantung tak beraturan, Esme mengerjap pelan-pelan. Kepalanya berusaha memproses apa yang baru saja terjadi dan benda sekeras apa yang menahannya sampai kepalanya terasa sedang membentur dinding.
Tatkala Esme membuka mata sepenuhnya, dia tertegun, terperanjat, dan kebingungan.
Bukan kayu atau keramik yang menahan tubuhnya, melainkan sebuah dinding bening yang berpendar kemerahan.
Oh, jangan tanya. Benda itu tiba-tiba saja muncul. Entah dari mana.
Esme diam membeku di tempat. Antara takut dan terpana. Pelan-pelan dia mundur, tak kunjung melepas kontak mata dengan benda aneh itu.
Dinding yang mirip selaput bening masih berpendar merah samar. Gadis yang tenggelam dalam piyama polos berlapis luaran tebal itu bersumpah tentang dirinya yang belum pernah melihat benda seindah dan seaneh itu sebelumnya. Kalaupun memang ada di toko, Esme tidak pernah berniat atau berpikiran untuk membelinya sekalipun.
"Kau baik-baik saja?" Pertanyaan Oliver membuyarkan lamunan sampai Esme tersentak dan refleks mengesot mundur. Masih terkagum bercampur ngeri melihat benda berpendar kemerahan itu masih ada di sana.
"... Ada benda aneh yang menyelamatkanku."
"Nah, kuharap itu artinya iya, aku baik-baik saja."
Esme mengernyit saat instingnya bilang ada yang aneh. "Kau tidak ingin naik ke atas sini untuk melihat benda itu?"
"Tidak perlu, kurasa."
Ada yang tidak beres. Esme meneguk salivanya dengan paksa. Bersiap melihat sesuatu yang lebih mengejutkan lantaran pemuda di bawah sana tidak kunjung memberikan jawaban.
"Oliver."
Jeda sedetik. "Ya?"
"Sudah cukup di bawah sana. Cepat naik."
"Aku masih—"
"Naik, Oliver."
Esme membuka mata selebar dan seawas yang dia mampu. Dia saksikan sebuah tangan menggapai naik. Alih-alih jaket denim yang sama dengan yang Esme lihat beberapa menit sebelumnya, tangan pemuda itu justru terjebak di antara kemeja putih yang terkancing rapi dengan balutan jas hitam lagi di permukaannya.
Setelan itu berlanjut dan terus berlanjut sampai puncak topi hitam tinggi muncul dari dalam lubang, ditahan oleh tangan yang satu lagi agar tidak jatuh. Sewarna dengan topinya, rambut pemuda itu hitam legam.
Jauh berbeda dari warna rambut Oliver yang Esme ingat.
Ketika separuh tubuh pemuda itu sudah naik ke permukaan, selaput bening kemerahan mendadak pecah, terburai ke sana kemari, lalu lenyap di udara.
Esme mengatupkan mulut rapat-rapat. Perasaan di dalam dadanya bercampur aduk tatkala pemuda aneh yang tiba-tiba muncul dari dalam lubang mengangkat wajahnya, tersenyum canggung seakan sedang merasa serba salah. Dalam hening mereka beradu tatap, dan Esme menyadari betapa kontras warna netra safirnya dengan milik pemuda di hadapannya.
Merah.
Netranya semerah batu rubi.
"Erh ...," Si pemuda garuk-garuk pelipis. "Aku tahu ini mengejutkan, tapi ...."
Esme mengerjap, dan dalam sekejap semua sarafnya bangun untuk melakukan gerakan impulsif: dia tarik si pemuda menjauh dari lubang, mendorongnya ke tepi tanpa rasa belas kasihan. Bergegas dia membungkuk ke arah lubang dengan dada berdebar. Mata safirnya memindai secepat dan setepat yang dia bisa. Mencari-cari sosok Oliver di dalam lubang meski gelap gulita.
"Oliver!"
Erangan jengkel mengudara. Si pemuda bersetelan jas rapi—lengkap dengan topi tingginya—merutuk ketika pendaratannya malah tepat di atas tulang ekor.
Selanjutnya dia bersungut-sungut. "Sungguh, tadinya kukira semua gadis remaja tanggung itu manis bukan main."
"Oliver! Hei!"
Manik matanya yang merah bergulir ke atas dan tampak berkilat begitu bertemu dengan sinar lampu loteng. Terlihat tidak habis pikir dengan usaha sia-sia gadis pirang di depannya sekarang. "Hei, cukup. Kau hanya buang-buang tenaga."
Esme tidak peduli, tidak tertarik untuk menolehkan kepala. Dia lebih bersemangat menjulurkan kepala ke dalam lubang, buang-buang tenaga—bila memang itu yang dia lakukan—memanggil nama yang sama berulang kali.
"Oliver!"
"Nona, aku tidak merekomendasikanmu untuk berteriak memanggil nama itu karena, percayalah, sia-sia sa—"
"OLIVER THEODERICK! JAWAB AKU, TOLOL!"
"Demi wortel!" Pemuda itu melotot, menyumpah kaget mendengar umpatan Esme seolah ini yang pertama kalinya. "Hei, hei, tidak ada siapa-siapa lagi di dalam sana. Aku sudah keluar, kau lihat? Berhenti menyumpah saat menyebut nama yang satu itu, oke? Kedengarannya jadi jelek sekali."
Esme menoleh, menyipit garang sampai netra safirnya tampak berkilat. Tanpa dia sadari tatapan itu mampu membuat si pemuda diam mematung. Bibir mungilnya terbuka dan dia siap memuntahkan berbagai macam pertanyaan yang menyudutkan.
"Siapa kau? Di mana Oliver? Kenapa bajumu aneh begitu? Kau pelayan di Istana Buckingham? Atau jangan-jangan kau tukang sulap yang selama ini menyamar dan menipu semua orang di rumah ini?"
Si pemuda menghela napas. Miris melihat sosok gadis manis sedang mencoba menyangkal dengan akal sehat. Siapa pun yang melihat keadaan gadis itu sekarang akan paham betapa besar keputusasaan yang melandanya.
Tanpa suara, mata merah rubinya memantulkan ekspresi, Kasihan. Masih muda pula.
"Jangan menatapku kasihan begitu!"
"Mau bagaimana lagi? Aku memang kasihan."
Mata Esme menyipit. Bulu matanya yang lentik seolah meruncing galak. "Siapa kau?" tekannya sekali lagi.
"Aku Oliver," dia menjawab. "Yah, tadinya, sih."
Esme menatapnya dari atas sampai bawah. Dari topi sampai sepatu hitam mengilap. Akal sehatnya, yang sebelumnya dia pikir sudah terkikis bekunya musim dingin, kembali bangkit untuk memberikan perlawanan.
"Maaf, Tuan. Kau berhadapan dengan gadis berusia tujuh belas tahun," kata Esme. "Kalau kau ingin menipu, cobalah cara yang lebih cerdas lagi."
"Oh, astaga." Satu lagi helaan napas keluar dari mulut si pemuda. Malas-malasan orang itu merogoh saku dalam jasnya, kemudian menarik keluar sebuah benda persegi panjang yang Esme kenali betul sebagai ponsel miliknya. Wajahnya mendadak sengak begitu tatapan Esme menjadi lebih galak dibanding kucing liar. "Ini milikmu, bukan?" tanyanya, masih sengak.
Si pemilik ponsel mendesis. Benci telah kalah berdebat karena barang buktinya ada di tangan orang lain. "Kenapa bisa ada padamu?"
"Karena aku meminjamnya dan kau meminjamkannya."
"Aku meminjamkannya pada laki-laki berjaket denim yang datang ke sini menjelang jam tidur. Bukan pada seorang tamu istana berpakaian super lengkap dan formal yang entah kenapa tidak datang lewat pintu depan," tekan Esme masih tidak ingin kalah. Dia bersedekap dan lihatlah betapa keras kepalanya dia sekarang.
Pemuda berpakaian rapi kini melengos. Tidak menjawab apa-apa lagi seolah paham gadis di depannya saat ini masih dalam proses penyangkalan atas apa yang dia lihat.
Maka duduklah dia dengan tenang. Santai betul menjentikkan jari sampai bunyinya mampu mengisi kekosongan.
Lagu yang tadi bergerak lambat mendadak terdengar lagi. Suaranya aneh bak kaset rusak sedang dipaksa mundur, lalu berhenti sebentar sebelum kembali memainkan lagu Uptown Funk yang tadi terlewat.
Angin tiba-tiba berembus kencang. Visualisasi di mata Esme seketika memburam, bergerak cepat, dan kini arah pandangnya kembali terpaku kepada langit-langit loteng. Merebah tanpa alas, mendongakkan kepala ke langit-langit yang menyudut ke tengah, dan ditemani alunan lagu acak dari ponsel orang lain ....
Sebentar.
Esme tertegun.
Peter mungkin anak paling peka di antara Sonata Bersaudara, tetapi Esme pasti selalu sadar bila ada yang salah.
Agak waswas netra safirnya melirik ke sana kemari sampai bertemu tatap dengan si pemilik netra semerah batu rubi—tengah duduk bersandar pada bean bag seolah sudah menantikan momen itu sejak lama.
Pelan-pelan Esme bangkit dari rebahnya. Paham bahwa yang barusan terjadi tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.
"Apa yang kaulakukan?"
"Memperlambat waktu, lalu sedikit mendorongnya ke belakang. Kau tidak menyadarinya sampai jalan rahasia itu ditemukan. Entah kemampuanku yang tambah mulus atau kepekaanmu yang tumpul," jawab pemuda itu enteng. "Kalau waktu berjalan seperti yang seharusnya, bisa-bisa sepupumu naik dan memergoki kita yang sedang—secara tanpa sadar—merusak cermin oma kalian tersayang."
Esme melirik ke arah pintu loteng. Waswas kalau tiba-tiba Feodora datang tanpa suara. "Dan kau tidak ingin Feodora melihatmu?"
"Oh, ingin ataupun tidak, dia tidak akan bisa."
"Apa?"
Suara derit engsel terdengar, disusul debuman kecil, lalu pintu loteng terbuka dari bawah. Langkah kaki berdentum samar disertai senandungan kecil yang lama-lama terdengar melengking. Puncak kepala Feodora muncul dan akhirnya gadis itu benar-benar kembali ke loteng setelah sekian lama—oh, benarkah lama?—meninggalkan sepupunya berdua dengan ... entahlah sebagai siapa Esme harus menganggap pemuda yang kini bersamanya.
Yah, tadinya memang Oliver. Sekarang Esme sangsi bahwa dia sedang bersama orang yang sama.
Esme menahan napas saat mendengar Feodora mulai meracau seakan berbincang padanya.
"... lah mengapa Leonard memanggilku untuk alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Dia bilang parfumnya hilang dan—" Feodora terdiam, berdiri mematung, berkedip beberapa kali begitu melihat pemandangan baru di loteng. "Wow, sepupuku. Sebegitu cintanya kau dengan lantai kayu sampai-sampai bean bag empuk pun kau abaikan? Kenapa kau duduk di lantai?"
Esme menunduk. Baru sadar dirinya duduk menjeplak khas orang baru bangun tidur di atas lantai.
Tunggu. Gadis itu mengerjap. Kau bertanya kenapa aku duduk di lantai, tapi tidak bertanya soal orang aneh yang duduk di atas bean bag?
"Fe," panggil Esme kaku, tak lupa menyempatkan diri melirik pemuda yang bersedekap pongah dan duduk melipat satu kaki di atas bean bag. "Menurutmu apa bean bag itu layak untuk ditiduri?"
"Ya?" Feodora mengangkat satu alis. "Selama masih kosong seperti itu, kau bahkan boleh menggunakan yang satunya lagi sebagai guling, kalau muat dalam pelukanmu."
Rasa takjub Esme muncul lagi. Dia benar-benar tidak bisa melihatnya?
[Sudah kubilang.] Esme bergidik. Tiba-tiba merinding saat suara pemuda itu terdengar jelas di kepalanya. [Dan kau masih keras kepala. Betapa indahnya.]
Oh, diamlah! Esme menggeleng kuat-kuat. Keluar dari kepalaku!
"Jadi, ada apa?"
"Ya? Ah, itu," gadis itu diam sebentar, merutuk dalam hati akibat merasa telah menyahut terlalu cepat. "Apa ada Oliver di bawah sana? Tadi dia bilang ingin ke bawah untuk mengambil ponsel, tapi belum kembali."
"Oliver?"
[Hah! Selain fisik, aktingmu cantik juga, ya.]
Kubilang, diam. Esme mengangguk. "Kau melihatnya?"
Feodora mengernyit. Harapan Esme pupus seketika ketika sepupunya itu justru bertanya, "Siapa Oliver?"
Suara kekeh puas terdengar. Esme menoleh ke arah bean bag diam-diam. Agak ngeri menatap sosok pemuda berparas elok di atas bean bag tengah terkekeh geli sambil bertepuk tangan dengan kalem. Gadis itu merasa bahwa yang dia lakukan barusan malah menjadi bentuk hiburan bagi orang aneh itu.
Selesai melakukan selebrasi kemenangan, pemuda itu mengusap air matanya dari ujung pelupuk dengan senyum yang tak kunjung luntur. Senyuman itu justru berevolusi menjadi seringai karismatik yang mampu membuat gadis mana pun terpana bahkan Esme sekalipun.
Ah, andai saja dia tidak ingat bahwa pemuda itu telah menghancurkan akal sehatnya.
Begitu binar rubinya bertemu dengan kilatan mata safir Esme, pemuda itu bertopang dagu, mempertahankan seringainya dengan mudah seolah sudah menjadi kebiasaannya.
"Bagaimana?" tanyanya. "Sekarang kau percaya padaku, 'kan?"[]
NOTES:
Simp Ruviane pada chapter kali ini: