Nunggu Altheo update?
Jangan lupa tembusin 1,5k vote & 2k komen!!!
Selamat membaca
BUGH!
"BRENGSEK! DIA ISTRI LO, AN!!!" teriakan Liam benar-benar menggema di setiap sudut ruangan, hingga orang-orang rumah menghampiri keduanya.
Liam benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikir Zean, bagaimana bisa lelaki itu melakukannya kepada istrinya sendiri?
"Bang, kenapa?" Hanna bertanya sembari mendekat kepada Zean.
Tanpa menjawab pertanyaan dari sang bunda, Liam melenggang pergi begitu saja dengan perasaan emosi.
Sedangkan Zean hanya diam membisu, ia pantas menerima ini semua. Kesalahannya kali ini benar-benar sudah diluar batas.
"Al, bunda obatin--"
"Al gapapa bun, Al pamit pulang," ucap Zean langsung menyela perkataan Hanna dan berjalan keluar rumah.
Terdengar helaan napas berat dari bibir Hanna, ia berpikir kenapa semuanya menjadi kacau seperti ini setelah kematian Zea?
Melajukan mobil tak tentu arah, pikiran yang berkecamuk, Zean berpikir, apa ini yang dinamakan penyesalan? Untuk masalah keluarga Lovata memang dari awal pun sudah ditangani oleh Rangga, bahkan papinya itu memberi pelajaran terlebih dahulu sebelum di masukan ke dalam jeruji besi.
Zean meremas rambutnya sendiri dengan kencang, ingatan dimana dirinya memperlakukan Lovata seperti orang lain terlintas kembali di otaknya.
Menyuruh Lovata untuk tidur di lantai hanya beralaskan karpet bulu, membangunkannya dengan cara yang tidak manusiawi, menendang atau bahkan menjambak rambutnya agar terbangun, memarahinya habis-habisan karena tidak becus memasak. Seharusnya Zean tahu, dari awal bersamanya pun Lovata selalu ia manjakan.
Dan yang paling membuat Zean sangat menyesal, memperkosa Lovata di saat gadis itu sedang tertidur, tanpa melakukan pemanasan apapun, Zean langsung melakukannya membuat gadis itu menangis, menjerit kesakitan karena perlakuan kasar darinya. Dan itu berlaku tidak hanya satu jam atau dua jam, Zean terus melakukannya hingga pagi. Seolah tidak mempunyai salah apapun, dirinya langsung mandi dan pergi ke kantor tanpa memikirkan bagaimana keadaan istrinya.
Sangat brengsek bukan?
Setelah berputar-putar tak tentu arah, akhirnya Zean sampai di rumahnya. Satu-satunya tempat yang akan membuatnya sedikit tenang adalah rumah, setidaknya Zean akan mendapat arahan dari sang papi meskipun dia masih kecewa kepadanya.
"Mana papi?" Zean langsung bertanya saat mendapati Gara yang tengah menggendong adik kecilnya sembari memberinya susu. Melihat itu hatinya tiba-tiba mencelos.
"Di ruang kerja," sahut Gara seadanya tanpa mengalihkan tatapannya.
"Lo--" Zean menggantung ucapannya ketika Gara pergi begitu saja sembari menggendong adik kecilnya. Tidak perlu bertanya pun, Zean sudah paham, adiknya itu pasti sedang kecewa.
"Pi, Lea mau sama papi!" itu adalah suara teriakan Gara.
Satu minggu lebih usia adik kecilnya, dan Zean baru mengetahui namanya, kakak macam apa sebenarnya dirinya ini?
"Biar gue yang gendong," ucapnya tiba-tiba saat sudah berada di samping Gara.
Tanpa mengucap sepatah kata pun, Gara lantas memberikan adik kecilnya kepada sang abang.
Baru saja dalam gendongan Zean, bayi itu sudah menangis membuat Zean menatap Gara bingung.
"Dia aja tau mana orang baik sama orang jahat," ucap Gara sembari kembali mengambil alih tubuh adik kecilnya ke dalam gendongannya.
"Kenapa?" Rangga keluar dari ruang kerja dengan pakaian santainya, berjalan menghampiri ke arah mereka.
"Tunggu papi di ruang kerja," ucap Rangga setelah tahu ada putra sulungnya datang mengunjungi rumah.
"Papi kenapa gak marahin bang Zean?" tanya Gara setelah kepergian Zean. Dari tatapannya jelas bocah itu tengah merasa kesal.
"Suruh bibi buatin susu," suruh Rangga sekaligus menghindar dari pertanyaan putranya.
"Ck, biar Gara aja yang tidurin, papi urus aja anak kesayangan papi," decak Gara sebal menatap sang papi.
"Pentingnya papi marahin abang kamu apa? Papi tau abang kamu salah, tapi bukan berarti harus papi mar--"
"Papi juga tau waktu itu Gara gak sengaja, tapi papi tetep marahin Gara 'kan? Sampe nampar segala," Gara menyela ucapan Rangga.
"Udahlah, males sama papi," katanya sembari melenggang pergi meninggalkan Rangga. Jangan lupakan seorang bayi mungil yang berada di gendongannya.
Melihat itu Rangga hanya menggelengkan kepalanya pelan, lalu kembali masuk ke dalam ruang kerjanya. Selama seminggu ini memang Gara tidak pernah mau bertegur sapa dengan Zean, alasan jelasnya Rangga pun tidak tahu.
🦋🦋🦋
Bohong jika Lovata tidak merindukan Zean, mau seburuk apapun Zean kepadanya, Lovata tetap sangat mencintai suaminya itu. Namun ada satu hal yang membuatnya memilih untuk ikut pulang bersama Wyman, perlakuan Zean yang sudah sangat keterlaluan.
Jika Zean menyuruhnya tidur di lantai tidak masalah, membangunkannya secara tidak manusiawi, memarahinya habis-habisan dan membentaknya ketika ia melakukan kesalahan kecil, semuanya tidak masalah bagi Lovata, tapi kali ini, Lovata benar-benar merasa kecewa. Sungguh.
Sudah empat hari dirinya tinggal bersama kakek dan neneknya, dan empat hari itu juga Lovata sama sekali tidak mendapat kabar apapun dari Zean. Berkali-kali ia meyakinkan bahwa semua ini bukan salahnya, tapi tetap saja, ucapan demi ucapan yang dilontarkan kepadanya membuat kepercayaan dirinya hilang begitu saja.
Malam hari, gadis itu baru saja menyelesaikan ritual mandinya. Entahlah, untuk sekarang, Lovata lebih menyukai mandi malam dibanding mandi sore. Jika dulu Zean melarangnya untuk tidak mandi malam, sekarang Lovata tidak peduli lagi dengan larangan itu.
Beres memakai pakaian tidurnya, gadis itu bergegas naik ke atas ranjang, hidupnya benar-benar dipaksakan langsung mandiri oleh keadaan, dan sebenarnya Lovata tidak kuat.
Mendengar suara ponsel berdering, gadis itu mengurungkan niatnya untuk memejamkan kedua matanya yang sudah terasa begitu lelah, padahal dirinya tidak melakukan kegiatan apapun.
Nama suaminya tertera jelas di layar ponselnya, tidak terhitung berapa kali Zean menghubunginya, dan selalu Lovata tolak. Ia seperti sudah bertekad tidak akan berhubungan apapun lagi dengan Zean. Tapi ketahuilah, hati kecilnya merasakan kerinduan kepada suaminya.
Tanpa berniat ingin mengangkatnya, ponsel itu kembali diletakkan di atas nakas dan mulai membaringkan tubuhnya, menyelimuti seluruh tubuhnya dan berusaha memejamkan kedua matanya, berharap bayang-bayang waktu dirinya bersama Zean hilang.
Tok tok!
"Sweetheart, apa kau sudah beristirahat?"
Suara milik Wyman terdengar dibarengi dengan ketukan pintu, karena memang Lovata belum mengantuk, jadilah gadis itu kembali turun dari atas ranjang, kemudian berjalan ke arah pintu.
"Tata belum bobo, opa, kenapa emangnya?" tanya gadis itu setelah membukakan pintu.
"Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Wyman sembari mengusap surai lembut sang cucu.
"Opa, opa udah tau siapa yang culik Tata waktu Tata di Bandung?" sudah sejak kemarin Lovata ingin menanyakan hal ini, namun entah kenapa hatinya masih merasa ragu.
"Tata cuma mau tau, opa..." lanjutnya memasang tatapan memelas.
"Yang culik Tata ada hubungannya sama yang buat mami Theo meninggal?"
Dirasa tidak ada lagi yang harus ditutupi, Wyman pun menganggukkan kepalanya seolah semua pertanyaan yang Lovata lontarkan itu benar.
"Sahabat kecilmu dan sepupumu bekerja sama untuk melakukan penculikan, mereka berdua ingin menghancurkan hidupmu," Wyman mulai menjelaskan. Lelaki paruh baya itu merubah posisinya menjadi saling berhadapan dengan Lovata.
"M-maksud opa, Neal sama Zana?" Wyman menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Tapi, dulu mereka nggak deket," ujar Lovata merasa bingung.
"Dekat atau tidak itu bukan masalah, yang mereka inginkan, melihat dirimu hancur," ucap Wyman membuat Lovata menelan ludahnya.
"Yang buat mami Theo meninggal mereka juga?"
"Bukan, itu adalah perbuatan nenek dan bibi-mu," jawab Wyman.
Sekarang semua pertanyaannya terjawab. Tapi, masih ada yang mengganjal di hatinya, apakah semua ini benar-benar karenanya? Zean sangat marah kepadanya itu bisa disebut hal wajar?
"Jangan terlalu banyak berpikir, isti--"
Tok tok!
"Wyman, apa kau di dalam?"
"Ya, masuklah," sahut Wyman.
Pintu terbuka lebar, dan masuklah seorang wanita paruh baya yang sudah berumur menghampiri Lovata dan Wyman.
"Ada apa?" tanya Wyman sembari menatap istrinya.
"Ada orang yang ingin bertemu dengan Tata--"
"Katakan saja cucuku sudah tertidur--"
"Yang mencarinya perempuan dan laki-laki, sepertinya mereka--"
"Kak Liam sama Laya, Tata boleh temuin mereka, opa?" gadis itu meminta izin kepada Wyman.
Wyman mengangguk singkat, lalu berucap, "Opa izinkan."
Setelah mendapat izin dari sang opa, gadis pemilik tahi lalat dibawah bibir itu lantas beranjak dari duduknya, berjalan keluar kamar untuk segera menemui Liam dan Laya. Siang tadi memang dirinya meminta Laya untuk datang ke rumah Wyman, tidak ada hal yang penting, hanya saja Lovata ingin ada teman ngobrol saja.
"Laya, ayo masuk," ajak Lovata ketika sudah sampai di depan pintu dan melihat ke arah dimana Liam dan Laya tengah menunggu.
Seperkian detik senyum itu langsung pudar kala melihat seseorang keluar dari mobil. Kedua matanya tidak berkedip karena Lovata sudah merasa jika satu kali kedip saja maka air matanya akan turun membasahi pipinya. Akhirnya, gadis itu memaksakan untuk tersenyum, bukan ditujukkan pada seseorang itu, tapi kepada Laya dan Liam.
"Ta--"
"Kak Liam, Tata cuma mau ngobrol sama Laya, Kak Liam boleh tunggu di sini aja?" secara tidak langsung gadis itu tidak ingin bertemu dengan Zean.
"Sebentar kok, nanti Tata balikin lagi Layanya," lanjutnya berucap sembari menyengir kuda.
Tidak tahu saja, setiap pergerakannya tidak terlewatkan oleh Zean. Apalagi ketika melihat Lovata tersenyum, rasanya seperti ada ribuan jarum yang menusuk ulu hatinya, sekuat itukah istri kecilnya?
"Gue gak boleh masuk?" tanya Liam sengaja memancing Lovata agar tidak cepat masuk.
"Nggak boleh, iya 'kan Laya?" tatapannya bergulir menatap Laya.
"I-iya," balas gadis yang masih berdiri di samping Liam itu ragu.
"Ta, gue mau--"
"Tata gak minta kamu dateng ke sini," gadis itu langsung menyela ucapan Zean dan tanpa menatap wajahnya.
Zean menatap istrinya dengan tatapan sendu, bahkan gadis itu merubah gaya bicaranya. Lovata sekarang memang sangat berbeda dengan Lovata yang dulu, mungkin Lovata benar-benar membencinya sekarang.
"Gak harus sekarang," ucap Liam pelan kepada Zean.
"Gue tunggu di mobil, ngobrol di dalem, udah malem gak baik kalo diluar," kata Liam menatap Laya dan Lovata bergantian.
"Kak Liam masuk aja, dia biarin tunggu di luar sendiri."
Kurang sreg? Emang haha
Next part aku buat lebih panjang lagi deh
Next cepat tembus 1,5k vote & 2k komen!
Secepatnya!😍
See uu papayyyy🔥❤