Setelah tiga hari berlalu, aku belum menerima info apa pun dari Ferdy mengenai alternatif konsep desain yang dipilihnya. Sambil menunggu, aku mulai mencari ide konsep desain buat Arion. Jika ada desain yang sedang aku kerjakan, biasanya aku mengurung diri di kamar dan hanya keluar untuk membantu Mama bersih-bersih, mencuci pakaian dan memasak. Namun, semenjak Rannu dirawat, setiap hari Sabtu selalu kusediakan waktu menjenguknya. Aku sudah tidak pernah lagi menanyakan mengenai Ferdy pada Rannu. Dia juga seolah sudah asyik dengan dunia merajutnya. Hanya sesekali dia menanyakan, kapan bisa keluar dari rumah sakit.
Hari Sabtu, seperti biasa aku mengunjungi Rannu. Kebetulan juga Kak Ika sedang tugas jaga dan menemaniku menemui Rannu. Selain hari Sabtu, yang jadi hari wajib aku mengunjungi Rannu, dalam rentang waktu seminggu, kalau tidak sibuk atau stuck ide, aku juga mengunjungi Rannu. Seperti hari Rabu kemarin, karena aku sudah menyelesaikan konsep desain untuk Ferdy, jadi aku refreshing sejenak ke tempat Rannu.
"Kak, kondisi Rannu semakin membaik. Kira-kira dia bisa keluar dari sini kapan, ya?" tanyaku pada Kak Ika saat kami menyusuri koridor menuju taman tempat Rannu. Rannu sudah dirawat selama tiga bulan yang menurutku waktu yang cukup lama untuk membuat kondisi Rannu pulih.
"Menurut Dokter Firdaus, kondisi Rannu memang sangat pesat perkembangannya. Tapi, itu kondisi saat dia nggak bertemu dengan sumber yang mengguncang jiwanya. Karena Kak Arie dan Kak Lia belum pernah lagi datang menjenguknya, mungkin ada baiknya Rannu mulai terbiasa untuk bertemu kembali dengan mereka. Ini untuk melatih Rannu agar siap saat dia kembali ke rumah."
Memang sejak kejadian Rannu histeris melihat Kak Arie dan Kak Lia, sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi datang mengunjungi Rannu. Biasanya aku yang menelpon Kak Arie setelah mengunjungi Rannu atau sebaliknya, Kak Arie yang menelponku bertanya mengenai perkembangan kondisi adiknya.
"Apa sebaiknya saya minta Kak Arie dan Kak Lia datang jenguk Rannu ya, Kak?"
"Boleh Sandri. Nanti pelan-pelan kita coba mendekatkan Rannu ke mereka. Semoga saja rekasi Rannu nggak seperti dulu."
"Oke, Kak. Balik dari sini, akan saya obrolin dengan Kak Arie."
Kami sudah tiba di taman dan Rannu tidak menyadari kehadiran kami. Dia begitu asyik mengolah rajutan yang ada di tangannya. Sepertinya kali ini dia sedang membuat tas. Rannu makin mahir saja. Tentunya aku sangat gembira melihat hal itu. Selain kondisinya makin membaik, keterampilannya juga berkembang dengan pesat.
"Halo, Rannu," ujarku menyapanya.
"Sandri!" Rannu bergegas berdiri dan memelukku. Selalu begitu jika aku datang menjenguknya.
"Rannu lagi buat apa?" tanya Kak Ika.
"Buat tas," jawab Rannu dengan mata berbinar sambil menunjukkan pada kami tas yang sedang dibuatnya.
"Hebat deh, Rannu," puji Kak Ika degan mengangkat jempolnya.
Rannu meletakkan rajutannya dan mengajak kami duduk. Dia dengan antusias menceritakan kegiatannya. Saat bercerita mengenai hobinya saat ini, dia sangat bersemangat. Kalau dia bisa dengan cepat mempelajari cara merajut, aku berharap Rannu juga bisa dengan cepat beradaptasi kembali dengan keluarganya, terutama dengan Kak Arie dan Kak Lia. Kami lalu asyik mengobrol sambil makan kue yang aku bawa. Sesekali kami tertawa kala ada obrolan yang lucu. Melihat kondisinya seperti ini, Rannu terlihat sudah normal. Tak ada tanda sama sekali kalau mentalnya terganggu.
Setelah menemani kami sebentar, Kak Ika lalu kembali menjalankan tugasnya. Rannu juga kembali merajut sambil mengobrol denganku.
"Rannu, ntar ajarin aku merajut, boleh?"
"Sandri mau belajar merajut juga?" tanyanya tak percaya.
"Iya, sepertinya asyik gitu."
"Boleh, tapi hakpen Rannu cuma satu."
"Nggak apa, ntar aku beli. Kalau ke sini lagi aku bawa dan belajar merajut sama Rannu."
"Iya, Sandri."
"Rannu kangen nggak sama Mama, Kak Arie, Kak Lia dan Kak Nita?" tanyaku dengan pelan.
"Kangen, tapi Rannu belum sembuh." Aku terkesiap dengan jawabannya. Dia tahu dirinya sedang sakit. Akan tetapi, saat mendengar nama Kak Arie dan Kak Lia, reaksi Rannu biasa saja.
"Kalau Rannu sembuh, Rannu mau tinggal sama Mama atau dengan Kak Arie?" Aku menyebut kembali nama Kak Arie dan menunggu tanggapan Rannu. Raut dan sikapnya tetap biasa mendengar nama Kak Arie. Semoga ini pertanda Rannu memang sudah membaik dan bersiap bertemu kembali dengan keluarganya.
"Sama Mama aja," jawabnya sambil melihat padaku. Aku tahu dia sangat merindukan keluarganya. Tampak jelas di matanya yang menatapku penuh harap.
"Rannu, sabar ya. Rajin minum obatnya biar cepat sembuh dan kembali ke rumah Mama," hiburku.
"Ferdy sudah pernah jenguk Rannu lagi, nggak?" Aku berusaha menahan ini, tapi tidak bisa. Pertanyaanku meluncur begitu saja. Aku penasaran saja, apakah Ferdy masih datang menjenguknya atau tidak.
"Kemarin Ferdy datang, tapi cuma sebentar. Katanya sibuk, jadi nggak sempat jenguk Rannu. Tapi, Ferdy janji akan sering datang, kok, Sandri." Akhirnya dia datang juga menjenguk Rannu. Syukurlah. Memang kami tidak bisa memaksanya menjenguk Rannu setiap saat, tetapi dengan adanya Ferdy, cukup membantu memulihkan kondisi Rannu. Aku hanya berharap semoga yang pernah dia ucapkan dulu bisa dia wujudkan.
Kulihat Rannu beberapa kali menguap. Sepertinya minum obat setelah makan siang tadi efeknya mulai terasa.
"Rannu baiknya istirahat aja, ya?"
"Iya Sandri. Habis minum obat, kok, jadi mengantuk. Padahal mau selesaiin tas ini buat Sandri." Apa saja yang dia buat, hasilnya selalu dia berikan padaku. Dulu syal, sekarang tas. Aku tentu saja senang dengan pemberiannya dan terharu.
"Nanti bisa dilanjutkan lagi, kok." Setelah mengantar Rannu ke ruangannya, aku pun pamit. Saat berjalan di koridor menuju lobi, bunyi notif pesan masuk ke ponselku. Tadi selama menemai Rannu, aku menyimpan ponsel dalam tas dan tidak pernah membukanya. Aku merogoh tas dan mengambil ponsel, dan saat kubuka ada beberapa pesan dan telepon tak terjawab yang masuk. Pesan dari Dita mengenai client yang ingin bertemu denganku, pesan Ferdy mengenai alternatif konsep desain yang dia pilih. Ferdy memilih alternatif kedua. Dia juga menanyakan kapan bisa bertemu denganku untuk diskusi mengenai desain selanjutnya. Kalau telepon semuanya dari Arion. Keningku mengernyit. Ada apa sampai dia menelpon sebanyak tujuh kali? Pesan terakhir saat aku berjalan di koridor tadi adalah, pesan dari Arion menanyakan posisiku saat ini. Heh? Aku jadi tidak berminat menelponnya balik. Membalas pesannya pun aku ragu. Kak Lia sampai menegurku ketika aku hanya berjalan lurus ke pintu keluar tanpa menoleh padanya yang berdiri di samping meja resepsionis. Kepalaku penuh dengan jadwal yang sedang kususun untuk Dita dan Ferdy. Untuk Arion, aku sedang memikirkan jawaban atas telepon dan pesannya.
Aku masih menimbang-nimbang akan membalas pesan Arion, ketika kemudian pesannya masuk lagi ke ponselku. Pria itu memang tidak mengenal lelah sepertinya. Karena tak kunjung pesannya aku respons, dia menelponku. Hampir saja ponsel yang kupegang jatuh saking terkejutnya.
"Ada apa, Mas?" jawabku tak acuh. Ada sedikit nada kesal pada ucapanku. Hari ini Sabtu, seharusnya dia tahu kebiasaan weekend digunakan para pekerja untuk bersantai bersama keluarga, melakukan hobi atau lainnya. Yang sama untukku. Belum seminggu aku bertemu dengannya, desain boothnya pun baru kubuatkan sketsa kasar saja. Kalau saja dia lupa, aku tidak menjanjikan akan mengerjakannya dalam waktu dekat. Mengapa seolah-olah dia sudah menagihku seperti ini?
"Kamu lagi di mana?" Pertanyaan ini lagi. Lama-lama aku fobia dengan pertanyaan seperti ini. Aku menghela napas.
"Memang ada apa, sih, Mas? Ini hari Sabtu, lho. Mas nggak ada acara atau apa gitu?" tanyaku dengan nada datar.
"Nggak ada, tuh. Hari Sabtu sama hari lainnya bagi saya sama aja," jawab Arion dengan suara beratnya yang kadarnya malah membuat telingaku seperti mengalami gejala alergi. Pria ini workaholic atau bagaimana, sih? Hari Sabtu tidak ada bedanya dengan hari lain, katanya? Wah, tak ada manis-manisnya kalau gitu. Aku berdeham.
"Mas, saya tuh penikmat hari Sabtu, lho." Maksudku di sini mengunjungi Rannu dan berleha-leha, melupakan sejenak pekerjaanku.
"Oh, kamu lagi kencan, ya, Sandri?" Duh, harus banget ya menyebutkan kata kencan. Dia tidak tahu saja kalau aku ini masih bersolo karier. Ampun!
"Bukan gitu juga, sih, Mas. Tapi, kalau hari Sabtu tuh, aku pengen santai aja." Aku sudah tidak sadar duduk di kursi lobi sambil ngobrol dengan Arion di telepon. Kak Lia hanya senyum-senyum melihat ekpresiku.
"Jadi saya ganggu dong, ya?" Lha, sudah tahu kenapa masih bertanya? Jenis pria kurang peka banget dia. Aku menggerutu dalam hati.
"Iya!"
"Duh, jangan galak dong, Sandri." Terdengar kekehan di ujung sana. Aku diam saja tidak menanggapinya.
"Saya butuh teman diskusi, nih," lanjut Arion.
"Emang Mas nggak ada teman diskusi di kantor?" Aneh juga, butuh teman diskusi, tapi mengapa ke aku?
"Nggak ada. Lagian saya pengennya diskusi sama kamu." Aku menepuk kening. Mengapa kakak Ferdy ini aneh, ya?
"Mau diskusi apa, ya, Mas? Desain boothnya belum aku pegang, lho."
"Diskusi, tuh, nggak melulu urusan kerjaan, Sandri. Bisa saja hal lain seperti kehidupan, hobi atau apa ajalah." Mengapa jadi melebar ke mana-mana begini? Sepertinya aku tertahan di lobi rumah sakit karena meladeni telepon Arion.
"Tapi saya lagi nggak mood untuk diskusi macam-macam, Mas." Terserahlah jika Arion menganggap jawabanku kurang sopan. Karena benar-benar aku lagi tidak ingin diganggu hari ini.
"Ya sudah, jalan-jalan aja kalau gitu. Mau, ya?" Ya ampun, dia belum menyerah. Sementara aku belum merespons pesan Dita dan Ferdy.
"Lagi males jalan juga Mas," balasku dengan cepat.
"Yakin kamu lagi di rumah rebahan aja?" Arion tahu aku lagi di luar rumah. Apakah dia sudah menanam chip di ponselku sehingga dia bisa melacakku? Pikiranku mendadak aneh.
"Saya memang lagi di luar Mas, jenguk sepupu di rumah sakit." Kuputuskan jujur sajalah padanya. Aku melambai pada Kak Ika, dan keluar dari lobi menuju gerbang.
"Coba kamu tengok arah jam jam sembilan, Sandri." Aku menoleh sesuai arahannya, dan mataku terbelalak, mobil Arion sudah terparkir tidak jauh dari pintu gerbang rumah sakit.
*****
Jakarta; December 09, 2021
Sandri sangat bersyukur kondisi Rannu mulai membaik.
Sayangnya, ada yang mulai mengganggu dirinya.
Bagaimana reaksi Sandri?
Nantikan saja di part-part selanjutnya.