KHODAM (NOVEL TERBIT)

By poetri_mataram

1.4K 551 40

Blurb: "Resi, saya merindukannya," keluh Lokapala. Resi Wardha menatap sang pangeran yang tertunduk lesu. M... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Prologue
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
NOVEL TERBIT
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25

Chapter 12

38 18 0
By poetri_mataram

“Cepat bangun, banyak yang harus kita kerjakan!” Perkataan seorang perempuan membuat dahi Hanum berkerut.

Tangan Hanum terulur ke bawah, menarik selimut tipis hingga menutupi separuh wajahnya. Dia menggeliat pelan, sedikit menanguh karena tempat tidurnya berubah keras. Mungkinkah busanya menghilang?

“Hanum bangun! Kau nanti bisa dapat masalah dari Nyi Ratih.” Hanum menahan selimut yang ditarik oleh seseorang yang sejak tadi tak berhenti mendumel.

1 detik.
10 detik.
60 detik.

“Ayo cepat!” perintah Nila sambil berjalan ke arah pintu.

Urung untuk tetap bertahan dan terus tertidur tanpa mendengar suara Nila, ternyata Hanum tak mampu melakukannya. Dia harus terbangun dari atas ranjang kayu tersebut, lantas beranjak dari sana dengan gerak yang lemah. Berat, lelah, dan seperti usai membanting tulang. Benar-benar sakit semua tatkala dirinya terbangun dari atas tempat tidur itu.

Berjalan tertatih-tatih, seketika langkah perempuan tersebut seperti tidak memiliki banyak pergerakan. Dia setengah memejamkan mata, dengan sesekali melihat arah jalan di hadapan walaupun sekilas remang-remang.

“Lebih cepat, Hanum! Nyi Ratih sepertinya sudah mengawasi keberadaan kita,” tutur sang lawan bicara beberapa kali pula.

Membuka mata dengan sedikit terbelalak, Hanum tetap tak bisa untuk mengedarkan pandangan secara sempurna. Dia terlihat begitu lemah dan urung niat terhadap segala hiruk pikuk pagi yang menyelimuti. Dingin, terasa begitu mengancam dan seakan mengganggu waktu untuk bersenang-senang.

Dua langkah keluar dari pintu, ternyata Nila telah berada jauh dari posisinya berdiri. Perempuan tersebut sudah lebih dulu berjalan meninggalkan beberapa jejak dan langkah yang terlihat sangat terpaut jauh dari posisinya. Dengan begitu, Hanum langsung menggeleng frustrasi. “Apa-apaan, sih, Nila cepat sekali jalannya. Tidak lelah memangnya?” Dia bersenandika.

Bergeming untuk beberapa waktu ke depan, Hanum diam-diam masih terus terpejam. Pergerakan dari kedua kakinya saling tumpang tindih, terlihat bagaikan rumit untuk bergerak lebih jauh.

“Apa saya harus kembali lagi ke tempat pembaringan itu? Jujur, ini benar-benar bukan waktu yang tepat. Bagaimana mungkin saya bisa terbangun di pagi buta seperti ini? Perempuan itu keterlaluan, Nyi Ratih juga sama!” bentaknya secara mentah-mentah.

Memutar bola mata malas, Hanum bisa menahan apa yang tersembunyi di balik pemikirannya. Prempuan itu segera berjalan untuk lebih gesit, meninggalkan setiap derap langkah yang terpantul jelas di beberapa ruangan tempatnya berada.

Tak jauh setelah sudah terlihat sangat bugar, Hanum kembali mendengar kecipak air yang terasa syahdu. Hidup yang tengah dialami ini terasa seperti berada pada zaman perdamaian. Tidak banyak suasana dan situasi buruk yang menemani langkah orang-orang, terlebih langkahnya saat ini.

Lebih lambat melakukannya, Hanum samar-samar menikmati nuansa di sini. Alunan musik terdengar syahdu, seakan ikut membangunkan jiwanya yang diredam oleh gerutu tak berkesudahan sejak tadi. Sementara dari balik teriakan yang terdengar, ternyata sosok Nila masih berada di sini, tengah memandangi wajah Hanum yang terpaku tanpa gerak sedikit pun.

“Ternyata kau masih di sini, Hanum? Keterlaluan, saya sudah menunggu beberapa waktu di depan sana. Kau ini benar-benar menyebalkan,” entak ucapan Nila terayun santai, seperti tengah memendam rasa kesal yang terlalu liar.

“Maafkan saya, ini hanya salah paham saja. Saya berhenti ada sebab, percayalah!” Berkata dengan diikuti ekspresi wajah kaku, Hanum memastikan bahwa lawan bicara benar-benar yakin dengan kata-kata yang dia ungkap.

“Apa? Jangan banyak berbohong!” lanjut Nila lagi.

“Ada kecipak air yang terdengar sangat jelas, seperti membuat hati rasanya damai. Alunan musik juga terdengar seperti saya sedang beradaptasi dengan zaman kerajaan, benarkah begitu kenyataannya?” Hanum menyatakan satu pertanyaan kepada wanita di depan sana.

Dengan tersenyum lucu, Nila tertawa renyah. Dia sedikit lebih bergegas melangkah, meninggalkan keberadaan Hanum yang tetap berdiri di tempat. Ketika geraknya sudah beberapa langkah dari posisi Hanum berada, Nila berkata, “Jangan terlalu banyak mengkhayal, Hanum! Kau sedang berada di zaman biasa. Hanya saja imajinasi itu menyesatkan.”

Bingung dengan maksud dari semua ini, Hanum seperti tak acuh. Dia meninggalkan lokasi dan berjalan mengikuti langkah Nila yang lebih dulu berada di depan sana.

Saling berbincang satu sama lain, banyak sekali hal yang ditanyakan oleh Hanum. Lebih tepatnya tentang orang-orang dan beberapa benda yang ada di tempat ini seakan-akan memberi banyak petunjuk bahwa kehidupannya tengah ada di garis ketenangan. Mungkin Hanum akan merasa lebih bahagia tatkala arunika waktu yang disuguhkan untuknya tetap berlangsung seperti ini saja.

“Saya ingin bertanya sesuatu, tapi apakah boleh?” Ragu dan sedikit terputus-putus, Hanum membuka suara. Sejurus, lawan bicaranya langsung merespons dengan anggukan kecil dari gerak kepala.

“Ya, tanyakan saja! Kau memang perlu banyak tau tentang perjalanan di sini,” titah Nila terus terang.

Gelagapan dan sulit berkata-kata, Hanum menggaruk-garuk kepala. Sebelum perkataan itu berlanjut, ternyata sosok seorang lelaki terlihat di depan mata dan membuat Hanum langsung salah tingkah. ‘Lebih baik nanti saja pertanyaan ini aku tanyakan,' batinnya bersenandika.

Beberapa tahap dari langkah keduanya untuk sampai ke hadapan sosok tersebut, Hanum langsung berhenti. Dia ingin lebih dekat memperhatikan wajah laki-laki itu lebih dekat lagi.

“Sugeng enjing, Raden Panji Kalingga!” sapa Nila yang terdengar sangat hormat. Sedangkan dari arah tempat Hanum berada, sepertinya perempuan itu terlihat mematung tubuh.

Berhenti juga untuk menyamakan geraknya dengan Nila, Raden Panji Kalingga merasa sedikit aneh. Dengan lamat-lamat, dia menatap intens wajah Hanum secara dalam-dalam.

‘Siapa gadis ini? Sepertinya aku pernah melihat dia, tapi di mana?’ batin Raden Panji Kalingga bertanya-tanya.

Lepas dari pandangan itu, Raden Panji Kalingga beralih arah ke benda yang melingkar di leher Hanum. Ada sedikit keanehan saat sepasang matanya memandangi sesuatu yang disebut kalung itu.

“Benda itu ...,” ucapnya spontan.

Mengarah tatapan ke arah lehernya, Hanum membelalak. Dia sedikit kebingungan pasal apa yang dikatakan laki-laki tersebut barusan. Bagaimana mungkin Raden Panji Kalingga bisa melihat kalung yang ada di lehernya, sementara Nila sendiri tidak sadar akan itu.

Bergegas untuk cepat-cepat pergi dari sana, Hanum segera meninggalkan Raden Panji Kalingga. Dia menapak cepat, menjejakkan langkahnya ke arah pendopo dari tempat ini berada. Ketika sampai di suatu bangunan seperti minim ukuran begitu, Hanum merespons dengan terpelongo dan antara paham atau tidak.

“Sebentar. Kenapa, tadi aku bisa berpapasan dengan Raden Panji Kalingga? Dan sepertinya .., dia benar-benar mengetahui banyak tentang diriku. Apa lagi tatapan tajam yang diberikan, sempat membuat aku sedikit takut,” titahnya sendirian.

Dari arah depan, Nila mematung tubuh dengan sedikit menautkan kedua alisnya. Perempuan itu seperti bergerak lebih cepat ke sisi Hanum berdiri. “Ayo, apa lagi? Kau masih ragu, atau takut?” Nila melantangkan suaranya.

Melirik berbagai tempat, Hanum merasa sangat kesal dengan perempuan tersebut. Mungkin jika Nyi Ratih yang mengawasi pergerakan dia, tentu saja tidak akan serumit wanita di hadapan berperilaku.

“Sebentar, saya masih memikirkan sesuatu,” balasnya.

Tersenyum kecut, Nila seperti terlihat mengolok. Langkah mereka terhenti di satu titik tertentu, kemudian lagi-lagi Nila mendahului gerakannya.

Dengan berat hati, Hanum mencoba tetap tenang. Dia mengamati langkah perempuan di depan sana dengan sangat diikuti rasa malas. Namun, ketika berada tepat di tempatnya, Hanum langsung bersikap seperti biasa; cenderung semangat dan siap untuk melakukan apa pun.

“Sugeng enjing, Pangeran Dyah Lokapala!” sapa kembali ucapan Nila yang terdengar membosankan.

Bergerak lebih depan, Hanum harus bisa bersikap baik di hadapan Pangeran Dyah Lokapala. Dia juga terlihat sangat cekatan dalam melaksanakan tugasnya hari ini.

“Kebetulan sekali, kau terlihat bersemangat seperti ini! Ada apa?” Nila membuat suasana lebih mengancam dan hancur.

Mengarahkan ekspresi wajah kesal, Hanum memandangi wajah Nila secara lekat. “Diam dulu, saya masih ingin bicara kepada Pangeran,” ujarnya.

Berbalik arah untuk pergi, Pangeran Dyah Lokapala meninggalkan tempat. Dirinya enggan sekali melihat perseteruan yang terjadi antara kedua wanita tersebut.

“Pangeran .., pangeran ingin ke mana? Ayo cepat ke mari, izinkan saya berbicara lebih dulu.” Berteriak cukup keras, tetapi laki-laki itu bergeser lebih dulu meninggalkan lokasi. Sekarang yang tersisa hanya reaksi saling tatap antara keduanya.

Menarik napas dalam-dalam, Hanum melangkah pergi lebih lanjut. Dia meninggalkan Nila yang berada di tempat secara spontan, kemudian sedikit memberikan entakkan keras dari gerak kakinya.

Menggeleng beberapa kali sampai pada akhirnya memilih untuk diam, Nila menatap aneh ke arah Hanum. Perempuan tersebut terlihat begitu sangat tidak sopan dan bertingkah dengan sesuka hatinya.

Ketika berada di antara gerak titik hentinya, Hanum lepas untuk tak bisa banyak berkata-kata. Tempat Pangeran Dyah Lokapala berada benar-benar membangun semangat untuk Hanum mengerjakan dan melayani laki-laki itu, nantinya.

Ini bukan tentang berlebihan, tetapi rasa kagum yang diperlihatkan tatkala sepasang mata seperti baru-baru saja merasakan sensasi seperti ini.

Continue Reading

You'll Also Like

Anak Buangan Duke By Luna

Historical Fiction

226K 32.1K 40
[Brothership story!] "Padahal hanya anak buangan, tapi kamu seolah memiliki kuasa seperti seorang raja!" Kalimat itu ditujukan pada Arthevian Montros...
BITTER TRUTH [END] By Angel

Historical Fiction

9.5M 1.1M 90
"Buktikan bahwa bukan kau yang meracuninya dengan pedang ini" ucap Duke Hevadal dengan wajah yang sedingin dinginnya pada putri kandungnya sendiri El...
28.9K 2.7K 104
"Mari kita bertunangan, Your Grace" "Mari kita batalkan pertunangan ini, Your Highness" Kedua gadis yang berada dalam dua kondisi berbeda, membua...
5.4K 462 44
Lanjutannya Dari bab 201 sampai tamat